Anda di halaman 1dari 6

TUGAS MANAJEMEN RISIKO

Dosen Pengasuh:

Pangondian Harahap,SEI,MBA

Disusun Oleh:

Humairah Sari S 178320391 Dewi Agustia 178320193

Vina Lestari H 178320355 Sania Tanjung 178320371

Junaida Sakinah B 178320230 Farah Safira 178320403

Cahaya Rahmawani 178320197 Yuni Agustin 178320203

JURUSAN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MEDAN AREA

2019

1
Berita Masalah Ekonomi Di Indonesia Tahun 2019

Kadin: Pelemahan Ekspor dan Impor Akibat Trickle Down Effect

Ahad 17 Mar 2019 15:57 WIB Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan


Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja
Kamdani menilai, perlambatan ekspor dan melemahnya impor bahan baku serta
barang modal berasal dari faktor eksternal. Tepatnya, trickle down effect (efek
menetes ke bawah) dari perlambatan ekonomi dunia. 

Shinta menilai, industri dalam negeri Indonesia sebenarnya tidak mengalami


masalah terlalu biasa. Pertama, secara historis, ekspor Februari hampir selalu di
bawah ekspor Januari dan Desember, pun dengan impor.

"Penyebabnya, konsumsi yang hampir selalu turun pasca natal dan tahun baru,"
katanya ketika dihubungi Republika, Ahad (17/3).

2
Kedua, kinerja industri Indonesia sebenarnya sedang tidak dapat meningkat.
Penyebabnya, pasar internasional tengah tidak memiliki appetite atau selera besar
untuk membeli. Saat ini, Shinta menuturkan, pasar internasional sedang
mengalami penurunan daya beli karena perang dagang.

Dampak dari perang dagang tersebut bahkan sudah menyebabkan perlambatan


industri manufaktur Cina yang mempengaruhi terhadap ekspor produk non-migas
di seluruh dunia. Ini sudah terindikasi sejak Januari 2019 berdasarkan survey
Caixin Purchasing Manager’s Index (PMI).

Jadi, Shinta menegaskan, pada dasarnya, industri Cina sedang melambat dan
mengalami penurunan daya beli. Dampaknya, permintaan atas barang-barang non
migas dari negara-negara pengekspor indut produksi seperti Indonesia turut
mengalami penurunan.

Selain itu, Shinta menambahkan, negara maju seperti Uni Eropa juga sedang
mengalami perlambatan. Ada dua faktor penyebab atas kondisi ini, yakni
beberapa komoditi pentingnya yang juga dicekal Amerika Serikat. "Selain itu, ada
ketidakpastian terkait penyelesaian Brexit pada akhir bulan ini," tuturnya.

Dengan kondisi tersebut, pelaku usaha internasional juga berada dalam zona wait
and see. Menurut Shinta, mereka tidak berani mengambil komitmen terhadap
aktivitas produksi yang berskala besar atau berkomitmen panjang.

Faktor lainnya, Indonesia tidak bisa memanfaatkan potensi pasar yang tercipta di
AS sejak perang dagang. Sebab, pada dasarnya, manufaktur Indonesia tidak dapat
memproduksi seluruh produk yang dapat menjadi substitusi terhadap produk yang
dicekal oleh AS dari Cina sejak perang dagang.

"Seluruh faktor ini menyebabkan trickle down effect terhadap kinerja produksi dan
ekspor kita," ucap Shinta.

Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan ekspansi ekspor ke pasar non


tradisional atau baru. Tapi, penetrasi ke tujuan tersebut tidak mudah dan
membutuhkan waktu karena terdapat berbagai kendala.

3
Misalnya, kurang familiarnya terhadap regulasi negara tujuan dan jalur
perdagangan antara Indonesia dengan negara tersebut yang masih kurang efisien.

Penyesuaian diri juga dibutuhkan dari pasar-pasar baru tersebut. Shinta


menekankan dibutuhkan waktu lama agar pasar-pasar non tradisional dapat
mensubstitusi potensi ekspor yang hilang akibat perlambatan di negara rekan
dagang tradisional Indonesia seperti UE, AS dan Cina.

Dalam hal ini, peranan pemerintah untuk membantu pengusaha dalam penetrasi ke
pasar-pasar baru menjadi sangat penting. Selain itu, daya beli masyarakat lokal
juga harus terus dijaga. "Sebab, kondisi dunia yang ‘melempem’ hanya dapat
menggantungkan pertumbuhan dari konsumsi dan investasi dalam negeri," ujar
Shinta.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor dan impor pada Februari
2019 mengalami penurunan. Untuk nilai ekspor, penurunan secara month-on-
month, mencapai 10,03 persen, yakni dari 13,97 miliar dolar AS pada Januari
2019 menjadi 12,53 miliar dolar AS pada bulan lalu.

Penurunan juga terjadi secara year-on-year (11,3 persen), dari 14,13 miliar dolar
AS pada Februari 2018.

Penurunan lebih besar terjadi pada impor. Pada Januari 2019, nilai impor
menyentuh 14,99 miliar dolar AS yang turun menjadi 12,20 miliar dolar AS pada
Februari 2019 atau turun sekitar 18,61 persen.

Secara year on year, penurunannya mencapai 13,98 persen, di mana impor pada
Februari 2018 mencapai 14,18 miliar dolar AS.

4
MASALAH

Dari berita diatas, masalah yang dialami Indonesia pada tahun 2019 ini adalah
perlambatan ekspor dan melemahnya impor bahan baku serta barang modal
dikarenakan berasal dari faktor eksternal. Tepatnya, trickle down effect (efek
menetes ke bawah) dari perlambatan ekonomi dunia. 

Dimana dikarenakan terjadinya perang dagang antara Cina dan Amerika Serikat
jadi industri di Cina pun sedang melambat dan mengalami penurunan daya beli,
sehingga ekspor Indonesia juga mengalami perlambatan karena pasar
internasional sedang mengalami penurunan daya beli karena perang dagang.

Selain itu, negara maju seperti Uni Eropa juga sedang mengalami perlambatan.
Ada dua faktor penyebab atas kondisi ini, yakni beberapa komoditi pentingnya
yang juga dicekal Amerika Serikat.

Dimana Indonesia tidak bisa memanfaatkan potensi pasar yang tercipta di AS


sejak perang dagang. Sebab, pada dasarnya, manufaktur Indonesia tidak dapat
memproduksi seluruh produk yang dapat menjadi substitusi terhadap produk yang
dicekal oleh AS dari Cina sejak perang dagang.

DAMPAK

Dampak yang dialami Indonesia yaitu pelemahan ekspor dan impor akibat trickle
down effect dari perang dagang, bahkan sudah menyebabkan perlambatan industri
manufaktur di Cina yang mempengaruhi terhadap ekspor produk non-migas di
seluruh dunia.

Karena industri di Cina sedang melambat dan mengalami penurunan daya beli.
Maka, permintaan atas barang-barang non migas dari negara-negara pengekspor
indut produksi seperti Indonesia turut mengalami penurunan.

5
Selain itu, jika negara yang tujuan ekspor kondisi ekonominya sedang turun maka
negara tersebut tidak akan meminta barang ke Indonesia. Analoginya  adalah jika
kita enggak punya pendapatan, barang dimurahin semurah apapun, kita tetap tidak
beli barang.

Hal ini menunjukkan mengenai menurunnya daya beli dari seluruh negara, satu
sama lain akan saling kena.

SOLUSI

Seperti yang sudah ada diberita di atas permasalahan tersebut dapat diatasi dengan
ekspansi ekspor ke pasar non tradisional atau baru. Tapi, penetrasi ke tujuan
tersebut tidak mudah dan membutuhkan waktu karena terdapat berbagai kendala.

Misalnya, kurang familiarnya terhadap regulasi negara tujuan dan jalur


perdagangan antara Indonesia dengan negara tersebut yang masih kurang efisien.
Penyesuaian diri juga dibutuhkan dari pasar-pasar baru tersebut. Dibutuhkan
waktu lama agar pasar-pasar non tradisional dapat mensubstitusi potensi ekspor
yang hilang akibat perlambatan di negara rekan dagang tradisional Indonesia
seperti UE, AS dan Cina.

Dalam hal ini, peranan pemerintah untuk membantu pengusaha dalam penetrasi ke
pasar-pasar baru menjadi sangat penting. Selain itu, daya beli masyarakat lokal
juga harus terus dijaga. Sebab, kondisi dunia yang ‘melempem’ hanya dapat
menggantungkan pertumbuhan dari konsumsi dan investasi dalam negeri.

Anda mungkin juga menyukai