Anda di halaman 1dari 18

Asuhan keperawatan

Laporan pendahuluan apendisitis

Juli 17, 2018

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Apendisitis merupakan suatu kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat
sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai
cacing yang terinfeksi.Sebagai penyakit yang paling sering memerlukan tindakan bedah kedaruratan,
apendisitis merupakan keadaan inflamasi dan obstruksi pada apendiks vermiformis. Apendiks
vermiformis yang disebut pula umbai cacing atau lebih dikenal dengan nama usus buntu, merupakan
kantung kecil yang buntu dan melekat pada sekum. Apendisitis dapat terjadi pada segala usia dan
megenai laki – laki serta perempuan sama banyak. Akan tetapi pada usia antara pubertas dan 25 tahun,
prevalensi apendisitis lebih tinggi pada laki – laki. Sejak terdapat kemajuan dalam terapi antibiotik,
insidensi dan angka kematian karena apendisitis mengalami penurunan. Apabila tidak ditangani dengan
benar, penyakit ini hampir selalu berkibat fatal (Kowalak, 2011).

Pada umumnya post operasi appendiktomi mengalami nyeri akibat bedah luka operasi. Menurut
Maslow bahwa kebutuhan rasa nyaman merupakan kebutuhan dasar setelah kebutuhan fisiologis yang
harus terpenuhi. Seorang yang mengalami nyeri akan berdampak pada aktivitas sehari-hari. Seorang
tersebut akan terganggu pemenuhan kebutuhan istirahat tidur, pemenuhan individu, juga aspek
interaksi sosialnya yang dapat berupa menghindari percakapan, menarik diri dan menghindari kontak.
Selain itu seorang yang mengalami nyeri hebat akan berkelanjutan, apabila tidak ditangani pada
akhirnya dapat mengakibatkan syok neurogenic pada orang tersebut (Gannong, 2010).

Angka kejadian appendicitis cukup tinggi di dunia. Berdasarkan Word Health Organisation (2010) yang
dikutip oleh Naulibasa (2011), angka mortalitas akibat appendicitis adalah 21.000 jiwa, di mana populasi
laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Angka mortalitas appendicitis sekitar 12.000 jiwa pada
laki-laki dan sekitar 10.000 jiwa pada perempuan.

Di Amerika Serikat terdapat 70.000 kasus appendicitis setiap tahnnya. Kejadian appendicitis di Amerika
memiliki insiden 1-2 kasus per 10.000 anak pertahunya antara kelahiran sampai umur 4 tahun. Kejadian
appendicitis meningkat 25 kasus per 10.000 anak pertahunnya antara umur 10-17 tahun di Amerika
Serikat. Apabila dirata-rata appedisitis 1,1 kasus per 1000 orang pertahun di Amerika Serikat.
Insiden appendicitis cukup tinggi termasuk Indonesia merupakan penyakit urutan keempat setelah
dyspepsia, gastritis dan duodenitis dan system cerna lainnya (Stefanus Satrio.2009). Secara umum di
Indonesia, appendicitis masih merupakan penyokong terbesar untuk pasien operasi setiap
tahunnya.hasil laporan dari RS Gatot Soebroto, Jakarta tahun 2006 sebabkan oleh pola makan pasien
yang rendah akan serat setiap harinya (Depkes RI ,2007).

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Definisi Apendisitis

Apendisitis merupakan suatu kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat
sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai
cacing yang terinfeksi.Sebagai penyakit yang paling sering memerlukan tindakan bedah kedaruratan,
apendisitis merupakan keadaan inflamasi dan obstruksi pada apendiks vermiformis. Apendiks
vermiformis yang disebut pula umbai cacing atau lebih dikenal dengan nama usus buntu, merupakan
kantung kecil yang buntu dan melekat pada sekum. Apendisitis dapat terjadi pada segala usia dan
megenai laki – laki serta perempuan sama banyak. Akan tetapi pada usia antara pubertas dan 25 tahun,
prevalensi apendisitis lebih tinggi pada laki – laki. Sejak terdapat kemajuan dalam terapi antibiotik,
insidensi dan angka kematian karena apendisitis mengalami penurunan. Apabila tidak ditangani dengan
benar, penyakit ini hampir selalu berkibat fatal (Kowalak, 2011).

B. Etiologi Apendisitis

Faktor pencetus terjadinya apendisitus akut disamping Sumbatan lumen karena hiperplasia jaringa limf,
tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula karena infeksi bakteria. Selain itu juga erosi mukosa
karena parasit seperti E. histolytica. Konstipasi akan menaikan tekanan intrasekal, yang berakibat
timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa.
Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidajat, 2010)

C. Manifestasi Klinik
1. Adanya nyeri pada kuadran bawah terasa & umumnya disertai dengan demam ringan, mual, muntah
& hilangnya sebuah nafsu makan.

2. Adanya nyeri tekan local pada titik McBurney apabila dilakukan suatu tekanan.

3. Adanya nyeri tekan lepas.

4. Adanya gangguan konstipasi atau diare.

5. Adanya nyeri lumbal, apabila appendiks melingkar di belakang sekum.

6. Adanya nyeri defekasi, apabila appendiks berada dekat rektal.

7. Adanya nyeri kemih, apabila ujung appendiks berada didekat kandung kemih/ureter.

8. Pemeriksaan rektal positif apabila ujung appendiks berada di ujung pelvis

9. Adanya tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah dengan secara paradoksial
menyebabkan nyeri kuadran kanan.

10. Jika appendiks sudah ruptur, rasa nyeri menjadi menyebar, disertai abdomen terjadi akibat ileus
paralitik

11. Pada pasien dengan lanjut usia tanda & gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien mungkin tidak
mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks.

D. Patofisiologi Apendisitis

Apendisitis mula-mula disebabkan oleh sumbatan lumen. Penyempitan lumen akibat hiperplasia
jaringan limfoid submukosa menyebabkan feses mengalami penyerapan air dan terbentuk fekolit yang
merupakan kausa sumbatan. Sumbatan lumen apendiks menyebabkan keluhan sakit di sekitar umbilikus
dan epigastrium, mual dan muntah (Reksoprodjo, 2010). Apendisitis dimulai di mukosa dan kemudian
melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Untuk membatasi proses
peradangan pertahanan tubuh menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga
terbentuk massa peraiapendikuler. Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna
tetapi membentuk jaringan parut yang melekat dengan jaringan sekitarnya, sehingga dapat
menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Jika organ ini meradang akut kembali maka akan
mengalami eksaserbasi akut (Sjamsuhidajat, 2010).

E. Pathway

Pathway Apendisitis

F. Diagnosis Apendisitis
Diagnosa apendisitis didasarkan pada anamnesa tentang perjalanan penyakit dan pemeriksaan fisik
terutama pemeriksaan abdomen. Sakit perut yang menjadi gejala utama pada apendisitis akut bermula
di daerah sekitar umbilikus yang kemudian setelah beberapa jam akan berpindah ke daerah perut kanan
bawah Selain itu, Anoreksia menjadi tanda pertama pada pasien apendisitis Pasien juga mengalami
mual, muntah dan demam. Tanda yang terpenting adalah nyeri tekan yang progresif dengan rigiditas
setempat difosa iliaka kanan). Pemeriksaan laboratorium minimal (hitung darah lengkap dengan hitung
jenis, analisis urin) atau pemeriksaan radiografis (radiogram dada dan/atau abdomen) diperlukan untuk
mendukung atau menyingkirkan diagnosis apendisitis akut

G. Klasifikasi Apendisitis

Klasifikasi apendisitis dapat dibagi menjadi lima berdasarkan gejala dan penyebab. Klasifikasinya yaitu
apendisitis akut, apendisitis perforata, apendisitis rekurens, apendisitis kronik, dan mukokel apendiks
(Sjamsuhida at, 2010).

1) Apendisitis akut terjadi karena peradangan mendadak pada umbai cacing yangmemberikan tanda
setempat. Gejalanya nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium
disekitar umbilikus. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney, disini nyeri dirasakan
lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Sering disertai mual,
muntah dan nafsu makan berkurang.

2) Apendistis Perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren yang menyebabkan pus masuk ke
dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum.

3) Apendisitis rekurens dapat didiagnosa jika adanya riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan
bawah yang mendorong dilakukannya apendektomi dan hasil patologi menunjukkan peradangan akut.
Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Pada apendisitis
rekurens biasanya dilakukan apendektomi karena penderita sering mengalami serangan akut.

4) Apendisitis kronik dapat menegakkan diagnosa jika ditemukan adanya riwayat nyeri perut kanan
bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria
mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total
lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa dan adanya sel inflamasi kronik. 5)
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin akibat adanya obstruksi kronik
pangkal apendiks yang biasanya berupa jaringan fibrosa. Penderita sering datang dengan keluhan ringan
berupa rasa tidak enak di perut kanan bawah. Kadang teraba massa memanjangdiregio iliaka kanan.

H. Komplikasi

Komplikasi yang terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Factor keterlambatan bisa
dipengaruhi oleh penderita & tenaga medis. Factor penderita meliputi pengetahuan & biaya, sedangkan
tenaga medis meliputi kesalahan dalam menentukan diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk
ke rumah sakit, & terlambat melakukan penanggulangan. Keadaan ini mengakibatkan adanya
peningkatan angka morbiditas & mortalitas. Proporsi komplikasi Apendisitis 10-32 %, paling sering
terjadi pada anak kecil & orang tua. Komplikasi 93 % terjadi pada anak-anak < 2 tahun & 40-75% pada
orang tua. CFR komplikasi 2-5 %, 10 – 15 % terjadi pada anak-anak dan orang tua. Anak-anak memiliki
dinding appendiks yg masih tipis, omentum lebih pendek & belum berkembang sempurna sehingga
memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua akan terjadi gangguan pembuluh darah.
Adapun jenis komplikasi yg terjadi:

1. Abses

Abses ialah sebuah peradangan appendiks yg berisi pus. Pada saat di palpasi teraba massa lunak di
kuadran kanan bawah/pada daerah pelvis. Massa ini awalnya berupa flegmon & berkembang menjadi
rongga yg di dalamnya mengandung pus. Hal ini akan terjadi apabila Apendisitis gangren/mikroperforasi
ditutupi oleh omentum

2. Perforasi

Perforasi ialah pecahnya appendiks yg berisi pus sehingga bakteri dapat menyebar ke rongga perut.
Perforasi jarang terjadi dalam waktu 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat sesudah 24 jam.
Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70 % kasus dengan gambaran klinis yag timbul lebih dari
waktu 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,50C, tampak adanya toksik, nyeri tekan seluruh perut, &
adanya leukositosis terutama polymorphonuclear ( PMN ). Perforasi, baik berupa perforasi bebas
maupun mikroperforasi bisa menyebabkan peritonitis.

3. Peritononitis

Peritonitis ialah suatu peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yg bisa saja terjadi
dalam bentuk akut maupun kronis. Apabila infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum maka akan
menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik akan berkurang sampai timbul ileus
paralitik, usus meregang, & hilangnya cairan elektrolit dapat mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan
sirkulasi, & oligouria. Peritonitis disertai adanya rasa sakit perut yg semakin hebat, muntah, nyeri
abdomen, demam, & leukositosis.

I. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap & C-reactive protein (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap
ditemukan dengan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm3 ( leukositosis ) dan neutrofil diatas 75 %,
sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yg meningkat. CRP ialah salah satu komponen protein
fase akut yg dapat meningkat 4-6 jam setelah terjadi suatu proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses
elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas & spesifisitas CRP yakni 80 % dan 90 %.

2. Radiologi

Terdiri dari pemeriksaan USG ( ultrasonografi ) & CT-scan ( Computed Tomography Scanning ). Pada
pemeriksaan USG ditemukan adanya bagian memanjang pada tempat yg terjadi sebuah inflamasi pada
appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan adanya bagian yg menyilang dengan
fekalith & perluasan dari appendiks yg mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat
akurasi USG 90 – 94 % dengan angka sensitivitas & spesifisitas mencapai 85% dan 92%, sedangkan CT-
Scan mempunyai tingkat akurasi sekitar 94-100% dengan sensitivitas & spesifisitas yg tinggi yakni 90 –
100 % dan 96 – 97 %.

3. Analisa urin

Bertujuan untuk menentukan sebuah diagnosa batu ureter & kemungkinan terjadinya infeksi saluran
kemih sebagai akibat dari nyeri pada perut bawah.

4. Pengukuran enzim hati & tingkatan amylase

Membantu menentukan diagnosa peradangan hati, kandung empedu, &pankreas.

5. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin ( B-HCG )

Untuk memeriksa apakah adanya kemungkinan hamil.

6. Pemeriksaan barium enema

Untuk menentukan lokasi dari sekum. Pemeriksaan Barium enema & Colonoscopy merupakan
pemeriksaan awal untuk kemungkinan terjadi karsinoma colon.

7. Pemeriksaan foto polos abdomen

Tidak menunjukkan adanya tanda pasti Apendisitis, namun memiliki arti penting dalam membedakan
Apendisitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.

J. Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan yg bisa dilakukan pada penderita Apendisitis mencangkup penanggulangan konservatif


& tindakan operasi.

1. Penanggulangan konservatif

Penanggulangan konservatif terutama di berikan pada penderita yg tidak mempunyai akses ke


pelayanan bedah berupa pemberian terapi antibiotik. Pemberian terapi antibiotik berguna untuk
mencegah terjadinya infeksi. Umumnya pada penderita Apendisitis perforasi, sebelum dilaksanakan
tindakan operasi dilakukan penggantian cairan & elektrolit, serta pemberian terapi antibiotik sistemik

2. Operasi
Apabila diagnosa sudah tepat & jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan yg dilakukan ialah dengan
operasi untuk membuang appendiks (appendektomi). Penundaan appendektomi dengan pemberian
antibiotik dapat mengakibatkan adanya abses dan perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage
(mengeluarkan nanah).

3. Pencegahan Tersier

Tujuan utama dilaksanakan pencegahan tersier yaitu agar dapat mencegah terjadinya sebuah komplikasi
yg lebih berat seperti komplikasi pada intra-abdomen. Komplikasi utama ialah infeksi luka & abses
intraperitonium. Apabila di perkirakan terjadi perforasi maka abdomen biasanya dicuci dengan garam
fisiologis atau terapi antibiotik. Pasca appendektomi di perlukan pelaksanaan perawatan intensif &
pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen.

BAB III

KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan

1. Identitas

Meliputi data klien yang mencangkup nama, umur, pendidikan, jenis kelamin, nomor register, diagnosa,
pekerjaan, agama dan suku bangsa, tanggal atau jam masuk rumah sakit,

2. Riwayat penyakit sekarang

Klien dengan pre dan post op apendisitis biasanya memiliki keluhan adanya nyeri.

3. Riwayat penyakit dahulu

Untuk mengetahui penyakit apa yg pernah diderita oleh klien seperti memiliki hipertensi, atau memiliki
riwayat tindakan operasi abdomen yang lalu,

4. Riwayat penyakit keluarga

Adakah dalam keluarga yg pernah menderita penyakit diabetes mellitus dan hipertensi, serta penyakit
kronis lainnya.
5. Pola Fungsi Kesehatan

a. Pola Persepsi Hidup SehaT

Apakah memiliki kebiasaan buruk seperti merokok, penggunaan obat- obatan, dan riwayat
mengkonsumsi alcohol

b. Pola Tidur dan Istirahat

Adanya rasa nyeri pre dan post op apendisitis dapat mengganggu kenyamanan pola istirahat tidur klien.

c. Pola aktifitas

Umumnya klien mengalami keterbatasan dalam beraktivitas/bergerak karena rasa nyeri pre dan post op
apendisitis.

d. Pola hubungan dan peran

Dengan adanya keterbatasan dalam beraktivitas/bergerak kemungkinan penderita tidak bisa melakukan
perannya secara baik dalam keluarganya serta dalam komunitas masyarakat.

e. Pola penanggulangan stress

Kebiasaan/koping klien yang biasa digunakan dalam menghadapi suatu masalah.

f. Pola tata nilai & kepercayaan

Mengenai keyakinan klien pada agama yg dianutnya.

6. Pemeriksaan fisik

a. Status Kesehatan

Tingkat kesadaran umumnya klien sadar penuh/compos mentis, ekspresi wajah tampak menahan sakit.

b. Integumen

Apakah terdapat oedema, sianosis, kulit terlihat pucat.

c. Torax dan Paru

Infeksi bentuknya simetris atau tidak, apakah ada tidaknya sumbatan jalan nafas, gerakan cuping
hidung, apakah menggunakan alat bantu dalam bernafas.

d. Abdomenapakah ada pristaltik pada usus ditandai dengan distensi abdomen, nyeri

tekan atau adanya nyeri lepas, kekakuan, adanya penurunan bising usus.

e. Ekstremitas
Apakah ada keterbatasan dalam beraktivitas/bergerak lantaran adanya nyeri yg dirasakan, juga apakah
ada kekakuan.

B. Diagnosa keperawatan

1. Resiko berkurangnya volume cairan berhubungan dengan adanya mual dan muntah.

2. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh.

3. Nyeri berhubungan dengan distensi jaringan intestinal.

4. Kecemasan

5. Ketidak efektifan pola nafas

C. INTERVENSI KEPERAWATAN

1. Resiko berkurangnya volume cairan berhubungan dengan adanya mual dan muntah.

Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi Rencana keperawatan

Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Defisit Volume Cairan

- Berhubungan dengan:

- Kehilangan volume cairan secara aktif

- Kegagalan mekanisme pengaturan

DS :

- Haus

DO:

- Penurunan turgor kulit/lidah

- Membran mukosa/kulit kering

- Peningkatan denyut nadi, penurunan tekanan darah, penurunan volume/tekanan nadi


- Pengisian vena menurun

- Perubahan status mental

- Konsentrasi urine meningkat

- Temperatur tubuh meningkat

- Kehilangan berat badan secara tiba-tiba

- Penurunan urine output

- HMT meningkat

- Kelemahan NOC:

1. Fluid balance

2. Hydration

3. Nutritional Status : Food and Fluid Intake

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama….. defisit volume cairan teratasi dengan kriteria hasil:

1. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal,

2. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal

3. Tidak ada tanda tanda dehidrasi, Elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa lembab, tidak ada rasa
haus yang berlebihan

4. Orientasi terhadap waktu dan tempat baik

5. Jumlah dan irama pernapasan dalam batas normal

6. Elektrolit, Hb, Hmt dalam batas normal

7. pH urin dalam batas norma

8. Intake oral dan intravena adekuat NIC :

1. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat

2. Monitor status hidrasi ( kelembaban membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik ), jika
diperlukan

3. Monitor hasil lab yang sesuai dengan retensi cairan (BUN , Hmt , osmolalitas urin, albumin, total
protein )

4. Monitor vital sign setiap 15menit – 1 jam


5. Kolaborasi pemberian cairan IV

6. Monitor status nutrisi

7. Berikan cairan oral

8. Berikan penggantian nasogatrik sesuai output (50 – 100cc/jam)

9. Dorong keluarga untuk membantu pasien makan

10. Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul meburuk

11. Atur kemungkinan tranfusi

12. Persiapan untuk tranfusi

13. Pasang kateter jika perlu

14. Monitor intake dan urin output setiap 8 jam

2. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh.

Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi Rencana keperawatan

Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Risiko infeksi

Faktor-faktor risiko :

- Prosedur Infasif

- Kerusakan jaringan dan peningkatan paparan lingkungan

- Malnutrisi

- Peningkatan paparan lingkungan patogen

- Imonusupresi

- Tidak adekuat pertahanan sekunder (penurunan Hb, Leukopenia, penekanan respon inflamasi)

- Penyakit kronik

- Imunosupresi

- Malnutrisi

- Pertahan primer tidak adekuat (kerusakan kulit, trauma jaringan, gangguan peristaltik) NOC :
 Immune Status

 Knowledge : Infection control

 Risk control

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama…… pasien tidak mengalami infeksi dengan kriteria hasil:

1. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi

2. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi

3. Jumlah leukosit dalam batas normal

4. Menunjukkan perilaku hidup sehat

5. Status imun, gastrointestinal, genitourinaria dalam batas normal NIC :

1. Pertahankan teknik aseptif

2. Batasi pengunjung bila perlu

3. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan

4. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung

5. Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai dengan petunjuk umum

6. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing

7. Tingkatkan intake nutrisi

8. Berikan terapi antibiotik

9. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal

10. Pertahankan teknik isolasi k/p

11. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase

12. Monitor adanya luka

13. Dorong masukan cairan

14. Dorong istirahat

15. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi

16. Kaji suhu badan pada pasien neutropenia setiap 4 jam


3. berhubungan dengan distensi jaringan intestinal.

Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi Rencana keperawatan

Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Nyeri akut

berhubungan dengan:

- Agen injuri (biologi, kimia, fisik, psikologis), kerusakan jaringan

DS:

- Laporan secara verbal

DO:

- Posisi untuk menahan nyeri

- Tingkah laku berhati-hati

- Gangguan tidur (mata sayu, tampak capek, sulit atau gerakan kacau, menyeringai)

- Terfokus pada diri sendiri

- Fokus menyempit (penurunan persepsi waktu, kerusakan proses berpikir, penurunan interaksi
dengan orang dan lingkungan)

- Tingkah laku distraksi, contoh : jalan-jalan, menemui orang lain dan/atau aktivitas, aktivitas berulang-
ulang)

- Respon autonom (seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan dilatasi
pupil)

- Perubahan autonomic dalam tonus otot (mungkin dalam rentang dari lemah ke kaku)

- Tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas
panjang/berkeluh kesah)

- Perubahan dalam nafsu makan dan minum NOC :

1. Pain Level,

2. pain control,

3. comfort level

Setelah dilakukan tinfakan keperawatan selama …. Pasien tidak mengalami nyeri, dengan kriteria hasil:
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk
mengurangi nyeri, mencari bantuan)

2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri

3. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)

4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

5. Tanda vital dalam rentang normal

6. Tidak mengalami gangguan tidur

NIC :

1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas dan faktor presipitasi

2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan

3. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan

4. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan
kebisingan

5. Kurangi faktor presipitasi nyeri

6. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi

7. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala, relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin

8. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri: ……...

9. Tingkatkan istirahat

10. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan berkurang dan
antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur

11. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
4. Kecemasan

Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi Rencana keperawatan

Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Kecemasan

berhubungan dengan

- Faktor keturunan, Krisis situasional, Stress, perubahan status kesehatan, ancaman kematian,
perubahan konsep diri, kurang pengetahuan dan hospitalisasi

DO/DS:

- Insomnia

- Kontak mata kurang

- Kurang istirahat

- Berfokus pada diri sendiri

- Iritabilitas

- Takut

- Nyeri perut

- Penurunan TD dan denyut nadi

- Diare, mual, kelelahan

- Gangguan tidur

- Gemetar

- Anoreksia, mulut kering

- Peningkatan TD, denyut nadi, RR

- Kesulitan bernafas

- Bingung

- Bloking dalam pembicaraan

- Sulit berkonsentrasi NOC :

1. Kontrol kecemasan
2. Koping

Setelah dilakukan asuhan selama ……………klien kecemasan teratasi dgn kriteria hasil:

1. Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas

2. Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan tehnik untuk mengontol cemas

3. Vital sign dalam batas normal

4. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas menunjukkan berkurangnya
kecemasan NIC :

Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)

1. Gunakan pendekatan yang menenangkan

2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien

3. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur

4. Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut

5. Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan prognosis

6. Libatkan keluarga untuk mendampingi klien

7. Instruksikan pada pasien untuk menggunakan tehnik relaksasi

8. Dengarkan dengan penuh perhatian

9. Identifikasi tingkat kecemasan

10. Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan

11. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi

12. Kelola pemberian obat anti cemas:........

5. Ketidak efektifan pola nafas

TUJUAN DAN KRITERIA HASIL INTERVENSI RASIONAL

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24jam pasien menunjukkan keefektifan pola nafas,
dengan kriteria hasil:

NOC Label : Respiratory Status: Airway patency


1. Frekuensi, irama, kedalaman pernapasan dalam batas normal

2. Tidak menggunakan otot-otot bantu pernapasan

NOC Label : Vital Signs

• Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan) (TD 120-90/90-60 mmHg,
nadi 80-100 x/menit, RR : 18-24 x/menit, suhu 36,5 – 37,5 C) NIC Label : Airway Management

1. Posisikan pasien semi fowler

2. Auskultasi suara nafas, catat hasil penurunan daerah ventilasi atau tidak adanya suara adventif

3. Monitor pernapasan dan status oksigen yang sesuai

NIC Label : Oxygen Therapy

1. Mempertahankan jalan napas paten

2. Kolaborasi dalam pemberian oksigen terapi

3. Monitor aliran oksigen

NIC Label : Respiratory Monitoring

1. Monitor kecepatan, ritme, kedalaman dan usaha pasien saat bernafas

2. Catat pergerakan dada, simetris atau tidak, menggunakan otot bantu pernafasan

3. Monitor suara nafas seperti snoring

4. Monitor pola nafas: bradypnea, tachypnea, hiperventilasi, respirasi kussmaul, respirasi cheyne-stokes
dll NIC Label : Airway Management

1. Untuk memaksimalkan potensial ventilasi

2. Memonitor kepatenan jalan napas

3. Memonitor respirasi dan keadekuatan oksigen

NIC Label : Oxygen Therapy

1. Menjaga keadekuatan ventilasi

2. Meningkatkan ventilasi dan asupan oksigen

3. Menjaga aliran oksigen mencukupi kebutuhan pasien

NIC Label : Respiratory Monitoring


1. Monitor keadekuatan pernapasan

2. Melihat apakah ada obstruksi di salah satu bronkus atau adanya gangguan pada ventilasi

3. Mengetahui adanya sumbatan pada jalan napas

4. Memonitor keadaan pernapasan klien

DAFTAR PUSTAKA

Kowalak.2011.Keperawatan askep_appendisitis.Bandung:Indonesia Publishing House

RI,Depkes.2007.Hubungan Perilaku Makan Dengan Kejadian Apendisitis. Bandung:Indonesia Publishing


House

Ganong.2010.Fisiologi Kedokteran.Jakarta:EGC.

Kowalak, Jenifer P.2011.Buku Ajar Fisiologi.Jakarta: EGC.

Naulibaza.2011.Latar Belakang Appendik.Jakarta:Salemba Medika

Stefanus, Satrio.2009. Hubungan Perubahan Letak Serabut Saraf Dengan Tipe Radang Pada Pasien Yang
DiDiagnosis Secara Hispatologis Appendisits Di RSCM Tahun 2005.Jakarta:Rineka Cipta

WHO.2010.Prevalensi Penyakit Apendiktomi.Jakarta:EGC

Sjamsuhida at.2010.Klasifikasi Appendisitis.Jakarta:EGC

Reksoprodjo.2010.Patofisiologi appendicitis.Jakarta:PT.Rineka Cipta

Anda mungkin juga menyukai