Anda di halaman 1dari 11

Karakteristik dan struktur virus HIV :

Envelope Virus HIV berisi: 


a) lipid yang berasal dari membran sel host.
b) mempunyai 72 semacam paku yang dibuat dari gp 120 dan gp 41, setiap paku  disebut
trimer dimana terdiri dari 3 copy dari gp 120, gp 41.
c) Protein yang sebelumnya terdapat pada membran sel yang terinfeksi.
d) gp 120 :  glikoprotein  yang merupakan bagian dari envelope (sampul) yang tertutup oleh
molekul gula untuk melindungi dari pengenalan antibodi, yang berfungsi  mengenali secara
spesifik reseptor dari permukaan target sel dan secara tidak langsung berhubungan dengan
membran virus lewat membran glikoprotein.
e) gp 41 : transmembran glikoprotein yang berfungsi melakukan trans membran virus,
mempercepat fusion (peleburan) dari host dan membran virus dan membawa HIV masuk ke
sel host.
f) RNA dimer dibentuk dari 2 single strand dari RNA.
g)  Matrix protein : garis dari bagian dalam membran virus dan bisa memfasilitasi perjalanan
dari HIV DNA masuk ke inti host.
h) Nukleocapsid : mengikat RNA genome.
i)  Capsid protein : inti dari virus HIV yang berisikan 2 kopi dari RNA genom dan 3 macam
enzim (reverse transcriptase, protease dan integrase). 

Faktor Virulensi dan Patogenisitasnya :


1. Faktor Virulensi
Virulensi virus adalah kemampuan virus untuk menyebab- kan penyakit. Virulensi
virus ditentukan oleh empat faktor yaitu sebagai berikut.
a. Keberadaan dan aktivitas reseptor pada permukaan inang yang memudahkan virus
untuk melekat.
b. Kemampuan virus menginfeksi sel.
c . Kecepatan replikasi virus dalam sel inang.
d. Kemampuan sel inang dalam menahan serangan virus.
Human Immunodeficiency virus ( HIV) penyebab AIDS yang mematikan, virus ini
menyerang sel – sel darah putih jenis limfosit T, gejala penyakitnya adalah gejala gabungan
beberapa jenis penyakit karena menurunnya kekebalan tubuh.
2. Patogenisitas virus HIV
HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang memiliki molekul
reseptor membran CD4. Limfosit CD4+ merupakan sasaran yang paling disukai oleh
HIV.Limfosit CD4+berikatan kuat dengan gp120 HIVsehingga gp41 dapat memerantarai fusi
membran virus ke membran sel. Dua koreseptor permukaan sel, CCR5 dan CXCR4
diperlukan, agar glikoprotein gp120 dan gp41 dapat berikatan dengan 17 reseptor CD4+.
Koreseptor ini menyebabkan perubahan-perubahan konformasi sehingga gp41dapat
masuk ke membran sel sasaran.29Monosit dan makrofag mungkin rentan tehadap infeksi
HIV. Monosit dan makrofag yang terinfeksi dapat berfungsi sebagai reservoir untuk HIV
tetapi tidak dihancurkan oleh virus. HIV bersifat politronik dan dapat menginfeksi beragam
sel manusia, seperti sel Natural Killer(NK), limfosit B, selendotel, sel epitel, sel langerhans,
seldendritik, selmikorglia dan berbagai jaringan tubuh. Setelah virus berfusi dengan limfosit
CD4+, maka berlangsung serangkaian proses kompleks yang apabila berjalan lancar akan
terbentuknya partikel-partikel virus baru dari sel yang terinfeksi.
Limfosit CD4+ yang terinfeksi mungkintetap latendalam keadaan provirus atau mungkin
mengalami siklus-siklus replikasi sehingga menghasilkan banyak virus. Infeksi pada limfosit
CD4+ juga dapat menimbulkansipatogenitas melalui beragam mekanisme termasuk apoptosis
(kematian sel terprogram), anergi (pencegahan fusi sel lebih lanjut), atau pembentukan
sinsitium (fusi sel).
Partikel-partikel virus HIV yang akan memulaI proses infeksi biasanya terdapat di
dalam darah, sperma atau cairan tubuh lainnya dan dapat menyebar melalui sejumlah cara.
Cara yang paling umum adalah transmisi seksual melalui mukosa genital. Keberhasilan
transmisi virus itu sendiri sangat bergantung pada viral load individu yang terinfeksi. Viral
load ialah perkiraan jumlah copy RNA per mililiter serum atau plasma penderita. Apabila
virus ditularkan pada inang yang belum terinfeksi, maka akan terjadi viremia transien dengan
kadar yang tinggi, virus menyebar luas dalam tubuh inang. Sementara sel yang akan
terinfeksi untuk pertama kalinya tergantung pada bagian mana yang terlebih dahulu dikenai
oleh virus, bisa CD4+sel T dan manosit di dalam darah atau CD4+ sel T dan makrofag pada
jaringan mukosa.7,9,10
Ketika HIV mencapai permukaan mukosa, maka ia akan menempel pada limfosit-T
CD4+ atau makrofag (atau sel dendrit pada kulit). Setelah virus ditransmisikan secara seksual
melewati mukosa genital, ditemukan bahwa target selular pertama virus adalah sel dendrit
jaringan (dikenal juga sebagai sel Langerhans) yang terdapat pada epitel servikovaginal, dan
selanjutnya akan bergerak dan bereplikasi di kelenjar getah bening setempat. Sel dendritik ini
kemudian berfusi dengan limfosit CD4+ yang akan bermigrasi kedalam nodus limfatikus
melalui jaringan limfatik sekitarnya. Dalam jangka waktu beberapa hari sejak virus ini
mencapai nodus limfatikus regional, maka virus akan menyebar secara hematogen dan
tinggal pada berbagai kompartemen jaringan. Nodulus limfatikus maupun ekuivalennya
(seperti plak Peyeri pada usus) pada akhirnya akan mengandung virus. Selain itu, HIV dapat
langsung mencapai aliran darah dan tersaring melalui nodulus limfatikus regional. Virus ini
bereproduksi dalam nodus limfatikus dan kemudian virus baru akan dilepaskan. Sebagian
virus baru ini dapat berikatan dengan l imfosit CD4+ yang berdekatan dan menginfeksinya,
sedangkan sebagian lainnya dapat berikatan dengan sel dendrit folikuler dalam nodus
limfatikus. 7,9,10
Fase penyakit HIV berhubungan dengan penyebaran virus dari tempat awal infeksi ke
jaringan limfoid di seluruh tubuh. Dalam jangka waktu satu minggu hingga tiga bulan setelah
infeksi, terjadi respons imun selular spesifik HIV. Respons ini dihubungkan dengan
penurunan kadar viremia plasma yang signifikan dan juga berkaitan dengan awitan gejala
infeksi HIV akut. Selama tahap awal, replikasi virus sebagian dihambat oleh respons imun
spesifik HIV ini, namun tidak pernah terhenti sepenuhnya dan tetap terdeteksi dalam berbagai
kompartemen jaringan, terutama jaringan limfoid. Sitokin yang diproduksi sebagai respons
terhadap HIV dan mikroba lain dapat meningkatkan produksi HIV dan berkembang menjadi
AIDS.
Sementara itu sel dendrit juga melepaskan suatu protein manosa yang berikatan
dengan lektin yang sangat penting dalam pengikatan envelope HIV. Sel dendrit juga berperan
dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Pada jaringan limfoid sel dendrit akan
melepaskan HIV ke CD4+ sel T melalui kontak langsung sel ke sel. Dalam beberapa hari
setelah terinfeksi HIV, virus melakukan banyak sekali replikasi sehingga dapat dideteksi pada
nodul limfatik. Replikasi tersebut akan mengakibatkan viremia sehingga dapat ditemui
sejumlah besar partikel virus HIV dalam darah penderita. Keadaan ini dapat disertai dengan
sindrom HIV akut dengan berbagai macam gejala klinis baik asimtomatis maupun
simtomatis. Viremia akan menyebabkan penyebaran virus ke seluruh tubuh dan
menyebabkan infeksi sel T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer.9
Infeksi ini akan menyebabkan penurunan jumlah sel CD4+ yang disebabkan oleh efek
sitopatik virus dan kematian sel. Jumlah sel T yang hilang selama perjalanan dari mulai
infeksi hingga AIDS jauh lebih besar dibanding jumlah sel yang terinfeksi, hal ini diduga
akibat sel T yang diinfeksi kronik diaktifkan dan rangsang kronik menimbulkan apoptosis.
Sel dendritik yang terinfeksi juga akan mati.
Penderita yang telah terinfeksi virus HIV memiliki suatu periode asimtomatik yang
dikenal sebagai periode laten. Selama periode laten tersebut virus yang dihasilkan sedikit dan
umumnya sel T darah perifer tidak mengandung virus, tetapi kerusakan CD4+ sel T di dalam
jaringan limfoid terus berlangsung selama periode laten dan jumlah CD4+ sel T tersebut terus
menurun di dalam sirkulasi darah. Pada awal perjalanan penyakit, tubuh dapat cepat
menghasilkan CD4+ sel T baru untuk menggantikan CD4+ sel T yang rusak. Tetapi pada
tahap ini, lebih dari 10% CD4+ sel T di organ limfoid telah terinfeksi. Seiring dengan
lamanya perjalanan penyakit, siklus infeksi virus terus berlanjut yang menyebabkan kematian
sel T dan penurunan jumlah CD4+ sel T di jaringan limfoid dan sirkulasi.
Selama fase lanjutan (kronik) infeksi HIV ini penderita akan rentan terhadap infeksi
lain dan respons imun terhadap infeksi ini akan merangsang produksi virus HIV dan
kerusakan jaringan l imfoid semak in menyebar. Progresivitas penyakit ini akan berakhir
pada tahap yang mematikan yang dikenal sebagai AIDS. Pada keadaan ini kerusakan sudah
mengenai seluruh jaringan limfoid dan jumlah CD4+ sel T dalam darah turun di bawah 200
sel/mm3 (normal 1.500 sel/mm3). Penderita AIDS dapat mengalami berbagai macam infeksi
oportunistik, keganasan, cachexia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal (HIV nefropati), dan
degenerasi susunan saraf pusat (AIDS ensefalopati). Oleh karena CD4+ sel T sangat penting
dalam respons imun selular dan humoral pada berbagai macam mikroba, maka kehilangan sel
limfosit ini merupakan alasan utama mengapa penderita AIDS sangat rentan terhadap
berbagai macam jenis infeksi.
MEKANISME RESPON IMUN TERHADAP VIRUS HIV

Segera setelah terpajan HIV, individu akan melakukan perlawan imun yang intesif.
Sel – sel B menghasilkan antibodi – antibodi spesifik terhadap berbagai protein virus.
Ditemukan antibodi netralisasi terhadap regio – regio di gp 120 selubung virus danbagian
eksternal gp41. Didalam darah dijumpai kelas antibodi imunoglubin G (IgG) maupun
IgM, tetapi seiring dengan menurunnya tier IgG tetap tinggi sepanjang infeksi. Antibodi
IgG adalah antibodi utama yang dalam uji HIV.Antibodi dalam HIV dapat muncul dalam
1 bulan setelah infeksi awal ada sebagian besar orang yang terinfeksi HIV dalam 6 bulan
setelah pajanan. Namun, antibodi HIV tidak menetrilisasikan HIV atu menimbulkan
perlindungna terhadap infeksi lebih lanjut.
Produksi imunoglubulin di atur oleh limpositT  CD4+. Limposit T CD4+ di aktifak
oleh sel penyaji antigen (APC) untuk menghasilkan berbagai sitoken seperti interleukin-2
(IL-2),ang membantu meransang sel B untuk meenga mengmbelah dan berdiferensiasi
menjadi sel plasma.Sel-sel plasma ini kemudian menghasilkan imunoglobulin yang
spesifik untuk antigen yang meransang.sitokin IL-2 hanyalah salah satu dari banyak
sitokin yang mempengaruhi respon imun baik humoral maupun seluler.walaupun tinglkat
kontrol,ekspresi,dan potensi fungsi sitokin dalam fungsi HIV masih di teliti,namun
sitokin jelas sangat penting dalam aktifitas intrasel. Contoh, penambahan sitokin IL-12
( faktor stimulasi sel NK) tampakya melawan penurunana aktifitas dan fungsi sel NK
seperti yang terjadi pada infeksi HIV.Sel NK adaah: selyang penting karena dalam
kedaan normal sel-sel inin adalah yang mengenali dan menghancurkan sel yang terinfeksi
oleh virus dengan mengeuarkan perforin yang serupa denganyang di hasilkan oleh Cd-8.
Riset terakhir menunjanng idependen antibodi yang di perantarai oleh komplemen g
peran sitotoksik dan sel CD-8 dalam infeksi HIV. Peran sitotoksit sel CD-8 adalah
mengikat sel yang terinfeksi oleh virus dan mengeluarkan perforin,yang menyebapkan
kematian sel. Aktifitas sitotoksik sel Cd_8 sangat hebat pada awal infeksi HIV.Sel Cd-8
jugadapat menekan reflikasi HIV di dalam limpositCD4+.Penekanan ini terbukti
bervariasif tidak saja diantara orang yang berbeda tetapi jugpada orang yang sam dengan
perkembangan penyakit.aktifitas anti virus sel CD8 menurun dengan berkembang nya
penyakit.dengan semakin beratnya penyakit,jumlah limposit CD4+ juga berkurang.
Fungsi leglator esensial limposit Cd4+dalam iminitas seluluer tidak terbantahkan.
Leposit CD4+mengeluarkan berbagai simbahan dan sitokin yang memperlancar proses
misalnya produksi imonoglobulin dan pengaktifan sel T tambahan dan makrofag.2 sitokin
spesifik yang di hasilkan oleh limposit Cd4+-IL2 dan interfero gama berperan penting
dalam imunitas seluler. Pda kondisi norma, limposit CD4+ mengeluarkan intraferon gama
yang menarik makrofag dn mengintensifkan reaksi imun terhadap antigen apabila
limposit CD4+ tidak berfungsi deidak terinfngan benar maka produksi interferon gama
akan menuurun.IL2 penting untuk mempasilitasi tidaksaja produksi sel plasma tetapi juga
pertumbuhan dan aktifitas anti virus sel CD8 dan populasi CD4+.
Walaupun mekanisme pastti sitopategeitas limposit CD4+ belum di ketahui, Nmaun
dapat di ajukan argumen untuk berbagai hipotesis seperti apoptesis,anergi,pembentkan
sensitium,dan lisis sel.Antibodi dependen,komplemen,mediater,sytotoxity
( ADDC,sitotoksisitas yang dependen antibodi dan di peantarai komplemen).Mungkin
salah satu efek imun humoral yang membantu menyingkirkan limposit CD4+ yang
terinfeksi HIV.antibodi terhadap kedua glikocotain,gt 120 dan gp 41,mengiduksi
ADCC.sel- sel seperti sel Nkkemudian bertindak untuk mematikan el yang terinfeksi.
Apoptosis adalah salah satu teori yang di ajukan untuk menjelaskan berkurangnya
secara mencoloklimposi CD4+ dalam darah sepanjang perjalanan penyakit HV.banyak
limposit Cd4+ tampaknya melakukan ‘bunuh diri’ saat di ransang oleh suatu bahan
pengktif atau da gangguan pada signal pengaktif.limposit Cd4+ juga mungkin tidak
mampu membelah diri sehingga timbul fenomena yang di sebut anergi.teori lain
mengatakan adanya peran pembentukan sensitium. Pada pembentukan sensitium,limposit
CD4+ yang tidak terinfeksi berfungsi dengan sel- sel yang terinfeksi” the bystender
effec” sehinggamengeliminasi banyak sel yang tidak terinfeksi,banyak sel yang tidak
terinfeksi.akirnya,menurunnya jumlah limposit Cd4+ di sebapkan oleh terbentuknya virus
yang baru melalui proses pembentukan tunas, kemudian menyebapkan rupturnya
membran limposit Cd4+,yang secara efektif mematikan sel tersebut.
Adapun teori yasi sistem menjelaskan berkurangnya limposit Cd4+ gambaran utama
pada infeksi HIV tetaplah deplesi sel_sel tersebut.deplesi limposit CD4+ bervariasi di
antara pada pengidap infeksi HIV.Sebagian dari faktor yang mempengaruhi variasi ini
adalah fungsi sistem imun pejamu,adanya faktor lain di pejamu misalnya,penyakit
kongenital atau metabolik,devisisiensi gizi, patogen lain atau perbedaan virus.

Respon Imun terhadap Infeksi Virus HIV


Sesaat setelah infeksi virus HIV, viral load (kadar virus) individu yang terinfeksi akan
mengalami pertumbuhan secara ekponensial. Puncak dari kurva pertumbuhan tersebut
berkaitan dengan respon imun terhadap HIV. Respon imun terhadap HIV melibatkan
antibody maupun sel T mampu mengontrol jumlah virus HIV, tetapi tidak
mengeliminasinya.
Sesaat setelah infeksi, antigen p24 terdeteksi di dalam serum. Antigen yang bersirkulasi
tersebut tiba-tiba menghilang setelah si individu seroconvert, mengembangkan respon
antibodi terhadap envelope dan core antigen. Sebagian besar respon antibodi humoral tidak
menargetkan envelope virus dan tidak memiliki efek netralisasi. Antibodi netralisasi
menargetkan epitop tertentu di dalam region loop gp120 dan kompleks prefusi gp4120.
Sejumlah kecil antibodi baru muncul setelah tiga hingga enam bulan setelah infeksi dan
dalam titer yang rendah.

Sel T CD8+ (Sitotoksik)


Kelanjutan dari pengenalan antigen virus yang dipresentasikan oleh molekul MHC kelas I,
sel T CD8+ berubah menjadi sel CTL yang membunuh sel yang mempresentasikan antigen
virus. Kerja CTL dilakukan dengan cara induksi apoptosis dengan melepaskan molekul
sitotoksik perforin dan granzyme A/B atau dengan mengaktifkan jalur fast-ligand. Respon
CTL yang terdeteksi selama terjadiya infeksi kebanyakan hilang saat peyakit mencapai fase
akhir. Respon CTL menghambat replikasi virus dan berperan penting dalam kontrol awal
infeksi HIV dan mengendalikan setpoint virus.

Sifat kualitatif respon sel T CD8+ oleh setiap individu ditentukan oleh tipe MHC yang
dimilikinya. Secara umum respon terfokus pada minggu pertama hingga sebulan setelah
infeksi, dan kemudian meluas selama fase asymptomatic, dan akhirnya menurun. Pada
sejumlah individu mampu mengenali berbagai macam epitop. Epitop-epitop tersebut terdapat
pada sebagian besar protein yang diekspresikan oleh virus. Tidak semua CD8+ CTL memiliki
keefektifan yang sama. Pada individu terinfeksi HIV khususnya yang memiliki kadar virus
yang tinggi, CD8+ CTL tidak didominasi oleh sel memori tetapi oleh sel efektor yang
memiliki kemampuan replikasi terbatas.
    
Sel T CD8+ (Non Sitotoksik)
CD8 anti viral factor (CAF) non sitotoksik adalah mekanisme lain dari Sel T CD8+ untuk
mengendalikan replikasi virus pada sel CD4+ yang terinfeksi. Hasilnya bukan berupa
matinya sel CD4+. Chemokin β MIP-1α, MIP-1β dan RANTES yang ligand alaminya
adalah reseptor CCR5, membentuk komponen CAF. Komponen tersebut menghambat
masuknya virus, dengan mengganggu pengikatan gp120 ke HIV-coreceptor CCR5. Terdapat
juga komponen lain dari CAF yang berperan setelah virus masuk, yaitu dengan cara
menghambat transkripsi virus. Aktifitas CAF tertinggi terjadi pada saat awal proses penyakit.

Sel T CD4+
Pada infeksi virus selain HIV, bersamaan dengan Sel T CD8+, pengenalan peptida antigenik
virus mengaktifkan respon Sel T helper (Th) CD4+, mendorong ekspresi berbagai macam
sitokin termasuk IL-2, IFN-y dan tumor necrosis factor (TNF)-β) yang mengkoordinasi
respon multiseluler yang dimediasi sel untuk menghadapi masuknya virus.

Pada kasus infeksi HIV Sel T CD4+ distimulasi dengan cara yang sama. Sel T CD4+ spesifik
terhadap HIV terdeteksi di awal munculnya penyakit. Virus HIV lebih mudah menginfeksi
sel yang teraktifasi karena sel teraktivasi mengekspresikan co-receptor CCR5 pada level
tinggi. HIV juga lebih mudah bereplikasi pada sel yang sedang memperbanyak diri.

Sel T CD4+ sering terinfeksi pada tahap awal penyakit dan kemudian sukar untuk dideteksi.
Antigen spesifik Sel T CD4+ terdeteksi pada level rendah pada tahap infeksi berikutnya,
kecuali pada subpopulasi individu yang mampu mengendalikan infeksi secara alami (long-
term non-progressor). Sebagian besar Sel T CD4+ spesifik terhadap HIV mampu
memproduksi IFN-y tetapi bukan IL-2. Tanpa adanya bantuan CD4 membuat respon sel T
CD8+ dan respon antibodi netralisasi melemah, terutama respon terhadap varian baru virus.
Pada tahap berikutnya CD4 kehilangan kemampuan untuk merespon patogen lain, sehingga
bila terjadi infeksi oleh patogen lain tubuh tidak akan memberikan respon imun yang
memadai.

Antibodi
Envelope HIV adalah target utama respon imun humoral, antibodi netralisasi mentargetkan
epitop protein envelope. Virus mengembangkan berbagai macam mekanisme untuk
menghindari efek antibodi netralisasi. Beberapa epitop netralisasi bersifat cryptic,
tersembunyi di dalam struktur protein molekul dan terekspos hanya sementara pada saat
perubahan konformasional glikoprotein selama masuknya virus ke dalam sel atau
persentuhan dengan antibodi netralisasi sekunder.

Antibodi harus memiliki afinitas yang kuat dan cepat sehingga dapat berkompetisi dengan
ligand alaminya.Virus juga bisa melindungi epitop netralisasi utama dengan protein glikan
yang membentuk tameng yang memiliki habatan sterik terhadap interaksi anti-gp120. Cara
penghindaran lain adalah sifat glikoprotein yang mudah bermutasi yang membuat virus
terhindar dari antibodi netralisasi
REPLIKASI DAN SIKLUS HIDUP VIRUS
Replikasi Virus

Setelah terjadi fusi sel-virus, RNA virus masuk ke bagian tengah sitoplasma limfosit CD4+.
Setelah nukleokapsid dilepas, maka terjadi transkripisi terbalik (reverse transcription) dari  
satu untai-tunggal RNA menjadi DNA salinan (Cdna) untai-ganda virus. Integrase HIV
membantu insersi Cdna virus ke dalam inti sel pejamu. Apabila sudah terintegrasi ke dalam
kromosom sel pejamu, maka dua untai DNA sekarang menjadi provirus. Provirus
menghasilkan RNA messenger(mRNA), yang meninggalkan inti sel dan masuk ke dalam
sitoplasma. Protein-protein virus dihasilkan dari Mrna yang lengkap dan yang telah
mengalami splicing (penggabungan) setelah RNA genom dibebaskan ke dalam sitoplasma.
Tahap akhir produksi virus membutuhkan suatu enzim yang disebut HIV protease, yang
memotong dan menata protein virus menjadi segmen-segmen kecil yang mengelilingi RNA
virus, membentuk partikel virus menular yang menonjol dari sel yang terinfeksi. Sewaktu
menonjol dari sel pejamu, partikel-partikel virus tersebut akan terbungkus oleh sebagian dari
membran sel yang terinfeksi. HIV yang baru terbentuk sekarang dapat menyerang sel-sel
rentan lainnya di seluruh tubuh.

Replikasi HIV berlanjut sepanjang periode latensi klinis, bahkan saat hanya terjadi aktivitas
virus yang minimal di dalam darah. HIV ditemukan dalam jumlah besar di dalam limfosit
CD4+ dan makrofag di seluruh sistem limfoid pada semua tehap infeksi. Partikel-partikel
virus juga telah dihubungkan dengan sel-sel dendritik folikular, yang mungkin memindahkan
infeksi ke sel-sel selama migrasi melalui folikel-folikel limfoid.

Walaupun selama masa latensi klinis tingkat viremia dan replikasi virus di sel-sel
mononukleus darah perifer rendah, namun pada infeksi ini tidak ada latensi yang sejati. HIV
secara terus menerus terakumulasi dan bereplikasi di organ-organ limfoid. Sebagian data
menunjukkan bahwa terjadi replikasi  dalam jumlah besar dan pertukaran sel yang sangat
cepat, dengan waktu-paruh virus dan sel penghasil virus di dalam plasma sekitar 2 hari.
Aktivitas ini menunjukan bahwa terjadi pertempuran terus menerus antara virus dan sistem
imun pasien.  
SIKLUS HIDUP VIRUS

Secara umum bagaimana hiv bisa melakukan replikasi dapat dilihat dari gambar diatas.

1. Virus hiv bebas berkeliaran di dalam aliran darah, virus ini mencari sel CD4 untuk
dijadikan inang. Begitu dia menemukan sel CD4 maka virus akan menempelkan reseptornya
pada koreseptor sel CD4 yakni protein CCR5 atau CXCR4.

2. Begitu virus berhasil tertempel pada sel CD4 maka terjadi fusi antara dinding virus dengan
dinding sel cd4 yang menyebabkan terjadinya lubang dimana virus bisa menyuntikan bahan-
bahan genetiknya seperti RNA dan beberapa enzime ke dalam sitoplasma sel CD4.
3. Begitu material genetik virus masuk ke dalam sel CD4 maka, enzim reverse transcriptase
akan membuat ‘bayangan’ RNA virus sehingga terbentuknya dua untaian RNA. Dengan
bantuan enzim khusus maka dua RNA ini diubah menjadi DNA virus.

4. Selanjutnya enzim integrase membawa DNA virus untuk masuk ke dalam inti sel CD4. Di
dalam inti sel maka DNA virus akan digabungkan dengan DNA sel CD4.

5. Bila sel aktif maka DNA virus juga akan terbaca sehingga rantai panjang protein virus hiv
juga akan terbentuk. Protein ini akan keluar dari inti sel menuju sitoplasama.

6. Dalam sitoplasma sel maka protein ini membentuk virus yang belum matang dan akan
keluar darri sel CD4.

7. Virus yang belum matang keluar dari sel, dan tahap terakhir enzim protease virus akan
memotong protein dan terbentuklah virus yang matang yang akan mencari sel CD4 yang
masih sehat.

CARA DETEKSI

Pada saat paling awalpun deteksi HIV dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah, walaupun
tidak ada gejala apapun. Pada tahap kedua telah ada gejala klinis, misalnya kulitnya jelek,
gatal-gatal dan batuk pilek seperti flu biasa. Pada tahap ketiga akan mengalami penurunan
berat badan dan terkena TBC. Dan pada tahap keempat telah mengalami komplikasi, sulit
disembuhkan dan biasanya diikuti dengan kematian.[18]

Umumnya, ada tiga tipe deteksi HIV, yaitu tes PCR, tes antibodi HIV, dan tes antigen HIV.
[19]
Tes reaksi berantai polimerase (PCR) merupakan teknik deteksi berbasis asam nukleat
(DNA dan RNA) yang dapat mendeteksi keberadaan materi genetik HIV di dalam tubuh
manusia.[20] Tes ini sering pula dikenal sebagai tes beban virus atau tes amplifikasi asam
nukleat (HIV NAAT).[19] PCR DNA biasa merupakan metode kualitatif yang hanya bisa
mendeteksi ada atau tidaknya DNA virus.[21] Sedangkan, untuk deteksi RNA virus dapat
dilakukan dengan metode real-time PCR yang merupakan metode kuantitatif.[21] Deteksi asam
nukleat ini dapat mendeteksi keberadaan HIV pada 11-16 hari sejak awal infeksi terjadi. [10]
Tes ini biasanya digunakan untuk mendeteksi HIV pada bayi yang baru lahir, namun jarang
digunakan pada individu dewasa karena biaya tes PCR yang mahal dan tingkat kesulitan
mengelola dan menafsirkan hasil tes ini lebih tinggi bila dibandingkan tes lainnya.[19]

Untuk mendeteksi HIV pada orang dewasa, lebih sering digunakan tes antibodi HIV yang
murah dan akurat.[19] Seseorang yang terinfeksi HIV akan menghasilkan antibodi untuk
melawan infeksi tersebut.[19] Tes antibodi HIV akan mendeteksi antibodi yang terbentuk di
darah, saliva (liur), dan urin.[19] Sejak tahun 2002, telah dikembangkan suatu penguji cepat
(rapid test) untuk mendeteksi antibodi HIV dari tetesan darah ataupun sampel liur (saliva)
manusia.[22] Sampel dari tubuh pasien tersebut akan dicampur dengan larutan tertentu.
Kemudian, kepingan alat uji (test strip) dimasukkan dan apabila menunjukkan hasil positif
maka akan muncul dua pita berwarna ungu kemerahan. [22] Tingkat akurasi dari alat uji ini
mencapai 99.6%, namun semua hasil positif harus dikonfirmasi kembali dengan ELISA.[22]
Selain ELISA, tes antibodi HIV lain yang dapat digunakan untuk pemeriksaan lanjut adalah
Western blot.[20]

Tes antigen dapat mendeteksi antigen (protein P24) pada HIV yang memicu respon antibodi.
[19]
Pada tahap awal infeksi HIV, P24 diproduksi dalam jumlah tinggi dan dapat ditemukan
dalam serum darah.[19] Tes antibodi dan tes antigen digunakan secara berkesinambungan
untuk memberikan hasil deteksi yang lebih akurat dan lebih awal.[19] Tes ini jarang digunakan
sendiri karena sensitivitasnya yang rendah dan hanya bisa bekerja sebelum antibodi terhadap
HIV terbentuk.[19]

Kesemua cara di atas mendeteksi virusnya, tetapi cara paling murah adalah tes CD4 yang
hanya Rp 100,000 lebih di RS Kanker. CD4 tidak mengetes kehadiran virus HIVnya, atau
antibodi spesifik yang melawan HIV, CD4 mengukur sistem imunitas pasien. Sebelumnya
jika CD4 belum mencapai nilai tertentu, walaupun diketahui keberadaan virus HIV, maka
belum dilakukan pengobatan apapun, tetapi sekarang ini jika sudah diketahui keberadaan
virus HIV, maka berapapun nilai CD4 harus dilakukan pengobatan.Di Indonesia, dimana
masalah dana menjadi kendala, maka tes CD4 sudah cukup memadai untuk deteksi awal
kemungkinan keberadaan virus HIV. Dan perlu diingat bahwa HIV belum tentu menjadi
AIDS dengan pengobatan yang adekuat. CD4 juga berguna sebagai indikasi awal keberadaan
kanker atau segala hal yang berhubungan dengan sistem imunitas pasien. Jika CD4 telah
mencapai nilai tertentu, maka perlu dilakukan tes CD8.

Anda mungkin juga menyukai