Anda di halaman 1dari 63

makalah peran pancasila dalam agama

[Enter Post Title Here]

http://masnurulhidayat.blogspot.com/2010/08/makalah-peran-pancasila-dalam-agama.html

Nama : Masnurul Hidayat


Mata kuliah Pendidikan Pancasila

NIM : 0914011102

Jur. : Pendidikan Ekonomi / Akuntansi

Fak. : Ilmu Sosial

Universitas Pendidikan Ganesha

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak dulu sampai sekarang seperti yang kita ketahui, kalau kepercayaan akan suatu
zat yang diagungkan itu sudah ada sejak zaman nenek moyang kita. Dari mulai menyembah
benda-benda yang dipercaya mempunyai kekuatan ghaib atau dengan kata lain nya animisme,
dan penyembahan akan ruh nenek moyang atau dinamisme.

Agama Asli Nusantara adalah agama-agama tradisional yang telah ada sebelum agama
Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu masuk ke Indonesia.

Mungkin banyak di kalangan masyarakat Indonesia sudah tidak lagi mengetahui bahwa
sebelum agama-agama "resmi" (agama yang diakui); Islam, Kristen Katolik, Kristen
Protestan, Hindu dan Buddha, kemudian kini Konghucu, masuk ke Nusantara atau Indonesia,
di setiap daerah telah ada agama-agama atau kepercayaan asli, seperti:
Sunda Wiwitan yang dipeluk oleh masyarakat Sunda di Kanekes, Lebak, Banten

Sunda Wiwitan aliran Madrais, juga dikenal sebagai agama Cigugur (dan ada beberapa
penamaan lain) di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat

Buhun di Jawa Barat

Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur

Parmalim, agama asli Batak

Kaharingan di Kalimantan

Tonaas Walian di Minahasa, Sulawesi Utara

Tolottang di Sulawesi Selatan

Wetu Telu di Lombok

Naurus di Pulau Seram di Propinsi Maluku

Didalam Negara Republik Indonesia, agama-agama asli Nusantara tersebut didegradasi


sebagai ajaran animisme, penyembah berhala / batu atau hanya sebagai aliran kepercayaan.

Hingga kini, tak satu pun agama-agama dan kepercayaan asli Nusantara yang diakui di
Republik Indonesia sebagai agama dengan hak-hak untuk dicantumkan di KTP, Akta
Kelahiran, pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil, dsb.

Meskipun telah dijelaskan di dalam UUD 1945 dan UU pasal 29 ayat 1 dan 2 yang bunyi nya
“ Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa” (pasal satu), “ Negara Menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk Memeluk agamanya masing-masing dan beribadah
menurut agama dan kepercayaan itu”( pasal dua ). Dan didalam butiran pancasila sila pertama
yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Akan tetapi meski telah dijelaskan didalam UUD 1945 dan
Pasal 29 ayat 1 dan 2, tentang kebebasan beragama, namun agama yang hanya di akui di
Indonesia saja yaitu agama resmi seperti Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu,
Buddha, Konghucu.

Pada saat Piagam Jakarta di tetapkan dalam sidang BPUPKI, butiran yang pertama
menyatakan tentang “……dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya”
karena Negara Indonesia ini adalah Negara Beragama dan bukan Negara agama,sehingga
butiran yang pertama dari piagam Jakarta itu di gantu menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa “.

Sebenarnya seberapa besarkah peranan Agama didalam pancasila itu..? dan bagaimanakah
peranan agama dan pancasila itu didalam kehidupan sehari-hari…? Lalu bagaimana tentang
teks UUD 1945 alenia ke tiga yang menyatakan bahwa “berkat rahmat Allah yang Maha
Kuasa….” Begitu pentingnya peranan ini didalam sebuah Negara yang terdiri dari beberapa
agama, maka dari itu kami mengangkat “PERAN PANCASILA DALAM AGAMA” sebagai
judul dari makalah ini.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Seberapa besarkah peranan agama didalam pancasila itu...?

2. Bagaimanakah peranan agama dan pancasila dalam kehidupan sehari-hari..?

3. Bagaimana tentang isi dari alenia ke tiga dari UUD 1945 yang menyatakan ”Berkat
Rahmat Allah yang Maha Kuasa”..?

C. Tujuan dan Kegunaan pembuatan Makalah

1. Tujuan Penulisan Makalah

a. Untuk mengetahui seberapa pentingkah peranan agama didalam pancasila,

b. Untuk mengetahui bagaimana peranan agama dan pancasila dalam kehidupan sehari-
hari,

c. Untuk mengetahui mengapa UUD 1945 itu tidak boleh diubah oleh siapapun.

2. Kegunaan Penulisan Makalah


a. Bagi Penulis

Penulisan makalah ini disusun sebagai salah satu pemenuhan tugas terstruktur dari mata
kuliah Pancasila.

b. Bagi pihak lain

Makalah ini diharapkan dapat menambah referensi pustaka yang berhubungan dengan Peran
Pancasila Dalam Agama.

BAB II

KEBERADAAN PANCASILA DI DALAM AGAMA

DAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

A. HISTORISITAS PANCASILA DALAM PERGULATAN

AGAMA-AGAMA

Sejak semula Pancasila berperan sebagai mufakat dari pergulatan

90 Revitalisasi Pancasila Sebagai Civil Religion…?

agama-agama dalam meningkatkan moral bangsa yang plural ini.

Gagasan kebersamaan, kebangsaan, keadilan dan kesejahteraan menjadi

idaman rakyat dan tujuan negara ini. Kontroversi bukan saja antar-umat

beragama yang berbeda, tetapi juga inter-umat beragama dan interes

politik. Sesuai dengan nurani bangsa ini, maka Pancasila adalah jalan

keluar dari konflik yang muncul. Di dalam Pancasila segala perbedaan


sosial dilebur secara akomodasi bahkan dapat dikompromikan. Di sinilah

letak keunggulan Pancasila sebagai landasan ideal bagi kehidupan

berbangsa dan bernegara, bahkan bermasyarakat. Namun beberapa orang

tidak puas dan mencoba menggantikan, apakah itu dari pihak ateis

maupun dari pihak agama. Sepanjang sejarah Indonesia berdiri, banyak

usaha yang dilandasi ketidakpuasan ideologi dan ingin memajukan

kelompoknya sendiri di atas kepentingan bangsa dan negara. Jadi sejak

proses kelahiran Negara ini, ada banyak usaha dan cara tertentu untuk

menggantikan Pancasila sebagai landasan ideal bangsa ini.

Sejak awal pembentukan negara ini, tahun 1945, banyak terjadi

kontroversi tentang bentuk negara, “Apakah negara agama atau negara

sekular?” Saya kira ini sebagai suatu pergolakan wajar, di mana banyak

interes golongan berusaha dimasukkan sesuai keinginan diri sendiri.

Setidaknya ada dua golongan besar yang berkontroversi antara kekuatan

agamais dan kekuatan nasionalis. Namun pada waktu itu, konflik sangat

tajam dengan masalah-masalah yang njlimet (rumit), sampai Soekarno

berpidato tentang Pancasila sebagai weltanschauung bangsa. Dari

pidatonya “kelahiran Pancasila” tanggal 1 Juni 1945, terkesan begitu

rumitnya BPUPKI berembuk untuk menentukan filsafat dasar dari negara

yang akan dibentuk tersebut, yaitu “satu negara kebangsaan Indonesia,”

“nationale state” di atas lima pilar negara hingga disebut “Negara

Pancasila” atau lebih lugas lagi “negara gotong royong!” dan “semua

buat semua!”serta “tiada egoisme agama. Indonesia yang merdeka adalah ‘bukan Negara
Islam dan bukan Negara sekular,’ tetapi negara Pancasila. Kesimpulan tersebut sangat tepat,
karena sesuai konteks pergumulan Islam pada waktu itu, meskipun Soekarno juga
menyebutkan agama lain dalam pidatonya. Sebenarnya nilai-nilai luhur Pancasila sudah
digali sebelum pidatonya Sukarno.

B. SILA KETUHANAN YANG MAHA ESA

Sebagai negara yang bermayoritas penduduk agama islam, Pancasila sendiri yang sebagai
dasar negara Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh agama yang tertuang dalam sila
pertama yang berbunyi sila “Ketuhanan yang Maha Esa”. yang pada awalnya berbunyi “…
dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya” yang sejak saat itu dikenal
sebagai Piagam Jakarta.

Namun dua ormas Islam terbesar saat itu dan masih bertahan sampai sekarang yaitu
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menentang penerapan Piagam Jakarta tersebut, karena
dua ormas Islam tersebut menyadari bahwa jika penerapan syariat Islam diterapkan secara
tidak langsung namun pasti akan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dan secara
“fair” hal tersebut dapat memojokkan umat beragama lain. Yang lebih buruk lagi adalah
dapat memicu disintegrasi bangsa terutama bagi provinsi yang mayoritas beragama nonislam.
Karena itulah sampai detik ini bunyi sila pertama adalah “ketuhanan yang maha esa” yang
berarti bahwa Pancasila mengakui dan menyakralkan keberadaan Agama, tidak hanya Islam
namun termasuk juga Kristen, Katolik, Budha dan Hindu sebagai agama resmi negara pada
saat itu.

C. BUTIR-BUTIR PANCASILA SILA PERTAMA

Atas perubahan bunyi sila pertama menjadi Ketuhanan yang Maha Esa membuat para
pemeluk agama lain di luar islam merasa puas dan merasa dihargai.

Searah dengan perkembangan, sila Ketuhanan yang Maha Esa dapat dijabarkan dalam
beberapa point penting atau biasa disebut dengan butir-butir Pancasila. Diantaranya:

- Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaanya kepada Tuhan Yang Maha
Esa.

- Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan
agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.
- Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antra pemeluk agama dengan
penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

- Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa

- Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut
hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.

- Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan


agama dan kepercayaannya masing-masing

- Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada
orang lain.

Dari butir-butir tersebut dapat dipahami bahwa setiap rakyat Indonesia wajib memeluk satu
agama yang diyakini. Tidak ada pemaksaan dan saling toleransi antara agama yang satu
dengan agama yang lain.

BAB III

PERANAN PANCASILA DALAM AGAMA DAN UUD 1945

A. PANCASILA DIDALAM AGAMA

Keberagaman agama dan pemeluk agama di Indonesia menjadi sebuah kenyataan yang
tak terbantahkan. Kenyataan ini menuntut adanya kesadaran dari setiap pemeluk agama untuk
menjaga keharmonisan hubungan di antara mereka.

Semua pemeluk agama memang harus mawas diri. Yang harus disadari adalah bahwa mereka
hidup dalam sebuah masyarakat dengan keyakinan agama yang beragam. Dengan demikian,
semestinya tak ada satu kelompok pemeluk agama yang mau menang sendiri.

Seperti yang telah kita ketahui bahwa di Indonesia terdapat berbagai macam suku bangsa,
adat istiadat hingga berbagai macam agama dan aliran kepercayaan. Dengan kondisi
sosiokultur yang begitu heterogen dibutuhkan sebuah ideologi yang netral namun dapat
mengayomi berbagai keragaman yang ada di Indonesia, Karena itu dipilihlah Pancasila
sebagai dasar negara.
Konsep negara Pancasila adalah konsep negara agama-agama. Konsep negara yang menjamin
setiap pemeluk agama untuk menjalankan agamanya secara utuh, penuh dan sempurna.
Negara Pancasila bukanlah negara agama, bukan pula negara sekuler apalagi negara atheis.
Sebuah negara yang tidak tunduk pada salah satu agama, tidak pula memperkenankan
pemisahan negara dari agama, apalagi sampai mengakui tidak tunduk pada agama manapun.
Negara Pancasila mendorong dan memfasilitasi semua penduduk untuk tunduk pada
agamanya. Penerapan hukum-hukum agama secara utuh dalam negara Pancasila adalah
dimungkinkan. Semangat pluralisme dan ketuhanan yang dikandung Pancasila telah siap
mengadopsi kemungkinan itu. Tak perlu ada ketakutan ataupun kecemburuan apapun, karena
hukum-hukum agama hanya berlaku pada pemeluknya. Penerapan konsep negara agama-
agama akan menghapus superioritas satu agama atas agama lainnya. Tak ada lagi asumsi
mayoritas – minoritas. Bahkan pemeluk agama dapat hidup berdampingan secara damai dan
sederajat. Adopsi hukum-hukum agama dalam negara Pancasila akan menjamin kelestarian
dasar negara Pancasila, prinsip Bhineka Tunggal Ika dan NKRI.

B. Alenia ke tiga dari UUD 1945 ”Berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa”

Seperti pada piagam jakarta, pada butiran yang pertama yang berbunyi ”dengan
kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluk nya”, yang kemudian di ubah
dalam sidang PPKI menjadi ”Kertuhanan yang Maha Esa”.

Terus bagaimana dengan UUD 1945 pada alenia yang ke tiga yang menyatakan ”Atas
berkart Rahmat Allah yang Maha kuasa”, bukankah Negara ini adalah Negara yang terdiri
dari berbagai macam agama yaitu Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha,
Konghucu masuk ke Indonesia, tapi mengapa hingga saat ini alenia ke tiga pada UUD 1945
tidak dirubah menjadi “Atas berkat Rahmat TRuhan Yang Maha kuasa”…?. Mengapa UUD
1945 itu tidak bias diubah..? apakah yang melatr belakangi itu..?

“Sesuai dengan kesepakatan MPR yang kemudian menjadi lampiran dari ketetapan
MPR No.IX/MPR/1999, Pembukaan UUD 1945 tidak akan diubah. Pembukaan UUD 1945
memuat cita-cita bersama sebagai puncak abstraksi yang mencerminkan kesamaan-kesamaan
kepentingan diantara sesame warga masyarakat yang dalam pernyataan nya harus hidup
ditengah pluralisme atau kemajemukan ( Pembukaan UUD 1945 juga membuat tujuan-tujuan
atau cita-cita bersama yang biasa juga disebut sebagai falsafah kenegaraan atau staatside (cita
negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common plat forms atau kalimatun
sawa diantara sesama warga masyarakat dalam kontek kehidupan bernegara). Inilah oleh
william G.Andrews disebut sebagai kesepakatan (concensus) pertama. Pancasila sebagai
dasar-dasar filosofis terdapat dalam pembukaan UUD1945 yang merupakan kesepakatan
pertama penyanggah konstitusionalisme. Dengan tidak diubahnya pembukaan UUD1945
maka tidak berubah pula kedudukan pancasila sebagai dasar-dasar filosofis bangunan Negara
republic Indonesia. Yang berubah adalah system dan institusi untuk mewujudkan cita-cita
berdasarkan nilai-nilai pancasila. Hal ini sesuai dengan makna pancasila sebagai ideology
terbuka yang hanya dapat dijalankan dalam system yang demokratis dan bersentuhan dengan
nilai-nilai dan perkembangan masyarakat.

Beberapa pihak secara tegas menyatakan bahwa pembukaan UUD 1945 sudah
menjadi harga mati, tidak dapat diubah ataupun di amandemen dengan mengemukaan
alasan :

1. Akan membuka luka lama dalam perdebatan ideology Negara yang pada awalnya dulu
ramai diperdebatkan.

2. Dapat membubarkan Negara

3. Dalam sejarah, pembukaan UUD 1945 tersebut tidak pernah diganti sehingga terkesan
sacral.’

Lalu Apakah benar Pembukaan UUD 1945 tidak pernah berubah? dan apakah negara akan
bubar jika pembukaan UUD 1945 diubah? ada fakta menarik sejarah sbb :

Sejarah ketatanegaraan justru menunjukkan sebaliknya. UUD 1945, UUD RIS, dan UUDS
1950 masing-masing memiliki pembukaan atau mukadimah sendiri-sendiri. Ini jelas berbeda
dengan klaim sebagian pihak. Dengan melihat Keppres RIS No 48, 31 Januari 1950, yang
tercantum dalam Lembaran Negara 50-3 dan diumumkan 6 Februari 1950, dan UU No
7/1950 kita akan terkejut mendapati fakta sejarah bahwa Pembukaan UUD 1945 tidak
digunakan dalam UUD RIS dan UUDS 1950.

Sejarah juga menampilkan fakta yang menarik mengenai kalimat 'Atas berkat rahmat Allah'
di alinea ketiga Pembukaan UUD 1945. Disebutkan dalam Risalah Sidang BPUPKI dan
PPKI yang diterbitkan Sekneg RI (cetakan pertama, edisi ketiga, 1995, hlm 419-420) bahwa I
Gusti Ktut Pudja pada sidang pertama 18 Agustus 1945 berkata 'Ayat 3 atas berkat rahmat
Allah diganti saja dengan 'Tuhan', Tuhan Yang Maha Kuasa'.
Soekarno berkata 'Diusulkan supaya perkataan Allah Yang Maha Esa diganti dengan Tuhan
Yang Maha Esa. Kemudian Soekarno membaca teks Pembukaan dan pada awal alinea ketiga
ia membaca 'Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa ... dst'. Selesai membaca,
Soekarno berkata 'Setuju, tuan-tuan? (suara: setuju). Dengan ini sahlah Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Indonesia.'' Jadi, sebenarnya yang disahkan adalah kalimat 'Atas berkat
rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa'. Ini berbeda dengan Pembukaan UUD 1945 yang kita kenal
selama ini.

Fakta sejarah perubahan Pembukaan UUD 1945 ini semakin kontroversial ketika buku
Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945 (Departemen Penerangan RI, cet III, tanpa
tahun hal 11-29), mencantumkan alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 berbunyi 'Atas berkat
Rachmat Tuhan Yang Maha Kuasa'. Ini artinya sesuai dengan Berita Repoeblik Indonesia
(BRI) 1946 dan berbeda dengan naskah lain yang beredar selama ini. Naskah manakah yang
benar dan sejak kapan negara kita menjadi bubar karena perubahan ini?

Perubahan kata Allah dan Tuhan secara teologis bisa diperdebatkan maknanya. Namun,
dalam konteks hukum tata negara perubahan ini menunjukkan bahwa disadari atau tidak,
Pembukaan UUD 1945 sudah mengalami perubahan dan ternyata negara kita belum juga
bubar.

BAB IV

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

· KESIMPULAN

Berdasarkan latar belakang, pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

Konsep negara Pancasila adalah konsep negara agama-agama. Konsep negara yang menjamin
setiap pemeluk agama untuk menjalankan agamanya secara utuh, penuh dan sempurna.
Negara Pancasila bukanlah negara agama, bukan pula negara sekuler apalagi negara atheis.
Sebuah negara yang tidak tunduk pada salah satu agama, tidak pula memperkenankan
pemisahan negara dari agama, apalagi sampai mengakui tidak tunduk pada agama manapun.
Negara Pancasila mendorong dan memfasilitasi semua penduduk untuk tunduk pada
agamanya.seperti yang telah di tekankan pada butiran pancasiala sila pertama yaitu
”Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Peranan agama dan pancasila di kehidupan sehari-hari saling singkron atau ketergantungan,
dimana Negara Indinesia yang penduduknya memeluk berbagai macam agama dan mayoritas
islam. Salah satu saja ada yang melenceng maka akan terjadi masalah yang besar karena
berhubungan dengan kepercayaan seseorang.

Dalam peranan nya UUD 1945 itu didalam pancasila dan agama juga memiliki kaitan yang
sangat kuat karena UUD 1945 telah menjelaskan butiran-butiran pancasila. UUD 1945 tidak
bisa diubah karen seperti yang dijelaskan diatas bahwa jiak di ubah maka akan menyebabkan
terpecahnya NKRI.

· SARAN

Untuk mengembangkan nilai-nilai Pancasila dan memadukannya dengan agama, diperlukan


usaha yang cukup keras. Salah satunya kita harus memiliki rasa nasionalisme yang tinggi.
Selain itu, kita juga harus mempunyai kemauan yang keras guna mewujudkan negara
Indonesia yang aman, makmur dan nyaman bagi setiap orang yang berada di dalamnya.dan
didalam UUD 1945 kita harus memjadikan pedoman bagi bangsa dan negara ini, agar
terciptanya rasa toleransi antara pemeluk agama di Indonesia dan di dunia, serta untuk
menciptakan suasana yang serasi,selaras dan seimbang.

Peran Pancasila dan Agama di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Tidak adanya sebuah ideologi di sebuah Negara mungkin akan membuat Negara itu
sendiri hancur, Dan tanpa agama Negara juga tidak akan bisa menilai mana yang buruk dan
mana yang baik. Karena itu Indonesia sebagai sebuah Negara yang berdaulat akan
memerlukan keduanya Pancasila maupun agama .   
BAB II
PEMBAHASAN
ISI
Pancasila dan Agama memiliki sebuah kemiripan, yaitu keduanya merupakan
pedoman dalam kehidupan. Tetapi kedua pedoman ini jauh berbeda sudut pandangnya.
Pancasila adalah sumber dari gagasan mengenai wujud masyarakan indonesia, yang
menjamin kesentosaan dan memberikan kesejahteraan lahir dan batin. Pancasila
dipergunakan sebagai pegangan hidup bangsa, penjelmaan falsafah hidup bangsa dalam
pelaksanaan hidup sehari-hari. Semua tingkah laku dan tindakan / perbuatan setiap warga
negara indonesia wajib mengamalkan dan mencerminkan pancaran Pancasila.pancasila pun
adalah pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sedangkan agama adalah pedoman hidup kita yang khususnya berhubungan dengan
Tuhan Yang Maha Esa dalam kehidupan sehari-hari. Harus disadari bahwa kebenaran yang
dapat dicapai oleh kita adalah kebenaran yang masih reklatif tidah absolute atau mutlak.
Tidak semua manusia mengakui bahwa dia mempunyai agaman, agama adalah wahyu atau
karunia dari sang pencipta kepada kita. Agama adalah kepercayaan, keyakinan bahwa kita
adalah makhluk yang di ciptakan oleh sang pencipta, agama pun tidak hanya sebatasa status.
Melainkan di terapkan untuk mengatur tindakan-tindakan yang tidak baik, meluruskan yang
salah menjadi yang benar.
Ideologi hanya sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila bukanlah agama karena kesederhanaan dan keumuman nilai-nilai yang terdapat di
dalamnya, sedangkan agama sangatlah kompleks untuk diterjemahkan dan nilai-nilainya yang
bersifat khusus bagi penganutnya, sedangkan pancasila menjadi sebuah nilai-nilai umum
yang berlaku bagi seluruh rakyatIndonesia, apapun latar belakang agamanya.
Pancasila berbicara tentang kebaikan, sedangkan agama berbicara tentang kebenaran.
Adakalanya kebaikan menjadi bagian dari kebenaran dan sebaliknya. Namun, tetap terdapat
bagian dari kebenaran yang tidak dapat tersentuh oleh nilai kebaikan, begitupun sebaliknya,
tidak semua nilai kebaikan merupakan kebenaran.
Ideologi Pancasila merupakan dasar negara yang mengakui dan mengagungkan
keberadaan agama dalam pemerintahan. Sehingga kita sebagai warga negara Indonesia tidak
perlu meragukan konsistensi atas Ideologi Pancasila terhadap agama. Tidak perlu berusaha
mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi berbasis agama dengan alasan bahwa ideologi
Pancasila bukan ideologi beragama. Ideologi Pancasila adalah ideologi beragama.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pancasila dan Agama sama-sama untuk Pedoman untuk kehidupan kita. Tapi bukan
berarti pancasila adalah agama. Melainkan pancasila menekankan kepada kita saebagai warga
negara Indonesia yang mengunakan pancasila sebagai Ideologi dan landasan untuk memiliki
agama yang terteta pada sila ke-1 yang berbunyi ketuhana yang maha esa. Di indonesia pun
membebaskan warga negaranya untuk memeluk 5 agama yang telah di akui oleh negara.
Dengan kata lain “jangan pernah meng-agama-kan pancasila, dan jangan pula mem-
Pancasilakan agama.

http://akbarhelsis.blogspot.com/2014/11/peran-pancasila-dan-agama-di-indonesia.html

PANCASILA DAN AGAMA

- November 04, 2014

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pancasila merupakan dasar negara, dan pemersatu bangsa Indonesia yang


majemuk.Pancasila  juga  jati  diri  bangsa  Indonesia,  sebagai  falsafah,  ideologi,  dan
alat pemersatu  bangsa  Indonesia  Mengapa  begitu  besar  pengaruh  Pancasila terhadap
bangsa dan negara Indonesia?  Hal ini dikarena bangsa Indonesia memilki
keragaman  suku,  agama,  bahasa daerah,  pulau,  adat  istiadat,  kebiasaan  budaya, serta
warna kulit jauh berbeda satu sama lain tetapi hal -hal atau perbedaan di atas harus
dipersatukan.

Sejarah  Pancasila  adalah  bagian  dari  sejarah  inti  negara  Indonesia. Sehingga tidak


heran bagi sebagian rakyat Indonesia, Pancasila dianggap sebagai
sesuatu  yang  sakral  yang  harus  kita hafalkan  dan  mematuhi  apa  yang  diatur  di
dalamnya.  Ada  pula  sebagian  pihak  yang  sudah hampir  tidak  mempedulikan  lagi
semua  aturan-aturan  yang  dimiliki  oleh  Pancasila.  Namun, di  lain  pihak  muncul orang-
orang yang tidak sepihak atau menolak akan adanya Pancasila sebagai dasar negara
Indonesia. Mungkin  kita  masih  ingat  dengan  kasus  kudeta  Partai Komunis  Indonesia
yang  menginginkan  mengganti  ideologi  Pancasila  dengan  ideologi Komunis.  Juga
kasus  kudeta  DI/TII  yang  ingin  memisahkan  diri  dari  Indonesia  dan mendirikan
sebuah  negara  Islam.  Atau  kasus  yang  masih  hangat  di  telinga  kita  masalah
pemberontakan  tentara  GAM. 

Mengapa banyak orang yang menetang pancasila dengan alasan agama. Masalah
pokoknya adalah kurangnya pemahaman mereka tentang ideologi pancasila dan
juga  kesalahan merekadalam  menafsirkan    pelajaran pelajaran atau ilmu agama yang
mereka   dapatkan.  atau mungkin juga mereka mudah di pengaruhi dan di hasut dengan
alasan agama atau kebebasan.dengandemikian sangat  mudah bagi orang orang yang ingin
menghancurkan negri ini memanfaatkan mereka.

B.     Perumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1.    Apa yang dimaksud dengan pancasila dan agama?

2.    Apa hubungan pancasila dan agama?

3.    Apakah  Pancasila  masih  bisa  menjadi  ideologi  yang  dianut  oleh  bangsa Indonesia
yang terdapat beragam kepercayaan (agama).?

4.    Apakah  dengan  menjadikan  Pancasila  sebagai  dasar  ideologi  negara Indonesia, dapat


menuju negara yang aman dan stabil.

PEMBAHASAN

PANCASILA DAN AGAMA

A.    Pengertian Pancasila dan Agama

Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari
Sanskerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan
dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.Pancasila
adalah pedoman luhur yang wajib di ta’ati dan dijalankan oleh setiap warga negara Indonesia
untuk menuju kehidupan yang sejahtera tentram,adil,aman,sentosa.

Agama adalah ajaran sistem yang mengatur tata keimanan kepada Tuhan Yang Maha
kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia an manusia
serta  lingkungan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia)

B.     Hubungan Pancasila dan Agama

Pancasila  yang  di  dalamnya  terkandung  dasar
filsafat  hubungan  negara  dan  agama merupakan  karya besar bangsa  Indonesia  melalui
The  Founding  Fathers Negara Republik Indonesia. Konsep pemikiran para pendiri
negara  yang  tertuang  dalam  Pancasila  merupakan karya khas yang
secara  antropologis  merupakan
local  geniusbangsa  Indonesia  (Ayathrohaedi dalam  Kaelan,  2012).
Begitu  pentingnya  memantapkan  kedudukan  Pancasila,
maka  Pancasila pun  mengisyaratkan  bahwa  kesadaran akan adanya Tuhan milik semua
orang dan berbagai agama. Tuhan  menurut  terminologi  Pancasila  adalah  Tuhan  Yang
Maha Esa, yang tak terbagi, yang maknanya sejalan dengan
agama  Islam,  Kristen,  Budha,  Hindu  dan  bahkan  juga Animisme (Chaidar, 1998: 36).

Menurut  Notonegoro (dalam  Kaelan, 2012:  47),  asal


mula  Pancasila  secara  langsung salah  satunya  asal  mula bahan (Kausa Materialis) yang
menyatakan bahwa “bangsa Indonesia adalah  sebagai  asal  dari  nilai-nilai  Pacasila, yang
digali dari bangsa Indonesia yang berupa nilai-nilai adat-istiadat  kebudayaan  serta  nilai-
nilai  religius  yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari bangsa
Indonesia”.Sejak  zaman  purbakala  hingga  pintu  gerbang
(kemerdekaan)  negara Indonesia,  masyarakat Nusantara telah melewati ribuan tahun
pengaruh agama-agama lokal,
(sekitar)  14  abad  pengaruh  Hinduisme  dan  Budhisme,  (sekitar)  7  abad  pengaruh  Islam, 
 dan (sekitar)  4  abad pengaruh  Kristen  (Latif, 2011:  57).  Dalam  buku  Sutasoma
karangan Empu Tantular dijumpai kalimat yang kemudian dikenal Bhinneka Tunggal Ika.
Sebenarnya kalimat tersebut secara lengkap  berbunyi Bhinneka Tunggal Ika Tan Hanna
Dharma  Mangrua, artinya  walaupun  berbeda,  satu  jua
adanya,  sebab  tidak  ada  agama  yang  mempunyai  tujuan yang berbeda (Hartono, 1992: 5).
Kuatnya faham keagamaan dalam formasi kebangsaan Indonesia membuat arus besar
pendiri bangsa tidak dapat membayangkan  ruang  publik  hampa  Tuhan.  Sejak  dekade
1920-an,  ketika Indonesia  mulai  dibayangkan  sebagai
komunitas  politik  bersama,  mengatasi  komunitas kultural dari ragam etnis dan agama, ide
kebangsaan tidak terlepas dari  Ketuhanan  (Latif,  2011: 67).  Secara  lengkap
pentingnya  dasar  Ketuhanan  ketika  dirumuskan  oleh founding  fathers
negara  kita  dapat  dibaca  pada  pidato  Ir.
Soekarno  pada  1  Juni  1945,  ketika  berbicara mengenai dasar negara (philosophische
grondslag) yang menyatakan, “Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-
Tuhan,  tetapi  masing-masing  orang Indonesia  hendaknya  ber-Tuhan. Tuhannya
sendiri.  Yang  Kristen  menyembah  Tuhan menurut  petunjuk  Isa  Al  Masih,  yang Islam
menurut  petunjuk  Nabi  Muhammad  s.a.w,  orang
Budha  menjalankan  ibadatnya menurut  kitabkitab  yang  ada  padanya.  Tetapi  marilah  kit
a semuanya  ber-Tuhan.  Hendaknya negara Indonesia  ialah  negara  yang  tiap-
tiap  orangnya dapat  menyembah  Tuhannya  dengan leluasa.
Segenap  rakyat  hendaknya  ber-Tuhan. 

Secara kebudayaan yakni dengan tiada “egoisme agama”.


Dan  hendaknya  Negara  Indonesia satu  negara yang ber-Tuhan” (Zoelva, 2012).Pernyataan
ini mengandung dua arti pokok. Pertama pengakuan  akan  eksistensi  agama-
agama  di  Indonesia yang,  menurut  Ir.  Soekarno, “mendapat  tempat  yang sebaik-
baiknya”.  Kedua,  posisi  negara  terhadap  agama,  Ir.
Soekarno menegaskan  bahwa  “negara  kita  akan  berTuhan”. Bahkan dalam bagian akhir
pidatonya, Ir. Soekarno
mengatakan,  “Hatiku  akan  berpesta  raya,  jikalau  saudarasaudara  menyetujui  bahwa Indo
nesia  berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

 Hal ini relevan dengan ayat (1) dan (2) Pasal 29 UUD 1945 (Ali, 2009:
118).Jelaslah  bahwa ada  hubungan  antara  sila  Ketuhanan
Yang  Maha  Esa  dalam  Pancasila  dengan  ajaran  tauhid
dalam  teologi  Islam.  Jelaslah  pula  bahwa  sila  pertama Pancasila yang merupakan prima
causa atau sebab pertama itu (meskipun istilah prima causa tidak selalu tepat, sebab
Tuhan  terus-menerus  mengurus  makhluknya),  sejalan dengan beberapa ajaran tauhid
Islam, dalam hal ini ajaran tentang tauhidus-shifat dan tauhidul-af’al, dalam pengertian
bahwa  Tuhan  itu  Esa  dalam sifat-Nya  dan  perbuatan-Nya.
Ajaran  ini  juga  diterima  oleh  agama-agama  lain  di Indonesia (Thalib dan Awwas, 1999:
63). Prinsip  ke-Tuhanan  Ir.  Soekarno  itu  didapat  dari -atau sekurang-
kurangnya  diilhami  oleh  uraian-uraian  dari
para  pemimpin  Islam  yang  berbicara mendahului  Ir.
Soekarno  dalam  Badan  Penyelidik  itu,  dikuatkan  dengan
keterangan Mohamad  Roem.  Pemimpin  Masyumi  yang
terkenal  ini  menerangkan  bahwa  dalam  Badan Penyelidik
itu  Ir.  Soekarno  merupakan  pembicara  terakhir;  dan membaca pidatonya orang mendapat
kesan bahwa pikiranpikiran  para  anggota  yang  berbicara  sebelumnya  telah
tercakup di  dalam  pidatonya  itu,  dan  dengan  sendirinya
perhatian  tertuju  kepada  (pidato)  yang terpenting.
Komentar  Roem,  “Pidato  penutup  yang  bersifat menghimpun  pidato-
pidato  yang telah  diucapkansebelumnya” (Thalib dan Awwas, 1999:
63).Prinsip  Ketuhanan  Yang  Maha  Esa mengandung
makna  bahwa  manusia  Indonesia  harus  mengabdi  kepada satu  Tuhan, yaitu Tuhan Yang
Maha Esa dan  mengalahkan ilah-ilah  atau  Tuhan-Tuhan  lain  yang  bisa
mempersekutukannya.  Dalam  bahasa  formal  yang  telah
disepakati  bersama  sebagai  perjanjian bangsa  sama maknanya dengan kalimat “Tiada
Tuhan selain Tuhan Yang Maha  Esa”.  Di  mana pengertian  arti  kata  Tuhan  adalah
sesuatu  yang  kita  taati  perintahnya  dan kehendaknya.Prinsip  dasar  pengabdian  adalah  ti
dak  boleh  punya  dua tuan, hanya satu tuannya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Jadi
itulah  yang  menjadi  misi  utama  tugas  para  pengemban
risalah  untuk  mengajak  manusia  mengabdi  kepada  satu
Tuan,  yaitu  Tuhan  Yang  Maha  Esa  .

Pada  saat  kemerdekaan,  sekularisme  dan  pemisahan
agama  dari  negara  didefinisikan melalui  Pancasila.  Ini penting untuk dicatat
karena  Pancasila tidak  memasukkan
kata sekularisme  yang  secara  jelas  menyerukan  untuk
memisahkan  agama  dan  politik  atau menegaskan  bahwa
negara  harus  tidak  memiliki  agama.  Akan  tetapi,  hal-hal tersebut terlihat dari fakta
bahwa Pancasila tidak mengakui satu  agama  pun  sebagai  agama  yang  diistimewakan
kedudukannya  oleh  negara  dan  dari  komitmennya
terhadap  masyarakat  yang  plural  dan egaliter.  Namun,
dengan  hanya  mengakui  lima  agama  (sekarang  menjadi  6
agama:  Islam, Kristen  Katolik,  Kristen  Protestan,  Hindu,
Budha  dan  Konghucu)  secara  resmi,  negara Indonesia
membatasi  pilihan  identitas  keagamaan  yang  bisa  dimiliki
oleh  warga  negara. Pandangan  yang  dominan  terhadap  Pancasila  sebagai  dasar  negara  I
ndonesia  secara  jelas menyebutkan  tempat  bagi  orang  yang  menganut  agama tersebut,
tetapi tidak bagi mereka yang tidak menganutnya.
Pemahaman  ini  juga  memasukkan  kalangan  sekuler  yang
menganut agama  tersebut,  tapi  tidak  memasukkan
kalangan  sekuler  yang  tidak  menganutnya.  Seperti yang
telah  ditelaah  Madjid,  meskipun  Pancasila  berfungsi
sebagai  kerangka  yang  mengatur masyarakat  di  tingkat
nasional  maupun  lokal,  sebagai  individu  orang  Indonesia bisa dan bahkan didorong untuk
memiliki pandangan hidup personal yang berdasarkan agama (An-Na’im, 2007: 439).

Dalam  hubungan  antara  agama  Islam  dan  Pancasila,
keduanya  dapat  berjalan  saling menunjang  dan  saling
mengokohkan.  Keduanya  tidak  bertentangan  dan  tidak
boleh dipertentangkan.  Juga  tidak  harus  dipilih  salah  satu dengan sekaligus membuang
dan menanggalkan yang lain. Selanjutnya  Kiai  Achamd Siddiq  menyatakan  bahwa  salah
satu hambatan  utama  bagi  proporsionalisasi  ini  berwujud
hambatan  psikologis,  yaitu  kecurigaan dan  kekhawatiran
yang  datang  dari  dua  arah  (Zada  dan  Sjadzili  (ed),  2010: 79). hubungan negara  dengan
agama  menurut  NKRI  yang  berdasarkan  Pancasila  adalah sebagai berikut (Kaelan, 2012:
215-216):

a.       Negara adalah berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

b.      Bangsa  Indonesia  adalah  sebagai  bangsa  yang
berKetuhanan  yang  Maha  Esa. Konsekuensinya  setiap
warga  memiliki  hak  asasi  untuk  memeluk  dan
menjalankan ibadah  sesuai  dengan  agama  masingmasing.

c.       Tidak ada tempat bagi atheisme dan sekularisme karena


hakikatnya  manusia  berkedudukan kodrat  sebagai makhluk Tuhan.
d.      Tidak  ada  tempat  bagi  pertentangan  agama,  golongan
agama,  antar  dan  inter  pemeluk agama  serta  antar pemeluk agama.

e.       Tidak  ada  tempat  bagi  pemaksaan  agama  karena ketakwaan itu bukan hasil peksaan


bagi siapapun juga.

f.       Memberikan  toleransi  terhadap  orang  lain  dalam menjalankan agama dalam negara.

g.      Segala  aspek  dalam  melaksanakan  dan
menyelenggatakan  negara  harus  sesuai  dengan nilainilai Ketuhanan yang Maha Esa
terutama norma-norma Hukum positif maupun norma moral baik moral agama maupun moral
para penyelenggara negara.

h.       Negara  pda  hakikatnya  adalah  merupakan  “…berkat rahmat Allah yang Maha Esa”.

Berdasarkan kesimpulan Kongres Pancasila (Wahyudi (ed.), 2009: 58), dijelaskan bahwa
bangsa Indonesia adalah bangsa  yang  religius.  Religiusitas  bangsa  Indonesia  ini,
secara  filosofis merupakan  nilai  fundamental  yang
meneguhkan  eksistensi  negara  Indonesia  sebagai  negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha
Esa. Ketuhanan Yang Maha Esa  merupakan  dasar  kerohanian bangsa  dan  menjadi
penopang  utama  bagi  persatuan  dan  kesatuan  bangsa
dalam  rangka menjamin  keutuhan  NKRI.  Karena  itu,  agar terjalin hubungan selaras dan
harmonis antara agama dan negara, maka negara sesuai dengan Dasar Negara Pancasila
wajib  memberikan perlindungan  kepada agama-agama  di Indonesia.

C.    Makna Ketuhanan Yang Maha Esa

“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” [Pasal 29 ayat (1) UUD 1945] serta
penempatan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dalam Pancasila mempunyai
beberapa makna, yaitu:

Pertama, Pancasila lahir dalam suasana kebatinan untuk melawan kolonialisme dan
imperialisme, sehingga diperlukan persatuan dan persaudaraan di antara komponen bangsa.
Sila pertama dalam Pancasila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi faktor penting untuk
mempererat persatuan dan persaudaraan, karena sejarah bangsa Indonesia penuh dengan
penghormatan terhadap nilai-nilai ”Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Kerelaan tokoh-tokoh Islam untuk menghapus kalimat “dengan kewajiban menjalankan


syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” setelah “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada saat
pengesahan UUD, 18 Agustus 1945, tidak lepas dari cita-cita bahwa Pancasila harus mampu
menjaga dan memelihara persatuan dan persaudaraan antarsemua komponen bangsa. Ini
berarti,  tokoh-tokoh Islam yang menjadi founding fathers bangsa Indonesia telah menjadikan
persatuan dan persaudaraan di antara komponen bangsa sebagai tujuan utama yang harus
berada di atas kepentingan primordial lainnya.

Kedua, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta berkesimpulan bahwa sila
”Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah sebab yang pertama atau causa prima dan sila
”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”
adalah kekuasaan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk melaksanakan
amanat negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat. Ini berarti, ”Ketuhanan
Yang Maha Esa” harus menjadi landasan dalam melaksanakan pengelolaan negara dari
rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat.

Ketiga, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta juga berkesimpulan bahwa
sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus dibaca sebagai satu kesatuan dengan sila-sila lain
dalam Pancasila secara utuh. Hal ini dipertegas dalam kesimpulan nomor 8 dari seminar tadi
bahwa: Pancasila adalah (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan
beradab, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan) yang berkerakyatan dan yang
berkeadilan sosial; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan Yang Maha
Esa, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan), yang berkerakyatan dan yang berkeadilan
sosial; (3) Persatuan Indonesia (kebangsaan) yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, berkerakyatan dan berkeadilan sosial; (4)
Kerakyatan, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan
beradab, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan) dan berkeadilan sosial; (5) Keadilan
sosial, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab,
yang bepersatuan Indonesia (berkebangsaan) dan berkerakyatan. Ini berarti bahwa sila-sila
lain dalam Pancasila harus bermuatan Ketuhanan  Yang Maha Esa dan sebaliknya Ketuhanan
Yang Maha Esa harus mampu mengejewantah dalam soal kebangsaan (persatuan), keadilan,
kemanusiaan, dan kerakyatan.

Keempat, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” juga harus dimaknai bahwa
negara melarang ajaran atau paham yang secara terang-terangan menolak Ketuhanan Yang
Maha Esa, seperti komunisme dan atheisme. Karena itu, Ketetapan MPRS No. XXV Tahun
1966 tentang Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham
atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme masih tetap relevan dan kontekstual. Pasal 29
ayat 2 UUD bahwa  “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing …” bermakna bahwa negara hanya menjamin kemerdekaan untuk
beragama. Sebaliknya, negara tidak menjamin kebebasan untuk tidak beragama (atheis). Kata
“tidak menjamin” ini sudah sangat dekat dengan pengertian “tidak membolehkan”, terutama
jika atheisme itu hanya tidak dianut secara personal, melainkan juga didakwahkan kepada
orang lain

D.    Kontrovensi Pancasila dan Agama

Sebagai sebuah negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama islam,


maka  Pancasila sendiri  sebagai  dasar  negara  Indonesia  tidak  bisa  lepas  dari pengaruh
agama yang tertuang dalam sila pertama yang berbunyi sila “Ketuhanan yang Maha Esa”.
yang pada awalnya berbunyi “… dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi
pemeluknya” yang sejak saat itu dikenal sebagai Piagam Jakarta.
Namun  ada  dua  ormas  Islam  terbesar  saat  itu  yang  menentang bunyi  sila
pertama  tersebut,  karena  dua  ormas  Islam  tersebut  menyadari  bahwa  jika  syariat
Islam  diterapkan  maka  secara  tidak  langsung  akan  menjadikan.

Indonesia  sebagai negara  Islam  yang  utuh
maka  hal  tersebut  dapat  memojokkan  umat beragama lainnya.  Yang lebih  buruk
lagi  adalah  akan memecah  belah  bangsa ini  khususnya bagi  provingsi-provingsi  yang
sebagian  besar  penduduknya  nonmuslim.  Karena itulah sampai detik ini bunyi sila pertama
adalah “ketuhanan yang maha esa” yang
berarti  bahwa  Pancasila mengakui  dan  menyakralkan  keberadaan  Agama,  tidak
hanya  Islam  namun  termasuk  juga Kristen,  Katolik,  Budha, khonhucu  dan  Hindu
sebagai agama resmi negara pada saat itu.

E.     Makna Sila Pancasila dalam Agama


keterkaitan hubungan antara rukun Islam sebagai landasan agama Isalam dan Pancasila
sebagai landasan negara Indonesia. Adapun hubungan itu yaitu pertama dari segi jumlah,
rukun Islam berjumlah lima begitupun pancasila. Kedua, dari segi makna yaitu:

1.      Ketuhanan Yang Maha Esa, sila ini kerat aitannya denagn rukun Islam yang pertama yaitu
syahadat. Secara umum, sila ini menerangkan tentang ketuhanan begitu pun syahadat yang
mempunyai makna pengakuan terhadap tuhan yaitu Allah SWT. Selain itu, kata Esa sendiri
berarti tunggal, yang sebagaimana yang kita ketahui bahwa Isalm sebagai agama mayoritas
penduduk negeri ini mempunyai tuhan tunggal Allah SWT.  

2.   Kemanusiaan yang adil dan beradab sila kedua pancasila, berkaitan dengan rukun
Islam kedua yaitu Shalat. Shalat dalam Islam selain sebagai ibadah wajib juga
dilakukan untuk mendidik manusia menjadi manusia yang beradab. Sholat adalah
sebuah media untuk mencegah perbuatan yang tidak terpuji, sebagai mana yang di
firmankan oleh Allah bahwa Shalat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar.
3. Persatuan Indonesia yang artinya seluruh elemen rakyat yang ada di Indonesia yang
terdiri dari berbagai macam suku dan adat bersatu dan membentuk kesatuan dalam
wadah bangsa Indonesia. Kaitannya dengan itu, persatuan terbentuk ketika jurang
pemisah sudah tidak ada lagi di masyarakat. salah satu jurang pemisah yang paling
nyata yaitu jurang antara yang miskin dan yang kaya. Untuk menyatukan jurang
pemisah tersebut maka di agama Islam diwajibkan membayar zakat bagi orang-orang
kaya yang akan disalurkan untuk kepentingan kaum miskin dan duafa. Zakat yang
notabennya adalah rukun Islam ketiga sangat erat kaitannya dengan poin pancasila
ketiga tersebut. Dengan zakat akan terbentuk rasa kasih sayang pada umat yang akan
menghasilkan persatuan yang di cita-citakan.
4. Kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan sangat erat kaitannya dengan rukun islam keempat yaitu puasa. Dengan
pusas akan terbentuk sifat bijaksana dan kepemimpinan. Ciri orang bijaksana, yaitu ia
mampu merasakan dan mempumnyuai rasa kasih sayang sesame, semua itu adalah
hikmah dari puasa. Selain itu, dalam menentukan waktu puasa, perlu dilakukan suatu
musyawarah yang dikenal dengan siding istbat.
5. Keadialan sosial bagi seluruh rakyat Indionesia. Pada rukun Islam, terdapat yang
namanya haji. Haji adalah proses sosial yang terbesar di dunia ini, dimana setiap
orang datang dari berbagai negara dengan berbagai bahasa dan kebiasaan bergabung
menjadi satu dalam satu tempat dan waktu dalam kedudukan yang sama. Di dalalam
haji, tidak memandang itu siapa dan siapa, semuanya sama, pakaiannya sama dan
peraturan dan hukumnya sama. Semua itu adalah cerminan dari keadilan tuhan.

F.     Implikasi Agama dalam Kehidupan Berdasarkan Pancasila


Pancasila  dan  agama  dapat  diaplikasikan  seiring
sejalan  dan  saling  mendukung.  Agama dapat  mendorong aplikasi  nilai-
nilai  Pancasila,  begitu  pula  Pancasila memberikan  ruang gerak  yang  seluas-
luasnya  terhadap usaha-usaha  peningkatan  pemahaman,  penghayatan  dan
pengamalan  agama  (Eksan,  2000).  Abdurrahman  Wahid (Gusdur) pun menjelaskan bahwa
sudah tidak  relevan lagi untuk  melihat  apakah  nilai-nilai  dasar  itu  ditarik  oleh
Pancasila  dari agama-agama  dan kepercayaan  terhadap
Tuhan  Yang  Maha  Esa,  karena  ajaran  agama-agama juga
tetap  menjadi  referensi  umum  bagi  Pancasila,  dan  agamaagama  harus  memperhitungkan 
eksistensi  Pancasila sebagai  “polisi  lalu  lintas”  yang  akan  menjamin  semua
pihak  dapat menggunakan  jalan  raya  kehidupan  bangsa tanpa terkecuali (Oesman dan
Alfian, 1990: 167-168).

Moral  Pancasila  bersifat  rasional,  objektif  dan universal dalam arti berlaku bagi seluruh


bangsa Indonesia.
Moral  Pancasila  juga  dapat  disebut  otonom  karena  nilainilainya  tidak mendapat  pengaru
h  dari  luar  hakikat manusia  Indonesia,  dan  dapat  dipertanggungjawabkan
secara  filosofis.  Tidak  dapat  pula  diletakkan  adanya bantuan  dari  nilai-
nilai  agama,  adat, dan  budaya,  karena secara de  facto  nilai-nilai  Pancasila  berasal  dari
agama agama  serta budaya  manusia  Indonesia.
Hanya  saja  nilainilai  yang  hidup  tersebut  tidak  menentukan dasar-dasar
Pancasila,  tetapi  memberikan  bantuan  dan  memperkuat (Anshoriy, 2008:
177).Sejalan  dengan  pendapat  tersebut,  Presiden  Susilo
Bambang  Yudhoyono  (SBY) menyatakan  dalam  Sambutan
pada  Peringatan  Hari  Kesaktian  Pancasila  pada  1  Oktober 2005.

“Bangsa  kita  adalah  bangsa  yang  relijius;  juga,
bangsa  yang  menjunjung  tinggi, menghormati dan  mengamalkan  ajaran  agama  masing-
masing. Karena  itu,  setiap  umat beragama  hendaknya
memahami  falsafah  Pancasila  itu  sejalan  dengan nilai-nilai  ajaran agamanya  masing-
masing. Dengan  demikian,  kita  akan  menempatkan
falsafah  negara  di posisinya  yang  wajar.  Saya berkeyakinan  dengan  sedalam-
dalamnya  bahwa lima  sila  di dalam  Pancasila  itu  selaras  dengan ajaran agama-agama
yang hidup dan berkembang di  tanah air.  Dengan  demikian,  kita  dapat
menghindari  adanya  perasaan  kesenjangan antara meyakini dan mengamalkan ajaran-ajaran
agama,  serta  untuk  menerima  Pancasila  sebagai
falsafah negara  (Yudhoyono  dalam  Wildan  (ed.), 2010: 172).

Dengan  penerimaan  Pancasila  oleh  hampir  seluruh
kekuatan  bangsa,  sebenarnya  tidak  ada alasan  lagi  untuk mempertentangkan  nilai-
nilai  Pancasila  dengan  agama mana pun di Indonesia. Penerimaan sadar ini memerlukan
waktu lama tidak kurang dari 40 tahun dalam perhitungan
Maarif,  sebuah  pergulatan  sengit  yang  telah  menguras
energi  kita  sebagai bangsa.  Sebagai  buah  dari  pergumulan
panjang  itu,  sekarang  secara  teoretik  dari  kelima  nilai
Pancasila  tidak  satu  pun  lagi  yang  dianggap  berlawanan dengan agama. Sila pertama
berupa “Ketuhanan Yang Maha Esa”  dikunci oleh  sila  kelima.

Diharapkan  sebagai  bangsa  indonesia  yang  rakyatnya  memiliki  berbagai
macam  suku  , budaya  dan  agama,  harus  saling  menghormati,  manghargai  dan
menyayangi antara satu suku dan suku lainnya dan antara satu agama dan agama lainnya.
Agar timbul kedamaian dan kerukunan di negara ini.
Jangan  Hanya  karena  merasa  berasal  dari  agama  mayoritas,  kita
merendahkan umat  yang  berbeda  agama  ataupun  membuat  aturan  yang  secara langsung
dan tidak langsung memaksakan  aturan agama yang dianut atau standar agama tertentu
kepada pemeluk agama lainya dengan dalih moralitas.
Hendaknya  kita  tidak  menggunakan  standar  sebuah  agama  tertentu untuk
dijadikan  tolak  ukur  nilai  moralitas  bangsa  Indonesia

Untuk semakin  memperkuatrasa bangga terhadap Pancasila dan memahami


tentang  kerukunan beragama  maka  perlu  adanya  peningkatan  pengamalan  butirbutir
Pancasila khususnya sila ke-1.
Untuk  menjadi  sebuah  negara  Pancasila  yang  nyaman  bagi  rakyatnya,
diperlukan  adanya jaminan  keamanan  dan  kesejahteraan  setiap  masyarakat  yang
ada  di  dalamnya.  Khususnya jaminan  keamanan  dalam  melaksanakan  kegiatan
beribadah.

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Berdasarkan latar belakang, pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Sebagai negara  yang  terdiri  dari  berbagai  macam  agama,  suku,  ras  dan
bahasa  Pancasila  adalah ideologi  yang  sangat  baik  untuk  diterapkan  di  negara
Indonesia.  Sehingga  jika  ideologi Pancasila  diganti  oleh  ideologi  yang  berlatar belakang
agama, akan terjadi ketidaknyamanan bagi rakyat yang memeluk agama di luar agama yang
dijadikan ideologi negara
tersebut.Dengan tetap  menjunjung  tinggi  ideologi  Pancasila  sebagai  dasar  negara,
maka  perwujudan  untuk menuju  negara  yang  aman  dan  sejahtera  pasti  akan tercapai.

B.     Saran

Untuk  mengembangkan  nilai-nilai  Pancasila  dan  memadukannya  dengan
agama,  harus memiliki  rasa  nasionalisme  yang  tinggi.  Selain  itu,  kita  juga  harus
mempunyai kemauan yang keras guna mewujudkan negara Indonesia yang aman, makmur
dan nyaman bagi setiap orang yang berada di dalamnya  serta selalu rukun antar umat
beragam dengan cara saling menghormati dan menghargai.
DAFTAR PUSTAKA

Nopirin.  1980.  Beberapa   Hal  Mengenai  Falsafah  Pancasila,  Cet.  9.  Jakarta: Pancoran


Tujuh.

Notonagoro.  1980.  Beberapa   Hal  Mengenai  Falsafah  Pancasila  dengan  Kelangsung
an Agama, Cet. 8. Jakarta: Pantjoran Tujuh.

Salam, H. Burhanuddin, 1998. Filsafat Pancasilaisme. Jakarta: Rineka Cipta


Koentjaraningrat. 1980.Manusia dan Agama. Jakarta: PT. Gramedia.

http://www.teoma.com

http://www.goodgovernance-bappenas.go.id/artikel_148.htm

http://www.detik.com

http://kangmoes.com/artikel-tips-trik-ide-menarik-kreatif.definisi/pengertian-agama.html

http://suraya-atika.blogspot.com/2014/11/pancasila-dan-agama.html

hubungan pancasila dengan agama di indonesia


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Siapa yang tidak kenal dengan Pancasila dan Soekarno sebagai penggalinya? Pada tanggal 1
Juni 1945 untuk pertama kalinya Bung Karno mengucapkan pidatonya di depan sidang rapat
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan.
Pancasila merupakan pandangan hidup, dasar negara, dan pemersatu bangsa Indonesia yang
majemuk. Mengapa begitu besar pengaruh Pancasila terhadap bangsa dan negara Indonesia?
Kondisi ini dapat terjadi karena perjalanan sejarah dan kompleksitas keberadaan bangsa
Indonesia seperti keragaman suku, agama, bahasa daerah, pulau, adat istiadat, kebiasaan
budaya, serta warna kulit jauh berbeda satu sama lain tetapi mutlak harus dipersatukan.
Sejarah Pancasila adalah bagian dari sejarah inti negara Indonesia. Sehingga tidak heran bagi
sebagian rakyat Indonesia, Pancasila dianggap sebagai sesuatu yang sakral yang harus kita
hafalkan dan mematuhi apa yang diatur di dalamnya. Ada pula sebagian pihak yang sudah
hampir tidak mempedulikan lagi semua aturan-aturan yang dimiliki oleh Pancasila. Namun,
di lain pihak muncul orang-orang yang tidak sepihak atau menolak akan adanya Pancasila
sebagai dasar negara Indonesia.
Mungkin kita masih ingat dengan kasus kudeta Partai Komunis Indonesia yang
menginginkan mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi Komunis. Juga kasus kudeta
DI/TII yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan mendirikan sebuah negara Islam. Atau
kasus yang masih hangat di telinga kita masalah pemberontakan tentara GAM.
Jika kita melihat semua kejadian di atas, kejadian-kejadian itu bersumber pada perbedaan dan
ketidakcocokan ideologi Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia dengan ideologi yang
mereka anut. Dengan kata lain mereka yang melakukan kudeta atas dasar keyakinan akan
prinsip yang mereka anut adalah yang paling baik, khususnya bagi orang-orang yang berlatar
belakang prinsip agama.
Berdasarkan Latar Belakang permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk menulis makalah
yang berjudul “PANCASILA VS AGAMA”.
Masalah pokok yang hendak dikemukakan di sini adalah kenyataan bahwa Pancasila tidak
merupakan paham yang lengkap, juga tidak merupakan kesatuan yang bulat. Kelengkapannya
bergantung pada pemikiran lain yang dijabarkan ke dalam Pancasila; dan kesatuan bulatnya
juga demikian. Dalam rangka ini, paham agama bisa pula masuk.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Apakah Pancasila masih cocok menjadi ideologi yang dianut oleh bangsa Indonesia yang
terdapat beragam kepercayaan (agama).
2. Apakah dengan terus menjadikan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, dapat menuju
negara yang aman dan stabil.
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan Makalah
1. Tujuan Penulisan Makalah
a. Untuk mengetahui sejauh mana Pancasila cocok dengan agama.
b. Untuk mengetahui arti penting dari adanya Pancasila di negara Indonesia.
c. Untuk mengetahui bagaimana seharusnya negara yang memiliki masyarakat yang beragam
agama.
2. Kegunaan Penulisan Makalah
a. Bagi Penulis
Penulisan makalah ini disusun sebagai salah satu pemenuhan tugas terstruktur dari mata
kuliah Pancasila.
b. Bagi pihak lain
Makalah ini diharapkan dapat menambah referensi pustaka yang berhubungan antara
Pancasila dengan Agama.
D. Pembatasan Masalah
1. Penulisan makalah ini dibatasi pemasalahannya yaitu hanya membahas sangkut paut
agama dengan Pancasila.
2. Agama yang menjadi objek utama dalam penulisan makalah ini adalah Agama yang ada di
Indonesia (Islam, dll).
BAB II
METODE PENULISAN
A. OBJEK PENULISAN
Objek penulisan makalah ini adalah mengenai Pancasila dan hubungannya dengan gama-
agama yang ada di Indonesia. Dalam makalah ini juga dibahas mengenai kontroversi
penerapan ideologi pancasila di Indonesia.
B. DASAR PEMILIHAN OBJEK
Kami sebagai penyusun makalah ini, memilih objek Pancasila dengan Agama karena kedua
hal ini adalah dua komponen negara Indonesia yang masing-masing mempunyai pengaruh
yang sangat kuat bagi para penganutnya. Jika terjadi ketidakserasian antara dua komponen
ini, maka akan terjadi suatu yang sulit untuk diselesaikan.
C. METODE PENGUMPULAN DATA
Dalam pembuatan makalah ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah kaji
pustaka terhadap bahan-bahan kepustakaan yang sesuai dengan permasalahan yang diangkat
dalam makalah ini yaitu mengenai hubungan Pancasila dengan agama. Disamping itu, penulis
juga mendapatkan data dari hasil wawancara dengan orang-orang yang berkompeten di
bidang pancasila dan agama. Sebagai referensi juga diperoleh dari situs web internet yang
membahas mengenai falsafah Pancasila sebagai dasar falsafah negara Indonesia.
D. METODE ANALISIS
Penyusunan makalah ini berdasarkan metode deskriptif analistis, yaitu mengidentifikasi
permasalahan berdasarkan fakta dan data yanag ada, menganalisis permasalahan berdasarkan
pustaka dan data pendukung lainnya, serta mencari alternatif pemecahan masalah
BAB III
KEBERADAAN PANCASILA
DAN SILA KETUHANAN YANG MAHA ESA
A. ARTI PENTING KEBERADAAN PANCASILA
Pancasila sebagai dasar negara memang sudah final. Menggugat Pancasila hanya akan
membawa ketidakpastian baru. Bukan tidak mungkin akan timbul chaos (kesalahan) yang
memecah-belah eksistensi negara kesatuan. Akhirnya Indonesia akan tercecer menjadi
negara-negara kecil yang berbasis agama dan suku. Untuk menghindarinya maka penerapan
hukum-hukum agama (juga hukum-hukum adat) dalam sistem hukum negara menjadi urgen
untuk diterapkan. Sejarah Indonesia yang awalnya merupakan kumpulan Kerajaan yang
berbasis agama dan suku memperkuat kebutuhan akan hal ini. Pancasila yang diperjuangkan
untuk mengikat agama-agama dan suku-suku itu harus tetap mengakui jati diri dan ciri khas
yang dimiliki setiap agama dan suku.
B. SILA KETUHANAN YANG MAHA ESA
Sebagai negara yang bermayoritas penduduk agama islam, Pancasila sendiri yang sebagai
dasar negara Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh agama yang tertuang dalam sila
pertama yang berbunyi sila “Ketuhanan yang Maha Esa”. yang pada awalnya berbunyi “…
dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya” yang sejak saat itu dikenal
sebagai Piagam Jakarta.
Namun dua ormas Islam terbesar saat itu dan masih bertahan sampai sekarang yaitu
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menentang penerapan Piagam Jakarta tersebut, karena
dua ormas Islam tersebut menyadari bahwa jika penerapan syariat Islam diterapkan secara
tidak langsung namun pasti akan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dan secara
“fair” hal tersebut dapat memojokkan umat beragama lain. Yang lebih buruk lagi adalah
dapat memicu disintegrasi bangsa terutama bagi provinsi yang mayoritas beragama nonislam.
Karena itulah sampai detik ini bunyi sila pertama adalah “ketuhanan yang maha esa” yang
berarti bahwa Pancasila mengakui dan menyakralkan keberadaan Agama, tidak hanya Islam
namun termasuk juga Kristen, Katolik, Budha dan Hindu sebagai agama resmi negara pada
saat itu.
C. BUTIR-BUTIR PANCASILA SILA PERTAMA
Atas perubahan bunyi sila pertama menjadi Ketuhanan yang Maha Esa membuat para
pemeluk agama lain di luar islam merasa puas dan merasa dihargai.
Searah dengan perkembangan, sila Ketuhanan yang Maha Esa dapat dijabarkan dalam
beberapa point penting atau biasa disebut dengan butir-butir Pancasila. Diantaranya:
 Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaanya kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
 Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan
agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.
 Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antra pemeluk agama
dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
 Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa
 Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut
hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
 Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan
agama dan kepercayaannya masing-masing
 Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada
orang lain.
Dari butir-butir tersebut dapat dipahami bahwa setiap rakyat Indonesia wajib memeluk satu
agama yang diyakini. Tidak ada pemaksaan dan saling toleransi antara agama yang satu
dengan agama yang lain.
BAB IV
BENTUK KOLABORASI PANCASILA DENGAN AGAMA
· IDEOLOGI PANCASILA SEBAGAI PILIHAN
Keberagaman agama dan pemeluk agama di Indonesia menjadi sebuah kenyataan yang tak
terbantahkan. Kenyataan ini menuntut adanya kesadaran dari setiap pemeluk agama untuk
menjaga keharmonisan hubungan di antara mereka.
Semua pemeluk agama memang harus mawas diri. Yang harus disadari adalah bahwa mereka
hidup dalam sebuah masyarakat dengan keyakinan agama yang beragam. Dengan demikian,
semestinya tak ada satu kelompok pemeluk agama yang mau menang sendiri.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa di Indonesia terdapat berbagai macam suku bangsa,
adat istiadat hingga berbagai macam agama dan aliran kepercayaan. Dengan kondisi
sosiokultur yang begitu heterogen dibutuhkan sebuah ideologi yang netral namun dapat
mengayomi berbagai keragaman yang ada di Indonesia.
Karena itu dipilihlah Pancasila sebagai dasar negara. Namun saat ini yang menjadi
permasalahan adalah bunyi dan butir pada sila pertama. Sedangkan sejauh ini tidak ada pihak
manapun yang secara terang-terangan menentang bunyi dan butir pada sila kedua hingga ke
lima. Namun ada ormas-ormas yang terang-terangan menolak isi dari Pancasila tersebut.
Akibat maraknya parpol dan ormas Islam yang tidak mengakui keberadaan Pancasila dengan
menjual nama Syariat islam dapat mengakibatkan disintegrasi bangsa. Bagi kebanyakan
masyarakat Indonesia yang cinta atas keutuhan NKRI maka banyak dari mereka yang
mengatasnamakan diri mereka Islam Pancasilais, atau Islam Nasionalis.
Konsep negara Pancasila adalah konsep negara agama-agama. Konsep negara yang menjamin
setiap pemeluk agama untuk menjalankan agamanya secara utuh, penuh dan sempurna.
Negara Pancasila bukanlah negara agama, bukan pula negara sekuler apalagi negara atheis.
Sebuah negara yang tidak tunduk pada salah satu agama, tidak pula memperkenankan
pemisahan negara dari agama, apalagi sampai mengakui tidak tunduk pada agama manapun.
Negara Pancasila mendorong dan memfasilitasi semua penduduk untuk tunduk pada
agamanya. Penerapan hukum-hukum agama secara utuh dalam negara Pancasila adalah
dimungkinkan. Semangat pluralisme dan ketuhanan yang dikandung Pancasila telah siap
mengadopsi kemungkinan itu. Tak perlu ada ketakutan ataupun kecemburuan apapun, karena
hukum-hukum agama hanya berlaku pada pemeluknya. Penerapan konsep negara agama-
agama akan menghapus superioritas satu agama atas agama lainnya. Tak ada lagi asumsi
mayoritas – minoritas. Bahkan pemeluk agama dapat hidup berdampingan secara damai dan
sederajat. Adopsi hukum-hukum agama dalam negara Pancasila akan menjamin kelestarian
dasar negara Pancasila, prinsip Bhineka Tunggal Ika dan NKRI.
Pikirkan jika suatu kebenaran, kesalahan maupun etika moral ditentukan oleh sebuah definisi
sebuah agama dalam hal ini agama Islam. Sedangkan ketika anda terlibat didalamnya anda
adalah seseorang yang memeluk agama diluar Islam! Apakah yang anda pikirkan dan bagai
mana perasaan di hati anda ketika sebuah kebenaran dan moralitas pada hati nurani anda
ditentukan oleh agama lain yang bukan anda anut?
Sekarang di beberapa provinsi telah terjadi, dengan alasan moral dan budaya maka
diterapkanlah aturan tersebut. Sebagai contoh, kini di sebuah provinsi semua wanita harus
menggunakan jilbab. Mungkin bagi sebagian kecil orang yang tinggal di Indonesia
merupakan keindahan namun bagai mana dengan budaya yang selama ini telah ada?
Jangankan di tanah Papua, pakaian Kebaya pun artinya dilarang dipakai olah putri daerah.
Bukankah ini merupakan pengkhianatan terhadap kebinekaan bangsa Indonesia yang begitu
heterogen. Jika anda masih ragu, silakan lihat apa yang terjadi di Saudi Arabia dengan aliran
Salafy Wahabinya. Tidak ada pemilu, tidak ada kesetaraan gender dan lihat betapa tersisihnya
kaum wanita dan penganut agama minoritas di sana. Jika memang anda cinta dengan Adat,
Budaya dan Toleransi umat beragama di Indonesia dukung dan jagalah kesucian Pancasila
sebagai ideologi pemersatu bangsa.
· KONTROVERSI PANCASILA
Sebagai dasar negara RI, Pancasila juga bukanlah perahan murni dari nilai-nilai yang
berkembang di masyarakat Indonesia. Karena ternyata, sila-sila dalam Pancasila, sama persis
dengan asas Zionisme dan Freemasonry. Seperti Monoteisme (Ketuhanan YME),
Nasionalisme (Kebangsaan), Humanisme (Kemanusiaan yang adil dan beradab), Demokrasi
(Musyawarah), dan Sosialisme (Keadilan Sosial). Tegasnya, Bung Karno, Yamin, dan
Soepomo mengadopsi (baca: memaksakan) asas Zionis dan Freemasonry untuk diterapkan di
Indonesia.
Selain alasan di atas, agama-agama yang berlaku di Indonesia tidak hanya Islam, tetapi ada
Kristen Protestan dan Katolik, Hindu, Budha, bahkan Konghucu. Kesemua agama itu,
menganut paham atau konsep bertuhan banyak, bahkan pengikut animisme. Hanya agama
Islam saja yang memiliki konsep Berketuhanan YME (Allahu Ahad).
Pada masa pra kemerdekaan tatanan sosial masyarakat di Nusantara, kebanyakan terdiri dari
Kerajaan-kerajaan Hindu. Dari sistem monarkis seperti ini, belum dikenal konsep
musyawarah untuk mufakat; tetapi yang berlaku adalah sabda pandita ratu. Rakyat harus
tunduk dan patuh pada titah sang raja tanpa reserve. Sekaligus, minus demokrasi, karena
kedudukan raja diwarisi turun temurun. Kala itu, tidak ada persatuan. Perpecahan, perebutan
kekuasaan dan wilayah, selalu mengundang pertumpahan darah.
Sejak awal, Pancasila agaknya tidak dimaksudkan sebagai alat pemersatu, apalagi untuk
mengakomodir ke-Bhinekaan yang menjadi ciri bangsa Indonesia. Tetapi untuk menjegal
peluang berlakunya Syari’at Islam. Para nasionalis sekuler, terutama Non Muslim, hingga
kini menjadikan Pancasila sebagai senjata ampuh untuk menjegal Syariat Islam, meski
konsep Ketuhanan yang terdapat dalam Pancasila berbeda dengan konsep bertuhan banyak
yang mereka anut. Mereka lebih sibuk menyerimpung orang Islam yang mau menjalankan
Syariat agamanya, ketimbang dengan gigih memperjuangkan haknya dalam menjalankan
ibadah dan menerapkan ketentuan agamanya. Bagaimana toleransi bisa dibangun di atas
konstruksi filsafat yang menghasilkan anarkisme ideologi seperti ini?
Pancasila, sudah kian terbukti, cuma sekadar alat politisi busuk yang anti Islam, namun
mengatasnamakan ke-Bhinekaan. Padahal, bukan hanya Indonesia yang masyarakatnya
multietnis, multi kultural, dan multi agama. Di Amerika Serikat, untuk mempertahankan ke-
Bhinekaannya mereka tidak perlu Pancasila, begitu pun negara jiran Malaysia. Nyatanya,
mereka justru lebih maju dari Indonesia.
Kenyataan ini, betapapun pahitnya haruslah diakui secara jujur. Sayangnya, sejumlah pejabat
dan mantan pejabat di negeri ini, belum juga siuman dari mimpinya tentang kemanusiaan
yang adil dan beradab, sebagaimana sila kedua Pancasila. Sedang sejarah membuktikan, apa
yang dilakukan rezim penguasa selama 60 tahun Indonesia merdeka, justru penindasan
terhadap kemanusiaan.
Dalam memperingati hari lahir Pancasila, 4 Juni 2006, di Bandung, muncul sejumlah tokoh
nasional berupaya memperalat isu Pancasila untuk kepentingan zionisme. Celakanya, mereka
menggunakan cara yang tidak cerdas dan manipulatif. Dengan berlandaskan asas Bhineka
Tunggal Ika, mereka memosisikan agama seolah-olah perampas hak dan kemerdekaan
bangsa Indonesia. Segala hal yang berkaitan dengan agama dianggap membelenggu
kebebasan. Kebencian pada agama, pada gilirannya, menyebabkan parameter kebenaran
porak-poranda, kemungkaran akhlak merajalela. Kesyirikan, aliran sesat, dan perilaku
menyesatkan membawa epidemi kerusakan dan juga bencana.
Anehnya, peristiwa bencana gempa bumi yang menewaskan lebih dari 6000 jiwa di
Jogjakata, 27 Mei 2006, malah yang disalahkan Islam dan umat Islam. Seorang paranormal
mengatakan,”Bencana gempa di Jogjakarta, terjadi akibat pendukung RUU APP yang kian
anarkis.” Lalu, pembakaran kantor Bupati Tuban, cap jempol atau silang darah di Jatim, yang
dilakukan anggota PKB dan PDIP, dan menyatroni aktivis FPI, Majelis Mujahidin, dan
Hizbut Tahrir. Apakah bukan tindakan anarkis? Jangan lupa, Bupati Bantul, Idham Samawi,
yang daerahnya paling banyak korban gempa bumi berasal dari PDIP.
Tidak itu saja. Upaya penyeragaman budaya, maupun moral atas nama agama, juga dikritik
pedas. “Bhineka Tunggal Ika sebagai landasan awal bangsa Indonesia harus dipertahankan.
Masyarakat Indonesia beraneka ragam, sehingga tindakan menyeragamkan budaya itu tidak
dibenarkan,” kata Megawati. Penyeragaman yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Akbar
Tanjung,”Keberagaman itu tidak dirusak dengan memaksakan kehendak. Pihak yang
merongrong Bhineka, adalah kekuatan-kekuatan yang ingin menyeragamkan.”
Padahal, justru Bung Karno pula orang pertama yang mengkhianati Pancasila. Dengan
memaksakan kehendak, ia berusaha menyeragamkan ideologi, budaya, dan seni. Ideologi
NASAKOM (Nasionalisme, agama, dan komunis) dipaksakan berlaku secara despotis.
Demikian pula, seni yang boleh dipertunjukkan hanya seni gaya Lekra. Sementara yang
berjiwa keagamaan dinyatakan sebagai musuh revolusi. Begitu pun Soeharto, berusaha
menyeragamkan ideologi melalui asas tunggal Pancasila. Hasilnya, kehancuran.
hubungan pancasila dengan agama 
Perdebatan mengenai apa dasar negara RI harus didasarkan telah lama menjadi debat yang
panas terutama kelompok Islam dan Pancasilais. Pada sidang konstituante 1957 debat itu
kembali terulang dengan hasil yang boleh dikatakan menggantung. Bahkan bagi kaum
Islamis fanatik wacana ini belumlah padam, faktanya adalah kembali maraknya wacana
shariatisasi tatanan hukum seiring dengan euforia reformasi. Kegagalan pembangunan dan
krisis moral nasional pasca rezim Suharto menjadi momentum kaum Islamis untuk
menyatakan mosi tidak percaya (lagi) pada Pancasila. Pancasila dianggap gagal, oleh
kelompok islamis ini, menjadi dasar kenegaraan dan kebangsaan RI. Bertumpuk-tumpuk
artikel tentang ini bisa dibaca online maupun cetak di media kaum islamis seperti Sabili,
Mujahidin, Salafy, Hidayatullah dll. Kaum Islamis ini jelas mengusung romantisisme Negara
Islam Indonesia (NII) dengan cita rasa baru yakni bukan lagi mencitakan NII namun
“Indonesia Nan Islami”.

Islamisasi Indonesia lewat politik dakwah (Collins, 2004) sebenarnya telah berjalan secara
pasti sejak awal Orde Baru hingga puncaknya saat berjalan seiring dengan Penguasa dalam
ICMI menjadi letak mendasar bagi Islamisasi Indonesia (Hefner, 1997). Seruan Hisbutahir
Indonesia (HTI) dan simpatisan politik Islamisasi lainnya tantang shariah Islam sebagai
solusi kini memuncak pada gol tidaknya RUU Anti Pornoaksi dan Pornografi (APP) atau kini
yang berubah nama menjadi RUU Anti Pornografi (AP) yang kontroversial itu. Kaum
Nasionalis banyak yang melihat bahwa ini adalah awal dari shariatisasi Indonesia. Teman
dari Bali menyatakan kekhawatirannya pada penulis bahwa golnya RUUP ini adalah tanda
dari Islamisasi Indonesia. Terlihat dari wacana ini bahwa semenjak euforia reformasi Islam
adalah wacana politik di public dan elite pemimpin yang Islamis. Media massa dan elite
Muslim yang duduk di pemerintahan tengah ‘haus’ akan keislaman yang otentik (bahkan
ironisnya cenderung ke arah konsupmtivisme akut). Sementara itu, wacana Pancasila oleh
kaum Nasionalis terasa direduksi menjadi isu kebangsaan dan kebinekaan yang boleh jadi
merupakan kegamangan akan trauma stigmatisasi Pancasila di bawah Rezim Orba. Diakui
atau tidak ‘perasaan’ kaum nasionalis ini menumpulkan wacana Pancasila sebagai Dasar
Negara RI.

Walaupun demikian, meski wacana Islam sebagai solusi bangsa sangatlah lantang sebenarnya
kaum Islamis ini juga belum sepenuhnya mengerti bagaimana Islam menjawab secara riil
permasalahan bangsa yang multietnis, multiras, multikeyakinan, dan multikultur. Hal ini
dikarenakan Islam yang tidak tunggal (Lawrence, 1998) itu hanya mengulang-ulang kembali
perdebatan yang ada pada sidang Konstituante 1957. Bahkan kaum nasionalispun sepertinya
terbawa arus debat kusir yang tak berkesudahan tentang dasar negara yang cocok untuk
Bangsa Indonesia yang multi segalanya ini, tanpa pernah serius mengerti dan menjalankan
esensi untuk apa Dasar Negara itu dibuat. Semua energi kaum Islamis dan Nasionalis pada
akhirnya hanya berkutat payah dan letih hingga berbusa pada debat material Dasar Negara
daripada bagaimana menjalankan dan mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Mengapa
bisa seperti ini keadaannya dan bagimana seharusnya umat Islam dan umat agama lainnya
menyikapi krisis kebangsaan dan kenegaraan kita ini? Bagaimana dengan Pancasila?

Kalau kita menengok kembali perdebatan tentang Pancasila sebagai Dasar Negara NKRI di
sidang Konstituante 1957, tampak jelas bahwa keberatan kaum agama lain terhadap klaim
keunggulan Islam sebagai Dasar Negara adalah Islam dalam sejarahnya di dunia maupun di
Indonesia masih mengandung ketidakadilan dalam artian demokrasi modern. Prof Mr. R.A.
Soehardi dari partai Katholik dan perwakilan dari kaum nasionalis seperti Soedjatmoko dan
sebaginya serta wakil agama lain dalam sidang tersebut dengan tegas menyatakan bahwa
nilai-nilai Pancasila yang ada seperti yang dijabarkan oleh pendiri Bangsa ada di setiap
agama termasuk Islam maupun Katholik dan sebagainya. Oleh karenanya, Pancasila lebih
luas dan universal dari pada pandangan Islam yang meletakkan umat agama lain dalam status
dibawahnya (dzimmi, pen). Ada ketidakadilan yang signifikan dalam menempatkan status
dzimmi bagi bangsa yang didirikan diatas pengorbanan semua kaum yang ingin menjadi satu
bangsa dalam satu tatanan kenegaraan, NKRI. Keberatan lainnya adalah bahwa fakta sejarah
yang memperlihatkan bahwa penguasa dan kaum intelektual Islam zaman dahulu di dunia
maupun di Indonesia hingga kini selalu dalam perbedaan dalam menginterpretasi dan
memaknai (shariat) Islam. Bila direfleksikan pada kondisi sekarang ini, dunia Islam seperti
Iran dan Pakistan misalnya penuh dengan pertentangan ideologi Islam yang bahkan menyeret
umat Islam pada perpecahan yang berdarah antar sesama Muslim dan lebih senang
melupakan makna dan tujuan berbangsa dan bernegara. Hal ini karena politik Islam selama
ini lebih cenderung pada politik ideologi daripada politik kebangsaan dan kebernegaraan.
Politik shariat Islam boleh jadi hingga kini masih berkutat pada politik interpretasi ideologi
(teologis). Berdakwah politis untuk mencapai satu shariat Islam sepertinya jauh dari pada
kenyataan, dan ini akan berakibat fatal karena nafsu syahwat kekuasaan politik lebih dominan
dan menarik daripada niat untuk membangun kehidupan yang rahmatan lil alamin dalam satu
bangsa dan negara.

Umat Islam dan umat agama lainnya di Indonesia dalam kebangsaan yang tunggal ini
sebenarnya lebih memungkinkan untuk bekerjasama dalam membangun bangsa, lepas dari
keterpurukkan ekonomi maupun sosial, dan filsafat Pancasila disini bisa menjadi kalimat al
sawaauntuk semua golongan. Hal inilah yang sebenarnya menjadi ‘kesepakatan’ bersama
dalam rekap laporan Komisi I Konstituante Tentang Dasar Negara 1957. Nilai dan falsafah
Pancasila bagi dasar negara Indonesia tidak diragukan lagi ada di setiap agama yang
menjunjung keadilan dan kemanusiaan. Sesuatu dasar neagra yang memuat semua hal yang
merupakan kepribadian luhur bangsa Indonesia, dijiwai semangat revolusi 17 Agustus 1945
yang menjamin hak asasi manusia dan menjamin berlakunya keadilan sosial bagi seluruh
rakyat, yang menjadikan musyawarah sebagai dasar segala perundingan dan penyelesaian
mengenai segala persoalan kenegaraan, menjamin kebebasan beragama dan beribadat dan
berisikan sendi-sendi perikemanusiaan dan kebangsaan yang luas .

Terpuruknya suatu bangsa yang memiliki pandangan yang luhur seperti Indonesia kini
bukanlah kesalahan dan kegagalan dari dasar negaranya Pancasila. Bahkan fakta sosial bahwa
banyak umat agama yang terpuruk bukan berarti agama itu salah atau gagal. Pandangan bijak
seperti ini sebenarnya telah diucapkan oleh para wakil Komisi I di sidang Konstituante ini.
Kiranya pernyataan ini adalah pernyataan bijak yang abadi. Islam atau agama apapun dalam
sejarah bangsa dan negara di dunia ini banyak yang mengalami kegagalan dan kehancuran,
hal ini dikarenakan penguasa saat itu tidaklah demokratis dan menjunjung keadilan bagi
terciptanya kesejahteraan rakyatnya. Hal itu diperparah oleh elite penguasa dan agama yang
korup, mementingkan kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Pancasila juga mengalami
hal itu terutama sejak (dan bila) penguasa melupakan tujuan dari pancasila itu sendiri yakni
menciptakan keadilan sosial dan ekonomi bagi seluruh rakyatnya. Jadi bukan salah Pancasila
apalagi Agama bila suatu bangsa terpuruk, namun lebih daripada itu semua dalah kesalahan
elite penguasa dan agama yang rakus pada kekuasaan dan kemakmuran diri sendiri. Namun
demikian, dibanding dengan agama yang selalu eksklusif sifatnya, Pancasila dengan nilai
demokratisnya lebih menjanjikan bagi suatu kebangsaan yang multi-segalanya seperti
Indonesia ini.

Akan tetapi, bukan berarti dasar negara tidak boleh diganti (dengan suatu agama misalnya)
seperti yang diingatkan oleh Soedjamoko di Sidang Konstituante ini. Sebab bila rakyat semua
berkehendak untuk dirubah maka sah lah dasar negara yang disepakatinya nanti. Walaupun
demikian, Soedjatmoko mengingatkan bahwa tujuan dasar negara itu adalah untuk
menciptakan keadilan, kemanusiaan, dan kemakmuran sebesar-besarnya bagi seluruh bangsa.
Hal yang hanya bisa diciptakan dalam mekanisme demokrasi modern. Disinilah arti daripada
demokrasi modern bagi semua agama yang memiliki naluri eksklusifitas bisa direkonstruksi
demi tujuan yang lebih mulia yakni kemanusiaan yang adil dan beradab dalam mencapai
kesejahteraan sosial dan ekonomi serta politik yang seluas-luasnya. Demokrasi bukan berarti
kesempatan bagi sekelompok elite agama untuk memaksakan kehendaknya seperti halnya
tampak dalam kasus akhir-akhir ini di Indonesia lewat Islamisasi Perda maupun RUUP yang
sepihak tanpa adanya musyawarah dan rasa keadilan.

Meskipun begitu, nilai etik dan moral pada Pancasila sesungguhnya berasal dari nilai-nilai
tradisi dan agama itu sendiri yang tentu saja musti disempurnakan dengan imbangan nilai-
nilai kemanusiaan modern seperti yang dimaktub dalam deklarasi HAM. Doktrin Agama
yang tumbuh dalam ruang dan waktu sejarah tertentu jelas mengalami dislokasi dengan rasa
budaya dan kemanusiaan yang ada, apalagi agama yang datang dari satu daerah ke daerah
lain. Dislokalitas dan temporalitas agama jelas terkandung didalamya suatu nilai budaya
tertentu -misal Islam dan Arab atau Kristen dan Barat. Negoisasi dan akulturasi yang terjadi
di ruang dan waktu sejarah selanjutnya juga ikut mewarnai sosok agama tersebut hingga
tercipta simbiosis semacam Islam Jawa atau Kristen Batak. Nilai-nilai modern ini sebenarnya
tumbuh dari pengalaman manusia dalam mencari dan mamaknai keadilan dan kemanusiaan
akibat perjumpaan antar dan inter agama dan budaya. Pancasila yang tumbuh dari
kepribadian bangsa inilah (yakni agama yang memiliki nilai demokrasi modern) yang akan
mampu membawa manusia menjalani dan mengekspresikan agamanya menjadi lebih dewasa.
Beragama dalam bingkai keindonesiaan berarti mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan
berpancasila dalam segala tindakan etik dan moral kita sejatinya buah dari religiusitas
beragama yang dewasa dan modern. Celakanya agama modern sekarang lebih berorientasi
pada masa lalu yang dianggap otentik dan murni, mirip dengan Pancasila di Zaman Orba
yang memfosilkan Pancasila itu sendiri.
PEMAHAMAN DAN PELANGGARAN TERHADAP PANCASILA SAAT INI
Ideologi Pancasila merupakan dasar negara yang mengakui dan mengagungkan keberadaan
agama dalam pemerintahan. Sehingga kita sebagai warga negara Indonesia tidak perlu
meragukan konsistensi atas Ideologi Pancasila terhadap agama. Tidak perlu berusaha
mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi berbasis agama dengan alasan bahwa ideologi
Pancasila bukan ideologi beragama. Ideologi Pancasila adalah ideologi beragama.
Sesama umat beragama seharusnya kita saling tolong menolong. Tidak perlu melakukan
permusuhan ataupun diskriminasi terhadap umat yang berbeda agama, berbeda keyakinan
maupun berbeda adat istiadat.
Hanya karena merasa berasal dari agama mayoritas tidak seharusnya kita merendahkan umat
yang berbeda agama ataupun membuat aturan yang secara langsung dan tidak langsung
memaksakan aturan agama yang dianut atau standar agama tertentu kepada pemeluk agama
lainya dengan dalih moralitas.
Hendaknya kita tidak menggunakan standar sebuah agama tertentu untuk dijadikan tolak ukur
nilai moralitas bangsa Indonesia. Sesungguhnya tidak ada agama yang salah dan mengajarkan
permusuhan.
Agama yang diakui di Indonesia ada 5, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Hindu.
Sebuah kesalahan fatal bila menjadikan salah satu agama sebagai standar tolak ukur benar
salah dan moralitas bangsa. Karena akan terjadi chaos dan timbul gesekan antar agama.
kalaupun penggunaan dasar agama haruslah mengakomodir standar dari Islam, Kristen,
Katolik, Budha dan Hindu bukan berdasarkan salah satu agama entah agama mayoritas
ataupun minoritas.
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
· KESIMPULAN
Berdasarkan latar belakang, pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pancasila adalah ideologi yang sangat baik untuk diterapkan di negara Indonesia yang terdiri
dari berbagai macam agama, suku, ras dan bahasa. Sehingga jika ideologi Pancasila diganti
oleh ideologi yang berlatar belakang agama, akan terjadi ketidaknyamanan bagi rakyat yang
memeluk agama di luar agama yang dijadikan ideologi negara tersebut.
Dengan mempertahankan ideologi Pancasila sebagai dasar negara, jika melaksanakannya
dengan baik, maka perwujudan untuk menuju negara yang aman dan sejahtera pasti akan
terwujud.

Semua agama memiliki ajaran-ajaran yang menjadi patokan norma dan keutamaan-
keutamaan moral bagi setiap penganutnya. Setiap agama mengajarkan kebaikan dan keadilan
yang patut dijalankan oleh setiap anggotanya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Jika dikaji lebih dalam, semua ajaran dari setiap agama sebenarnya terangkum jelas dan tegas
dalam kelima sila Pancasila. Maka menurut hemat saya, antara Pancasila dan agama secara
tidak langsung terdapat sebuah hubungan teologis-dogmatis yang mesti diterjemahkan dalam
praksis hubungan antaragama. Umat beragama semakin Pancasilais dan Pancasila semakin
”dimuliakan” jika kelima silanya tidak hanya dimuliakan dalam kata-kata belaka melainkan
diaktualisasikan dalam perbuatan konkret yaitu hubungan antaragama dalam kerangka
menyelamatkan bangsa dari konflik antarumat beragama.

References·
IMPLIKASI
Untuk semakin memperkokoh rasa bangga terhadap Pancasila, maka perlu adanya
peningkatan pengamalan butir-butir Pancasila khususnya sila ke-1. Salah satunya dengan
saling menghargai antar umat beragama.
Untuk menjadi sebuah negara Pancasila yang nyaman bagi rakyatnya, diperlukan adanya
jaminan keamanan dan kesejahteraan setiap masyarakat yang ada di dalamnya. Khususnya
jaminan keamanan dalam melaksanakan kegiatan beribadah.
· SARAN
Untuk mengembangkan nilai-nilai Pancasila dan memadukannya dengan agama, diperlukan
usaha yang cukup keras. Salah satunya kita harus memiliki rasa nasionalisme yang tinggi.
Selain itu, kita juga harus mempunyai kemauan yang keras guna mewujudkan negara
Indonesia yang aman, makmur dan nyaman bagi setiap orang yang berada di dalamnya.

http://unikpol.blogspot.com/2012/09/hubungan-pancasila-dengan-agama-di.html

HUBUNGAN PANCASILA DENGAN AGAMA


BAB I
PENDAHULUAN
Sejarah perkembangan kehidupan kenegaraan Indonesia mengalami suatu perubahan dan
perkembangan yang sangat besar terutama yang berkaitan dengan gerakan reformasi. Namun
demikian setelah kurang lebih sembilan tahun bangsa Indonesia melakukan reformasi
disegala bidang, fakta menunjukkan bahwa terjadinya carut marut dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara.
Meskipun masa pacsa reformasi rakyat seakan-akan mengenyam kebebasan, namun dalam
kenyataannya kebebasan itu bersifat semu. Karena dalam kenyataannya, kalangan elit
politiklah yang mengenyam kebebasan. Fakta menunujukkan bahwa untuk berpatisipasi
dalam kekuasaan politik baik eksekutif ataupun legislatif, nampaknya berkorelasi tinggi
dengan biaya yang sangat tinggi sehingga kondisi seperti ini rakyat kecil sulit ikut
berpartisipasi.
Dewasa ini masyarakat Indonesia merasakan betapa sangat rapuhnya nasionalisme Indonesia.
Banyak anak-anak bangsa Indonesia mengembangkan organisasai swadaya masyarakat,
namun dalam kenyataannya loyalitasnya lebih kuat pada kekuatan internasional atau bahkan
transnasional, sehingga dukungan internasional sangat dominan. Akibatnya persoalan-
persoalan bangsa terutama yang menyangkut persatuan dan kesatuan tidak mendapat
perhatian yang berujung pada rasa nasionalisme yang semakin pudar.
Hal ini berdasarkan pada kenyataan di seluruh dunia bahwa kesadaran demokrasi serta
implementasinya harus senantiasa dikembangkan dengan basis filsafat bangsa, identitas
nasional, kenyataan dan pengalaman sejarah bangsa tersebut. Dengan makalah ini diharapkan
intelektual mahasiswa memiliki dasar kepribadian sebagai warga negara yang demokratis,
religius, perikemanusiaan dan beradab.

BAB II
Hubungan Negara dengan Agama

Negara pada hakikatnya adalah merupakan suatu persekutuan hidup bersama sebagai
penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Oleh karena
itu sifat dasar negara, sehingga negara sebagai manifestasi kodrat manusia secara horizontal
dalam hubungan dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama. Oleh karena itu
negara memiiliki sebab akibat langsung dengan manusia karena manusia adalah sebagai
pendiri negara untuk mencapai tujuan manusia itu sendiri.

Namun perlu disadari bahwa manusia sebagai warga hidup bersama,berkedudukan kodrat
sebagai makhluk pribadi dan sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa.sebagai makhluk
pribadi ia dikaruniai kebebasan atas segala sesuatu kehendak kemanusiaannya.Sehingga hal
inilah yang merupakan suatu kebebasan asasi yang merupakan karunia dari Tuhan yang Maha
Esa.Sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa ia memiliki hak dan kewajiban untuk memenuhi
harkat kemanusiaannya yaitu menyembah Tuhan yang Maha Esa.Manifestasi hubungan
manusia dengan Tuhannya adalah terwujud dalam agama. negara adalah merupakan produk
manusia sehingga merupakan hasil budaya manusia, sedangkan agama adalah bersumber
pada wahyu Tuhan yang sifatnya mutlak. Dalam hidup keagamaan manusia memiliki hak-hak
dan kewajiban yang didasarkan atas keimanan dan ketakwaanya terhadap
Tuhannya,sedangkan dalam negara manusia memilik hak-hak dan kewajiban secara
horizontal dalam hubungannya dengan manusia lain.

Berdasarkan pangertian kodrat manusia tersebut maka terdapat berbagai macam konsep
tentang negara dan agama,dan hal ini sangat ditentukan oleh dasar ontologis manusia masing-
masing. Oleh karena berikut ini perlu dibahas sebagai bahan komparasi dalam memahami
hubungan negara dengan agama dalam Pancasila atau negara Kebangsaan yang Berketuhanan
yang Maha Esa.

1. Hubungan Negara dengan Agama Menurut Pancasila

Menurut Pancasila negara adalah berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa atas dasar
Kemanusiaan adil dan Beradab. Hal ini termuat dalam Penjelasan Pembukaan UUD 1945
yaitu Pokok Pikiran keempat. Rumusan yang demikian ini menunjukkan pada kita bahwa
negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah bukan negara sekuler yang memisahkan
negara dengan agama, karena hal ini tercantum dalam pasal 29 ayat (1), bahwa negara adalah
berdasar atas Ketuhanan yan Maha Esa. Hal ini berarti bahwa negara sebagai persekutuan
hidup adalah Berketuhanan yang Maha Esa. Konsekuensinya segala aspek dalam pelaksanan
dan penyelenggaraan negara harus sesuai dengan hakikat nilai-nilai yang derasal dari Tuhan.
Nilai-nalai yang berasal dari Tuhan yang pada hakikatnya adalah merupakan Hubungan
Tuhan adalah merupakan sumber material bagi segala norma, terutana bagi hukum positif di
Indonesia.
Demikian pula makna yang terkandung dalam Pasal 29 ayat (1) tersebut juga mengandung
suatu pengertian bahwa negara Indonesia adalah negara yang bukan hanya mendasarkan pada
suatu agama tertentu atau bukan negara agama dan juga bukan negara Theokrasi. Negara
Pancasila pada hakikatnya mengatasi segala agama dan menjamin segala kehidupan agama
dan umat beragama, karena beragama adalah hak asasi yang bersifat mutlak.Dalam kaitannya
dengan pengertian negara yang melindungi seluruh agama di seluruh wilayah tumpah darah.
Pasal 29 ayat (2) memberikan kebebasan kepada seluruh warga negara untuk memeluk agama
dan menjalankan ibadah sesuai dengan keimanan dan ketakwaan masing-masing. Negara
kebangsaan yang berketuhanan yang Maha Esa adalah negara yang merupakan penjelmaan
dari hakikat kodrat manusia sebagai individu makhluk, sosial dan manusia adalah sebagai
pribadi dan makhluk Tuhan yang Maha Esa. Bilamana dirinci makna hubungan negara
dengan agama menurut negara Pancasila adalah sebagai berikut:

(1) Negara adalah berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa


(2) Bangsa Indonesia adalah sebagai bangsa yang Berketuhanan yang Maha Esa.
Konsekuensinya setiap warga memiliki hak asasi untuk memeluk dan menjalankan ibadah
sesuai dengan agama masing-masing.
(3) Tidak ada tempat bagi atheisme dan sekulerisme karena hakikatnya manusia
berkedudukan kodrat sebagai makhluk Tuhan.
(4) Tidak ada tempat bagi pertentangan agama,golongan agama,antar dan inter pemeluk
agama serta antar pemeluk agama.
(5) Tidak ada tempat bagi pemaksaan agama karena ketaqwaan itu bukan hasil paksaan bagi
siapapun juga.
(6) Oleh karena itu harus memberikan toleransi terhadap orang lain dalam menjalankan
agama dalam negara.
(7) Segala aspek dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara harus sesuai dengan nilai-
nilai Ketuhanan yang Maha Esa terutama norma-norma Hukum positif maupun norma moral
baik moral negara maupun moral para penyelenggara negara.
(8) Negara pada hakikatnya merupakan “…berkat rahmat Allah Yang Maha Esa.
(Bandingkan dengan Notonagoro, 1975)

2. Hubungan Negara dengan Agama Menurut Paham Theokrasi

Hubungan Negara dengan agama menurut paham theokrasi bahwa antara agama dengan
negara tidak dapat dipisahkan. negara menyatu dengan agama, pemerintahan dijalankan
berdasarkan firman-firman Tuhan, segala tata kehidupan dalam masyarakat,bangsa dan
negara didasarkan atas firman-firman Tuhan. Dengan demikian agama menguasai masyarakat
politis. Dalam praktek kenegaraan terdapat dua macam pengertian negara theokrasai, yaitu
negara theokrasi langsung dan tak langsung.
a. Negara Theokrasi Langsung
Dalam sistem negara theokrasi langsung, kekuasaan adalah ototritas Tuhan. adanya negara di
dunia ini adalah atas kehendak Tuhan, dan yang memerintah adalah Tuhan. Dalam sejarah
perang dunia II, rakyat jepang rela mati demi Kaisarnya, karena menurut menurut
kepercayaan kaisar adalah anak Tuhan. Negara Tibet dimana pernah terjadi perebutan
kekuasan antara Pancen lama dan Dalai lama, adalah sebagai penjelmaan otoritas Tuhan
dalam negara dunia.
Doktrin-doktrin dan ajaran-ajaran berkembang dalam negara theokarasi langsung, sebagai
upay untuk memperkuat dan meyakinkan rakyat terhadap kekuasaan Tuhan dalam negara
(Kusnadi, 1995;60).
Dalam sistem negara yang demikian maka agama menyatu dengan negara, dalam arti seluruh
sistem negara dan norma-norma adalah merupakan otoritas langsung dari Tuhan melaui
wahyu.
b. Negara Theokrasi Tidak Langsung
Negara Theokrasi tidak langsung menyatakan bahwa pemerintahan bukan diperintah
langsung oleh Tuhan, melainkan kepala Negara atau Raja, yang memiliki otoritas ats nama
Tuhan (semuanya memerintah atas kehendak Tuhan). Kekuasaan dalam negara merupakan
suatu karunia dari Tuhan. Raja mengemban tugas suci dari Tuhan untuk memakmurkan
rakyatnya. Politik yang demikian inilah yang diterapkan Belanda terhadap wilayah
jajahannya sehingga dikenal dengan nama politik etis (Ethische Politik). Kerajaan Belanda
mendapat amanat dari Tuhan untuk bertindak seagai wali dari wilayah jajahan Indonesia
(Kusnadi, 1995; 63).
Negara merupakan penjelmaan dari kekuasaan Tuhan, dan oleh karena itu kekuasaan Raja
dalam suatu negara adalah kekuasaan yang berasal dari Tuhan maka sistem dan norma-norma
dalam negara dirumuskan berdasarkan firman-firman Tuhan. Demikianlah kedudukan agama
dalam negara Theokrasi di mana firman Tuhan, norma agama serta otoritas Tuhan menyatu
dengan negara.

3. Hubungan Negara Dengan Agama Menurut Sekulerisme

Faham sekulerisme membedakan dan memisahkan antara agama dengan Negara. Oleh karena
itu di dalam suatu negara yang berfaham sekulerisme bentuk, system, serta segala aspek
kenegaraan tidak ada hubungannya dengan agama. Sekulerisme berpandangan bahwa negara
adalah hubungan keduniawian atau masalah-masalah keduniawian ( hubungan manusia
dengan manusia ). Adapun agama adalah urusan akhirat yang menyangkut hubungan manusia
dengan Tuhan.
Dalam Negara yang berpaham sekulerisme sistem norma-norma terutama norma-norma
hukum positif di pisahkan dengan nilai-nilai norma agama. Konsekuensinya hukum positif
sangat di tentukan oleh komitmen warga negara sebagai pendukunng pokok negara. Negara
adalah urusan hubungan horizontal antar manusia dalam mencapai tujuannya, adapun agama
adalah menjadi urusan umat masing-masing agama. Walaupun dalam agama sekuler
membedakan antara agama dengan negara, namun lazimnya warga negara di berikan
kebebasaan dalam memeluk agama masing-masing.

 Negara Pancasila Adalah Negara Kebangsaan Yang Berkemanusiaan Yang Adil dan
Beradab.

Negara pada hakikatnya menurut pandangan filsafat pancasila adalah merupakan suatu
persekutuan hidup manusia, yang merupakan suatu penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai
makhluk individu dan sosial serta sebagai makhluk Tuhan yang maha Esa. Negara adalah
lembaga kemanusiaan, lembaga kemasyarakatan yang bertujuan demi tercapainya harkat dan
martabat manuia serta kesejahteraan lahir maupun bathin. Sehingga tidak mengherankan
jikalau manusia adalah merupakan subjek pendukung pokok negara. Oleh karena itu Negara
adalah suatu negara kebangsaan yang berketuhanan yang Maha Esa, dan berkemanusiaan
yang adil dan beradab.
Konsekuensinya dalam aspek penyelenggara negara, sifat-sifat dan keadaan negara harus
sesuai dengan hakikat manusia. Sifat-sifat dan keadaan negara tersebut adalah meliputi (1)
bentuk negara, (2) tujuan negara, (3) organisasi negara, (4) kekuasaan negara, (5) penguasa
negara, (6) warga negara masyarakat, rakyat dan bangsa (lihat Notonagoro, 1975). Negara
dalam pengertian ini menempatkan manusia sebagai dasar ontologis, sehingga manusia
sebagai asal usul negara dan kekuasaan negara. Manusia adalah merupakan paradigma sentral
dalam setiap aspek pennyelenggaraan negara, terutama dalam pembangunan negara.
Sebagai negara yang berkemanusiaan, maka negara”…melindungi seluruh warganya serta
seluruh tumpah darahnya..”. hal ini berarti negara melindungi seluruh manusia sebagai
warganya tidak terkecuali. Oleh karena itu negara harus melindungi hak-hak asasi manusia,
serta mewujudkannya dalam suatu sistem peraturan perundang-undangan negara. Hal ini
sebagaimana termuat dalam UUD 1945 pasal 27, 28, 29, 30 dan 31. negara berkewajiban
mengembangkan harkat dan martabat manusia, bahkan negara harus menempatkan moral
kemannusiaan sebagai moral negara dan penyelenggara pemerintahan negara.
Negara pancasila sebagai negara kebangsaan yang berkemanusiaan yang adil dan beradab,
mendasarkan nasionalisme berdasarkan hakikat kodrat manusia. Kebangsaan Indonesia
adalah kebangsaan yang berkemanusiaan, bukan suatu kebangsaan yang Chauvinistic.
Kebangsaan Indonesia yang berdasarkan Pancasila mengakui kebangsaan yang
berkemanusiaan. Hal ini berarti bagi bangsa Indonesia mengakui bahwa bangsa adalah
sebagai penjelmaan kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial, oleh karena itu
bangsa Indonesia mengakui bahwa bangsa Indonesia adalah sebagai bagian dari umat
manusia. Maka dalam pergaulan tata dunia internasional maka bangsa mengembangkan suatu
pergaulan antar bangsa dalam masyarakat internasional berdasarkan atas kodrat manusia,
sereta mengakui kemerdekaan bangsa sebagai hak yang di miliki oleh hakikat manusia
sebagai makhluk individu dan social. Oleh karena itu penjajahan atas bangsa adalah
pelanggaraaaaan hak asasi atau kodrat manusia sebagai bangsa dan tidak sesuai dengan
keadilan.

.
 Negara pancasila adalah negara kebangsaan yang berkerakyatan

Negara menurut filsafat pancasila adalah dari oleh dan untuk rakyat. Hakikatnya rakyat
adalah sekelompok manusia yang bersatu yang memiliki tujuan tertentu dan hidup dalam satu
wilayah negara. Oleh karena itu negara harus sesuai dengan hakikat rakyat. Rakyat adalah
sebagai pendukdung pokok dan sebagai pendukung pokok dan sebagai asal mula kekuasaan
negara.
Negara kebangsaan yang berkedaulatan rakyat yang berarti bahwa kekuasaan yang tertinggi
ditangan rakyat dan dalam sistem kenegaraan dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat(MPR). Oleh karena itu negara yang berkedaulatan rakyat adalah suatu negara
demokrasi. Rakyat adalah merupakan suatu penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai
makhluk individu dan makhluk social. Oleh karena itu demokrasi menurut kerakyatan adalah
demokrasi ‘monodualis’, artinya sebagai makhluk individu memilki hak dan sebagai makhluk
sosial harus disertai tanggungjawab. Oleh karena itu dalam menggunakan hak-hak demokrasi
dalam negara kebangsaan yang berkerakyatan adalah hak-hak demokrasi yang (1) disertai
tanggung jawab kepada Tuhan yang Maha Esa, (2) menjunjung dan memperkokoh persatuan
dan kestuan bangsa, serta (3) disertai dengan tujuan untuk mewujudkan suatu keadilan sosial,
yaitu kesejahteraan dalam hidup bersama.
Demokrasi monodualis yang mendasarkan individu dan makhluk sosial bukanlah demokrasi
liberal yang hanya mendasarkan pada kodrat manusia sebagai individu saja, dan bukan pula
demokrasi klass yang hanya mengakui manusia sebagai makhluk sosial belaka. Demokrasi
monodualis mengembangkan demokrasi kebersamaan, berdasarkan asas kekeluargaan
kebebasn individu diletakan dalam rangka tujuan atas kesejahteraan bersama. Pokok-pokok
‘Kerakyatan’ yang terkandung dalam sila keempat dalam penyelenggaraan negara dapat
dirinci sebagai berikut :

(1) Manusia Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat mempunyai kedudukan
dan hak yang sama.
(2) Dalam menggunakan hak-haknya selalu memperhatikan dan mempertimbangkan
kepentingan negara dan masyarakat.
(3) Karena mempunyai kedudukan, hak serta kewajiban yang sama maka pada dasarnya tidak
dibenarkan memaksakan kehendak pada pihak lain.
(4) Sebelum mengambil keputusan, terlebih dahulu diadakan musyawarah.
(5) Keputusan diusahakan ditentukan secara musywarah.
(6) Musyawarah untuk mencapai mufakat, diliputi oleh suasana semangat kebersamaan.
(Suhadi, 1998).

 Negara Pancasila adalah negara Kebangsaan yang berkeadilan sosial

Negara Pancasila adalah negara kebangsaan yang berkeadilan sosial, yang berarti bahwa
negara sebagai penjelmaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa, sifat kodrat
individu dan makhluk sosial bertujuan untuk mewujudkan suatu keadialn dalam kehidupan
bersama (Keadilan Sosial). Keadialan sosial tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat
keadilan manusia sebagai makhluk yang beradab (sila II). Manusia pada hakikatnya adalah
adil dan beradab yang berarti manusia harus adil terhadap diri sendiri, adil terhadap
Tuhannya, adil terhadap orang lain dan masyarakat serta adil terhadap lingkungan alamnya.
Dalam hidup bersama baik dalam masyarakat, bangsa dan negara harus terwujud suatu
keadilan(Keadilan Sosial), yang meliputi tiga hal yaitu : (1) keadilan distributif (keadialn
membagi), yaitu negara terhadap warganya, (2) keadilan legal (keadilan bertaat), yaitu warga
terhadap negaranya untuk mentaati peraturan perundangan, dan (3) keadilan komutatif
(keadilan antar sesama warga negara), yaitu hubungan keadilan antara warga satu dengan
yang lainnya secara tumbal balik (Notonegoro, 1975)
Sebagai suatu negara berkeadilan sosial maka negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila
sebagai suatu negara kebangsaan, bertujuan untuk melindungi segenap warganya dan seluruh
tumpah daarh, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan warganya (tujuan
khusus). Adapun tujuan dalam pergaulan antar bangsa di masyarakat internasional bertujuan :
(“ikut menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial). Dalam pengertian ini maka negara Indonesia sebagai negara kebangsaan
adalah berkeadilan sosial dalam mensejahterakan warganya, demikian pula dalam pergaulan
masyarakat Internasional berprinsip dasar pada kemedekaan serta keadilan dalam hidup
masyarakat
Realisasi dan perlindungan keadilan dalam hidup bersama dalam suatu negara untuk
menciptakan suatu peraturan perundang-undangan. Dalam pengertian inilah maka negara
kebangsaan yang berkeadilan sosial harus merupakan suatu negara yang berdasarkan atas
hukum. Sehingga sebagai suatu negara hukum harus terpenuhi adanya tiga syarat pokok
yaitu: (1) pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia, (2) peradilan yang bebas,
dan (3)legalitas dalam arti hukum dalam segalanya.
Konsekuensinya sebagai suatu negara hukum yang berkeadilan sosial maka negara Indonesia
harus mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-
Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat (1) dan (2). Pasal 28, psal 29 ayat (2), pasal 31 ayat (1).
Demikianlah sebagai suatu negara yang berkeadilan maka warga negara berkewajiban
mentaati peraturan perundang undangan sebagai manifestasi keadilan legal dalam hidup
bersama
Dalam realisainya pembangunan nasional adalah merupakan sutu upaya untuk mencapai
tujuan negara,sehingga pembangunan nasional harus senantiasa meletakkan asas keadilan
sebagai dasar operasional serta dalam penentuan berbagai macam kebijaksanaan dalam
pemerintahan negara.
4. Hubungan Negara dengan Agama Menurut Paham Liberalis

Negara liberal hakikatnya mendasarkan pada kebebasan individu,sehingga masalah agama


dalam negara sangat ditentukan oleh kebebasan individu. Paham liberalisme dalam
pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh paham rasionalisa yang mendasarkan atas
kebenaran rasio. Materialisme yang berdasar kan atas hakikat materi , emperisme yang
mendasarkan atas kebenaran pengalaman indra serta individualisme atas kebebasan individu
(Soeryanto, 1989:185)
Negara memberi kebebasan kepada warganya untuk memeluk agama dan menjalankan
ibadah sesuai dengan agamanya nasing-masing. Namun Tuhan atau atheis, bahkan negara
liberal memberi kebebasan untuk menilai dan mengkritik agama misalnya tentang Nabi,
Rasul, Kitab Suci bahkan Tuhan sekalipun. Misalnya Salman Rusdi yang mengkritik kitab
suci dengan tulisan ayat-ayat setan. Karena menurut paham liberal bahwa kebenaran individu
adalah sumber kebenaran tertinggi.

Nilai-nilai agama dalam negara dipisahkan dan dibedakan dengan negara, keputusan dan
ketentuan kenegaraan terutama peraturan perundang-undangan sangat ditentukan oleh
kesepakatan individu-individu sebagai warga negaranya. Walaupun ketentuan tersebut
bertentangan dengan norma-norma agama. Misalnya UU aborsi di Negara Irlandia tetap
diberlakukan walaupun ditentang oleh gereja dan agama lainnya, karena UU tersebut
merupakan hasil referendum.

Berdasarkan pandangan filosopis tersebut hampir dapat dipastikan bahwa dalam sistem
negara liberal membedakan dan memisahkan antara negara dengan agama atau bersifat
sekuler.

Ideologi Sosialisme Komunis

Berbagai macam konsep dan paham sosialisme sebenarnya hanya paham komunismelah
sebagai paham yang paling jelas dan lengkap. Paham ini adalah sebagai bentuk reaksi atas
perkembangan masyarakat kapitalis sebagai hasil dari edeologi liberal. Berkembangnya
paham individualisme liberalisme yang berakibat munculnya masyarakat kapitalis menurut
paham ini mengakibatkan penderitaan rakyat, sehingga komunisme muncul sebagai reaksi
atas penindasan rakyat kecil oleh kalangan kapitalis yang didukung pemerintah.

Bertolak belakang dengan paham liberalisme individualisme, maka komunisme yang


dicetuskan melalui pemikiran Karl Mark memandang bahwa hakikat, kebebasan dan hak
individu itu tidak ada. Ideologi komunisme mendasarkan pada suatu keyakinan bahwa
manusia pada hakikatnya adalah hanya makluk sosial saja. Manusia pada hakikatnya adalah
merupakan sekumpulan relasi, sehingga yang mutlak adalah komunitas dan bukannya
individulitas. Hak milik pribadi tidak ada karena hal ini akan menimbulkan kapitalisme yang
pada gilirannya akan melakukan penindasan pada kaum proletar. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa individualisme merupakan sumber penderitaan rakyat. Oleh karena itu hak milik
individual harus diganti sosialisme komunis. Oleh karena tidak adanya hak individu, maka
dapat dipastikan bahwa menurut paham komunisme bahwa demokrasi individualis itu tidak
ada yang ada adalah hak komunal.

Dalam masyarakat terdapat kelas-kelas yang saling berinteraksi secara berinteraksi secara
dialektis, yaitu kelas kapitalis dan kelas proletar, buruh. Walaupun kedua hal tersebut
bertentangan namun saling membutuhkan. Kelas kapitalis senantiasa melakukan penindasan
atas kelas buruh proletar. Oleh karena itu harus dilenyapkan. Hal ini dapat dilakukan hanya
denan melalui suatu revolusi. Hal inilah yan merupakan konsep kaum komunis untuk
melakukan suatu perubahan terhadap masyarakat secara revolusioner infrastruktur
masyarakat. Menurut komunisme ideologi adalah mendasarkan suatu kebaikan hanya pada
kepentingan demi keuntungan kelas masyarakat secara totalitas. Atas dasar inilah maka
komunisme mendasarkan moralnya pada kebaikan yang relatif demi keuntungan kelasnya,
oleh karena itu segala cara dapat dihalalkan.

Dalam kaitannya dengan negara, bahwa negara adalah sebagai manifestasi dari manusia
sebagai makhluk komunal. Mengubah masyarakat secara revolusioner harus berakhir dengan
kemenangan pada pihak kelas proletar. Sehingga pada gilirannya pemerintahahan negara
harus dipegang oleh orang-orang yang meletakkan kepentingan pada kelas proletar.
Demikian juga hak asasi dalam negara hanya berpusat pada hakikatnya adalah tidak ada. Atas
dasar pengertian inilah maka sebenarnya komunisme adalah komunisme adalah anti
demokrasi dan hak asasi manusia.

5.Hubungan Negara dengan Agama Menurut Paham Komunis

Paham komunisme dalam memandang hakikat hubungan negara dengan agama mendasarkan
pada pandangan filosofis materialisme dialektis dan materialisme histories. Hakekat
kenyataan tertinggi menurut paham komunisme adalah materi. Namun materi menurut
komunisme berada pada ketegangan intern secara dinamis bergerak dari keadaan (tesis)
kekeadaan lain (antitesis) kemudian menyatukan (sintesis) ke tingkat yang lebih tinggi.
Selanjutnya sejarah bagaimana berlangsungnya suatu proses sangat ditentukan oleh
fenomina-fenomena dasar, yaitu dengan suatu kegiatan-kegiatan yang paling material yaitu
fenomena-fenomena ekonomis. Dalam pengertian inilah menurut komunisme yang di
pelopori oleh K. Marx, menyatakan bahwa manusia adalah merupakan suatu hakekat yang
menciptakan dirinya sendiri yang menghasilkan sarana-sarana kehidupan sehingga
menentukan dalam perubahan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan bahkan agama.
Dalam pengertian ini maka komunisme berpaham ethis, karena manusia ditentukan oleh
dirinya sendiri. Agama menurut komunisme adalah realisasi fanatis makhluk manusia, agama
adalah keluhan makhluk tertindas. Oleh karena itu menurut komunisme Marxis, agama
adalah merupakan candu masyarakat (Marx, dalam Louis Leahy, 1992:97, 98).
Negara yang berpaham komunisme adalah bersifat etheis bahkan bersifat antitheis, melarang
dan menekan kehidupan agama. Nilai yang tertinggi dalam negara adalah materi sehingga
nilai manusia ditentukan oleh materi.

http://edwanansari.blogspot.com/2009/11/hubungan-pancasila-dengan-agama.html

DAFTAR ISI
Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I Pendahuluan
ü  Latar Belakang
ü  Rumusan Masalah

BAB II Pembahasan
ü  Sejarah Hubungan Islam dan Negara di Indonesia
ü  Sifat Hubungan Agama dan Negara di Indonesia
ü  Sikap Negara atau Pemerintah terhadap Islam
ü  Hubungan Islam dan Negara pada Era Reformasi
ü  Konsep Islam dalam Negara Indonesia

BAB III Penutup


ü  Kesimpulan
ü  Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Membicarakan masalah hubungan agama dan negara adalah sesuatu yang menarik.
Mengapa? Kita tahu agama dan negara bagaikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi,
tidak bisa dipertemukan. Bagaimanapun juga agama tetap memberikan irama terhadap
kehidupan sosial bernegara karena agama merupakan ruh kedua bagi setiap masyarakat atau
individu yang menggerakkan tata cara bergaul antar masyarakat lainnya. Sehingga, peranan
agama sangat mustahil untuk dikesampingkan begitu saja dari kehidupan manusia.
Sebaliknya, negara sangat menentukan terhadap perkembangan suatu agama di wilayahnya.
Kebijakan-kebijakan terhadap hal yang berbau keagamaan sangat mempengaruhi terhadap
terciptanya masyarakat madani (civil society) seperti yang menjadi cita-cita kedua belah
pihak. Bila kebijakan negara cenderung berpihak kepada salah satu agama tertentu, tak ayal
jika negara atau keadaan negara tidak akan kondusif, timbul konflik yang mengarah ke unsur
SARA.

Hubungan antara Islam dan negara selalu menarik untuk dikaji. Hal ini karena dua alasan:
pertama, sejak kelahirannya, Islam memiliki dua aspek yang selalu kait-mengkait, yakni
agama dan masyarakat. Kedua, percobaan mengatur masyarakat berdasarkan Islam, telah
sering terjadi dan mengalami pasang surut. Dari sekian percobaan dapat disimpulkan bahwa
kesemuanya dalam taraf coba-coba dan belum ada yang sepenuhnya berhasil, termasuk di
Indonesia
Masalah hubungan Islam dan negara di Indonesia menjadi salah satu persoalan hubungan
agama dan negara yang unik untuk dibahas, karena tidak saja karena Indonesia merupakan
negara yang mayoritas warga negaranya beragama Islam, tetapi karena kompleksnya
persoalan yang muncul. Sekalipun Islam tidak disebut dalam konstitusi sebagai agama
negara, Islam di Indonesia merupakan suatu agama yang hidup dan dinamis. Islamisasi di
Indonesia bukanlah suatu produk sejarah yang telah rampung, tetapi merupakan proses yang
berkelanjutan. Berdasarkan kondisi tersebut, perlu dibahas kembali tentang hubungan Islam
dengan pemerintah sebagai badan eksekutif kenegaraan supaya peranan umat Islam dapat
terlihat lebih jelas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

B.     Rumusan Masalah
Banyak persoalan yang perlu dibahas mengenai hubungan Islam dan negara di Indonesia.
Namun untuk membatasi ruang lingkup dalam pembahasan masalah, penulis hanya
membatasi pada masalah :
1.      Sejarah hubungan Islam dan negara di Indonesia
2.      Sifat hubungan agama dan negara di Indonesia.
3.      Sikap negara atau pemerintah terhadap agama Islam.
4.      Hubungan Islam dan negara pada era reformasi.
5.      Konsep Islam dalam negara Indonesia.

BAB II PEMBAHASAN

A.    Sejarah Hubungan Islam dan Negara di Indonesia

Silang perdebatan dalam menerapkan syari`at Islam secara total dalam menata kehidupan
sosial-politik, setidaknya dapat ditengok sejak mula Indonesia mendapatkan anugerah
kemerdekaan. Dengan belum tersedianya seperangkat aturan dan sistem yang dimiliki oleh
bangsa Indonesia, beberapa pemimpin umat Islam berupaya mendesakkan syari`at Islam
untuk diterapkan. Tuntutan itu pun sempat terakomodir
Tapi, tuntutan yang semula terakomodir dengan perkataan… “dengan kewajiban
menjalankan syari`at Islam bagi pemeluk-pemeluknya… “ yang tertuang di mukadimah dan
pasal 29 UUD 1945 ternyata tidak berlangsung lama. Pada tanggal 18 Agustus 1945, setelah
melewati saat-saat kritis, perkataan itu pun dicoret. Meski kemudian modifikasi sila pertama
Ketuhanan Yang Maha Esa itu dapat dikata jadi jalan tengah yang diilhami dari konsep
tauhid tapi wakil-wakil umat Islam masih merasa keberatan dengan formula baru Pancasila.

Usai pemilu 1955, tuntutan untuk memperjuangkan dasar negara Islam seperti
mendapatkan momentum kembali. Sejarah mencatat, sidang Majelis Konstituante di bawah
kepemimpina Ir.Soekarno untuk menentukan dasar negara Islam atau pancasila, tak mencapai
keputusan final. Perdebatan sengit selama sidang antara partai-partai Islam dan pendukung
Pancasila dalam mengokohkan dasar negara menemui jalan buntu. Selama kurang lebih dua
puluh bulan tidak ada kata sepakat. Konstitusi menemui jalan buntu serius.

Di tengah kebuntuan itu, Soekarno sebagai penguasa yang didukung militer lalu
melakukan intervensi. Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. Dengan keluarnya Dekrit
Presiden itu, Soekarno membubarkan Konstituante dan menetapkan kembali UUD 1945 dan
menyingkirkan usulan dasar Islam. Tentu, rekam jejak saat-saat genting perdebatan sidang
Majelis Konstituante tentang dasar negara itu sangat menarik untuk dicermati. Studi
Komprehensif Buku Ahmad Syafi`i Ma`arif yang berjudul Islam dan Pancasila Sebagai Dasar
Negara; Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante ini coba merekam “perdebatan antara
wakil-wakil partai Islam yang menghendaki Islam sebagai dasar negara dan wakil partai
nasionalis yang mendukung Pancasila. Buku terjemahaan dari desertai penulis di Chicago
Universy ini, cukup kompatibel jadi referensi tentang perdebatan sengit dasar negara
Indonesia dalam sidang Majelis Konstituante.

Dalam Majelis Konstitusi, pada awalnya ada tiga rancangan (draf) tentang dasar negara
yang diajukan oleh tiga fraksi. Ketiga rancangan itu adalah; Pancasila, Islam dan Sosial-
Ekonomi (diajukan Partai Murba dan Partai Buruh). Tetapi, draf Sosial Ekonomi tersebut
seperti kehilangan gaung. Sementara perdebatan sengit dari wakil partai Islam yang
menginginkan Islam sebagai dasar negara- dan partai nasionalis yang mendukung Pancasila
mewarnai sidang.
Wakil dari partai Islam meneguhkan bahwa tuntutan untuk membumikan Islam sebagai
dasar negara itu, tidak lain merujuk realitas kehidupan sejarah di masa nabi saat membangun
Madinah. Tapi di mata Syafi`i, Islam cita-cita yang terbangun di masa nabi itu kerap tidak
dipisahkan oleh para penggagas negara Islam yang berada dalam dimensi Islam sejarah.
Padahal sebagaimana diungkapkan Fazlur Rahman, antara Islam cita-cita dan dan Islam
sejarah, “Harus ada kaitan positif dan dapat dipahami agar gerak maju dari yang riil menjadi
mungkin.”

Umat Islam Indonesia, tak bisa ditepis memiliki idealisme itu. Sayang, sebagian besar
dari mereka di mata Syafi`I masih kekurangan visi yang cukup dan kemampuan intelektual
dalam memahami jiwanya yang dinamik dan kreatif. Tetapi sekali pun tak berhasil
perjuangan umat Islam Indonesia dalam menegakkan dasar Islam di sidang Majelis
Konstituante tahun 1950-an, adalah bagian dari upaya membumikan Islam cita-cita dalam
konteks politik kenegaraan sebagaimana yang dipahami wakil partai Islam.

Selain merujuk kehidupan zaman nabi, wakil partai Islam merujuk teori politik Islam
sebagaimana yang digagas Jamal ad-Din al-Afghani, Abduh, Rasyid Ridha, dan lain-lain.
Dari modernisme Islam yang diwariskan para pendahulu itu, wakil-wakil Islam seperti
Tjokroaminoto, Agus Salim, Sukiman dan Natsir hendak membangun pilar Islam sebagai
dasar negara di bumi Indonesia.

Sayang, konteks Indonesia yang kemudian menjadikan Pancasila sebagaimana digagas


untuk merangkup kebhinnekaan nusantara itu lebih menguat di bawah tangan Soekarno.
Soekarno yang sedari awal memuja sekularisme Turki, membubarkan Sidang Konstituante
yang waktu itu tidak menghasilkan kesepakatan, sehingga keluarlah Dekrit Presiden 5 Juli
1959. Dengan Dekrit itu, Indonesia mengukuhkan sistem politik baru dikenal dengan
Demokrasi Terpimpin sehingga tertutup pintu untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara.

Keinginan membumikan negara Islam itu, semata-mata dilatarbelakangi beban sejarah


untuk mengembalikan “harkat dan martabat umat Islam” yang terpuruk akibat penindasan
politik dan ekonomi Barat. Sayang jihad melawan Barat itu bukan membuat Islam menjadi
cemerlang, melainkan justru mendapat citra yang kian jauh darai kesan damai karena Islam
ditengarai agama yang tidak membawa misi kemanusiaan.
B.     Sifat Hubungan Agama dan Negara di Indonesia

Mengkaji hubungan agama,dalam hal ini Islam dan negara di Indonesia, secara umum
dapat digolongkan ke dalam dua bagian, yakni hubungan yang bersifat antagonistik dan
hubungan yang bersifat akomodatif.

Dalam hal ini, Indonesia pernah mengalami masa dimana hubungan agama dengan negara
bersifat antagonistik maupun akomodatif.

1.              Hubungan agama dan negara yang bersifat antagonistic

Hubungan antagonistik merupakan sifat hubungan yang mencirikan adanya


ketegangan antara negara dengan agama. Akar antagonisme hubungan antara Islam dan
negara tak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang
berbeda. Awal hubungan yang antagonistik ini dapat ditelusuri dari masa pergerakan
kebangsaan, ketika elit politik nasional terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di
alam Indonesia merdeka. Dengan demikian pada masa ini negara betul-betul mencurigai
Islam sebagai kekuatan yang potensial dalam menandingi eksistensi negara. Di sisi lain, umat
Islam sendiri pada masa itu memiliki ghirah yang tinggi untuk mewujudkan Islam sebagai
sumber ideologi dalam menjalankan pemerintahan.

2.              Hubungan agama dan negara yang bersifat akomodatif

Hubungan akomodatif lebih dipahami sebagai sifat hubungan dimana negara dan
agama satu sama lain saling mengisi bahkan ada kecenderungan memiliki kesamaan untuk
mengurangi konflik. Munculnya sikap akomodatif negara terhadap Islam lebih disebabkan
oleh adanya kecenderungan bahwa umat Islam Indonesia dinilai telah semakin memahami
kebijakan negara, terutama dalam konteks pemberlakuan dan penerimaan asa tunggal
Pancasila.

Negara melakukan akomodasi terhadap Islam dengan alasan, pertama, dari kacamata
pemerintah, Islam merupakan kekuatan yang tidak dapatdiabaikan yang pada akhirnya kalau
diletakkan pada posisi pinggiran akan menimbulkan masalah politik yang cukup rumit.
Kedua, di kalangan pemerintah sendiri terdapat sejumlah figur yang tidak terlalu fobi
terhadap Islam, bahkan mempunyai dasar keislaman yang sangat kuat sebagai akibat latar
belakangnya, misalnya saja Emil Salim, B.J. Habibie, Akbar Tandjung dan lain sebagainya.
Mereka tentu saja berperan dalam membentuk sikap politik pemerintah untuk tidak menjauhi
Islam. Ketiga, adanya perubahan persepsi, sikap dan orientasi politik di kalangan umat Islam
itu sendiri.

C.     Sikap Negara atau Pemerintah terhadap Islam

Percobaan mengatur masyarakat berdasarkan Islam, menimbulkan sikap arogan dari


pemerintah. Sebetulnya sikap preventif terhadap usaha penerapan syariat sebagai landasan
hukum tidak hanya pemerintah melainkan juga dari sikap pemeluk agama. Inilah yang
disebut hubungan agama dan Negara unik dan aneh. Ternyata masyarakat kita tidak setuju
jika masalah agama di bawa ke wilayah Negara.

Masdar F. Mas’udi beranggapan bahwa seseorang tidak mungkin menjadi muslim yang
baik sekaligus menjadi warga Negara Indonesia yang baik. Untuk menjadi warga apalagi
pemuka bangsa yang sejati seorang muslim mesti terlebih dahulu melampui (mengaburkan)
batas-batas keIslamannya. Sulit rasanya seorang pemimpin umat dari agama mayoritas
seperti Islam di Indonesia dapat tampil secara mulus sebagai pemimpin. Pernyataan yang
disampaikan beliau memang bukan tanpa alasan. Kalau kita menilik sejarah ke belakang baik
pemimpin pasca proklamasi maupun orde baru, semua pemimpin bangsa ini tidak begitu
kental keIslamannya. Sebagai paradigma politik memimpin bangsa ini justru lebih suka
mengadopsi pemikiran (nilai-nilai) budaya.

Bahkan di era orde baru sikap preventif terhadap ormas atau organisasi agama begitu
getol. Pemerintah berusaha mengkerdili umat Islam yang ingin memperjuangkan ajarannya
lewat jalur sturktural. Sejumlah fakta menunjukkan hal tersebut, misalnya Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) sebagai partai resmi Islam selalu dibuat kerdil dengan berbagai cara,
kegiatan-kegiatan semi kekerasan dibabat habis tanpa ampun, misalnya kasus Tanjung Priok,
Lampung dan lain-lain. Semua hal itu dilakukan orde baru terhadap umat Islam karena orde
baru sangat trauma dengan masa lalu di mana politik Islam sangat potensial untuk
menggalang massa dan berbalik menyerang pemerintah sekaligus menjadi oposisi abadi
kepada siapapun yang tengah berkuasa.
D.    Hubungan Islam dan Negara pada Era Reformasi

Era reformasi disebut-sebut sebagai masa cerah bagi kehidupan bangsa Indonesia.
Demokrasi, katanya, benar-benar tegak, keberadaaan pers, organisasi politik, ormas tidak lagi
dibungkam dan dikerdilkan. Semua wahana ekspresi diberikan kebebasan sepenuhnya. Masa
reformasi ditandai dengan tumbangnya rezim Soeharto pada pertengahan 1998, tepatnya saat
Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ
Habibe.

Reformasi yang terjadi pada pertengahan tahun 1998 ini menyebabkan perubahan drastis
dalam berbagai aspek kehidupan politik, ekonomi, pemerintahan. Perubahan drastis yang
menonjol dibidang politik pasca orde baru antara lain: hilangnya kekuasaan represif dan
bubarnya sistem bureaucratic politypemerintah dipegang segelintir orang berubah menjadi
pemerintah yang dipegang oleh perwakilan rakyat secara riil.

Perubahan birokrasi ternyata berdampak terhadap kebijakan-kebijakan terhadap semua


aspek kehidupan bernegara termasuk kebijakan bersuara dan mengeluarkan pendapat. Di saat
orde baru berkuasa, kebebasan bersuara dan mengeluarkan pendapat hanya sebatas retorika
belaka. Bahkan pemerintah orde baru cenderung berperilaku sebagai rezim praetorian yang
memiliki banyak kontrol yang mengawasi kehidupan masyarakat. Mulai dari usaha bina
Negara hingga persoalan personal semacam keluarga berencana.

Karena begitu ketatnya kontrol Negara sehingga berubah menjadi “bom waktu” yang
terbukti saat reformasi. kontrol tersebut melahirkan “dendam kesumat” bagi anak bangsa
yang merasa terkekang sehingga pasca reformasi banyak bermunculan organisasi-organisasi
massa (baik politik maupun kemasyarakatan) maupun lembaga press. Bahkan kata reformasi
berubah menjadi “senjata” untuk melegalkan perbuatan individual maupun komunal.

Perubahan tersebut dimanfaatkan oleh umat Islam untuk memperjuangkan ajaran


agamanya agar setidaknya menjadi sumber hukum formal dalam kehidupan bernegara.
Perjuangan ini lebih dikenal dengan perjuangan jalur strukturalis, yang mana di era orde baru
pintu ini tertutup rapat dan pemerintah hanya membuka pintu kulturalis. Pernyataan
selanjutnya adalah mengapa umat Islam begitu ambisius untuk memasukkan syariat ke dalam
hukum Negara ini?
Dari sudut kuantitas, umat Islam merupakan mayoritas sehingga sudah sewajarnya jika p
emerintah selalu memperhatikan kepentingan umat Islam dan mengakomodasikan sebanyak
mungkin aspirasi Islam. Dengan kata lain, pemerintah dalam mengimplementasikan
kebijakan programnya harus lebih memihak kepada Islam. Persoalan yang timbul adalah
bagaimana dengan nasib umat minoritas? Keadaan mereka sebenarnya dalam posisi tidak
aman. Mereka belum sepenuhnya percaya pada iktikad baik kelompok mayoritas yang
berjanji akan melindungi eksistensi mereka.

Selain dilihat dari sudut kuantitas umat, bisa juga dilihat sumber inspirasi umat Islam itu
sendiri yakni Al-Quran dan As-Sunah. Agama Islam tidal pernah membedakan persoalan
individu dengan persolan masyarakat, urusan dunia yang profan dan urusan akhirat yang
trasendetal.

Dunia dan akhirat adalah dunia yang saling menjalin, seperti yang tersirat dalam ajaran
Islam bahwa “dunia adalah ladangnya akhirat”. Karena dunia dipandang sebagai “ladang”
sudah barang tentu keberadaan “ladang” tersebut harus dikelola sesuai dengan tata krama-
Nya. Agar kelak memberikan bekal yang baik di alam transenden. Kensekuensinya seluruh
aktivitas orang Islam, baik kelompok maunpun individu harus “manut” dengan aturan
tersebut. Dalam bermasyarakat atau berkelompok selalu memiliki tujuan-tujuan agama dan
sekaligus mengabdi pada lestarinya nilai-nilai agama. Lebih jauh maka seluruh aktivitas
muslim selalu diupayakan selaras dengan nilai-nilai yang ada dalam sumber pokok Islam, Al-
Quran dan As-Sunah.

Semuanya itu perlu pengimplementasian dalam kehidupan kalau perlu diwujudkan dalam
bentuk Negara, mengapa harus negara? Karena Negara mempunyai kekuasaan sekaligus
wilayah yang membawahi rakyat. Dengan demikian harapan yang muncul adalah masyarakat
bisa taat pada hukum Islam karena sudah ada institusi legal yang bisa menuntut sangsi bila
hukum tersebut tidak dijalankan. Yang perlu digaris bawahi adalah bagi Islam tujuan
bernegara adalah menegakkan keadilan dalam kehidupan bersama, keadilan sosial. Oleh
sebab itu, bagi Islam Negara adalah instrument bagi segenap warganya untuk merealisasikan
cita-cita keadilan social.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagimana mengartikulasikan wujud cita-cita tersebut di
tengah pluralnya masyarakat? Untuk menjawab apalagi mengartikulasikan tidaklah mudah,
banyak kendala yang dihadapi di lapangan. Setidaknya ada dua kendala yang menjadi batu
sandungan yakni kendala konsepsional dan kendala praktis. Kendala konsepsional adalah
kendala bagaimana ajaran Islam yang normativ dapat dijabarkan menjadi separangkat aturan
yang berfungsi untuk pelaksanaan di lapangan. Sedangkan kendala praktis yaitu kendala
bagaimana implikasi praktis yang sangat mungkin timbul pada masyarakat yang plural.
\
Mohtar Mas’oed menuliskan bahwa setidaknya ada dua pendekatan sebagai upaya
pengartikulasikan Islam dalam kehidupan masyarakat yaitu pertama, Islamisasi Negara
nasional untuk kepentingan umat Islam dan kedua Islamisasi masyarakat dalam Negara
nasional. Yang dimaksud Islamisasi negara adalah upaya merealisasikan ajaran dalam
Negara. Negara Indonesia di upayakan berdasarkan Islam. Pandangan ini muncul karena
melihat kenyataan kuantitas umat Islam memang menjadi umat terbanyak dan sudah
sewajarnya bila hukum Islam dijadikan sumber hukum Negara. Alasan logis karena yang
akan merasakan adalah umat Islam. Toh, dalam hukum Islam juga ada hukum-hukum yang
mengatur umat non-Islam yang disebut kaum zimmi. Keberadaan mereka tidak
dikesampingkan begitu saja bahkan ajaran Islam menyuruh umatnya melindungi nyawa dan
harta benda mereka.

Kritik bermunculan ketika cara ini akan ditempuh karena dinilai cara ini terlalu
diskriminatif. Mereka mengatakan kemerdekaan Indonesia tidaklah semata-mata diraih umat
Islam. Serta semenjak dahulu kepulauan nusantara tidak hanya dihuni oleh satu umat
melainkan berbagai jenis umat, kepercayaan. Jadi kalau ada hukum agama yang dijadikan
hukum konstitusional adalah mengingkari kenyataan bahwa negara ini memang plural. Selain
itu mereka mencurigai umat Islam sebagai umat yang hegemonik dan egois kerena terlalu
ambisius mempengaruhi kebijakan pemerintah. Lebih jauh lagi, umat Islam akan dianggap
ekstrim, karena menganggap atau merasa bahwa agamanya yang paling benar.

Memang jalur struktural atau Islamisasi Negara nasional sering kali mengalami benturan
baik dengan penguasa maupun dengan pihak umat agama lain. Pendekatan lain untuk
mengartikulasikan Islam adalah Islamisasi masyarakat dalam Negara nasional, yang
dimaksud dengan pendekatan ini adalah penterjemahan politik Islam secara substansial, yakni
ajaran-ajaran Islam diterjemahkan dalam bahasa- bahasa ekonomi, kemanusiaan, hak asasi
manusia, pemberdayaan masyakat, dan lain-lain. Pendekatan ini memandang perjuangan
Islam tidaklah sempit, yaitu terbatas pada arena politik dan parlemen, namun lebih luas dari
itu, yaitu meliputi kebudayaan, pendidikan dan lain-lain. Bagi mereka yang menggunakan
pendekatan ini yang penting adalah pesan-pesan pokok Islam dapat terwujud seperti
semangat egalitarian, humanitas, demokrasi, keadilan sosial, dan lain-lain serta tidak
mengedepankan wacana negara Islam.

Pendekatan model ini lebih disukai oleh tokoh-tokoh Islam dan penguasa. Selain itu,
pendekatan ini lebih mengedepankan sikap saling mejaga keharmonisan antara umat
beragama serta menjaga hubungan Islam dan penguasa yang selama ini selalu terjadi konflik
diantara mereka. Pendekatan ini memang harus dipahami umat Islam sendiri bahwa
pendekatan ini lebih menguntungkan bagi keberlangsungan Negara dan agama. Syarat ayang
harus di miliki adalah bagimana memandang dan memperlakukan Islam sendiri. Apakah
Islam dipandang secara tekstual atau memahami hakikat mengapa Islam itu diturunkan.
Secara hakikat Islam turun sebagai rahmatan lil ‘alamin, sebagai rahmat bagi alam. Tentu
banyak jalan untuk membumikan pada tatanan kehidupan masyarakat sehingga terwujud
masyarakat madani. Semua ini asalah tinggal umat Islam sendiri memandang Islam, sebatas
kulit atau menyeluruh. Yang penting bagi umat Islam adalah mempunyai sikap “ojo
rumongso biso nanging biso rumongso” atau menyebarkan Islam dengan “bil hikmah wa
mauidlotul hasanah”.

E.     Konsep Islam dalam Negara Indonesia

Islam adalah faktor penting dalam bangunan kebangsaan Indonesia. Sumber daya budaya,
sosial dan politik serta ekonomi negara ini secara potensial berada dan melekat dalam tubuh
warganya yang mayoritas muslim. Kolaborasi Islam dan budaya lokal selama berabad-abad
hingga cucuran keringat, air mata dan darah para syuhada’ telah memperkokoh bangunan ke-
Indonesia-an modern. Sejarah Indonesia juga mencatat penolakan dan penentangan umat
Islam terhadap penindasan kolonialisme. Agenda ekonomi, politik, sosial, pendidikan dan
keagamaan yang digerakkan oleh SI, Muhammadiyah dan NU terbukti mengusung cita-cita
luhur memperjuangkan terwujudnya kemerdekaan dan pemerintahan sendiri oleh rakyat
Indonesia.
Demikian halnya para tokoh pergerakan nasional dari kalangan muslim, meskipun
mereka kelihatan berbeda-beda penekanan dan perspektifnya tentang nasionalisme Indonesia,
tak diragukan lagi kecintaan dan komitmen mereka pada perjuangan terwujudnya negara
bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat.

Fakta-fakta tersebut cukup menjelaskan bahwa Islam tidak merintangi nasionalisme,


justru dari rahim Islamlah, nasionalisme Indonesia dapat tumbuh subur. Pergerakan-
pergerakan Islam sudah lama mempunyai ikatan kebangsaan lebih kuat jika dibandingkan
dengan organisasi lokal yang masih berbasis etnik, termasuk Budi Utomo yang berbasis
kepentingan priyayi Jawa.

Jika kehidupan bernegara ditujukan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur,
maka tentulah berkenaan dengan umat Islam Indonesia. Maka umat Islam juga harus
mengambil peran strategis dan kreatif memajukan Indonesia menuju negara plural yang kuat.
Penolakan terhadap nation-state dalam sisi tertentu menunjukkan kekhawatiran berlebihan
terhadap subordinasi Islam oleh negara, juga merupakan ekspresi dari ketidakberdayaan
mengambil peran-peran kreatif dan strategis dalam merealisasikan keIslamann dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dengan mempertimbangkan keragaman agama sebagai salah satu faktor dalam


nasionalisme, maka perjuangan mewujudkan berlakunya syari’at Islam di tengah-tengah
masyarakat dapat dilakukan melalui gerakan-gerakan kultural dan struktural melalui sarana
politik, sebagai bentuk dari pengamalan syuro. Dalam konteks ini maka pilihannya bukan
negara Islam atau juga sistemkhilafah yang menerapkan syariah atau negara sekuler yang
menolak syariah, tapi negara Indonesia yang merealisasikan nilai-nilai universal ajaran
agama (Islam) dalam bingkai Ukhuwwah Basyariyyah, Ukhuwwah Islamiyyah, dan
Ukhuwwah Wathaniyyah.

Islam dan Nasionalisme Indonesia adalah dua sisi mata uang yang saling memberikan
makna. Keduanya tidak bisa diposisikan secara diametral atau dikhotomik. Nasionalisme
selalu meletakkan keberagaman atau pluralitas sebagai konteks utama yang darinya dapat
melahirkan ikatan dasar yang menyatukan sebuah negara bangsa. Idealnya umat Islam tidak
perlu merasa khawatir kehilangan identitasnya karena persenyawaannya dalam negara
bangsa. Perjuangan yang ditekankan untuk menonjolkan identitas atau simbol-simbol
keIslaman dalam kerangka perjuangan politik kebangsaan hanya merupakan cerminan
kelemahan umat Islam sendiri. Selain itu, meskipun terbuka peluangnya di alam demokrasi
ini, penekanan berlebihan dalam hal itu akan potensial menjadi penyulut disintegrasi, dan ini
tidak sejalan dengan nasionalisme itu sendiri. Idealnya, perjuangan politik umat Islam
menekankan pada penguatan nasionalisme Indonesia dengan memperkokoh faktor-faktor
perekat kebangsaan yang secara substantif. Nilai-nilai dimaksud merupakan nilai-nilai
universal Islam yang menyentuh kesadaran pragmatis warga negara, seperti keadilan,
kesejahteraan, kepercayaan, dan sebagainya.

Itulah sebabnya Al mawardi, dalam kitab al-Ahkam al Shulthaniyyah mempersyaratkan


keadilan bagi seorang pemimpin negara dan tidak memasukkan syarat harus beragama Islam,
dan dalam kitabnya yang lain, yakni Adab al-Dunya wa al-Din ia merumuskan proposisi
bahwa umur persatuan sebuah bangsa sesungguhnya ditentukan oleh keadilan dalam bangsa
itu. Selama keadilan ada dalam kehidupan bangsa itu, selama itu pula mereka akan tetap
bersatu. Begitu keadilan berganti dengan kezhaliman, maka tunggulah saat perpecahan
mereka.

BAB III PENUTUP

A.    Kesimpulan

Berdasarkan apa yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam merupakan
faktor penting dalam negara Indonesia. Agenda ekonomi, politik, sosial, pendidikan dan
keagamaan yang digerakkan oleh para organisasi Islam terbukti mengusung cita-cita luhur
memperjuangkan terwujudnya kemerdekaan dan pemerintahan sendiri oleh rakyat Indonesia.

Adapun hubungan Islam dan negara di Indonesia dapat berupa hubungan yang bersifat
antagonistik dan bersifat akomodatif. Dimana antagonistik adalah sifat hubungan yang
mencirikan adanya ketegangan, sedangkan akomodatif adalah sifat hubungan yang saling
mendukung satu sama lain.

B.     Saran
Dengan meletakkan Islam secara tegas sebagai sumber inspirasi dan nilai atas negara,
maka diharapkan akan segera menyelesaikan hubungan yang antagonistik yang selama ini
terbangun. Ketegasan itu dirasa penting untuk memberikan “kesimpulan” mengenai
hubungan Islam dan negara, di saat politik identitas dan radikalisasi atas nama agama yang
semakin menguat akhir-akhir ini di Indonesia. Para ormas Islam hendaknya tidak terlalu
gegabah dalam memperjuangkan Islam di Indonesia. Pemerintah ataupun negara seharusnya
memaklumi, bahwa Islam di Indonesia adalah mayoritas sehingga mereka harus dijadikan
titik berat dalam setiap pembuatan kebijakan-kebijakan atau peraturan yang akan
diberlakukan.

DAFTAR PUSTAKA

ü  Azra,MA,Prof Dr. Azyumardi.2000. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani.


Jakarta : ICCE UIN Jakarta.
ü  Budi, Arjdo Miriam. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Granmedia Pustaka Utama.
ü  Fauzia, Amelia, dkk.2011.Modul Kebebasan Beragama dan Integrasi Sosial. Jakarta: CSRC
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
ü  Kusnardi, Muhammad Ibrahim.1984. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta : Pusat Studi
Hukum Tata Negara UI Dan C.V. Sinar Bakti.

ü  Rozak, AbduL, dkk.2000. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, HAM


dan Masyarakat Madani. Jakarta : IAIN Jakarta press.

http://muhdar-ahmad.blogspot.com/2015/01/tugas-paper-uas-kewarganegaraan-judul.html

Anda mungkin juga menyukai