http://masnurulhidayat.blogspot.com/2010/08/makalah-peran-pancasila-dalam-agama.html
NIM : 0914011102
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak dulu sampai sekarang seperti yang kita ketahui, kalau kepercayaan akan suatu
zat yang diagungkan itu sudah ada sejak zaman nenek moyang kita. Dari mulai menyembah
benda-benda yang dipercaya mempunyai kekuatan ghaib atau dengan kata lain nya animisme,
dan penyembahan akan ruh nenek moyang atau dinamisme.
Agama Asli Nusantara adalah agama-agama tradisional yang telah ada sebelum agama
Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu masuk ke Indonesia.
Mungkin banyak di kalangan masyarakat Indonesia sudah tidak lagi mengetahui bahwa
sebelum agama-agama "resmi" (agama yang diakui); Islam, Kristen Katolik, Kristen
Protestan, Hindu dan Buddha, kemudian kini Konghucu, masuk ke Nusantara atau Indonesia,
di setiap daerah telah ada agama-agama atau kepercayaan asli, seperti:
Sunda Wiwitan yang dipeluk oleh masyarakat Sunda di Kanekes, Lebak, Banten
Sunda Wiwitan aliran Madrais, juga dikenal sebagai agama Cigugur (dan ada beberapa
penamaan lain) di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat
Kaharingan di Kalimantan
Hingga kini, tak satu pun agama-agama dan kepercayaan asli Nusantara yang diakui di
Republik Indonesia sebagai agama dengan hak-hak untuk dicantumkan di KTP, Akta
Kelahiran, pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil, dsb.
Meskipun telah dijelaskan di dalam UUD 1945 dan UU pasal 29 ayat 1 dan 2 yang bunyi nya
“ Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa” (pasal satu), “ Negara Menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk Memeluk agamanya masing-masing dan beribadah
menurut agama dan kepercayaan itu”( pasal dua ). Dan didalam butiran pancasila sila pertama
yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Akan tetapi meski telah dijelaskan didalam UUD 1945 dan
Pasal 29 ayat 1 dan 2, tentang kebebasan beragama, namun agama yang hanya di akui di
Indonesia saja yaitu agama resmi seperti Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu,
Buddha, Konghucu.
Pada saat Piagam Jakarta di tetapkan dalam sidang BPUPKI, butiran yang pertama
menyatakan tentang “……dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya”
karena Negara Indonesia ini adalah Negara Beragama dan bukan Negara agama,sehingga
butiran yang pertama dari piagam Jakarta itu di gantu menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa “.
Sebenarnya seberapa besarkah peranan Agama didalam pancasila itu..? dan bagaimanakah
peranan agama dan pancasila itu didalam kehidupan sehari-hari…? Lalu bagaimana tentang
teks UUD 1945 alenia ke tiga yang menyatakan bahwa “berkat rahmat Allah yang Maha
Kuasa….” Begitu pentingnya peranan ini didalam sebuah Negara yang terdiri dari beberapa
agama, maka dari itu kami mengangkat “PERAN PANCASILA DALAM AGAMA” sebagai
judul dari makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
3. Bagaimana tentang isi dari alenia ke tiga dari UUD 1945 yang menyatakan ”Berkat
Rahmat Allah yang Maha Kuasa”..?
b. Untuk mengetahui bagaimana peranan agama dan pancasila dalam kehidupan sehari-
hari,
c. Untuk mengetahui mengapa UUD 1945 itu tidak boleh diubah oleh siapapun.
Penulisan makalah ini disusun sebagai salah satu pemenuhan tugas terstruktur dari mata
kuliah Pancasila.
Makalah ini diharapkan dapat menambah referensi pustaka yang berhubungan dengan Peran
Pancasila Dalam Agama.
BAB II
AGAMA-AGAMA
idaman rakyat dan tujuan negara ini. Kontroversi bukan saja antar-umat
politik. Sesuai dengan nurani bangsa ini, maka Pancasila adalah jalan
tidak puas dan mencoba menggantikan, apakah itu dari pihak ateis
proses kelahiran Negara ini, ada banyak usaha dan cara tertentu untuk
sekular?” Saya kira ini sebagai suatu pergolakan wajar, di mana banyak
agamais dan kekuatan nasionalis. Namun pada waktu itu, konflik sangat
Pancasila” atau lebih lugas lagi “negara gotong royong!” dan “semua
buat semua!”serta “tiada egoisme agama. Indonesia yang merdeka adalah ‘bukan Negara
Islam dan bukan Negara sekular,’ tetapi negara Pancasila. Kesimpulan tersebut sangat tepat,
karena sesuai konteks pergumulan Islam pada waktu itu, meskipun Soekarno juga
menyebutkan agama lain dalam pidatonya. Sebenarnya nilai-nilai luhur Pancasila sudah
digali sebelum pidatonya Sukarno.
Sebagai negara yang bermayoritas penduduk agama islam, Pancasila sendiri yang sebagai
dasar negara Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh agama yang tertuang dalam sila
pertama yang berbunyi sila “Ketuhanan yang Maha Esa”. yang pada awalnya berbunyi “…
dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya” yang sejak saat itu dikenal
sebagai Piagam Jakarta.
Namun dua ormas Islam terbesar saat itu dan masih bertahan sampai sekarang yaitu
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menentang penerapan Piagam Jakarta tersebut, karena
dua ormas Islam tersebut menyadari bahwa jika penerapan syariat Islam diterapkan secara
tidak langsung namun pasti akan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dan secara
“fair” hal tersebut dapat memojokkan umat beragama lain. Yang lebih buruk lagi adalah
dapat memicu disintegrasi bangsa terutama bagi provinsi yang mayoritas beragama nonislam.
Karena itulah sampai detik ini bunyi sila pertama adalah “ketuhanan yang maha esa” yang
berarti bahwa Pancasila mengakui dan menyakralkan keberadaan Agama, tidak hanya Islam
namun termasuk juga Kristen, Katolik, Budha dan Hindu sebagai agama resmi negara pada
saat itu.
Atas perubahan bunyi sila pertama menjadi Ketuhanan yang Maha Esa membuat para
pemeluk agama lain di luar islam merasa puas dan merasa dihargai.
Searah dengan perkembangan, sila Ketuhanan yang Maha Esa dapat dijabarkan dalam
beberapa point penting atau biasa disebut dengan butir-butir Pancasila. Diantaranya:
- Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaanya kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
- Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan
agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.
- Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antra pemeluk agama dengan
penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
- Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa
- Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut
hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
- Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada
orang lain.
Dari butir-butir tersebut dapat dipahami bahwa setiap rakyat Indonesia wajib memeluk satu
agama yang diyakini. Tidak ada pemaksaan dan saling toleransi antara agama yang satu
dengan agama yang lain.
BAB III
Keberagaman agama dan pemeluk agama di Indonesia menjadi sebuah kenyataan yang
tak terbantahkan. Kenyataan ini menuntut adanya kesadaran dari setiap pemeluk agama untuk
menjaga keharmonisan hubungan di antara mereka.
Semua pemeluk agama memang harus mawas diri. Yang harus disadari adalah bahwa mereka
hidup dalam sebuah masyarakat dengan keyakinan agama yang beragam. Dengan demikian,
semestinya tak ada satu kelompok pemeluk agama yang mau menang sendiri.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa di Indonesia terdapat berbagai macam suku bangsa,
adat istiadat hingga berbagai macam agama dan aliran kepercayaan. Dengan kondisi
sosiokultur yang begitu heterogen dibutuhkan sebuah ideologi yang netral namun dapat
mengayomi berbagai keragaman yang ada di Indonesia, Karena itu dipilihlah Pancasila
sebagai dasar negara.
Konsep negara Pancasila adalah konsep negara agama-agama. Konsep negara yang menjamin
setiap pemeluk agama untuk menjalankan agamanya secara utuh, penuh dan sempurna.
Negara Pancasila bukanlah negara agama, bukan pula negara sekuler apalagi negara atheis.
Sebuah negara yang tidak tunduk pada salah satu agama, tidak pula memperkenankan
pemisahan negara dari agama, apalagi sampai mengakui tidak tunduk pada agama manapun.
Negara Pancasila mendorong dan memfasilitasi semua penduduk untuk tunduk pada
agamanya. Penerapan hukum-hukum agama secara utuh dalam negara Pancasila adalah
dimungkinkan. Semangat pluralisme dan ketuhanan yang dikandung Pancasila telah siap
mengadopsi kemungkinan itu. Tak perlu ada ketakutan ataupun kecemburuan apapun, karena
hukum-hukum agama hanya berlaku pada pemeluknya. Penerapan konsep negara agama-
agama akan menghapus superioritas satu agama atas agama lainnya. Tak ada lagi asumsi
mayoritas – minoritas. Bahkan pemeluk agama dapat hidup berdampingan secara damai dan
sederajat. Adopsi hukum-hukum agama dalam negara Pancasila akan menjamin kelestarian
dasar negara Pancasila, prinsip Bhineka Tunggal Ika dan NKRI.
B. Alenia ke tiga dari UUD 1945 ”Berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa”
Seperti pada piagam jakarta, pada butiran yang pertama yang berbunyi ”dengan
kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluk nya”, yang kemudian di ubah
dalam sidang PPKI menjadi ”Kertuhanan yang Maha Esa”.
Terus bagaimana dengan UUD 1945 pada alenia yang ke tiga yang menyatakan ”Atas
berkart Rahmat Allah yang Maha kuasa”, bukankah Negara ini adalah Negara yang terdiri
dari berbagai macam agama yaitu Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha,
Konghucu masuk ke Indonesia, tapi mengapa hingga saat ini alenia ke tiga pada UUD 1945
tidak dirubah menjadi “Atas berkat Rahmat TRuhan Yang Maha kuasa”…?. Mengapa UUD
1945 itu tidak bias diubah..? apakah yang melatr belakangi itu..?
“Sesuai dengan kesepakatan MPR yang kemudian menjadi lampiran dari ketetapan
MPR No.IX/MPR/1999, Pembukaan UUD 1945 tidak akan diubah. Pembukaan UUD 1945
memuat cita-cita bersama sebagai puncak abstraksi yang mencerminkan kesamaan-kesamaan
kepentingan diantara sesame warga masyarakat yang dalam pernyataan nya harus hidup
ditengah pluralisme atau kemajemukan ( Pembukaan UUD 1945 juga membuat tujuan-tujuan
atau cita-cita bersama yang biasa juga disebut sebagai falsafah kenegaraan atau staatside (cita
negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common plat forms atau kalimatun
sawa diantara sesama warga masyarakat dalam kontek kehidupan bernegara). Inilah oleh
william G.Andrews disebut sebagai kesepakatan (concensus) pertama. Pancasila sebagai
dasar-dasar filosofis terdapat dalam pembukaan UUD1945 yang merupakan kesepakatan
pertama penyanggah konstitusionalisme. Dengan tidak diubahnya pembukaan UUD1945
maka tidak berubah pula kedudukan pancasila sebagai dasar-dasar filosofis bangunan Negara
republic Indonesia. Yang berubah adalah system dan institusi untuk mewujudkan cita-cita
berdasarkan nilai-nilai pancasila. Hal ini sesuai dengan makna pancasila sebagai ideology
terbuka yang hanya dapat dijalankan dalam system yang demokratis dan bersentuhan dengan
nilai-nilai dan perkembangan masyarakat.
Beberapa pihak secara tegas menyatakan bahwa pembukaan UUD 1945 sudah
menjadi harga mati, tidak dapat diubah ataupun di amandemen dengan mengemukaan
alasan :
1. Akan membuka luka lama dalam perdebatan ideology Negara yang pada awalnya dulu
ramai diperdebatkan.
3. Dalam sejarah, pembukaan UUD 1945 tersebut tidak pernah diganti sehingga terkesan
sacral.’
Lalu Apakah benar Pembukaan UUD 1945 tidak pernah berubah? dan apakah negara akan
bubar jika pembukaan UUD 1945 diubah? ada fakta menarik sejarah sbb :
Sejarah ketatanegaraan justru menunjukkan sebaliknya. UUD 1945, UUD RIS, dan UUDS
1950 masing-masing memiliki pembukaan atau mukadimah sendiri-sendiri. Ini jelas berbeda
dengan klaim sebagian pihak. Dengan melihat Keppres RIS No 48, 31 Januari 1950, yang
tercantum dalam Lembaran Negara 50-3 dan diumumkan 6 Februari 1950, dan UU No
7/1950 kita akan terkejut mendapati fakta sejarah bahwa Pembukaan UUD 1945 tidak
digunakan dalam UUD RIS dan UUDS 1950.
Sejarah juga menampilkan fakta yang menarik mengenai kalimat 'Atas berkat rahmat Allah'
di alinea ketiga Pembukaan UUD 1945. Disebutkan dalam Risalah Sidang BPUPKI dan
PPKI yang diterbitkan Sekneg RI (cetakan pertama, edisi ketiga, 1995, hlm 419-420) bahwa I
Gusti Ktut Pudja pada sidang pertama 18 Agustus 1945 berkata 'Ayat 3 atas berkat rahmat
Allah diganti saja dengan 'Tuhan', Tuhan Yang Maha Kuasa'.
Soekarno berkata 'Diusulkan supaya perkataan Allah Yang Maha Esa diganti dengan Tuhan
Yang Maha Esa. Kemudian Soekarno membaca teks Pembukaan dan pada awal alinea ketiga
ia membaca 'Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa ... dst'. Selesai membaca,
Soekarno berkata 'Setuju, tuan-tuan? (suara: setuju). Dengan ini sahlah Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Indonesia.'' Jadi, sebenarnya yang disahkan adalah kalimat 'Atas berkat
rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa'. Ini berbeda dengan Pembukaan UUD 1945 yang kita kenal
selama ini.
Fakta sejarah perubahan Pembukaan UUD 1945 ini semakin kontroversial ketika buku
Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945 (Departemen Penerangan RI, cet III, tanpa
tahun hal 11-29), mencantumkan alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 berbunyi 'Atas berkat
Rachmat Tuhan Yang Maha Kuasa'. Ini artinya sesuai dengan Berita Repoeblik Indonesia
(BRI) 1946 dan berbeda dengan naskah lain yang beredar selama ini. Naskah manakah yang
benar dan sejak kapan negara kita menjadi bubar karena perubahan ini?
Perubahan kata Allah dan Tuhan secara teologis bisa diperdebatkan maknanya. Namun,
dalam konteks hukum tata negara perubahan ini menunjukkan bahwa disadari atau tidak,
Pembukaan UUD 1945 sudah mengalami perubahan dan ternyata negara kita belum juga
bubar.
BAB IV
· KESIMPULAN
Berdasarkan latar belakang, pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Konsep negara Pancasila adalah konsep negara agama-agama. Konsep negara yang menjamin
setiap pemeluk agama untuk menjalankan agamanya secara utuh, penuh dan sempurna.
Negara Pancasila bukanlah negara agama, bukan pula negara sekuler apalagi negara atheis.
Sebuah negara yang tidak tunduk pada salah satu agama, tidak pula memperkenankan
pemisahan negara dari agama, apalagi sampai mengakui tidak tunduk pada agama manapun.
Negara Pancasila mendorong dan memfasilitasi semua penduduk untuk tunduk pada
agamanya.seperti yang telah di tekankan pada butiran pancasiala sila pertama yaitu
”Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Peranan agama dan pancasila di kehidupan sehari-hari saling singkron atau ketergantungan,
dimana Negara Indinesia yang penduduknya memeluk berbagai macam agama dan mayoritas
islam. Salah satu saja ada yang melenceng maka akan terjadi masalah yang besar karena
berhubungan dengan kepercayaan seseorang.
Dalam peranan nya UUD 1945 itu didalam pancasila dan agama juga memiliki kaitan yang
sangat kuat karena UUD 1945 telah menjelaskan butiran-butiran pancasila. UUD 1945 tidak
bisa diubah karen seperti yang dijelaskan diatas bahwa jiak di ubah maka akan menyebabkan
terpecahnya NKRI.
· SARAN
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pancasila dan Agama sama-sama untuk Pedoman untuk kehidupan kita. Tapi bukan
berarti pancasila adalah agama. Melainkan pancasila menekankan kepada kita saebagai warga
negara Indonesia yang mengunakan pancasila sebagai Ideologi dan landasan untuk memiliki
agama yang terteta pada sila ke-1 yang berbunyi ketuhana yang maha esa. Di indonesia pun
membebaskan warga negaranya untuk memeluk 5 agama yang telah di akui oleh negara.
Dengan kata lain “jangan pernah meng-agama-kan pancasila, dan jangan pula mem-
Pancasilakan agama.
http://akbarhelsis.blogspot.com/2014/11/peran-pancasila-dan-agama-di-indonesia.html
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mengapa banyak orang yang menetang pancasila dengan alasan agama. Masalah
pokoknya adalah kurangnya pemahaman mereka tentang ideologi pancasila dan
juga kesalahan merekadalam menafsirkan pelajaran pelajaran atau ilmu agama yang
mereka dapatkan. atau mungkin juga mereka mudah di pengaruhi dan di hasut dengan
alasan agama atau kebebasan.dengandemikian sangat mudah bagi orang orang yang ingin
menghancurkan negri ini memanfaatkan mereka.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
3. Apakah Pancasila masih bisa menjadi ideologi yang dianut oleh bangsa Indonesia
yang terdapat beragam kepercayaan (agama).?
PEMBAHASAN
Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari
Sanskerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan
dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.Pancasila
adalah pedoman luhur yang wajib di ta’ati dan dijalankan oleh setiap warga negara Indonesia
untuk menuju kehidupan yang sejahtera tentram,adil,aman,sentosa.
Agama adalah ajaran sistem yang mengatur tata keimanan kepada Tuhan Yang Maha
kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia an manusia
serta lingkungan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
Pancasila yang di dalamnya terkandung dasar
filsafat hubungan negara dan agama merupakan karya besar bangsa Indonesia melalui
The Founding Fathers Negara Republik Indonesia. Konsep pemikiran para pendiri
negara yang tertuang dalam Pancasila merupakan karya khas yang
secara antropologis merupakan
local geniusbangsa Indonesia (Ayathrohaedi dalam Kaelan, 2012).
Begitu pentingnya memantapkan kedudukan Pancasila,
maka Pancasila pun mengisyaratkan bahwa kesadaran akan adanya Tuhan milik semua
orang dan berbagai agama. Tuhan menurut terminologi Pancasila adalah Tuhan Yang
Maha Esa, yang tak terbagi, yang maknanya sejalan dengan
agama Islam, Kristen, Budha, Hindu dan bahkan juga Animisme (Chaidar, 1998: 36).
Hal ini relevan dengan ayat (1) dan (2) Pasal 29 UUD 1945 (Ali, 2009:
118).Jelaslah bahwa ada hubungan antara sila Ketuhanan
Yang Maha Esa dalam Pancasila dengan ajaran tauhid
dalam teologi Islam. Jelaslah pula bahwa sila pertama Pancasila yang merupakan prima
causa atau sebab pertama itu (meskipun istilah prima causa tidak selalu tepat, sebab
Tuhan terus-menerus mengurus makhluknya), sejalan dengan beberapa ajaran tauhid
Islam, dalam hal ini ajaran tentang tauhidus-shifat dan tauhidul-af’al, dalam pengertian
bahwa Tuhan itu Esa dalam sifat-Nya dan perbuatan-Nya.
Ajaran ini juga diterima oleh agama-agama lain di Indonesia (Thalib dan Awwas, 1999:
63). Prinsip ke-Tuhanan Ir. Soekarno itu didapat dari -atau sekurang-
kurangnya diilhami oleh uraian-uraian dari
para pemimpin Islam yang berbicara mendahului Ir.
Soekarno dalam Badan Penyelidik itu, dikuatkan dengan
keterangan Mohamad Roem. Pemimpin Masyumi yang
terkenal ini menerangkan bahwa dalam Badan Penyelidik
itu Ir. Soekarno merupakan pembicara terakhir; dan membaca pidatonya orang mendapat
kesan bahwa pikiranpikiran para anggota yang berbicara sebelumnya telah
tercakup di dalam pidatonya itu, dan dengan sendirinya
perhatian tertuju kepada (pidato) yang terpenting.
Komentar Roem, “Pidato penutup yang bersifat menghimpun pidato-
pidato yang telah diucapkansebelumnya” (Thalib dan Awwas, 1999:
63).Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung
makna bahwa manusia Indonesia harus mengabdi kepada satu Tuhan, yaitu Tuhan Yang
Maha Esa dan mengalahkan ilah-ilah atau Tuhan-Tuhan lain yang bisa
mempersekutukannya. Dalam bahasa formal yang telah
disepakati bersama sebagai perjanjian bangsa sama maknanya dengan kalimat “Tiada
Tuhan selain Tuhan Yang Maha Esa”. Di mana pengertian arti kata Tuhan adalah
sesuatu yang kita taati perintahnya dan kehendaknya.Prinsip dasar pengabdian adalah ti
dak boleh punya dua tuan, hanya satu tuannya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Jadi
itulah yang menjadi misi utama tugas para pengemban
risalah untuk mengajak manusia mengabdi kepada satu
Tuan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa .
Pada saat kemerdekaan, sekularisme dan pemisahan
agama dari negara didefinisikan melalui Pancasila. Ini penting untuk dicatat
karena Pancasila tidak memasukkan
kata sekularisme yang secara jelas menyerukan untuk
memisahkan agama dan politik atau menegaskan bahwa
negara harus tidak memiliki agama. Akan tetapi, hal-hal tersebut terlihat dari fakta
bahwa Pancasila tidak mengakui satu agama pun sebagai agama yang diistimewakan
kedudukannya oleh negara dan dari komitmennya
terhadap masyarakat yang plural dan egaliter. Namun,
dengan hanya mengakui lima agama (sekarang menjadi 6
agama: Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu,
Budha dan Konghucu) secara resmi, negara Indonesia
membatasi pilihan identitas keagamaan yang bisa dimiliki
oleh warga negara. Pandangan yang dominan terhadap Pancasila sebagai dasar negara I
ndonesia secara jelas menyebutkan tempat bagi orang yang menganut agama tersebut,
tetapi tidak bagi mereka yang tidak menganutnya.
Pemahaman ini juga memasukkan kalangan sekuler yang
menganut agama tersebut, tapi tidak memasukkan
kalangan sekuler yang tidak menganutnya. Seperti yang
telah ditelaah Madjid, meskipun Pancasila berfungsi
sebagai kerangka yang mengatur masyarakat di tingkat
nasional maupun lokal, sebagai individu orang Indonesia bisa dan bahkan didorong untuk
memiliki pandangan hidup personal yang berdasarkan agama (An-Na’im, 2007: 439).
Dalam hubungan antara agama Islam dan Pancasila,
keduanya dapat berjalan saling menunjang dan saling
mengokohkan. Keduanya tidak bertentangan dan tidak
boleh dipertentangkan. Juga tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus membuang
dan menanggalkan yang lain. Selanjutnya Kiai Achamd Siddiq menyatakan bahwa salah
satu hambatan utama bagi proporsionalisasi ini berwujud
hambatan psikologis, yaitu kecurigaan dan kekhawatiran
yang datang dari dua arah (Zada dan Sjadzili (ed), 2010: 79). hubungan negara dengan
agama menurut NKRI yang berdasarkan Pancasila adalah sebagai berikut (Kaelan, 2012:
215-216):
b. Bangsa Indonesia adalah sebagai bangsa yang
berKetuhanan yang Maha Esa. Konsekuensinya setiap
warga memiliki hak asasi untuk memeluk dan
menjalankan ibadah sesuai dengan agama masingmasing.
g. Segala aspek dalam melaksanakan dan
menyelenggatakan negara harus sesuai dengan nilainilai Ketuhanan yang Maha Esa
terutama norma-norma Hukum positif maupun norma moral baik moral agama maupun moral
para penyelenggara negara.
Berdasarkan kesimpulan Kongres Pancasila (Wahyudi (ed.), 2009: 58), dijelaskan bahwa
bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Religiusitas bangsa Indonesia ini,
secara filosofis merupakan nilai fundamental yang
meneguhkan eksistensi negara Indonesia sebagai negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha
Esa. Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan dasar kerohanian bangsa dan menjadi
penopang utama bagi persatuan dan kesatuan bangsa
dalam rangka menjamin keutuhan NKRI. Karena itu, agar terjalin hubungan selaras dan
harmonis antara agama dan negara, maka negara sesuai dengan Dasar Negara Pancasila
wajib memberikan perlindungan kepada agama-agama di Indonesia.
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” [Pasal 29 ayat (1) UUD 1945] serta
penempatan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dalam Pancasila mempunyai
beberapa makna, yaitu:
Pertama, Pancasila lahir dalam suasana kebatinan untuk melawan kolonialisme dan
imperialisme, sehingga diperlukan persatuan dan persaudaraan di antara komponen bangsa.
Sila pertama dalam Pancasila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi faktor penting untuk
mempererat persatuan dan persaudaraan, karena sejarah bangsa Indonesia penuh dengan
penghormatan terhadap nilai-nilai ”Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Kedua, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta berkesimpulan bahwa sila
”Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah sebab yang pertama atau causa prima dan sila
”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”
adalah kekuasaan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk melaksanakan
amanat negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat. Ini berarti, ”Ketuhanan
Yang Maha Esa” harus menjadi landasan dalam melaksanakan pengelolaan negara dari
rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat.
Ketiga, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta juga berkesimpulan bahwa
sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus dibaca sebagai satu kesatuan dengan sila-sila lain
dalam Pancasila secara utuh. Hal ini dipertegas dalam kesimpulan nomor 8 dari seminar tadi
bahwa: Pancasila adalah (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan
beradab, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan) yang berkerakyatan dan yang
berkeadilan sosial; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan Yang Maha
Esa, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan), yang berkerakyatan dan yang berkeadilan
sosial; (3) Persatuan Indonesia (kebangsaan) yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, berkerakyatan dan berkeadilan sosial; (4)
Kerakyatan, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan
beradab, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan) dan berkeadilan sosial; (5) Keadilan
sosial, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab,
yang bepersatuan Indonesia (berkebangsaan) dan berkerakyatan. Ini berarti bahwa sila-sila
lain dalam Pancasila harus bermuatan Ketuhanan Yang Maha Esa dan sebaliknya Ketuhanan
Yang Maha Esa harus mampu mengejewantah dalam soal kebangsaan (persatuan), keadilan,
kemanusiaan, dan kerakyatan.
Keempat, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” juga harus dimaknai bahwa
negara melarang ajaran atau paham yang secara terang-terangan menolak Ketuhanan Yang
Maha Esa, seperti komunisme dan atheisme. Karena itu, Ketetapan MPRS No. XXV Tahun
1966 tentang Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham
atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme masih tetap relevan dan kontekstual. Pasal 29
ayat 2 UUD bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing …” bermakna bahwa negara hanya menjamin kemerdekaan untuk
beragama. Sebaliknya, negara tidak menjamin kebebasan untuk tidak beragama (atheis). Kata
“tidak menjamin” ini sudah sangat dekat dengan pengertian “tidak membolehkan”, terutama
jika atheisme itu hanya tidak dianut secara personal, melainkan juga didakwahkan kepada
orang lain
Indonesia sebagai negara Islam yang utuh
maka hal tersebut dapat memojokkan umat beragama lainnya. Yang lebih buruk
lagi adalah akan memecah belah bangsa ini khususnya bagi provingsi-provingsi yang
sebagian besar penduduknya nonmuslim. Karena itulah sampai detik ini bunyi sila pertama
adalah “ketuhanan yang maha esa” yang
berarti bahwa Pancasila mengakui dan menyakralkan keberadaan Agama, tidak
hanya Islam namun termasuk juga Kristen, Katolik, Budha, khonhucu dan Hindu
sebagai agama resmi negara pada saat itu.
1. Ketuhanan Yang Maha Esa, sila ini kerat aitannya denagn rukun Islam yang pertama yaitu
syahadat. Secara umum, sila ini menerangkan tentang ketuhanan begitu pun syahadat yang
mempunyai makna pengakuan terhadap tuhan yaitu Allah SWT. Selain itu, kata Esa sendiri
berarti tunggal, yang sebagaimana yang kita ketahui bahwa Isalm sebagai agama mayoritas
penduduk negeri ini mempunyai tuhan tunggal Allah SWT.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab sila kedua pancasila, berkaitan dengan rukun
Islam kedua yaitu Shalat. Shalat dalam Islam selain sebagai ibadah wajib juga
dilakukan untuk mendidik manusia menjadi manusia yang beradab. Sholat adalah
sebuah media untuk mencegah perbuatan yang tidak terpuji, sebagai mana yang di
firmankan oleh Allah bahwa Shalat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar.
3. Persatuan Indonesia yang artinya seluruh elemen rakyat yang ada di Indonesia yang
terdiri dari berbagai macam suku dan adat bersatu dan membentuk kesatuan dalam
wadah bangsa Indonesia. Kaitannya dengan itu, persatuan terbentuk ketika jurang
pemisah sudah tidak ada lagi di masyarakat. salah satu jurang pemisah yang paling
nyata yaitu jurang antara yang miskin dan yang kaya. Untuk menyatukan jurang
pemisah tersebut maka di agama Islam diwajibkan membayar zakat bagi orang-orang
kaya yang akan disalurkan untuk kepentingan kaum miskin dan duafa. Zakat yang
notabennya adalah rukun Islam ketiga sangat erat kaitannya dengan poin pancasila
ketiga tersebut. Dengan zakat akan terbentuk rasa kasih sayang pada umat yang akan
menghasilkan persatuan yang di cita-citakan.
4. Kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan sangat erat kaitannya dengan rukun islam keempat yaitu puasa. Dengan
pusas akan terbentuk sifat bijaksana dan kepemimpinan. Ciri orang bijaksana, yaitu ia
mampu merasakan dan mempumnyuai rasa kasih sayang sesame, semua itu adalah
hikmah dari puasa. Selain itu, dalam menentukan waktu puasa, perlu dilakukan suatu
musyawarah yang dikenal dengan siding istbat.
5. Keadialan sosial bagi seluruh rakyat Indionesia. Pada rukun Islam, terdapat yang
namanya haji. Haji adalah proses sosial yang terbesar di dunia ini, dimana setiap
orang datang dari berbagai negara dengan berbagai bahasa dan kebiasaan bergabung
menjadi satu dalam satu tempat dan waktu dalam kedudukan yang sama. Di dalalam
haji, tidak memandang itu siapa dan siapa, semuanya sama, pakaiannya sama dan
peraturan dan hukumnya sama. Semua itu adalah cerminan dari keadilan tuhan.
“Bangsa kita adalah bangsa yang relijius; juga,
bangsa yang menjunjung tinggi, menghormati dan mengamalkan ajaran agama masing-
masing. Karena itu, setiap umat beragama hendaknya
memahami falsafah Pancasila itu sejalan dengan nilai-nilai ajaran agamanya masing-
masing. Dengan demikian, kita akan menempatkan
falsafah negara di posisinya yang wajar. Saya berkeyakinan dengan sedalam-
dalamnya bahwa lima sila di dalam Pancasila itu selaras dengan ajaran agama-agama
yang hidup dan berkembang di tanah air. Dengan demikian, kita dapat
menghindari adanya perasaan kesenjangan antara meyakini dan mengamalkan ajaran-ajaran
agama, serta untuk menerima Pancasila sebagai
falsafah negara (Yudhoyono dalam Wildan (ed.), 2010: 172).
Dengan penerimaan Pancasila oleh hampir seluruh
kekuatan bangsa, sebenarnya tidak ada alasan lagi untuk mempertentangkan nilai-
nilai Pancasila dengan agama mana pun di Indonesia. Penerimaan sadar ini memerlukan
waktu lama tidak kurang dari 40 tahun dalam perhitungan
Maarif, sebuah pergulatan sengit yang telah menguras
energi kita sebagai bangsa. Sebagai buah dari pergumulan
panjang itu, sekarang secara teoretik dari kelima nilai
Pancasila tidak satu pun lagi yang dianggap berlawanan dengan agama. Sila pertama
berupa “Ketuhanan Yang Maha Esa” dikunci oleh sila kelima.
Diharapkan sebagai bangsa indonesia yang rakyatnya memiliki berbagai
macam suku , budaya dan agama, harus saling menghormati, manghargai dan
menyayangi antara satu suku dan suku lainnya dan antara satu agama dan agama lainnya.
Agar timbul kedamaian dan kerukunan di negara ini.
Jangan Hanya karena merasa berasal dari agama mayoritas, kita
merendahkan umat yang berbeda agama ataupun membuat aturan yang secara langsung
dan tidak langsung memaksakan aturan agama yang dianut atau standar agama tertentu
kepada pemeluk agama lainya dengan dalih moralitas.
Hendaknya kita tidak menggunakan standar sebuah agama tertentu untuk
dijadikan tolak ukur nilai moralitas bangsa Indonesia
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan latar belakang, pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Sebagai negara yang terdiri dari berbagai macam agama, suku, ras dan
bahasa Pancasila adalah ideologi yang sangat baik untuk diterapkan di negara
Indonesia. Sehingga jika ideologi Pancasila diganti oleh ideologi yang berlatar belakang
agama, akan terjadi ketidaknyamanan bagi rakyat yang memeluk agama di luar agama yang
dijadikan ideologi negara
tersebut.Dengan tetap menjunjung tinggi ideologi Pancasila sebagai dasar negara,
maka perwujudan untuk menuju negara yang aman dan sejahtera pasti akan tercapai.
B. Saran
Untuk mengembangkan nilai-nilai Pancasila dan memadukannya dengan
agama, harus memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Selain itu, kita juga harus
mempunyai kemauan yang keras guna mewujudkan negara Indonesia yang aman, makmur
dan nyaman bagi setiap orang yang berada di dalamnya serta selalu rukun antar umat
beragam dengan cara saling menghormati dan menghargai.
DAFTAR PUSTAKA
Notonagoro. 1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila dengan Kelangsung
an Agama, Cet. 8. Jakarta: Pantjoran Tujuh.
http://www.teoma.com
http://www.goodgovernance-bappenas.go.id/artikel_148.htm
http://www.detik.com
http://kangmoes.com/artikel-tips-trik-ide-menarik-kreatif.definisi/pengertian-agama.html
http://suraya-atika.blogspot.com/2014/11/pancasila-dan-agama.html
Islamisasi Indonesia lewat politik dakwah (Collins, 2004) sebenarnya telah berjalan secara
pasti sejak awal Orde Baru hingga puncaknya saat berjalan seiring dengan Penguasa dalam
ICMI menjadi letak mendasar bagi Islamisasi Indonesia (Hefner, 1997). Seruan Hisbutahir
Indonesia (HTI) dan simpatisan politik Islamisasi lainnya tantang shariah Islam sebagai
solusi kini memuncak pada gol tidaknya RUU Anti Pornoaksi dan Pornografi (APP) atau kini
yang berubah nama menjadi RUU Anti Pornografi (AP) yang kontroversial itu. Kaum
Nasionalis banyak yang melihat bahwa ini adalah awal dari shariatisasi Indonesia. Teman
dari Bali menyatakan kekhawatirannya pada penulis bahwa golnya RUUP ini adalah tanda
dari Islamisasi Indonesia. Terlihat dari wacana ini bahwa semenjak euforia reformasi Islam
adalah wacana politik di public dan elite pemimpin yang Islamis. Media massa dan elite
Muslim yang duduk di pemerintahan tengah ‘haus’ akan keislaman yang otentik (bahkan
ironisnya cenderung ke arah konsupmtivisme akut). Sementara itu, wacana Pancasila oleh
kaum Nasionalis terasa direduksi menjadi isu kebangsaan dan kebinekaan yang boleh jadi
merupakan kegamangan akan trauma stigmatisasi Pancasila di bawah Rezim Orba. Diakui
atau tidak ‘perasaan’ kaum nasionalis ini menumpulkan wacana Pancasila sebagai Dasar
Negara RI.
Walaupun demikian, meski wacana Islam sebagai solusi bangsa sangatlah lantang sebenarnya
kaum Islamis ini juga belum sepenuhnya mengerti bagaimana Islam menjawab secara riil
permasalahan bangsa yang multietnis, multiras, multikeyakinan, dan multikultur. Hal ini
dikarenakan Islam yang tidak tunggal (Lawrence, 1998) itu hanya mengulang-ulang kembali
perdebatan yang ada pada sidang Konstituante 1957. Bahkan kaum nasionalispun sepertinya
terbawa arus debat kusir yang tak berkesudahan tentang dasar negara yang cocok untuk
Bangsa Indonesia yang multi segalanya ini, tanpa pernah serius mengerti dan menjalankan
esensi untuk apa Dasar Negara itu dibuat. Semua energi kaum Islamis dan Nasionalis pada
akhirnya hanya berkutat payah dan letih hingga berbusa pada debat material Dasar Negara
daripada bagaimana menjalankan dan mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Mengapa
bisa seperti ini keadaannya dan bagimana seharusnya umat Islam dan umat agama lainnya
menyikapi krisis kebangsaan dan kenegaraan kita ini? Bagaimana dengan Pancasila?
Kalau kita menengok kembali perdebatan tentang Pancasila sebagai Dasar Negara NKRI di
sidang Konstituante 1957, tampak jelas bahwa keberatan kaum agama lain terhadap klaim
keunggulan Islam sebagai Dasar Negara adalah Islam dalam sejarahnya di dunia maupun di
Indonesia masih mengandung ketidakadilan dalam artian demokrasi modern. Prof Mr. R.A.
Soehardi dari partai Katholik dan perwakilan dari kaum nasionalis seperti Soedjatmoko dan
sebaginya serta wakil agama lain dalam sidang tersebut dengan tegas menyatakan bahwa
nilai-nilai Pancasila yang ada seperti yang dijabarkan oleh pendiri Bangsa ada di setiap
agama termasuk Islam maupun Katholik dan sebagainya. Oleh karenanya, Pancasila lebih
luas dan universal dari pada pandangan Islam yang meletakkan umat agama lain dalam status
dibawahnya (dzimmi, pen). Ada ketidakadilan yang signifikan dalam menempatkan status
dzimmi bagi bangsa yang didirikan diatas pengorbanan semua kaum yang ingin menjadi satu
bangsa dalam satu tatanan kenegaraan, NKRI. Keberatan lainnya adalah bahwa fakta sejarah
yang memperlihatkan bahwa penguasa dan kaum intelektual Islam zaman dahulu di dunia
maupun di Indonesia hingga kini selalu dalam perbedaan dalam menginterpretasi dan
memaknai (shariat) Islam. Bila direfleksikan pada kondisi sekarang ini, dunia Islam seperti
Iran dan Pakistan misalnya penuh dengan pertentangan ideologi Islam yang bahkan menyeret
umat Islam pada perpecahan yang berdarah antar sesama Muslim dan lebih senang
melupakan makna dan tujuan berbangsa dan bernegara. Hal ini karena politik Islam selama
ini lebih cenderung pada politik ideologi daripada politik kebangsaan dan kebernegaraan.
Politik shariat Islam boleh jadi hingga kini masih berkutat pada politik interpretasi ideologi
(teologis). Berdakwah politis untuk mencapai satu shariat Islam sepertinya jauh dari pada
kenyataan, dan ini akan berakibat fatal karena nafsu syahwat kekuasaan politik lebih dominan
dan menarik daripada niat untuk membangun kehidupan yang rahmatan lil alamin dalam satu
bangsa dan negara.
Umat Islam dan umat agama lainnya di Indonesia dalam kebangsaan yang tunggal ini
sebenarnya lebih memungkinkan untuk bekerjasama dalam membangun bangsa, lepas dari
keterpurukkan ekonomi maupun sosial, dan filsafat Pancasila disini bisa menjadi kalimat al
sawaauntuk semua golongan. Hal inilah yang sebenarnya menjadi ‘kesepakatan’ bersama
dalam rekap laporan Komisi I Konstituante Tentang Dasar Negara 1957. Nilai dan falsafah
Pancasila bagi dasar negara Indonesia tidak diragukan lagi ada di setiap agama yang
menjunjung keadilan dan kemanusiaan. Sesuatu dasar neagra yang memuat semua hal yang
merupakan kepribadian luhur bangsa Indonesia, dijiwai semangat revolusi 17 Agustus 1945
yang menjamin hak asasi manusia dan menjamin berlakunya keadilan sosial bagi seluruh
rakyat, yang menjadikan musyawarah sebagai dasar segala perundingan dan penyelesaian
mengenai segala persoalan kenegaraan, menjamin kebebasan beragama dan beribadat dan
berisikan sendi-sendi perikemanusiaan dan kebangsaan yang luas .
Terpuruknya suatu bangsa yang memiliki pandangan yang luhur seperti Indonesia kini
bukanlah kesalahan dan kegagalan dari dasar negaranya Pancasila. Bahkan fakta sosial bahwa
banyak umat agama yang terpuruk bukan berarti agama itu salah atau gagal. Pandangan bijak
seperti ini sebenarnya telah diucapkan oleh para wakil Komisi I di sidang Konstituante ini.
Kiranya pernyataan ini adalah pernyataan bijak yang abadi. Islam atau agama apapun dalam
sejarah bangsa dan negara di dunia ini banyak yang mengalami kegagalan dan kehancuran,
hal ini dikarenakan penguasa saat itu tidaklah demokratis dan menjunjung keadilan bagi
terciptanya kesejahteraan rakyatnya. Hal itu diperparah oleh elite penguasa dan agama yang
korup, mementingkan kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Pancasila juga mengalami
hal itu terutama sejak (dan bila) penguasa melupakan tujuan dari pancasila itu sendiri yakni
menciptakan keadilan sosial dan ekonomi bagi seluruh rakyatnya. Jadi bukan salah Pancasila
apalagi Agama bila suatu bangsa terpuruk, namun lebih daripada itu semua dalah kesalahan
elite penguasa dan agama yang rakus pada kekuasaan dan kemakmuran diri sendiri. Namun
demikian, dibanding dengan agama yang selalu eksklusif sifatnya, Pancasila dengan nilai
demokratisnya lebih menjanjikan bagi suatu kebangsaan yang multi-segalanya seperti
Indonesia ini.
Akan tetapi, bukan berarti dasar negara tidak boleh diganti (dengan suatu agama misalnya)
seperti yang diingatkan oleh Soedjamoko di Sidang Konstituante ini. Sebab bila rakyat semua
berkehendak untuk dirubah maka sah lah dasar negara yang disepakatinya nanti. Walaupun
demikian, Soedjatmoko mengingatkan bahwa tujuan dasar negara itu adalah untuk
menciptakan keadilan, kemanusiaan, dan kemakmuran sebesar-besarnya bagi seluruh bangsa.
Hal yang hanya bisa diciptakan dalam mekanisme demokrasi modern. Disinilah arti daripada
demokrasi modern bagi semua agama yang memiliki naluri eksklusifitas bisa direkonstruksi
demi tujuan yang lebih mulia yakni kemanusiaan yang adil dan beradab dalam mencapai
kesejahteraan sosial dan ekonomi serta politik yang seluas-luasnya. Demokrasi bukan berarti
kesempatan bagi sekelompok elite agama untuk memaksakan kehendaknya seperti halnya
tampak dalam kasus akhir-akhir ini di Indonesia lewat Islamisasi Perda maupun RUUP yang
sepihak tanpa adanya musyawarah dan rasa keadilan.
Meskipun begitu, nilai etik dan moral pada Pancasila sesungguhnya berasal dari nilai-nilai
tradisi dan agama itu sendiri yang tentu saja musti disempurnakan dengan imbangan nilai-
nilai kemanusiaan modern seperti yang dimaktub dalam deklarasi HAM. Doktrin Agama
yang tumbuh dalam ruang dan waktu sejarah tertentu jelas mengalami dislokasi dengan rasa
budaya dan kemanusiaan yang ada, apalagi agama yang datang dari satu daerah ke daerah
lain. Dislokalitas dan temporalitas agama jelas terkandung didalamya suatu nilai budaya
tertentu -misal Islam dan Arab atau Kristen dan Barat. Negoisasi dan akulturasi yang terjadi
di ruang dan waktu sejarah selanjutnya juga ikut mewarnai sosok agama tersebut hingga
tercipta simbiosis semacam Islam Jawa atau Kristen Batak. Nilai-nilai modern ini sebenarnya
tumbuh dari pengalaman manusia dalam mencari dan mamaknai keadilan dan kemanusiaan
akibat perjumpaan antar dan inter agama dan budaya. Pancasila yang tumbuh dari
kepribadian bangsa inilah (yakni agama yang memiliki nilai demokrasi modern) yang akan
mampu membawa manusia menjalani dan mengekspresikan agamanya menjadi lebih dewasa.
Beragama dalam bingkai keindonesiaan berarti mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan
berpancasila dalam segala tindakan etik dan moral kita sejatinya buah dari religiusitas
beragama yang dewasa dan modern. Celakanya agama modern sekarang lebih berorientasi
pada masa lalu yang dianggap otentik dan murni, mirip dengan Pancasila di Zaman Orba
yang memfosilkan Pancasila itu sendiri.
PEMAHAMAN DAN PELANGGARAN TERHADAP PANCASILA SAAT INI
Ideologi Pancasila merupakan dasar negara yang mengakui dan mengagungkan keberadaan
agama dalam pemerintahan. Sehingga kita sebagai warga negara Indonesia tidak perlu
meragukan konsistensi atas Ideologi Pancasila terhadap agama. Tidak perlu berusaha
mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi berbasis agama dengan alasan bahwa ideologi
Pancasila bukan ideologi beragama. Ideologi Pancasila adalah ideologi beragama.
Sesama umat beragama seharusnya kita saling tolong menolong. Tidak perlu melakukan
permusuhan ataupun diskriminasi terhadap umat yang berbeda agama, berbeda keyakinan
maupun berbeda adat istiadat.
Hanya karena merasa berasal dari agama mayoritas tidak seharusnya kita merendahkan umat
yang berbeda agama ataupun membuat aturan yang secara langsung dan tidak langsung
memaksakan aturan agama yang dianut atau standar agama tertentu kepada pemeluk agama
lainya dengan dalih moralitas.
Hendaknya kita tidak menggunakan standar sebuah agama tertentu untuk dijadikan tolak ukur
nilai moralitas bangsa Indonesia. Sesungguhnya tidak ada agama yang salah dan mengajarkan
permusuhan.
Agama yang diakui di Indonesia ada 5, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Hindu.
Sebuah kesalahan fatal bila menjadikan salah satu agama sebagai standar tolak ukur benar
salah dan moralitas bangsa. Karena akan terjadi chaos dan timbul gesekan antar agama.
kalaupun penggunaan dasar agama haruslah mengakomodir standar dari Islam, Kristen,
Katolik, Budha dan Hindu bukan berdasarkan salah satu agama entah agama mayoritas
ataupun minoritas.
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
· KESIMPULAN
Berdasarkan latar belakang, pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pancasila adalah ideologi yang sangat baik untuk diterapkan di negara Indonesia yang terdiri
dari berbagai macam agama, suku, ras dan bahasa. Sehingga jika ideologi Pancasila diganti
oleh ideologi yang berlatar belakang agama, akan terjadi ketidaknyamanan bagi rakyat yang
memeluk agama di luar agama yang dijadikan ideologi negara tersebut.
Dengan mempertahankan ideologi Pancasila sebagai dasar negara, jika melaksanakannya
dengan baik, maka perwujudan untuk menuju negara yang aman dan sejahtera pasti akan
terwujud.
Semua agama memiliki ajaran-ajaran yang menjadi patokan norma dan keutamaan-
keutamaan moral bagi setiap penganutnya. Setiap agama mengajarkan kebaikan dan keadilan
yang patut dijalankan oleh setiap anggotanya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Jika dikaji lebih dalam, semua ajaran dari setiap agama sebenarnya terangkum jelas dan tegas
dalam kelima sila Pancasila. Maka menurut hemat saya, antara Pancasila dan agama secara
tidak langsung terdapat sebuah hubungan teologis-dogmatis yang mesti diterjemahkan dalam
praksis hubungan antaragama. Umat beragama semakin Pancasilais dan Pancasila semakin
”dimuliakan” jika kelima silanya tidak hanya dimuliakan dalam kata-kata belaka melainkan
diaktualisasikan dalam perbuatan konkret yaitu hubungan antaragama dalam kerangka
menyelamatkan bangsa dari konflik antarumat beragama.
References·
IMPLIKASI
Untuk semakin memperkokoh rasa bangga terhadap Pancasila, maka perlu adanya
peningkatan pengamalan butir-butir Pancasila khususnya sila ke-1. Salah satunya dengan
saling menghargai antar umat beragama.
Untuk menjadi sebuah negara Pancasila yang nyaman bagi rakyatnya, diperlukan adanya
jaminan keamanan dan kesejahteraan setiap masyarakat yang ada di dalamnya. Khususnya
jaminan keamanan dalam melaksanakan kegiatan beribadah.
· SARAN
Untuk mengembangkan nilai-nilai Pancasila dan memadukannya dengan agama, diperlukan
usaha yang cukup keras. Salah satunya kita harus memiliki rasa nasionalisme yang tinggi.
Selain itu, kita juga harus mempunyai kemauan yang keras guna mewujudkan negara
Indonesia yang aman, makmur dan nyaman bagi setiap orang yang berada di dalamnya.
http://unikpol.blogspot.com/2012/09/hubungan-pancasila-dengan-agama-di.html
BAB II
Hubungan Negara dengan Agama
Negara pada hakikatnya adalah merupakan suatu persekutuan hidup bersama sebagai
penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Oleh karena
itu sifat dasar negara, sehingga negara sebagai manifestasi kodrat manusia secara horizontal
dalam hubungan dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama. Oleh karena itu
negara memiiliki sebab akibat langsung dengan manusia karena manusia adalah sebagai
pendiri negara untuk mencapai tujuan manusia itu sendiri.
Namun perlu disadari bahwa manusia sebagai warga hidup bersama,berkedudukan kodrat
sebagai makhluk pribadi dan sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa.sebagai makhluk
pribadi ia dikaruniai kebebasan atas segala sesuatu kehendak kemanusiaannya.Sehingga hal
inilah yang merupakan suatu kebebasan asasi yang merupakan karunia dari Tuhan yang Maha
Esa.Sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa ia memiliki hak dan kewajiban untuk memenuhi
harkat kemanusiaannya yaitu menyembah Tuhan yang Maha Esa.Manifestasi hubungan
manusia dengan Tuhannya adalah terwujud dalam agama. negara adalah merupakan produk
manusia sehingga merupakan hasil budaya manusia, sedangkan agama adalah bersumber
pada wahyu Tuhan yang sifatnya mutlak. Dalam hidup keagamaan manusia memiliki hak-hak
dan kewajiban yang didasarkan atas keimanan dan ketakwaanya terhadap
Tuhannya,sedangkan dalam negara manusia memilik hak-hak dan kewajiban secara
horizontal dalam hubungannya dengan manusia lain.
Berdasarkan pangertian kodrat manusia tersebut maka terdapat berbagai macam konsep
tentang negara dan agama,dan hal ini sangat ditentukan oleh dasar ontologis manusia masing-
masing. Oleh karena berikut ini perlu dibahas sebagai bahan komparasi dalam memahami
hubungan negara dengan agama dalam Pancasila atau negara Kebangsaan yang Berketuhanan
yang Maha Esa.
Menurut Pancasila negara adalah berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa atas dasar
Kemanusiaan adil dan Beradab. Hal ini termuat dalam Penjelasan Pembukaan UUD 1945
yaitu Pokok Pikiran keempat. Rumusan yang demikian ini menunjukkan pada kita bahwa
negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah bukan negara sekuler yang memisahkan
negara dengan agama, karena hal ini tercantum dalam pasal 29 ayat (1), bahwa negara adalah
berdasar atas Ketuhanan yan Maha Esa. Hal ini berarti bahwa negara sebagai persekutuan
hidup adalah Berketuhanan yang Maha Esa. Konsekuensinya segala aspek dalam pelaksanan
dan penyelenggaraan negara harus sesuai dengan hakikat nilai-nilai yang derasal dari Tuhan.
Nilai-nalai yang berasal dari Tuhan yang pada hakikatnya adalah merupakan Hubungan
Tuhan adalah merupakan sumber material bagi segala norma, terutana bagi hukum positif di
Indonesia.
Demikian pula makna yang terkandung dalam Pasal 29 ayat (1) tersebut juga mengandung
suatu pengertian bahwa negara Indonesia adalah negara yang bukan hanya mendasarkan pada
suatu agama tertentu atau bukan negara agama dan juga bukan negara Theokrasi. Negara
Pancasila pada hakikatnya mengatasi segala agama dan menjamin segala kehidupan agama
dan umat beragama, karena beragama adalah hak asasi yang bersifat mutlak.Dalam kaitannya
dengan pengertian negara yang melindungi seluruh agama di seluruh wilayah tumpah darah.
Pasal 29 ayat (2) memberikan kebebasan kepada seluruh warga negara untuk memeluk agama
dan menjalankan ibadah sesuai dengan keimanan dan ketakwaan masing-masing. Negara
kebangsaan yang berketuhanan yang Maha Esa adalah negara yang merupakan penjelmaan
dari hakikat kodrat manusia sebagai individu makhluk, sosial dan manusia adalah sebagai
pribadi dan makhluk Tuhan yang Maha Esa. Bilamana dirinci makna hubungan negara
dengan agama menurut negara Pancasila adalah sebagai berikut:
Hubungan Negara dengan agama menurut paham theokrasi bahwa antara agama dengan
negara tidak dapat dipisahkan. negara menyatu dengan agama, pemerintahan dijalankan
berdasarkan firman-firman Tuhan, segala tata kehidupan dalam masyarakat,bangsa dan
negara didasarkan atas firman-firman Tuhan. Dengan demikian agama menguasai masyarakat
politis. Dalam praktek kenegaraan terdapat dua macam pengertian negara theokrasai, yaitu
negara theokrasi langsung dan tak langsung.
a. Negara Theokrasi Langsung
Dalam sistem negara theokrasi langsung, kekuasaan adalah ototritas Tuhan. adanya negara di
dunia ini adalah atas kehendak Tuhan, dan yang memerintah adalah Tuhan. Dalam sejarah
perang dunia II, rakyat jepang rela mati demi Kaisarnya, karena menurut menurut
kepercayaan kaisar adalah anak Tuhan. Negara Tibet dimana pernah terjadi perebutan
kekuasan antara Pancen lama dan Dalai lama, adalah sebagai penjelmaan otoritas Tuhan
dalam negara dunia.
Doktrin-doktrin dan ajaran-ajaran berkembang dalam negara theokarasi langsung, sebagai
upay untuk memperkuat dan meyakinkan rakyat terhadap kekuasaan Tuhan dalam negara
(Kusnadi, 1995;60).
Dalam sistem negara yang demikian maka agama menyatu dengan negara, dalam arti seluruh
sistem negara dan norma-norma adalah merupakan otoritas langsung dari Tuhan melaui
wahyu.
b. Negara Theokrasi Tidak Langsung
Negara Theokrasi tidak langsung menyatakan bahwa pemerintahan bukan diperintah
langsung oleh Tuhan, melainkan kepala Negara atau Raja, yang memiliki otoritas ats nama
Tuhan (semuanya memerintah atas kehendak Tuhan). Kekuasaan dalam negara merupakan
suatu karunia dari Tuhan. Raja mengemban tugas suci dari Tuhan untuk memakmurkan
rakyatnya. Politik yang demikian inilah yang diterapkan Belanda terhadap wilayah
jajahannya sehingga dikenal dengan nama politik etis (Ethische Politik). Kerajaan Belanda
mendapat amanat dari Tuhan untuk bertindak seagai wali dari wilayah jajahan Indonesia
(Kusnadi, 1995; 63).
Negara merupakan penjelmaan dari kekuasaan Tuhan, dan oleh karena itu kekuasaan Raja
dalam suatu negara adalah kekuasaan yang berasal dari Tuhan maka sistem dan norma-norma
dalam negara dirumuskan berdasarkan firman-firman Tuhan. Demikianlah kedudukan agama
dalam negara Theokrasi di mana firman Tuhan, norma agama serta otoritas Tuhan menyatu
dengan negara.
Faham sekulerisme membedakan dan memisahkan antara agama dengan Negara. Oleh karena
itu di dalam suatu negara yang berfaham sekulerisme bentuk, system, serta segala aspek
kenegaraan tidak ada hubungannya dengan agama. Sekulerisme berpandangan bahwa negara
adalah hubungan keduniawian atau masalah-masalah keduniawian ( hubungan manusia
dengan manusia ). Adapun agama adalah urusan akhirat yang menyangkut hubungan manusia
dengan Tuhan.
Dalam Negara yang berpaham sekulerisme sistem norma-norma terutama norma-norma
hukum positif di pisahkan dengan nilai-nilai norma agama. Konsekuensinya hukum positif
sangat di tentukan oleh komitmen warga negara sebagai pendukunng pokok negara. Negara
adalah urusan hubungan horizontal antar manusia dalam mencapai tujuannya, adapun agama
adalah menjadi urusan umat masing-masing agama. Walaupun dalam agama sekuler
membedakan antara agama dengan negara, namun lazimnya warga negara di berikan
kebebasaan dalam memeluk agama masing-masing.
Negara Pancasila Adalah Negara Kebangsaan Yang Berkemanusiaan Yang Adil dan
Beradab.
Negara pada hakikatnya menurut pandangan filsafat pancasila adalah merupakan suatu
persekutuan hidup manusia, yang merupakan suatu penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai
makhluk individu dan sosial serta sebagai makhluk Tuhan yang maha Esa. Negara adalah
lembaga kemanusiaan, lembaga kemasyarakatan yang bertujuan demi tercapainya harkat dan
martabat manuia serta kesejahteraan lahir maupun bathin. Sehingga tidak mengherankan
jikalau manusia adalah merupakan subjek pendukung pokok negara. Oleh karena itu Negara
adalah suatu negara kebangsaan yang berketuhanan yang Maha Esa, dan berkemanusiaan
yang adil dan beradab.
Konsekuensinya dalam aspek penyelenggara negara, sifat-sifat dan keadaan negara harus
sesuai dengan hakikat manusia. Sifat-sifat dan keadaan negara tersebut adalah meliputi (1)
bentuk negara, (2) tujuan negara, (3) organisasi negara, (4) kekuasaan negara, (5) penguasa
negara, (6) warga negara masyarakat, rakyat dan bangsa (lihat Notonagoro, 1975). Negara
dalam pengertian ini menempatkan manusia sebagai dasar ontologis, sehingga manusia
sebagai asal usul negara dan kekuasaan negara. Manusia adalah merupakan paradigma sentral
dalam setiap aspek pennyelenggaraan negara, terutama dalam pembangunan negara.
Sebagai negara yang berkemanusiaan, maka negara”…melindungi seluruh warganya serta
seluruh tumpah darahnya..”. hal ini berarti negara melindungi seluruh manusia sebagai
warganya tidak terkecuali. Oleh karena itu negara harus melindungi hak-hak asasi manusia,
serta mewujudkannya dalam suatu sistem peraturan perundang-undangan negara. Hal ini
sebagaimana termuat dalam UUD 1945 pasal 27, 28, 29, 30 dan 31. negara berkewajiban
mengembangkan harkat dan martabat manusia, bahkan negara harus menempatkan moral
kemannusiaan sebagai moral negara dan penyelenggara pemerintahan negara.
Negara pancasila sebagai negara kebangsaan yang berkemanusiaan yang adil dan beradab,
mendasarkan nasionalisme berdasarkan hakikat kodrat manusia. Kebangsaan Indonesia
adalah kebangsaan yang berkemanusiaan, bukan suatu kebangsaan yang Chauvinistic.
Kebangsaan Indonesia yang berdasarkan Pancasila mengakui kebangsaan yang
berkemanusiaan. Hal ini berarti bagi bangsa Indonesia mengakui bahwa bangsa adalah
sebagai penjelmaan kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial, oleh karena itu
bangsa Indonesia mengakui bahwa bangsa Indonesia adalah sebagai bagian dari umat
manusia. Maka dalam pergaulan tata dunia internasional maka bangsa mengembangkan suatu
pergaulan antar bangsa dalam masyarakat internasional berdasarkan atas kodrat manusia,
sereta mengakui kemerdekaan bangsa sebagai hak yang di miliki oleh hakikat manusia
sebagai makhluk individu dan social. Oleh karena itu penjajahan atas bangsa adalah
pelanggaraaaaan hak asasi atau kodrat manusia sebagai bangsa dan tidak sesuai dengan
keadilan.
.
Negara pancasila adalah negara kebangsaan yang berkerakyatan
Negara menurut filsafat pancasila adalah dari oleh dan untuk rakyat. Hakikatnya rakyat
adalah sekelompok manusia yang bersatu yang memiliki tujuan tertentu dan hidup dalam satu
wilayah negara. Oleh karena itu negara harus sesuai dengan hakikat rakyat. Rakyat adalah
sebagai pendukdung pokok dan sebagai pendukung pokok dan sebagai asal mula kekuasaan
negara.
Negara kebangsaan yang berkedaulatan rakyat yang berarti bahwa kekuasaan yang tertinggi
ditangan rakyat dan dalam sistem kenegaraan dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat(MPR). Oleh karena itu negara yang berkedaulatan rakyat adalah suatu negara
demokrasi. Rakyat adalah merupakan suatu penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai
makhluk individu dan makhluk social. Oleh karena itu demokrasi menurut kerakyatan adalah
demokrasi ‘monodualis’, artinya sebagai makhluk individu memilki hak dan sebagai makhluk
sosial harus disertai tanggungjawab. Oleh karena itu dalam menggunakan hak-hak demokrasi
dalam negara kebangsaan yang berkerakyatan adalah hak-hak demokrasi yang (1) disertai
tanggung jawab kepada Tuhan yang Maha Esa, (2) menjunjung dan memperkokoh persatuan
dan kestuan bangsa, serta (3) disertai dengan tujuan untuk mewujudkan suatu keadilan sosial,
yaitu kesejahteraan dalam hidup bersama.
Demokrasi monodualis yang mendasarkan individu dan makhluk sosial bukanlah demokrasi
liberal yang hanya mendasarkan pada kodrat manusia sebagai individu saja, dan bukan pula
demokrasi klass yang hanya mengakui manusia sebagai makhluk sosial belaka. Demokrasi
monodualis mengembangkan demokrasi kebersamaan, berdasarkan asas kekeluargaan
kebebasn individu diletakan dalam rangka tujuan atas kesejahteraan bersama. Pokok-pokok
‘Kerakyatan’ yang terkandung dalam sila keempat dalam penyelenggaraan negara dapat
dirinci sebagai berikut :
(1) Manusia Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat mempunyai kedudukan
dan hak yang sama.
(2) Dalam menggunakan hak-haknya selalu memperhatikan dan mempertimbangkan
kepentingan negara dan masyarakat.
(3) Karena mempunyai kedudukan, hak serta kewajiban yang sama maka pada dasarnya tidak
dibenarkan memaksakan kehendak pada pihak lain.
(4) Sebelum mengambil keputusan, terlebih dahulu diadakan musyawarah.
(5) Keputusan diusahakan ditentukan secara musywarah.
(6) Musyawarah untuk mencapai mufakat, diliputi oleh suasana semangat kebersamaan.
(Suhadi, 1998).
Negara Pancasila adalah negara kebangsaan yang berkeadilan sosial, yang berarti bahwa
negara sebagai penjelmaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa, sifat kodrat
individu dan makhluk sosial bertujuan untuk mewujudkan suatu keadialn dalam kehidupan
bersama (Keadilan Sosial). Keadialan sosial tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat
keadilan manusia sebagai makhluk yang beradab (sila II). Manusia pada hakikatnya adalah
adil dan beradab yang berarti manusia harus adil terhadap diri sendiri, adil terhadap
Tuhannya, adil terhadap orang lain dan masyarakat serta adil terhadap lingkungan alamnya.
Dalam hidup bersama baik dalam masyarakat, bangsa dan negara harus terwujud suatu
keadilan(Keadilan Sosial), yang meliputi tiga hal yaitu : (1) keadilan distributif (keadialn
membagi), yaitu negara terhadap warganya, (2) keadilan legal (keadilan bertaat), yaitu warga
terhadap negaranya untuk mentaati peraturan perundangan, dan (3) keadilan komutatif
(keadilan antar sesama warga negara), yaitu hubungan keadilan antara warga satu dengan
yang lainnya secara tumbal balik (Notonegoro, 1975)
Sebagai suatu negara berkeadilan sosial maka negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila
sebagai suatu negara kebangsaan, bertujuan untuk melindungi segenap warganya dan seluruh
tumpah daarh, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan warganya (tujuan
khusus). Adapun tujuan dalam pergaulan antar bangsa di masyarakat internasional bertujuan :
(“ikut menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial). Dalam pengertian ini maka negara Indonesia sebagai negara kebangsaan
adalah berkeadilan sosial dalam mensejahterakan warganya, demikian pula dalam pergaulan
masyarakat Internasional berprinsip dasar pada kemedekaan serta keadilan dalam hidup
masyarakat
Realisasi dan perlindungan keadilan dalam hidup bersama dalam suatu negara untuk
menciptakan suatu peraturan perundang-undangan. Dalam pengertian inilah maka negara
kebangsaan yang berkeadilan sosial harus merupakan suatu negara yang berdasarkan atas
hukum. Sehingga sebagai suatu negara hukum harus terpenuhi adanya tiga syarat pokok
yaitu: (1) pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia, (2) peradilan yang bebas,
dan (3)legalitas dalam arti hukum dalam segalanya.
Konsekuensinya sebagai suatu negara hukum yang berkeadilan sosial maka negara Indonesia
harus mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-
Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat (1) dan (2). Pasal 28, psal 29 ayat (2), pasal 31 ayat (1).
Demikianlah sebagai suatu negara yang berkeadilan maka warga negara berkewajiban
mentaati peraturan perundang undangan sebagai manifestasi keadilan legal dalam hidup
bersama
Dalam realisainya pembangunan nasional adalah merupakan sutu upaya untuk mencapai
tujuan negara,sehingga pembangunan nasional harus senantiasa meletakkan asas keadilan
sebagai dasar operasional serta dalam penentuan berbagai macam kebijaksanaan dalam
pemerintahan negara.
4. Hubungan Negara dengan Agama Menurut Paham Liberalis
Nilai-nilai agama dalam negara dipisahkan dan dibedakan dengan negara, keputusan dan
ketentuan kenegaraan terutama peraturan perundang-undangan sangat ditentukan oleh
kesepakatan individu-individu sebagai warga negaranya. Walaupun ketentuan tersebut
bertentangan dengan norma-norma agama. Misalnya UU aborsi di Negara Irlandia tetap
diberlakukan walaupun ditentang oleh gereja dan agama lainnya, karena UU tersebut
merupakan hasil referendum.
Berdasarkan pandangan filosopis tersebut hampir dapat dipastikan bahwa dalam sistem
negara liberal membedakan dan memisahkan antara negara dengan agama atau bersifat
sekuler.
Berbagai macam konsep dan paham sosialisme sebenarnya hanya paham komunismelah
sebagai paham yang paling jelas dan lengkap. Paham ini adalah sebagai bentuk reaksi atas
perkembangan masyarakat kapitalis sebagai hasil dari edeologi liberal. Berkembangnya
paham individualisme liberalisme yang berakibat munculnya masyarakat kapitalis menurut
paham ini mengakibatkan penderitaan rakyat, sehingga komunisme muncul sebagai reaksi
atas penindasan rakyat kecil oleh kalangan kapitalis yang didukung pemerintah.
Dalam masyarakat terdapat kelas-kelas yang saling berinteraksi secara berinteraksi secara
dialektis, yaitu kelas kapitalis dan kelas proletar, buruh. Walaupun kedua hal tersebut
bertentangan namun saling membutuhkan. Kelas kapitalis senantiasa melakukan penindasan
atas kelas buruh proletar. Oleh karena itu harus dilenyapkan. Hal ini dapat dilakukan hanya
denan melalui suatu revolusi. Hal inilah yan merupakan konsep kaum komunis untuk
melakukan suatu perubahan terhadap masyarakat secara revolusioner infrastruktur
masyarakat. Menurut komunisme ideologi adalah mendasarkan suatu kebaikan hanya pada
kepentingan demi keuntungan kelas masyarakat secara totalitas. Atas dasar inilah maka
komunisme mendasarkan moralnya pada kebaikan yang relatif demi keuntungan kelasnya,
oleh karena itu segala cara dapat dihalalkan.
Dalam kaitannya dengan negara, bahwa negara adalah sebagai manifestasi dari manusia
sebagai makhluk komunal. Mengubah masyarakat secara revolusioner harus berakhir dengan
kemenangan pada pihak kelas proletar. Sehingga pada gilirannya pemerintahahan negara
harus dipegang oleh orang-orang yang meletakkan kepentingan pada kelas proletar.
Demikian juga hak asasi dalam negara hanya berpusat pada hakikatnya adalah tidak ada. Atas
dasar pengertian inilah maka sebenarnya komunisme adalah komunisme adalah anti
demokrasi dan hak asasi manusia.
Paham komunisme dalam memandang hakikat hubungan negara dengan agama mendasarkan
pada pandangan filosofis materialisme dialektis dan materialisme histories. Hakekat
kenyataan tertinggi menurut paham komunisme adalah materi. Namun materi menurut
komunisme berada pada ketegangan intern secara dinamis bergerak dari keadaan (tesis)
kekeadaan lain (antitesis) kemudian menyatukan (sintesis) ke tingkat yang lebih tinggi.
Selanjutnya sejarah bagaimana berlangsungnya suatu proses sangat ditentukan oleh
fenomina-fenomena dasar, yaitu dengan suatu kegiatan-kegiatan yang paling material yaitu
fenomena-fenomena ekonomis. Dalam pengertian inilah menurut komunisme yang di
pelopori oleh K. Marx, menyatakan bahwa manusia adalah merupakan suatu hakekat yang
menciptakan dirinya sendiri yang menghasilkan sarana-sarana kehidupan sehingga
menentukan dalam perubahan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan bahkan agama.
Dalam pengertian ini maka komunisme berpaham ethis, karena manusia ditentukan oleh
dirinya sendiri. Agama menurut komunisme adalah realisasi fanatis makhluk manusia, agama
adalah keluhan makhluk tertindas. Oleh karena itu menurut komunisme Marxis, agama
adalah merupakan candu masyarakat (Marx, dalam Louis Leahy, 1992:97, 98).
Negara yang berpaham komunisme adalah bersifat etheis bahkan bersifat antitheis, melarang
dan menekan kehidupan agama. Nilai yang tertinggi dalam negara adalah materi sehingga
nilai manusia ditentukan oleh materi.
http://edwanansari.blogspot.com/2009/11/hubungan-pancasila-dengan-agama.html
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan
ü Latar Belakang
ü Rumusan Masalah
BAB II Pembahasan
ü Sejarah Hubungan Islam dan Negara di Indonesia
ü Sifat Hubungan Agama dan Negara di Indonesia
ü Sikap Negara atau Pemerintah terhadap Islam
ü Hubungan Islam dan Negara pada Era Reformasi
ü Konsep Islam dalam Negara Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Membicarakan masalah hubungan agama dan negara adalah sesuatu yang menarik.
Mengapa? Kita tahu agama dan negara bagaikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi,
tidak bisa dipertemukan. Bagaimanapun juga agama tetap memberikan irama terhadap
kehidupan sosial bernegara karena agama merupakan ruh kedua bagi setiap masyarakat atau
individu yang menggerakkan tata cara bergaul antar masyarakat lainnya. Sehingga, peranan
agama sangat mustahil untuk dikesampingkan begitu saja dari kehidupan manusia.
Sebaliknya, negara sangat menentukan terhadap perkembangan suatu agama di wilayahnya.
Kebijakan-kebijakan terhadap hal yang berbau keagamaan sangat mempengaruhi terhadap
terciptanya masyarakat madani (civil society) seperti yang menjadi cita-cita kedua belah
pihak. Bila kebijakan negara cenderung berpihak kepada salah satu agama tertentu, tak ayal
jika negara atau keadaan negara tidak akan kondusif, timbul konflik yang mengarah ke unsur
SARA.
Hubungan antara Islam dan negara selalu menarik untuk dikaji. Hal ini karena dua alasan:
pertama, sejak kelahirannya, Islam memiliki dua aspek yang selalu kait-mengkait, yakni
agama dan masyarakat. Kedua, percobaan mengatur masyarakat berdasarkan Islam, telah
sering terjadi dan mengalami pasang surut. Dari sekian percobaan dapat disimpulkan bahwa
kesemuanya dalam taraf coba-coba dan belum ada yang sepenuhnya berhasil, termasuk di
Indonesia
Masalah hubungan Islam dan negara di Indonesia menjadi salah satu persoalan hubungan
agama dan negara yang unik untuk dibahas, karena tidak saja karena Indonesia merupakan
negara yang mayoritas warga negaranya beragama Islam, tetapi karena kompleksnya
persoalan yang muncul. Sekalipun Islam tidak disebut dalam konstitusi sebagai agama
negara, Islam di Indonesia merupakan suatu agama yang hidup dan dinamis. Islamisasi di
Indonesia bukanlah suatu produk sejarah yang telah rampung, tetapi merupakan proses yang
berkelanjutan. Berdasarkan kondisi tersebut, perlu dibahas kembali tentang hubungan Islam
dengan pemerintah sebagai badan eksekutif kenegaraan supaya peranan umat Islam dapat
terlihat lebih jelas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
B. Rumusan Masalah
Banyak persoalan yang perlu dibahas mengenai hubungan Islam dan negara di Indonesia.
Namun untuk membatasi ruang lingkup dalam pembahasan masalah, penulis hanya
membatasi pada masalah :
1. Sejarah hubungan Islam dan negara di Indonesia
2. Sifat hubungan agama dan negara di Indonesia.
3. Sikap negara atau pemerintah terhadap agama Islam.
4. Hubungan Islam dan negara pada era reformasi.
5. Konsep Islam dalam negara Indonesia.
BAB II PEMBAHASAN
Silang perdebatan dalam menerapkan syari`at Islam secara total dalam menata kehidupan
sosial-politik, setidaknya dapat ditengok sejak mula Indonesia mendapatkan anugerah
kemerdekaan. Dengan belum tersedianya seperangkat aturan dan sistem yang dimiliki oleh
bangsa Indonesia, beberapa pemimpin umat Islam berupaya mendesakkan syari`at Islam
untuk diterapkan. Tuntutan itu pun sempat terakomodir
Tapi, tuntutan yang semula terakomodir dengan perkataan… “dengan kewajiban
menjalankan syari`at Islam bagi pemeluk-pemeluknya… “ yang tertuang di mukadimah dan
pasal 29 UUD 1945 ternyata tidak berlangsung lama. Pada tanggal 18 Agustus 1945, setelah
melewati saat-saat kritis, perkataan itu pun dicoret. Meski kemudian modifikasi sila pertama
Ketuhanan Yang Maha Esa itu dapat dikata jadi jalan tengah yang diilhami dari konsep
tauhid tapi wakil-wakil umat Islam masih merasa keberatan dengan formula baru Pancasila.
Usai pemilu 1955, tuntutan untuk memperjuangkan dasar negara Islam seperti
mendapatkan momentum kembali. Sejarah mencatat, sidang Majelis Konstituante di bawah
kepemimpina Ir.Soekarno untuk menentukan dasar negara Islam atau pancasila, tak mencapai
keputusan final. Perdebatan sengit selama sidang antara partai-partai Islam dan pendukung
Pancasila dalam mengokohkan dasar negara menemui jalan buntu. Selama kurang lebih dua
puluh bulan tidak ada kata sepakat. Konstitusi menemui jalan buntu serius.
Di tengah kebuntuan itu, Soekarno sebagai penguasa yang didukung militer lalu
melakukan intervensi. Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. Dengan keluarnya Dekrit
Presiden itu, Soekarno membubarkan Konstituante dan menetapkan kembali UUD 1945 dan
menyingkirkan usulan dasar Islam. Tentu, rekam jejak saat-saat genting perdebatan sidang
Majelis Konstituante tentang dasar negara itu sangat menarik untuk dicermati. Studi
Komprehensif Buku Ahmad Syafi`i Ma`arif yang berjudul Islam dan Pancasila Sebagai Dasar
Negara; Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante ini coba merekam “perdebatan antara
wakil-wakil partai Islam yang menghendaki Islam sebagai dasar negara dan wakil partai
nasionalis yang mendukung Pancasila. Buku terjemahaan dari desertai penulis di Chicago
Universy ini, cukup kompatibel jadi referensi tentang perdebatan sengit dasar negara
Indonesia dalam sidang Majelis Konstituante.
Dalam Majelis Konstitusi, pada awalnya ada tiga rancangan (draf) tentang dasar negara
yang diajukan oleh tiga fraksi. Ketiga rancangan itu adalah; Pancasila, Islam dan Sosial-
Ekonomi (diajukan Partai Murba dan Partai Buruh). Tetapi, draf Sosial Ekonomi tersebut
seperti kehilangan gaung. Sementara perdebatan sengit dari wakil partai Islam yang
menginginkan Islam sebagai dasar negara- dan partai nasionalis yang mendukung Pancasila
mewarnai sidang.
Wakil dari partai Islam meneguhkan bahwa tuntutan untuk membumikan Islam sebagai
dasar negara itu, tidak lain merujuk realitas kehidupan sejarah di masa nabi saat membangun
Madinah. Tapi di mata Syafi`i, Islam cita-cita yang terbangun di masa nabi itu kerap tidak
dipisahkan oleh para penggagas negara Islam yang berada dalam dimensi Islam sejarah.
Padahal sebagaimana diungkapkan Fazlur Rahman, antara Islam cita-cita dan dan Islam
sejarah, “Harus ada kaitan positif dan dapat dipahami agar gerak maju dari yang riil menjadi
mungkin.”
Umat Islam Indonesia, tak bisa ditepis memiliki idealisme itu. Sayang, sebagian besar
dari mereka di mata Syafi`I masih kekurangan visi yang cukup dan kemampuan intelektual
dalam memahami jiwanya yang dinamik dan kreatif. Tetapi sekali pun tak berhasil
perjuangan umat Islam Indonesia dalam menegakkan dasar Islam di sidang Majelis
Konstituante tahun 1950-an, adalah bagian dari upaya membumikan Islam cita-cita dalam
konteks politik kenegaraan sebagaimana yang dipahami wakil partai Islam.
Selain merujuk kehidupan zaman nabi, wakil partai Islam merujuk teori politik Islam
sebagaimana yang digagas Jamal ad-Din al-Afghani, Abduh, Rasyid Ridha, dan lain-lain.
Dari modernisme Islam yang diwariskan para pendahulu itu, wakil-wakil Islam seperti
Tjokroaminoto, Agus Salim, Sukiman dan Natsir hendak membangun pilar Islam sebagai
dasar negara di bumi Indonesia.
Mengkaji hubungan agama,dalam hal ini Islam dan negara di Indonesia, secara umum
dapat digolongkan ke dalam dua bagian, yakni hubungan yang bersifat antagonistik dan
hubungan yang bersifat akomodatif.
Dalam hal ini, Indonesia pernah mengalami masa dimana hubungan agama dengan negara
bersifat antagonistik maupun akomodatif.
Hubungan akomodatif lebih dipahami sebagai sifat hubungan dimana negara dan
agama satu sama lain saling mengisi bahkan ada kecenderungan memiliki kesamaan untuk
mengurangi konflik. Munculnya sikap akomodatif negara terhadap Islam lebih disebabkan
oleh adanya kecenderungan bahwa umat Islam Indonesia dinilai telah semakin memahami
kebijakan negara, terutama dalam konteks pemberlakuan dan penerimaan asa tunggal
Pancasila.
Negara melakukan akomodasi terhadap Islam dengan alasan, pertama, dari kacamata
pemerintah, Islam merupakan kekuatan yang tidak dapatdiabaikan yang pada akhirnya kalau
diletakkan pada posisi pinggiran akan menimbulkan masalah politik yang cukup rumit.
Kedua, di kalangan pemerintah sendiri terdapat sejumlah figur yang tidak terlalu fobi
terhadap Islam, bahkan mempunyai dasar keislaman yang sangat kuat sebagai akibat latar
belakangnya, misalnya saja Emil Salim, B.J. Habibie, Akbar Tandjung dan lain sebagainya.
Mereka tentu saja berperan dalam membentuk sikap politik pemerintah untuk tidak menjauhi
Islam. Ketiga, adanya perubahan persepsi, sikap dan orientasi politik di kalangan umat Islam
itu sendiri.
Masdar F. Mas’udi beranggapan bahwa seseorang tidak mungkin menjadi muslim yang
baik sekaligus menjadi warga Negara Indonesia yang baik. Untuk menjadi warga apalagi
pemuka bangsa yang sejati seorang muslim mesti terlebih dahulu melampui (mengaburkan)
batas-batas keIslamannya. Sulit rasanya seorang pemimpin umat dari agama mayoritas
seperti Islam di Indonesia dapat tampil secara mulus sebagai pemimpin. Pernyataan yang
disampaikan beliau memang bukan tanpa alasan. Kalau kita menilik sejarah ke belakang baik
pemimpin pasca proklamasi maupun orde baru, semua pemimpin bangsa ini tidak begitu
kental keIslamannya. Sebagai paradigma politik memimpin bangsa ini justru lebih suka
mengadopsi pemikiran (nilai-nilai) budaya.
Bahkan di era orde baru sikap preventif terhadap ormas atau organisasi agama begitu
getol. Pemerintah berusaha mengkerdili umat Islam yang ingin memperjuangkan ajarannya
lewat jalur sturktural. Sejumlah fakta menunjukkan hal tersebut, misalnya Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) sebagai partai resmi Islam selalu dibuat kerdil dengan berbagai cara,
kegiatan-kegiatan semi kekerasan dibabat habis tanpa ampun, misalnya kasus Tanjung Priok,
Lampung dan lain-lain. Semua hal itu dilakukan orde baru terhadap umat Islam karena orde
baru sangat trauma dengan masa lalu di mana politik Islam sangat potensial untuk
menggalang massa dan berbalik menyerang pemerintah sekaligus menjadi oposisi abadi
kepada siapapun yang tengah berkuasa.
D. Hubungan Islam dan Negara pada Era Reformasi
Era reformasi disebut-sebut sebagai masa cerah bagi kehidupan bangsa Indonesia.
Demokrasi, katanya, benar-benar tegak, keberadaaan pers, organisasi politik, ormas tidak lagi
dibungkam dan dikerdilkan. Semua wahana ekspresi diberikan kebebasan sepenuhnya. Masa
reformasi ditandai dengan tumbangnya rezim Soeharto pada pertengahan 1998, tepatnya saat
Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ
Habibe.
Reformasi yang terjadi pada pertengahan tahun 1998 ini menyebabkan perubahan drastis
dalam berbagai aspek kehidupan politik, ekonomi, pemerintahan. Perubahan drastis yang
menonjol dibidang politik pasca orde baru antara lain: hilangnya kekuasaan represif dan
bubarnya sistem bureaucratic politypemerintah dipegang segelintir orang berubah menjadi
pemerintah yang dipegang oleh perwakilan rakyat secara riil.
Karena begitu ketatnya kontrol Negara sehingga berubah menjadi “bom waktu” yang
terbukti saat reformasi. kontrol tersebut melahirkan “dendam kesumat” bagi anak bangsa
yang merasa terkekang sehingga pasca reformasi banyak bermunculan organisasi-organisasi
massa (baik politik maupun kemasyarakatan) maupun lembaga press. Bahkan kata reformasi
berubah menjadi “senjata” untuk melegalkan perbuatan individual maupun komunal.
Selain dilihat dari sudut kuantitas umat, bisa juga dilihat sumber inspirasi umat Islam itu
sendiri yakni Al-Quran dan As-Sunah. Agama Islam tidal pernah membedakan persoalan
individu dengan persolan masyarakat, urusan dunia yang profan dan urusan akhirat yang
trasendetal.
Dunia dan akhirat adalah dunia yang saling menjalin, seperti yang tersirat dalam ajaran
Islam bahwa “dunia adalah ladangnya akhirat”. Karena dunia dipandang sebagai “ladang”
sudah barang tentu keberadaan “ladang” tersebut harus dikelola sesuai dengan tata krama-
Nya. Agar kelak memberikan bekal yang baik di alam transenden. Kensekuensinya seluruh
aktivitas orang Islam, baik kelompok maunpun individu harus “manut” dengan aturan
tersebut. Dalam bermasyarakat atau berkelompok selalu memiliki tujuan-tujuan agama dan
sekaligus mengabdi pada lestarinya nilai-nilai agama. Lebih jauh maka seluruh aktivitas
muslim selalu diupayakan selaras dengan nilai-nilai yang ada dalam sumber pokok Islam, Al-
Quran dan As-Sunah.
Semuanya itu perlu pengimplementasian dalam kehidupan kalau perlu diwujudkan dalam
bentuk Negara, mengapa harus negara? Karena Negara mempunyai kekuasaan sekaligus
wilayah yang membawahi rakyat. Dengan demikian harapan yang muncul adalah masyarakat
bisa taat pada hukum Islam karena sudah ada institusi legal yang bisa menuntut sangsi bila
hukum tersebut tidak dijalankan. Yang perlu digaris bawahi adalah bagi Islam tujuan
bernegara adalah menegakkan keadilan dalam kehidupan bersama, keadilan sosial. Oleh
sebab itu, bagi Islam Negara adalah instrument bagi segenap warganya untuk merealisasikan
cita-cita keadilan social.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagimana mengartikulasikan wujud cita-cita tersebut di
tengah pluralnya masyarakat? Untuk menjawab apalagi mengartikulasikan tidaklah mudah,
banyak kendala yang dihadapi di lapangan. Setidaknya ada dua kendala yang menjadi batu
sandungan yakni kendala konsepsional dan kendala praktis. Kendala konsepsional adalah
kendala bagaimana ajaran Islam yang normativ dapat dijabarkan menjadi separangkat aturan
yang berfungsi untuk pelaksanaan di lapangan. Sedangkan kendala praktis yaitu kendala
bagaimana implikasi praktis yang sangat mungkin timbul pada masyarakat yang plural.
\
Mohtar Mas’oed menuliskan bahwa setidaknya ada dua pendekatan sebagai upaya
pengartikulasikan Islam dalam kehidupan masyarakat yaitu pertama, Islamisasi Negara
nasional untuk kepentingan umat Islam dan kedua Islamisasi masyarakat dalam Negara
nasional. Yang dimaksud Islamisasi negara adalah upaya merealisasikan ajaran dalam
Negara. Negara Indonesia di upayakan berdasarkan Islam. Pandangan ini muncul karena
melihat kenyataan kuantitas umat Islam memang menjadi umat terbanyak dan sudah
sewajarnya bila hukum Islam dijadikan sumber hukum Negara. Alasan logis karena yang
akan merasakan adalah umat Islam. Toh, dalam hukum Islam juga ada hukum-hukum yang
mengatur umat non-Islam yang disebut kaum zimmi. Keberadaan mereka tidak
dikesampingkan begitu saja bahkan ajaran Islam menyuruh umatnya melindungi nyawa dan
harta benda mereka.
Kritik bermunculan ketika cara ini akan ditempuh karena dinilai cara ini terlalu
diskriminatif. Mereka mengatakan kemerdekaan Indonesia tidaklah semata-mata diraih umat
Islam. Serta semenjak dahulu kepulauan nusantara tidak hanya dihuni oleh satu umat
melainkan berbagai jenis umat, kepercayaan. Jadi kalau ada hukum agama yang dijadikan
hukum konstitusional adalah mengingkari kenyataan bahwa negara ini memang plural. Selain
itu mereka mencurigai umat Islam sebagai umat yang hegemonik dan egois kerena terlalu
ambisius mempengaruhi kebijakan pemerintah. Lebih jauh lagi, umat Islam akan dianggap
ekstrim, karena menganggap atau merasa bahwa agamanya yang paling benar.
Memang jalur struktural atau Islamisasi Negara nasional sering kali mengalami benturan
baik dengan penguasa maupun dengan pihak umat agama lain. Pendekatan lain untuk
mengartikulasikan Islam adalah Islamisasi masyarakat dalam Negara nasional, yang
dimaksud dengan pendekatan ini adalah penterjemahan politik Islam secara substansial, yakni
ajaran-ajaran Islam diterjemahkan dalam bahasa- bahasa ekonomi, kemanusiaan, hak asasi
manusia, pemberdayaan masyakat, dan lain-lain. Pendekatan ini memandang perjuangan
Islam tidaklah sempit, yaitu terbatas pada arena politik dan parlemen, namun lebih luas dari
itu, yaitu meliputi kebudayaan, pendidikan dan lain-lain. Bagi mereka yang menggunakan
pendekatan ini yang penting adalah pesan-pesan pokok Islam dapat terwujud seperti
semangat egalitarian, humanitas, demokrasi, keadilan sosial, dan lain-lain serta tidak
mengedepankan wacana negara Islam.
Pendekatan model ini lebih disukai oleh tokoh-tokoh Islam dan penguasa. Selain itu,
pendekatan ini lebih mengedepankan sikap saling mejaga keharmonisan antara umat
beragama serta menjaga hubungan Islam dan penguasa yang selama ini selalu terjadi konflik
diantara mereka. Pendekatan ini memang harus dipahami umat Islam sendiri bahwa
pendekatan ini lebih menguntungkan bagi keberlangsungan Negara dan agama. Syarat ayang
harus di miliki adalah bagimana memandang dan memperlakukan Islam sendiri. Apakah
Islam dipandang secara tekstual atau memahami hakikat mengapa Islam itu diturunkan.
Secara hakikat Islam turun sebagai rahmatan lil ‘alamin, sebagai rahmat bagi alam. Tentu
banyak jalan untuk membumikan pada tatanan kehidupan masyarakat sehingga terwujud
masyarakat madani. Semua ini asalah tinggal umat Islam sendiri memandang Islam, sebatas
kulit atau menyeluruh. Yang penting bagi umat Islam adalah mempunyai sikap “ojo
rumongso biso nanging biso rumongso” atau menyebarkan Islam dengan “bil hikmah wa
mauidlotul hasanah”.
Islam adalah faktor penting dalam bangunan kebangsaan Indonesia. Sumber daya budaya,
sosial dan politik serta ekonomi negara ini secara potensial berada dan melekat dalam tubuh
warganya yang mayoritas muslim. Kolaborasi Islam dan budaya lokal selama berabad-abad
hingga cucuran keringat, air mata dan darah para syuhada’ telah memperkokoh bangunan ke-
Indonesia-an modern. Sejarah Indonesia juga mencatat penolakan dan penentangan umat
Islam terhadap penindasan kolonialisme. Agenda ekonomi, politik, sosial, pendidikan dan
keagamaan yang digerakkan oleh SI, Muhammadiyah dan NU terbukti mengusung cita-cita
luhur memperjuangkan terwujudnya kemerdekaan dan pemerintahan sendiri oleh rakyat
Indonesia.
Demikian halnya para tokoh pergerakan nasional dari kalangan muslim, meskipun
mereka kelihatan berbeda-beda penekanan dan perspektifnya tentang nasionalisme Indonesia,
tak diragukan lagi kecintaan dan komitmen mereka pada perjuangan terwujudnya negara
bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Jika kehidupan bernegara ditujukan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur,
maka tentulah berkenaan dengan umat Islam Indonesia. Maka umat Islam juga harus
mengambil peran strategis dan kreatif memajukan Indonesia menuju negara plural yang kuat.
Penolakan terhadap nation-state dalam sisi tertentu menunjukkan kekhawatiran berlebihan
terhadap subordinasi Islam oleh negara, juga merupakan ekspresi dari ketidakberdayaan
mengambil peran-peran kreatif dan strategis dalam merealisasikan keIslamann dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Islam dan Nasionalisme Indonesia adalah dua sisi mata uang yang saling memberikan
makna. Keduanya tidak bisa diposisikan secara diametral atau dikhotomik. Nasionalisme
selalu meletakkan keberagaman atau pluralitas sebagai konteks utama yang darinya dapat
melahirkan ikatan dasar yang menyatukan sebuah negara bangsa. Idealnya umat Islam tidak
perlu merasa khawatir kehilangan identitasnya karena persenyawaannya dalam negara
bangsa. Perjuangan yang ditekankan untuk menonjolkan identitas atau simbol-simbol
keIslaman dalam kerangka perjuangan politik kebangsaan hanya merupakan cerminan
kelemahan umat Islam sendiri. Selain itu, meskipun terbuka peluangnya di alam demokrasi
ini, penekanan berlebihan dalam hal itu akan potensial menjadi penyulut disintegrasi, dan ini
tidak sejalan dengan nasionalisme itu sendiri. Idealnya, perjuangan politik umat Islam
menekankan pada penguatan nasionalisme Indonesia dengan memperkokoh faktor-faktor
perekat kebangsaan yang secara substantif. Nilai-nilai dimaksud merupakan nilai-nilai
universal Islam yang menyentuh kesadaran pragmatis warga negara, seperti keadilan,
kesejahteraan, kepercayaan, dan sebagainya.
A. Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam merupakan
faktor penting dalam negara Indonesia. Agenda ekonomi, politik, sosial, pendidikan dan
keagamaan yang digerakkan oleh para organisasi Islam terbukti mengusung cita-cita luhur
memperjuangkan terwujudnya kemerdekaan dan pemerintahan sendiri oleh rakyat Indonesia.
Adapun hubungan Islam dan negara di Indonesia dapat berupa hubungan yang bersifat
antagonistik dan bersifat akomodatif. Dimana antagonistik adalah sifat hubungan yang
mencirikan adanya ketegangan, sedangkan akomodatif adalah sifat hubungan yang saling
mendukung satu sama lain.
B. Saran
Dengan meletakkan Islam secara tegas sebagai sumber inspirasi dan nilai atas negara,
maka diharapkan akan segera menyelesaikan hubungan yang antagonistik yang selama ini
terbangun. Ketegasan itu dirasa penting untuk memberikan “kesimpulan” mengenai
hubungan Islam dan negara, di saat politik identitas dan radikalisasi atas nama agama yang
semakin menguat akhir-akhir ini di Indonesia. Para ormas Islam hendaknya tidak terlalu
gegabah dalam memperjuangkan Islam di Indonesia. Pemerintah ataupun negara seharusnya
memaklumi, bahwa Islam di Indonesia adalah mayoritas sehingga mereka harus dijadikan
titik berat dalam setiap pembuatan kebijakan-kebijakan atau peraturan yang akan
diberlakukan.
DAFTAR PUSTAKA
http://muhdar-ahmad.blogspot.com/2015/01/tugas-paper-uas-kewarganegaraan-judul.html