Anda di halaman 1dari 50

BAGIAN NEUROLOGI Laporan Kasus

FAKULTAS KEDOKTERAN Januari 2020


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

SUBDURAL HEMATOM KRONIK

Oleh :
Andira Ratu Nurrasyid
111 2018 2109

Pembimbing Supervisor :
dr.Rahmawati Akib, Sp. S

BAGIAN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan
Karunia-Nya serta salam dan shalawat kepada Rasulullah Muhammad SAW
beserta sahabat dan keluarganya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan
Kasus ini dengan judul “Subdural Hematom Kronik” sebagai salah satu syarat
dalam menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di Bagian Neurologi.
Selama persiapan dan penyusunan laporan kasus ini rampung, penulis
mengalami kesulitan dalam mencari referensi. Namun berkat bantuan, saran, dan
kritik dari berbagai pihak akhirnya laporan kasus ini dapat terselesaikan serta tak
lupa penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tulisan ini.
Semoga amal dan budi baik dari semua pihak mendapatkan pahala dan
rahmat yang melimpah dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan refarat ini terdapat banyak kekurangan dan masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan makalah ini. Saya berharap sekiranya makalah ini dapat
bermanfaat untuk kita semua. Amin.

Makassar, Januari 2020


Hormat Saya,
Penulis
LEMBAR PENGESAHAN
Dengan ini, saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa :
Nama : Andira Ratu Nurrasyid
Stambuk : 111 2018 2109
Judul : Subdural hematom kronik

Telah menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada Bagian Neurologi Fakultas


Kedokteran, Universitas Muslim Indonesia di RS Salewangan Maros, Makassar.

Makassar,Januari 2020
Pembimbing

dr.Rahmawati Akib, Sp. S


BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn AW
Agama : Islam
Umur : 01-07-1967 (52 tahun)
Alamat : Saludongka
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku : Bugis
Status : Menikah
Tgl. Masuk : 14 Februari 2020

II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Lemah separuh badan sebelah kiri.
b. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien dibawa ke RS Salewangan Maros dengan lemah separuh badan


sebelah kiri sejak +- 1 minggu. Disertai nyeri kepala. Nyeri kepala dirasakan
diseluruh kepala, nyeri kepala terasa seperti tertindih. Keluarga pasien juga
mengeluhkan terkadang pasien susah diajak bicara, cenderung tidak
nyambung. Pasien juga akhir-akhir ini sering lupa. Pasien cenderung selalu
mengantuk. Pasien mengeluh demam sejak +- 1 minggu sejak masuk rumah
sakit, demam naik turun. Pasien juga muntah setiap kali makan. Riw
kesadaran menurun (-), mual muntah (-),perdarahan (-), kejang (-)

c. Riwayat Medis dan Penyakit Dahulu

Riwayat operasi kepala bulan November 2019 akibat kecelakaan lalu lintas.
Pada saat itu kepala pasien terbentur. Dua minggu setelah operasi pasien
terbentur lagi dan mulai merasa tubuh agak kaku. Satu minggu setelahnya
pasien jatuh dari motor dan mengeluhkan nyeri kepala dan nyeri dada.
d. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak Ada

e. Riwayat Kebiasaan

Tidak Ada

III. HASIL PEMERIKSAAN FISIK

1. Status Present

 Keadaan Umum : Sakit sedang/Gizi baik/Compos mentis


 Kesadaran : GCS 14 (E4M6V4)
 Gizi : Gizi baik
 Tanda Vital
- Tekanan Darah : 110/80 mmHg

- Nadi : 84 x/menit

- Pernafasan : 22 x/menit

- Suhu : 36,80C

 Kepala
- Bentuk : Normocephal

- Konjungtiva : Anemis -/-

- Lagophtalmus : Tidak ada

- Ptosis : Tidak ada

- Exophtalmus : Tidak ada

- Pupil Isokor, Ɵ 2,5mm/2.5mm, refleks cahaya langsung (+/+),


reflex cahaya tak langsung (+/+)
- Bibir sianosis (-)

- Lidah kotor (-)


 Leher
- Pembesaran KGB (-)

- Trakea : Tidak ada kelainan

 Thoraks
- Paru
 Inspeksi : Bentuk simetris, pergerakan simetris, retraksi ICS
(-).
 Palpasi : Pelebaran ICS (-)
 Perkusi : Sonor (+/+)
 Auskultasi : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

- Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tidak nampak
 Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
 Perkusi : Batas jantung atas : ICS II
parasternalis dextra et sinistra
Batas jantung kanan : ICS IV linea
midclavicula dextra
Batas jantung kiri : ICS V midclavicula sinistra
 Auskultasi : Bunyi jantung S1
dan S2 murni, Murmur (-), Gallop (-)

 Abdomen
 Inspeksi : Datar ikut gerak
napas
 Palpasi : Dalam batas normal,
nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien dalam batas normal, Massa
(-), Jejas/Bekas Trauma (-)
 Perkusi : Tympani
 Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal.
 Ekstremitas atas dan bawah
- Akral hangat, edema tidak ada, sianosis
tidak ada, peteki tidak ada.

2. Status Psychicus

 Cara berpikir dan tingkah laku : sulit dinilai


 Kecerdasan, perasaan hati dan ingatan : terganggu

3. Status Neurologicus

 Kesadaran : compos mentis, GCS 14


(E4M6V4)
 Kepala : Normocephal, Tidak ada kelainan.
 Leher : Tidak ada kelainan.
 Pemeriksaan Tanda Rangsangan Meningeal

- Kaku Kuduk (-)

- Brudzinsky I Sign (-/-)

- Brudzinsky II Sign (-/-)

- Lasseque Sign (-/-)

- Kernig Sign (-/-)

 Pemeriksaan Saraf Kranialis

Pemeriksaan Saraf Kranialis Kanan Kiri


Olfaktorius (I)
 Subjektif Baik Baik
Optikus (II)
 Tajam penglihatan (Subjektif)
Baik Baik
 Lapangan pandang (Subjektif)
 Melihat warna
Okulomotorius (III)
 Pergerakan mata kearah medial, Baik Baik
inferior, torsi inferior
 Pergerakan mata ke superior Baik Baik
 Strabismus Tidak ada Tidak ada
 Nystagmus Tidak ada Tidak ada
 Refleks pupil terhadap sinar Positif Positif
 Melihat kembar Tidak ada Tidak ada
 Pupil besarnya 2,5mm 2,5mm
 Midriasis Negatif Negatif
 Ptosis Negatif Negatif
Troklearis (IV)
 Pergerakan mata (ke bawah- Baik Baik
keluar)
Trigeminus (V)
 Membuka mulut
 Mengunyah
 Menggigit Baik Baik
 Palpasi Otot Masseter
 Sensibilitas muka
(Taktil, Nyeri)
Abdusens (VI)
 Pergerakan mata ke lateral Baik Baik
Fasialis (VII)
 Mengerutkan dahi
 Lagophtalmus
Baik Baik
 Memperlihatkan gigi
 Sudut bibir
 Pengecapan (2/3) Anterior
Vestibulokoklearis (VIII)
 Fungsi pendengaran (Subjektif) Tidak Tidak
 Tes Scwabach dilakukan dilakukan
 Tes Rinne
 Tes Weber
 Kepala berputar (Vertigo)
Glossofaringeus (IX)
 Perasaan lidah (bagian belakang) Sulit dinilai Sulit dinilai
 Refleks muntah
Vagus (X)
 Bicara
 Menelan Sulit dinilai
 Arcus Pharynx
 Uvula
Assesorius (XI)
 Mengangkat bahu Baik Baik
 Memalingkan kepala
Hipoglossus (XII)
 Pergerakan lidah Baik
 Atrofi Negatif

 Pemeriksaan Motorik, Sensorik dan Refleks


- Anggota Gerak Atas

Kanan Kiri
Motorik
 Bentuk/Massa Otot Normal Normal
 Pergerakan Normal Menurun
 Kekuatan 5 4
 Tonus Normal Menurun
Sensibilitas
 Taktil + +
 Nyeri + +
Refleks fisiologis
 Biseps + +
 Triceps + +
Refleks patologis
 Tromner - -
 Hoffman - -

 Anggota Gerak Bawah

Pemeriksaan Kanan Kiri


Motorik
 Bentuk/Massa Otot Normal Normal
 Pergerakan Normal Menurun
 Kekuatan 5 3
 Tonus Normal Menurun
Sensibilitas
 Taktil + +
 Nyeri + +
Refleks fisiologis
 Patella + +
 Achilles + +
Refleks patologis
 Babinski - -
 Chaddock - -
 Schaefer - -
 Oppenheim - -
 Gordon - -
 Gonda - -
Pemeriksaan tambahan
 Tes Patrick - -
 Tes kontra Patrick - -

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


 Laboratorium :
- Darah rutin:
Leukosit: 6,9x10^9/L
HGB: 12,6 g/dL
PLT: 193.000/L
- Widal:
Salmonella Typhi OD 1/20
Salmonella Typhi HD 1/20
Salmonella Paratyphi 1/80
Salmonella Paratyphi 1/80
- Glukosa:
Gula darah sewaktu: 96 mg/dl
Gula darah puasa: 90 mg/dl
- Kolesterol
Kolesterol total:126 mg/dl
- Asam urat: 4,4 mg/dl

- SGPT: 29 u/L

- Kreatinin darah: 0,8 mg/dl

 Radiologi :CT Scan Kepala


- Tampak lesi hipodens yang bentuk cembung pada regio frontalis dextra

- Sistem ventrikel tidak dilatasi, namun terdesak ke kiri dengan midline


shift ke kiri
- Struktur cerebellum, pons dan batang otak serta area CPA dalam batas
normal, tidak tampak lesi hipodens ataupun hiperdens/SOL
- Sulci dan gyri prominent dan ruang subarachnoid yang terscan dalam
batas normal
- Tak tampak perselubungan sinus maxillaris dextra et sinistra

- Kedua bulbu oculi dan struktu retrobulber yang terscan dalam batas
normal
- Calvariaa cranii intak

Kesan: Hematoma chronic subdural dextra, kemungkinan adanya massa


hemisphere dextra
 Tes MMSE

Nilai
Item Tes Nilai
maks.
ORIENTASI
Sekarang (tahun), (musim), (bulan), (tanggal), hari 5 3
apa?
2. Kita berada dimana? (negara), (propinsi), (kota), 5 4
(rumah sakit), (lantai/kamar)
REGISTRASI
3. Sebutkan 3 buah nama benda ( jeruk, uang, 3 3
mawar), tiap benda 1 detik, pasien disuruh
mengulangi ketiga nama benda tadi. Nilai 1 untuk
tiap nama benda yang benar. Ulangi sampai pasien
dapat menyebutkan dengan benar dan catat jumlah
pengulangan
ATENSI DAN KALKULASI
4. Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk tiap jawaban 5 0
yang benar. Hentikan setelah 5 jawaban. Atau
disuruh mengeja terbalik kata “ WAHYU” (nilai
diberi pada huruf yang benar sebelum kesalahan;
misalnya uyahw=2 nilai)
MENGINGAT KEMBALI (RECALL)
5. Pasien disuruh menyebut kembali 3 nama benda di 3 0
atas
BAHASA
6. Pasien diminta menyebutkan nama benda yang 2 2
ditunjukkan ( pensil, arloji)
7. Pasien diminta mengulang rangkaian kata :” tanpa 1 0
kalau dan atau tetapi ”
8. Pasien diminta melakukan perintah: “ Ambil kertas 3 3
ini dengan tangan kanan, lipatlah menjadi dua dan
letakkan di lantai
9. Pasien diminta membaca dan melakukan perintah 1 1
“Angkatlah tangan kiri anda”
10. Pasien diminta menulis sebuah kalimat (spontan) 1 0
11. Pasien diminta meniru gambar di bawah ini 1 0

Skor Total 30 16

Hasil: Definite Gangguan Kognitif

V. DIAGNOSA

 Diagnosa klinis : Hemiparese sinistra,


 Diagnosa topis : Subdural dextra
 Diagnosa etiologik : Trauma

VI. PENATALAKSANAAN

Terapi :

IVFD RL 20 tpm

1. Piracetam 3gr/8jam/iv

2. Neurosanbe 1gr/24jam/iv

3. Manitol 20% 6x100%

4. Aricept evst 10g 0-0-1/2


5. PDA 2x1 caps

VII. PROGNOSIS
Vitam : Dubia
Fungsionam : Dubia
Sanationam : Dubia

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 AnatomiKepala
A. Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit,
connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika,
loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium.

B. Tulang Tengkorak

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan
oksipital. Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi
oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapatmelukai
bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobusfrontalis, fosa
media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak
dan serebelum.

Gambar 2.1 Anatomi Lapisan Pembungkus Otak


C. Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu :

1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri
atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu
ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid,
dimana sering dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut
Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan
sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan
hebat. Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan
laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling
sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada
fosatemporalis (fosa media).

2. Selaput Arakhnoid

Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.


Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah
luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang
potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid
yang terisi oleh liquor serebrospinalis.4 Perdarahan sub arakhnoid umumnya
disebabkan akibat cedera kepala.

3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri.3. Pia mater adalah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk
kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan
menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak
juga diliputi oleh pia mater.

D. Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat padaorangdewasa


sekitar 14 kg.7 Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan)
terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan
rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan
serebellum retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada
medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung
jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.

E. Cairan serebrospinalis

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan


kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral
melalui foramen monro menuju ventrikel, dari akuaduktus sylvius menuju
ventrikel . CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio
arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS
dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS
dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok
populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS
per hari.

F. Tentorium
Gambar 2.2 Lobus-lobus otak
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial
(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial
(berisi fosa kranii posterior).

G. Perdarahan Otak

Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat
arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus
Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang
sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan
bermuara ke dalam sinus venosus cranialis

2.2 ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALA

a. Hukum Monroe-Kellie

Volume intrakranial adalah tetap karena sifat dasar dari tulang tengkorang yang
tidak elastik. Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total volume
komponen-komponennya yaitu volume jaringan otak (V br), volume cairan
serebrospinal (V csf) dan volume darah (Vbl).

Vic = V br+ V csf + V bl

b. Tekanan Perfusi Serebral


Adalah selisih antara mean arterial pressure (MAP) dan tekanan intarkranial
(ICP). Pada seseorang yang dalam kondisi normal, aliran darah otak akan bersifat
konstan selama MAP berkisar 50-150mmhg. Hal ini dapat terjadi akibat adannya
autoregulasi dari arteriol yang akan mengalami vasokonstriksi atau vasodilatasi
dalam upaya menjaga agar aliran darah ke otak berlangsung konstan.

2.3. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses
akselarasideselarasi gerakan kepala.Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi
peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya
benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada
daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut
contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti
secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).

Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses


patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa
perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan
tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.

Fraktur tengkorak

Fraktur tengkorak dapat terjadi pada kalvaria atau basis. Pada fraktur
kalvaria ditentukan apakah terbuka atau tertutup, linear atau stelata, depressed
atau non depressed. Fraktur tengkorak basal sulit tampak pada foto sinar-x polos
dan biasanya perlu CT scan dengan setelan jendela-tulang untuk memperlihatkan
lokasinya. Sebagai pegangan umum, depressed fragmen lebih dari ketebalan
tengkorak (> 1 tabula) memerlukan operasi elevasi. Fraktura tengkorak terbuka
atau compound berakibat hubungan langsung antara laserasi scalp dan permukaan
serebral karena duranya robek, dan fraktura ini memerlukan operasi perbaikan
segera.

Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan


bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera
berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar
400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura
kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada
pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini,
adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit
untuk pengamatan, tidak peduli bagaimana baiknya tampak pasien tersebut.

Lesi Intrakranial

Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau


kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma
epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien
pada kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal
namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam. Basis selular
cedera otak difusa menjadi lebih jelas pada tahun-tahun terakhir ini.

Hematoma Epidural

Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang


potensial antara tabula interna dan duramater. Paling sering terletak diregio
temporal atau temporalparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal
media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder
dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural
mungkin akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa
posterior. Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat
menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis
biasanya baik karena cedera otak disekitarnya biasanya masih terbatas. Outcome
langsung bergantung pada status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari
hematoma epidural sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9% pada pasien obtundan,
dan 20% pada pasien koma dalam.12,14Hematoma Subdural

Hematoma Subdural

Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara


duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan
sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat
robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga
dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura
tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu, kerusakan otak yang mendasari
hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih
buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin
diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis
agresif.

Kontusi dan hematoma intraserebral


Kontusi serebral sejati terjadi cukup sering. Selanjutnya, kontusi otak
hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural. Majoritas terbesar kontusi
terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat
termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma

intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona


peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral
dalam beberapa hari.

Tabel 2.1 Glasglow Coma Scale

Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan


(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan
otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam
jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan
temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi
lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan
tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.

2.4 KLASIFIKASI CEDERA KEPALA


Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale adalah
sebagai berikut :

1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.

2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13 dan,

3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.

2.5 PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA

Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili


tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder
serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit.16 Penatalaksanaan cedera kepala tergantung
pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat.
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam
penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway,
breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan
dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala
berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan
mencegah homeostasis otak. Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat
inap di rumah sakit.Indikasi rawat antara lain:

1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)

2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)

3. Penurunan tingkat kesadaran

4. Nyeri kepala sedang hingga berat

5. Intoksikasi alkohol atau obat

6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea

8. Cedera penyerta yang jelas

9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan

10. CT scan abnormal

Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk


memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan
dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi,
pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan. Pada
penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan operatif. Indikasi
untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan
neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan
sebagai berikut:

1. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial


atau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial
2. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta
gejala dan
3. tanda fokal neurologis semakin berat
4. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
5. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
6. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
7. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
8. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
9. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis
2.6 SUBDURAL HEMATOMA

2.6.1. DEFINISI

DefinisiHematoma adalah sekelompok sel darah yang telah mengalami


ekstravasasi, biasanya telah menggumpal, baik di dalam organ, interstitium,
jaringan dan otak.

Gambar 2.3 Hematoma Subdural

Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural.


Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki
ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea
sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam
bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-
vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu
merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera,
sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan
darah.

2.6.2. EPIDEMIOLOGI
Hematom subdural yang akut jarang terjadi. Literatur tentang laporan
kasus sporadic sangat terbatas. Kasus ini sering mempunyai suatu sumber arteri,
karena mereka biasanya dihubungkan dengan keadaan patologis yang sama seperti
yang terjadi pada perdarahan subaraknoid dan perdarahan intraserebral. Darah
dari ruptur aneurisma bisa masuk memotong melalui parenkim otak atau ruang
subaraknoid. Nyatanya, kasus telah dilaporkan mengenai suatu hematom subdural
akut yang dicetus dengan penyalahgunaan kokain. Suatu penelitian retrospektif
melaporkan bahwa 56% dari kasus pada pasien dalam kelima dan decade ketujuh.
Penelitian lain mencatat bahwa lebih dari setengah dari semua kasus terlihat pqada
pasien >60 tahun . Insiden yang tertinggi dari 7,,35 per 100.000 terjadi pada
remaja dengan umur 10-19 tahun. Rata-rata mortalitas pada pasien dengan
hematom subdural akut dilaporkan berkisar 30-90 %, tetapi sekitar 60% adalah
tipikal . Rata-rata morbiditas dan mortalitasnya dihubungkan dengan pengobatan
secara pembedahan dari hematom subdural kronik, telah diperkirakan berkisar
11% dan 5% secara berurutan. Hematom subdural dapat terjadi pada semua umur.

2.6.3. ETIOLOGI

Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan
kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan
subdural. Hemoragi subdura biasanya disebabkan oleh sobeknya vena di tempat
vena itu melalui rongga subdura. Gerak otak depan relatif terhadap dura dengan
mendadak, dapat terjadi setelah mendapat pukulan yang tidak mengakibatkan
fraktur tengkorak. Hemoragi subdural mungkin sekali selalu disebabkan oleh
trauma kapitis walaupun traumanya mungkin tidak berarti (trauma pada orang tua)
sehingga tidak terungkap oleh anamnesis. Yang seringkali berdarah ialah bridging
veins, karena tarikan ketika terjadi pergeseran rotatorik otak.

Subdural merupakan lapisan sebelum dura ( duramater adalah membrane


pembungkus terluar dari otak ). Subdural hematom terjadi ketika darah vena yang
berlokasi antara lapisan pembungkus otak ( meningen ) ditemukan darah setelah
head injury pada kepala. Subdural hematom timbul ketika vena-vena yangberjalan
antara dura dan permukaan otsk pecah dan mengeluarkan darah. Pengumpulan
darah kemudian terbentuk diatas permukaan otak. Pada pengumpulan subdural
kronik, darah yang berasal dari vena-vena berjalan lambat. Ini dapat terjadi karena
head injury atau frekuensi kurang, itu dapat terjadi spontan jika pasien agak tua.
Hematom subdural kronik biasanya dihubungkan dengan atropi serebral. Vena
batang kortek diperkirakan tekanannya menjadi lebih rendah sebagaimana
penyusunan otak yang berangsur-angsur dari tulang tengkorak, bahkan trauma
minor bisa menyebabkan satu dari vena menjadi bocor. Perdarahan yang lambat
dari sistem vena yang bertekanan rendah sering bisa memperbesar bentuk
hematom sebelum nampak tanda-tanda klinis. Hematom subdural yang kecil
sering diabsorbsi secara spontan. Kumpulan yang besar dari darah subdural sering
mengatur dan membentuk membran vaskuler yang menyelubungi hematom
subdural. Perdarahan kecil yang berulang , vena bersama dengan membran ini
bertanggung jawab terhadap perluasan dari beberapa hematom subdural
Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:

1. Trauma kapitis
2. Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau
putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.
3. Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah
terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada
orangtua dan juga pada anak – anak.
4. Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan
subdural.
5. Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan
subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor
intrakranial.
6. Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.

2.6.4. PATOFISIOLOGI

Pada perlukaan kepala , dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang


subaraknoid, kedalam rongga subdural (hemoragi subdural) antara dura bagian
luar dan tengkorak (hemoragi ekstradural) atau ke dalam substansi otak sendiri.
Putusnya vena-vena penghubung (bridging veins) antara permukaan otak dan
sinus dural adalah penyebab perdarahan subdural yang paling sering terjadi.
Perdarahan ini seringkali terjadi sebagai akibat dari trauma yang relatif kecil, dan
mungkin terdapat sedikit darah di dalam rongga subaraknoid. Anak-anak ( karena
anak-anak memiliki vena-vena yang halus ) dan orang dewasa dengan atropi otak
( karena memiliki vena-vena penghubung yang lebih panjang ) memiliki resiko
yang lebih besar.

Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas
hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging
veins” . Karena perdarahan subdural sering disebabkan oleh perdarahan vena,
maka darah yang terkumpul hanya 100-200 cc saja. Perdarahan vena biasanya
berhenti karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai
mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang
diserap meninggalkan jaringan yang kaya pembuluh darah. Disitu timbul lagi
perdarahan kecil, yang menimbulkan hiperosmolalitas hematom subdural dan
dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya perdarahan kecil dan pembentukan
kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah (higroma).

Kondisi- kondisi abnormal biasanya berkembang dengan satu dari tiga


mekanisme. Perdarahan yang terjadi akibat rusaknya arteri kortikal (termasuk
epidural hematom), perdarahan dari rusaknya dasar parenkim, dan kebocoran
pembuluh darah dari korteks terhadap satu dari aliran sinus venosus. Pada semua
kasus , pergerakan sagital dari kepala bisa dihasilkan dengan suatu akselerasi
angular (kaku ) yang menyebabkan ruptur batang vena parasagital dan suatu
hematom subdural yang berat.

Gennereli dan Thibault menggambarkan bahwa rata-rata akselerasi dan


deselerasi dari kepala merupakan factor utama kegagalan venaPerdarahan terjadi
antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena
jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan
sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak
yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus
dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat
merobek beberapa vena halus pada tempat di mana mereka menembus duramater
Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai
hematoma epidural.

Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan
tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun
mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala
seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat.
Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena
jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil
sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan
pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena
yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum
gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi
perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan
terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut.
Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang
peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh
sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural
kronik.

Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial


dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh
efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase
ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains
tekanan intra kranial yang cukup tinggi.Meskipun demikian pembesaran
hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme
kompensasi tersebut. Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi
serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi
transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat
terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh
meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik,
didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu
dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya.

Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik,


yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan
mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam
kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan
onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang
meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut.
Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari
penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata
hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua
mengatakan bahwa, perdarahan berulang yang dapat mengakibatkan terjadinya
perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat
meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi
bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau
kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim
fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan subdural kronik.

2.6.5. KLASIFIKASI

a. Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat timbulnya


gejala- gejala klinis yaitu:

1) Perdarahan akut

Gejala yang timbul segera hingga berjam – jam setelah trauma. Biasanya
terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan
perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan
tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas.
Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.

2) Perdarahan sub akut

Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 – 14 hari sesudah trauma.


Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah .
Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya.
Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi
isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari
hemoglobin.

3) Perdarahan kronik

Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan
kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun
bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya
terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga
mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan
subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa
menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan
dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk
mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk
atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila
terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah
yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini
protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari
hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru
yang menyebabkan menggembungnya hematoma.

Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap
cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan
gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik
dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening
tomografinya didapatkan lesi hipodens.

Berdasarkan pada arsitektur internal dan densitas tiap hematom, perdarahan


subdural kronik dibagi menjadi 4 kelompok tipe, yaitu :

1. Tipe homogen ( homogenous)

2. Tipe laminar

3. Tipe terpisah ( seperated)

4. Tipe trabekular (trabecular)

Tingkat kekambuhan pada tipe terpisah adalah tinggi sedangkan pada tipe
yang trabekular adalah rendah. Pada perdarahan subdural kronik diyakini bahwa
pada awalnya dalam bentuk homogen, kemusian seringkali berlanjut menjadi
bentuk laminar. Sedangkan pada subdural kronik yang matang, diwakili oleh
stadium terpisah dan hematomnya terkadang melalui stadium trabekular selama
penyerapan.

Sedangkan berdasarkan perluasan iutrakranial dari tiap hematom,


perdarahan subdural kronik dikelompokkan menjadi 3 tipe yaitu:

1. Tipe konveksiti ( convexity).

2. Tipe basis cranial ( cranial base ).

3. Tipe interhemisferik

Tingkat kekambuhan perdarahan subdural Kronik tipe cranial base adalah


tinggi, sedangkan kekambuhan tipe convexity adalah rendah. Pengelompokan
perdarahan subdural kronik berdasarkan arsitektur internal dan perluasan intra
kranial ini berguna untuk memperkirakan resiko terjadinya kekambuhan pasca
operatif.

2.6.6. MANIFESTASI KLINIS

Gambaran klinis ditentukan oleh dua faktor: beratnya cedera otak yang
terjadi pada saat benturan trauma dan kecepatan pertambahan volume hematoma.
Penderita dengan trauma berat dapat menderita kerusakan parenkim otak difus
yang menybabkan pasien tidak sadar dengan tanda-tanda gangguan batang otak.
Penderita dengan hematoma subdural yang lebih ringan akan sadar kembali pada
derajat kesadaran tertentu sesuai dengan beratnya benturan trauma pada saat
terjadi kecelakaan (initial impact). Keadaan berikutnya akan ditentukan oleh
kecepatan pertambahan hematoma dan penanggulangannya. Pada penderita
dengan benturan trauma yang ringan tidak akan kehilangan kesadaran pada waktu
terjadinya trauma. Terdapatnya hematoma subdural dan lesi massa intrakranial
lainnya yang dapat membesar harus dicurigai bila ditemukan penurunan kesadaran
setelah terjadinya trauma.
Gejala-gejala klinis yang terjadi pada hematoma subdural, sebagai akibat
cedera otak primer dan tekanan oleh massa hematoma. Pupil anisokor dan defisit
motorik adalah gejala klinik yang paling sering ditemukan. Lesi pasca trauma baik
hematoma atau lesi parenkim otak umumnya terletak ipsilateral terhadap pupil
yang melebar dan kontralateral terhadap defisit motorik. Akan tetapi, gambaran
pupil dan gambaran defisit motorik tidak merupakan indikator yang mutlak dalam
menentukan letak hematoma. Gejala defisit motorik dapat tidak sesuai bila
kerusakan parenkim otak terletak kontralateral terhadap hematoma subdural atau
karena terjadi kompresi pedunkulus serebri yang kontralateral pada tepi bebas
tentorium. Trauma langsung pada saraf okulomotor atau batang otak pada saat
terjadi trauma menyebabkan dilatasi pupil kontralateral terhadap trauma.
Perubahan diamater pupil ini lebih dipercaya sebagai indikator letak hematoma
subdural.
Secara umum, gejala yang terjadi pada hematoma subdural seperti pada tingkat
yang ringan (sakit kepala) sampai penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran
pada hematoma subdural tidak begitu hebat seperti kasus cedera neuronal primer,
kecuali apabila terdapat efek massa atau lesi lainnya. Gejala yang timbul tidak
khas dan merupakan manisfestasi dari peningkatan tekanan intrakranial seperti:
sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan N.
III, epilepsi, pupil anisokor, dan defisit neurologis lainnya.
a) Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai
48 jam pasca trauma. Keadaan ini berkaitan erat dengan trauma otak berat.
Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan
otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya
menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat
menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut
nadi dan tekanan darah. 9,12,13
b) Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48
jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah trauma. Seperti pada hematoma
subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam
ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini adalah adanya trauma
kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan
status neurologik yang perlahan-lahan. Namun dalam jangka waktu
tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang
memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam
beberapa jam. Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring
pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar
dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri.
Pergeseran isi intrakranial dan peningkatan intrakranial yang disebabkan
oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi sentral dan melengkapi
tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.
c) Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan
bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek
salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan
secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah
perdarahan terjadi, darah dikelilingi oleh membran fibrosa. Dengan adanya
selisih tekanan osmotik yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma,
terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran
hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek
membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan
tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering
terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada
kedua keadaan ini, trauma yang terjadi dianggap ringan, sehingga selama
beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar
karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural
yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala
neurologis seperti:
 sakit kepala yang menetap
 rasa mengantuk yang hilang-timbul
 aphasia
 perubahan ingatan
 kelumpuhan atau keluhan sensorik ringan pada sisi tubuh yang
berlawanan.

2.6.7. DIAGNOSIS

Anamnesis
Trauma akut subdural hematoma sering terjadi sebagai akibat dari
jatuh, kekerasan, atau kecelakaan kendaraan bermotor. Kecurigaan
terhadap terjadinya subdural hematom akut muncul kapapun ketika pasien
mengalami trauma tumpul derajat sedang hingga berat. Gambaran
klinisnya akan tergantung pada lokasi lesi dan perkembangan dari lesi
tersebut.
Sering ditemukan, pasien dalam keadaan menuju koma setelah
kejadian. Beberapa pasien dalam keadaan sadar, dan yang lainnya dalam
masa perburukan yang muncul perlahan seiring perluasan hematoma.
Pasien yang usia tua rentan mengalami subdura hematoma akut dibanding
pasien lain yang mengalami trauma. Pada sebuah studi menunjukkan
rerata umur pasien yang mengalami trauma tetapi tanpa kejadian subdura
hematoma akut adalah 26 tahun, sedangkan rerata umur yang mengalami
subdural hematom akut adalah 41 tahun. Oleh karena itu pasien usia tua
menjadi resiko tersendiri untuk kemunculan subdural hematom akut
setelah cedera kepala. Hal ini diperkirakan terjadi karena pada pasien tua
memiliki otak yang lebih atrofi, sehingga mengakibatkan robekan yang
lebih mudah terjadi pada bridging vein segera setelah cedera kepala
terjadi.
Subdura hematoma subakut ditegakan sebagai SDH yang muncul
antara 4 hingga 21 hari setelah cedera kepala terjadi. SDH kronik
ditentukan sebagai SDH yang muncul pada 21 hari atau lebih setelah
cedera terjadi. Angka – angka tersebut tidaklah absolute, klasifikasi SDH
yang lebih akurat jika menggunakan CT-scan.
Dari anamnesis ditanyakan adanya riwayat trauma kepala baik
dengan jejas dikepala atau tidak, jika terdapat jejas perlu diteliti ada
tidaknya kehilangan kesadaran atau pingsan. Jika ada pernah atau tidak
penderita kembali pada keadaan sadar seperti semula. Jika pernah apakah
tetap sadar seperti semula atau turun lagi kesadarannya, dan diperhatikan
lamanya periode sadar atau lucid interval. Untuk tambahan informasi perlu
ditanyakan apakah disertai muntah dan kejang setelah terjadinya trauma
kepala.
Kepentingan mengetahui muntah dan kejang adalah untuk mencari
penyebab utama penderita tidak sadar apakah karena inspirasi atau
sumbatan nafas atas, atau karena proses intra kranial yang masih berlanjut.
Pada penderita sadar perlu ditanyakan ada tidaknya sakit kepala dan mual,
adanya kelemahan anggota gerak salah satu sisi dan muntah-muntah yang
tidak bisa ditahan. Ditanyakan juga penyakit lain yang sedang diderita,
obat-obatan yang sedang dikonsumsi saat ini, dan apakah dalam pengaruh
alkohol.

Pemeriksaan Fisik 
Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey)
yang mencakup jalan nafas (airway), pernafasan (breathing) dan tekanan
darah atau nadi (circulation) yang dilanjutkan dengan resusitasi. Jalan
nafas harus dibersihkan apabila terjadi sumbatan atau obstruksi, bila perlu
dipasang orofaring tube atau endotrakeal tube lalu diikuti dengan
pemberian oksigen. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan perfusi dan
oksigenasi jaringan tubuh. Pemakaian pulse oksimetri sangat bermanfaat
untuk memonitor saturasi O2. Secara bersamaan juga diperiksa nadi dan
tekanan darah untuk memantau apakah terjadi hipotensi, syok atau
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Jika terjadi hipotensi atau
syok harus segeradilakukan pemberian cairan untuk mengganti cairan
tubuh yang hilang. Terjadinya peningkatan tekanan intrakranial ditandai
dengan Cushing respon yaitu peningkatan tekanan darah, bradikardia dan
bradipnea.17,18 Pemeriksaan neurologis yang meliputkankesadaran
penderita dengan menggunakan. Skala GCS, pemeriksaan diameter kedua
pupil, dan tanda-tanda defisit neurologis fokal. Pemeriksaan kesadaran
dengan Skala GCS menilai kemampuan membuka mata, respon verbal dan
respon motorik pasien terhadap stimulasi verbal atau nyeri (merupakan
fungsi ARAS, batang otak dan kortes).Pemeriksaan diameter kedua pupil
dan adanyadefisit neurologi fokal menilai apakah telah terjadi herniasi di
dalam otak dan terganggunya sistem kortikospinal di sepanjang kortex
menuju medula spinalis.Pada pemeriksaan sekunder, dilakukan
pemeriksaan neurologi serial meliputi GCS, lateralisasi dan refleks pupil.
Hal ini dilakukan sebagai deteksi dini adanya gangguan neurologis. Tanda
awal dari herniasi lobus temporal (unkus) adalah dilatasi pupil dan
hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Apabila terjadi trauma langsung
pada mata membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit.

Tabel 2.2 Gejala-gejala pada Hematoma Subdural


Gejala Umum (sering) Gejala Ringan (sering) Gejala Akut/Berat (jarang)
Sakit kepala Konfusi Hemiplegi
Tampak lelah Gangguan gaya jalan Afasia
Mual/Muntah Penurunan keadaan Kejang
mental
Vertigo Kesulitan berbicara Koma
Kelemahan anggota
gerak
Inkontinensia

2.6.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Setelah memeriksa riwayat pasien, termasuk riwayat jatuh
sebelumnya,cedera kepala minor, onset dan perjalanan gejala klinis, penyakit
kardiovaskular, gangguan pendarahan, pengobatan,penggunaan alkohol atau obat-
obatan terlarang; pemeriksaan fisik; dan pemeriksaan darah; imaging otak perlu
dilakukan untuk mendapatkan diagnosis pasti. CT-scan (Computed Tomography
scan) adalah modalitas imaging yang paling baik untuk evaluasi awal cSDH.
Sesuai dengan teori, sebagai kelanjutan dari traumatic brain injury,
kontusio pada otak disertai dengan LCS dan darah yang mengalir keluar ke
dalam ruang subdural dari ruang subarachnoid pada korban cedera kepala sedang,
sedangkan robekan arachnoid disekitar bridging vein menyebabkan akumulasi
sedikit cairan LCS dan darah pada korban dengan cedera kepala ringan pada
subdural.Pada CT scan kepala, klot terlihat berwarna cerah atau densitas yang
bercampur, berbentuk blan sabut (lunate),memiliki batas yang jelas, dan tidak
melewati garis tengah karena terdapat falx cerebri. Sebagian besar SDH terjadi
pada permukaan hemisfer otak, tetapi terkadang dapat juga muncul antara
hemisphere atau lapisan diatas tentorium.Densitas hematoma bervariasi
tergantung dari stadium evolusi hematoma. Sebuah SDH akut (< 3 hari; gambaran
hiperden pada CT -scan polos), berlanjut hingga sekitar 3 minggu menjadi SDH
subakut (3- 3minggu; gambaran isoden pada CT scan polos), dan akhirnya
menjadi SDH kronis (>3 minggu; gambaran hipoden pada CT scan polos)
(Gambar 2.4)
Terkadang dapat juga ditemukan SDH campuran dimana terdapat
gambaran SDH akut, subakut, dan kronis(Gambar 2.5). Perhatian khusus pada
gambaran isoden dari SDH subakut karenadapat terlewat saat awal pemindaian.
Magnetic resonance imaging (MRI) memiliki tingkat keakuratan lebih baik
daripada CT scan; ketebalan hematoma dapat diukur secara tepatsehingga
gambaran isoden dan SDH kronis yang kecil lebih mudah dikenali. Pada hampir
semua kasus, membran hematoma dapat dideteksi oada MRI, tetapi hanya 27%
dapat ditemukanpada CT scan.
Meskipun begitu CTscan tetap pilihan yang paling sering digunakan dalam
menegakkan diagnosis SDH karena harganya yang lebih murah, mudah di akses,
dan lebih cepat. Ketika menggunakan MRI, pemeriksaan ini berfungsi untuk
menggambarkan batas SDH kronis dan menentukkan struktur yang terdapat
didalam hematoma.

Gambar 2.4. Gambaran CT scan pada Hematoma Subdural Akut.


Less 3 days old, hyperdens (A); subacute SDH, 3 days to 3 weeks old, isodens (B), and SDH more
than 3 weeks old, hypodens (C).

Gambar 2.5. CT scan Kepala pada Pasien dengan Progresif Hemiplegi Kiri dan
Penurunan Kesadaran.
Demonstratingan acute-on-chronic subdural hematoma. History revealed that the patient sustained
a fall 4 weeks before presentation. Arrowheads outline the hematoma. The acute component is
slightly denser and is seen as the hyperdense area in the dependent portion.

2.6.8. PENATALAKSANAAN

a. Operasi
Indikasi :
Sebuah operasi disarankan hanya jika perubahan yang signifikan
terjadi terhadap status neurologis.Penatalaksanaan terhadap pasien SDH
kronis dengan kompressi pada otak dan midlineshift, tetapi tidak terdapat
gejala neurologis masih merupakan hal yang controversial.
 Sebuah SDH akut dengan ketebalan >10mm atau midline shift >5mm
pada CT scan dapat dilakukan pembedahan evakuasi klot, tanpa
melihat GCS pasien. (surgical guideline)
 Semua pasien dengan SDH akut pada keadaan koma (GCS kurangdari
9) harus dilakukan monitor tekanan intracranial.
 Pasien koma (GCS kurang dari 9 ) dengan ketebalan SDH < 10 mm
dan midline shift < 5mm perlu mendapat pembedahan evakuasi klot
jika skor GCS berkurang dan/atau pasien menunjukkan pupil yang
anisokor dan/atau ICP yang lebih dari 20mmHg.

Metode Operasi
Banyak metoda operasi yang telah dijalankan untuk melakukaan
evakusai terhadap SDH. Metoda yang paling sering dilakukan adalah:
 Twist drill Trephination/Craniostomy procedure
TDC (Twist Drill Craniostomy) dapat dilakukan pada ruangan rawat
dibawah anatesi local, kemudahan ini menjadikan teknik ini pilihan
untuk pasien yang terutama memiliki polimorbid dengan
kemungkinan hasil operasi yang buruk. Sebuah sistem drainase
tertutupdiletakkan saat operasi untuk menyediakan drainase yang
kontinyu dan memberikan brain expansion setelah operasi.23TDC
dilakukan dengan membuat lubang kecil berukuran 10mm pada
tengkorak. TDC sangat efektif pada kasus dimana hematoma sudah
menjadi cair dan tidak ada membrane yang menyelubungi.
 Burr Hole Craniotomy
BHC (Burr Hole Craniotomy) adalah sebuah metoda yang paling
sering digunakan untuk SDH kronis.25 Burr holes dimaksudkan untuk
mengevakuasi SDH secaracepat dengan lokal anestesi. BHC
dilakukan dengan membuat lubang kecil berukuran 30mm pada
tengkorak.25 Pada saat akut tindakan ini sulit untuk dibenarkan karena
dengan trepanasi sukar untuk mengeluarkan keseluruhan hematoma
yang biasanya solid dan kenyal apalagi kalau volume hematoma
cukup besar. Lebih dari seperlima penderita SDH akut mempunyai
volume hematoma lebih dari 200 ml.
 Craniotomy with or without craniectomy
Craniotomy memaparkan sebagian besar bagain dari otak sehingga
memberikan dokter bedah kesempatan untuk bekerja pada area operasi
yang luas. Metoda ini juga merupakan metoda yang paling invasif,
karena lamanya durasi operasi, besarnya jumlah darah yang keluar,
dan banyaknya komplikasi yang dapat terjadi. Sebagian besar dokter
bedah sekarang,setuju untuk melakukan craniotomy hanya jika
terdapat rekumulasi pada subdural, hametoma yang padat atau
terkalsifikasi, kegagalan otak untuk mengembang dan menutup ruang
subdural, atau terdapat membran yang tebal.Pada craniostomy dibuat
sebagian tulang tengkorak akan diangkat (>30mm) lalu dilakukan
evakuasi hematom, tulang yang diangkat tadi diganti dan mejadikan
suatu defek pada tulang tengkorak. Atau dapat juga dilakukan
craniectomy, dimana bagian tengkorak yang dianagkat akan ditanam
pada peritoneum, sambil menunggu hilangnya edema pada otak, lalu
setelh itu ditanam kembali ke lokasi asalnya.
 Subtemporal decompressive craniectomy
 Large decompressive hemicraniectomy, with or without dural
grafting.

Pemilihan teknik operasi dipengaruhi oleh keahlian,keterampilan,


dan elvauasi yang dimiliki dari masing-masing dokter bedah pada situasi
tertentu.

b. Terapi Konservatif
Terapi konservatif merupakan terapi yang diberikan untuk pasien
yang asimtomatik, pasien yang menolak tindakan operasi,atau pasien yang
memiliki resiko tinggi untuk dilakukan operasi. Meskipun metoda drainase
operatif menjadi pilihan terapi yang efektif untuk SDH kronis tetapi
beberapa kasus dapat terjadi reabsorbsi spontan dari SDH kronis.
Oleh karena itu gejala – gejala yang muncul pada pasien akan
menentukan terapi konservatif yang akan diberikan. Jika dilihat dari gejala
klinis yang muncul seperti hematoma tanpa efek massa yang signifikan,
dan ada tidaknya tanda – tanda yang menunjukkan herniasi transtentorial
seperti abnormalitas pada pupil, memberikan tanda kepada tenaga medis
untuk mempersiapkan terapi konservatif untuk pasien tersebut.. Selain itu
pertimbangan terakhir dilihat pada umur pasien, secara statistik umur
memberikan perbedaan hasil secara signifikan terhadap terapi. Sehingga
secara umum terapi konservatif dapat diberikan pada pasien dengan:
 Ketebalan hematoma tidak melebihi ketebalan tulang (10mm)
 Terdapat sedikit midline shift atau efek massa yang kecil
 Pupil masih dalam keadaan normal atau kembali normal dengan
cepat
 Umur pasien kurang dari 40 tahun.

Beberapa Tindakan yang biasa digunakan pada terapi konservatif seperti:


 Koreksi faal hemostasi
Beberapa pasien dengan cedera kepala berat munucl dengan
koagulopati dan memerlukan suatu penyesuaian kembali profil
koagulasinya.28 Perbaikan terhadap faal hemostasis sangatlah penting
pada semua psien dengan subdural hematoma. Semua pasien yang
sedang dalam pengobatan antikoagulasi harus menghentikan
penggunaan antiplatelet atau antikoagulan. Selain itu setiap pasien
harus dilakukan pemeriksaan serial PT (Prothrombin Time), PTT
(partial thromboplastin time), INR, dan level platelet dan fibrinogen.
 Kortikosteroid
Pada kasus SDH kronis, proses inflamasi dan angiogenesis menjadi
faktor penting dalam patofisologi SDH kronis, factor tersebut seperti :
Tissue plasminogen activator, Il-6,IL-8 dan VEGF. Faktor - faktor
inflamasi dan angiogenesis ini terbukti dihambat oleh kortikosteroid.
 Penatalaksanaan tekanan intrakranial
Tengkorak merupakan sebuah ruang tertutup yang dibentuk oleh
tulang yang terfixiri dan kokoh. Volume dari ruang tengkorak ini
dapat dijelaskan menggunakan doktrin Monroe-Kellie yang
menyatakan hubungan antara volume otak, cairan likuor
cerebrospinal, dan aliran darah dikepala sebagai pembentuk volume
intrakranial.

Vol. Intrakaranial ( konstan) = Vol. Otak + Vol.LCS + Vol. Darah

Sesuai doktrin tersebut, maka jika ada saja salah satu dari volume
tersebut meningkat, maka volume lain akan terdesak dan akhirnya
tekanan intrakranial akan segera meningkat. Peningkatan tekanan
intrakranial ini akan meningkatkan CVR(Cerebro Vascular Resistant)
sehingga akan mengurangi Cerebral Blood Flow. Rendahnya aliran
darah ke otak akan mengakibatkan turunya cerebral perfusion
pressure dan tubuh akan mengkompensasi keadaan ini dengan
Cushing response.

CPP (Cerebral Perfusion Pressure) = MAP (Mean Arterial


Pressure) - ICP (Intracranial Pressure)

Sesuai dengan Cushing response, maka tubuh akan berusaha


mempertahankan tekanan perfusi dengan meningkatkan MAP,
sehingga tekanan darah akan meningkat disetai dengan bradikardia,
dan bradipnea. Oleh karena itu untuk mempertahankan aliran darah ke
otak yang adekuat diperlukan suatu keadaan dimana tekanan perfusi
otak bernilai sekita 60-70 mmHg dan tekanan intrakranial
<20mmHg.Beberapa upaya yang bisa di lakukan untuk mencegah dan
mengurangi peningkatan tekanan intrakranial dengan:
o Posisi head up 30 derajat, atau dengan posisi reverse
tredelenberg jika terdapat intsabilitas spinal
o Hiperventilasi hingga Pco2 berkisar 30-35 mmHg (dapat
dimonitor dengan analisis gas darah serial)
o Menggunakan osmotic terapi menggunakan manitol 1-2 g/kg BB,
untuk membalikkan gradient osmotic intravascular, sehingga
beban cairan akan ditarik masuk kedalam ruang intravaskular.
Sebelum memilih menggunakan manitol perlu untuk mengetahui
fungsi ginjal pasien.
o Pada pasien yang gelisah dan agitasi akan meningkatkan tekanan
intrakranial,oleh karena itu pemberian obat-obatan sedasi atau
analgesia akanmengurangi kecemasan , ketakutan dan respon
terhadap nyeri berupa postural spontan yang merupakan factor
yang mempengaruhi peningkatan tekanan intrakranial. Hal ini
dapat ditangani dengan menggunakan morphine 2-5 mg/kg/jam
dan vecuronium 10 mg/jam
o Hipothermia (32-330C) dengan selimut pendingin.
o Pertimbangkan untuk memberikan profilaksis anti kejang dengan
phenytoin 18 mg/kg IV dengan kecepatan < 50mg /menit.
o Drainase LCS merupakan tindakan paling efektif untuk
menururnkan TIK, dengan metoda operatif ventriculostomy (burr
hole).
2.6.9. KOMPLIKASI

Komplikasi yang paling sering adalah reakumulasi hematom, perdarahan


intraserebral yang disebabkan oleh pergeseran atau irigasi drainase tube yang
salah, pneumoencepalus tension, seizure dan empyema subdural . Karakteristik
dari sindrome herniasi bisa terjadi selama terjadi pergeseran otak. Seperti halnya
lobus temporal medial, atau uncus, herniasi melewati tentorium. Ini dapat
menekan arteri cerebral poaterior ipsilateral, nervus okulomotorius, dan
pedunkulus serebri. Secara klinis rangkaian kelumpuhan nervus okulomotorius
dan kompresi pedunkulus serebri sering bermanifestasi sebagai dilatasi pupil
ipsilateral dan hemiparesis kontralateral.

Pasien bisa juga menderita stroke dari distribusi arteri cerebral posterior.
Hampir 5% kasus, hemiparesis bisa ipsilateral dengan dilatasi pupil. Fenomena ini
disebut sebagai fenomena Kernohan Notch Syndrome dan terjadi jika herniasi
unkus menekan otak tengah bergeser sehingga pedunkulus serebri kontralateral
ditekan melawan incisura tentorial kontralateral.

2.6.10. PROGNOSIS

Tidak ada prognostic yang jelas yang dihubungkan dengan hematom subdural
kronik. Sementara beberapa pengarang telah menemukan suatu hubungan dengan
tingkat preoperative dari fungsi neurologis dan hasil akhir, yang lain tidak.
Diantara 86% dan 90% pasien dengan CSDH diobati dengan adekuat setelah
prosedur pembedahan.

Rata-rata mortalitas dikeseluruhan seri adalah 50%. Rata-rata mortalitas


untuk semua dari 37 pasien dengan score GCS 3 adalah 100% dan rata-rata
mortalitas dihubungkan dengan nonreaktif pupil sebelah yaitu 48%, dengan
nonreaktif pupil bilateral 88%, yang sangat menarik, rata-rata yang bertahan hidup
pada pasien dengan nonreaktif pupil bilateral adalah 12% meskipun hasil akhirnya
tidak dicatat
DAFTAR PUSTAKA

1. Adhiyaman A, Asghar M, Bowmick BK. Chronic Subdural Hematoma in


The Elderly. Department of Geriatric Medicine, Glan Clwyd District
General Hospital. UK. 2001:71-74
2. Bahan ajar FK Universitas Hasanuddin. Hematom Subdural.
3. BMJ Publishing Group. Subdural Hematoma. Last Updated 26 Augustus
2015. Available from: http://bestpractice.bmj.com/best-
practice/monograph/416/basics/epidemiology.html
4. Campellone JV. Subdural Hematoma. Last Updated 27 July 2014.
Available from:
https://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000713.htm
5. Japardi I. Anat0mi Tulang Tengkorak. Bagian Bedah Fakultas Kedokteran
Sumatera Utara. USU Digital Library. 2003:1-7.
6. Price, Sylvia dan Wilson, Lorraine. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit hal 1174-1176. Jakarta: EGC
7. Purwanto ET. Hernia Nukleus Pulposus. Jakarta: Perdossi
8. Meagher RJ et al. Subdural Hematoma. Last Updated 8 January 2015.
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1137207-overview
9. Nuarta, Bagus. 2004. Ilmu Penyakit Saraf. In: Kapita Selekta Kedokteran,
edisi III, jilid kedua, cetakan keenam. Jakarta : Media Aesculapius. 54-59.
10. Ridho Dharmajaya. 2018. Subdural Hematoma. Medan : USU press
11. Sastrodiningrat, A. G. 2006. Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan
Subdural Akut. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39, No.3 Halaman
297- 306. FK USU: Medan.
12. Sidharta, Priguna. 1999. Neurologi Klinis Dasar, edisi IV, cetakan kelima.
Jakarta : PT Dian Rakyat. 87-95.
13. Sidharta, Priguna. Sakit Neuromuskuloskeletal Dalam Praktek Umum.
Jakarta : PT Dian Rakyat. 182-212.

14. Weigel R, Schmiedek P, Krauss JK. Outcome of contemporary surgery for


chronic subdural haematoma: evidence based review. J Neurol Neurosurg
Psychiatry. 2003 Jul;74(7):937-43.
15. Yosi Tanaka etc. Review Chronic Subdural Hematom- an up-to-date
concept. Japan. Journal Medical Dental Science. 55-61

Anda mungkin juga menyukai