Anda di halaman 1dari 4

1.

PENDAHULUAN

Manusia sebagai makhluk budaya mempunyai berbagai ragam kebutuhan. Kebutuhan


tersebut hanya dipenuhi dengan sempurna apabila berhubungan dengan manusia lainnya.
Hubungan tersebut dilandasi oleh ikatan moral yang pihak-pihaknya mematuhinya.
Berdasarkan memenuhi ikatan moral pihak-pihak memenuhi apa yang seharusnya dilakukan
dan dapat memperoleh apa yang harusnya didapati. Dalam pergaulan antar manusia juga
harus didasari dengan etika yang baik menjalankan aturan sesuai dengan norma yang berlaku
dilingkungan sekitar. Karena nilai yang di anut oleh masyarakat itu menjadi tolak ukur
kebenaran dan kebaikkan sebagai acuan untuk menata kehidupan pribadi dan menata
hubungan antar manusia, serta manusia dengan alam sekitarnya (Soekidjo,2015).
Kata etika secara etiomologi berasal dari kata yunani yaitu ethikos, ethos yang berarti
adat, kebiasaaan, praktik. Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan
merupakan filsafat atau pemikiran krisis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-
pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu, bukan merupakan suatu ajaran. Pengertian lain
tentang etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (Afandi, 2017).
Dari setiap kasus kedokteran mengandung refleksi etis. Kasus-kasus tersebut
menimbulkan pertanyaan mengenai pembuatan keputusan dan tindakan dokter bukan dari
segi ilmiah ataupun teknis seperti bagaimana menangani diabetes ataupun bagaimana
melakukan operasi double bypass, namun pertanyaan yang muncul adalah mengenai nilai,
hak-hak, dan tanggung jawab. Dokter akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan ini sesering
dia menghadapi pertanyaan ilmiah maupun teknis (Hanafiah, 2010).
Untuk mencapai suatu keputusan etik diperlukan empat kaidah dasar moral dan
beberapa aturan di bawahnya. Keempat kaidah dasar moral tersebut ialah:
1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak
otonomi pasien. Prinsip moral inilah yang kemudian melahirkan doktrin informed
consent. Dalam hal ini, seorang dokter wajib menghormati martabat dan hak manusia.
2. Prinsip beneficience, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan
demi kebaikan pasien. Dalam prisnip beneficience tidak hanya dikenal perbuatan untuk
kebaikan saja, tetapi juga perbuatan dengan sisi baik yang lebih besar daripada sisi
buruk. Dalam hal ini, seorang dokter harus berbuat baik, menghormati martabat
manusia, dan dokter tersebut harus berusaha secara maksimal agar pasiennya tetap
dalam kondisi sehat.
3. Prinsip non-malficience, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini terkenal sebagai primum non nocere atau
“above all do no harm”. Nonmalficience ialah suatu prinsip dimana seorang dokter
tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien dan memilih pengobatan yang
berisiko paling kecil bagi pasien yang dirawat atau diobati olehnya.
4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya. Keadilan (justice) merupakan
suatu prinsip dimana seorang dokter wajib memberikan perlakuan sama rata serta adil
untuk kebahagiaan dan kenyamanan pasien tersebut (Sfandyarie., 2010).
sebagai seorang dokter juga harus mengenal dasar disiplin kedokteran yang diatur
dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia (PerKKI) no. 4 Tahun 2011. Praktik
kedokteran lebih lanjut lagi diatur dalam Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran. Pentingnya ketiga unsur etik, dasar, dan hukum kedokteran adlaah kunci yang
harus dipegang seorang dokter untuk melakukan praktik kedokteran sebagai dokter terhadap
pasiennya.
Di dalam praktek kedokteran, tidak peduli apakah spesialisasinya maupun tempat
kerjanya, beberapa pertanyaan lebih mudah dijawab dibandingkan pertanyaan lain.
Melakukan reposisi fraktur simpel dan melakukan penjahitan luka robek simpel hanya
memberi sedikit tantangan kepada dokter yang sudah terbiasa melakukan prosedur tersebut.
Namun di pihak lain dapat saja ada ketidakpastian dan ketidaksetujuan yang besar mengenai
penanganan suatu penyakit, walaupun untuk penyakit yang sangat umum seperti TBC dan
hipertensi. Walaupun demikian, pertanyaan-pertanyaan etis di dalam pengobatan tidaklah
selalu menantang. Beberapa relatif mudah dijawab, terutama karena sudah ada consensus
bagaimana menghadapi situasi tersebut dengan benar (sebagai contoh, dokter harus selalu
menanyakan ijin pasien sebagai subjek penelitian). Pertanyaan lain lebih sulit, terutama jika
belum ada konsensus yang disepakati atau jika semua alternatif memiliki kekurangan
(sebagai contoh, menentukan rasio sumber daya pelayanan medis yang jarang/langka)
(IDI,2012).
Jadi apakah sebenarnya etika itu dan bagaimanakah etika dapat menolong dokter
berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu? Secara sederhana etika merupakan
kajian mengenai moralitas - refleksi terhadap moral secara sistematik dan hati-hati dan
analisis terhadap keputusan moral dan perilaku baik pada masa lampau, sekarang atau masa
mendatang. Moralitas merupakan dimensi nilai dari keputusan dan tindakan yang dilakukan
manusia. Bahasa moralitas termasuk kata-kata seperti ’hak’, ’tanggung jawab’, dan
’kebaikan’ dan sifat seperti ’baik’ dan ’buruk’ (atau ’jahat’), ’benar’ dan ’salah’, ’sesuai’ dan
’tidak sesuai’. Menurut dimensi ini, etika terutama adalah bagaimana mengetahuinya
(knowing), sedangkan moralitas adalah bagaimana melakukannya (doing). Hubungan
keduanya adalah bahwa etika mencoba memberikan kriteria rasional bagi orang untuk
menentukan keputusan atau bertindak dengan suatu cara diantara pilihan cara yang lain
(IDI,2012).
DAFTAR PUSTAKA

Afandi, K.J.F. 2017. Kaidah Dasar Bioetika dalam Pengambilan Keputusan Klinis yang Etis.
Majalah Kedokteran Andalas. 40(2):111-121.

IDI. 2012. Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. 2004.
Jakarta.

Hanafiah, M. Jusuf dan Amri Amir. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Buku
Kedokteran, Jakarta: EGC, 2010.
Soekidjo Notoatmodjo, 2015, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta
Isfandyarie, Anny. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku I, Jakarta:
Prestasi Pustaka, 2006.

Anda mungkin juga menyukai