Oleh :
Andira Ratu Nurrasyid
111 2018 2109
Pembimbing Supervisor :
dr.Rahmawati Akib, Sp. S
BAGIAN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan
Karunia-Nya serta salam dan shalawat kepada Rasulullah Muhammad SAW
beserta sahabat dan keluarganya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan
Kasus ini dengan judul “Subdural Hematom Kronik” sebagai salah satu syarat
dalam menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di Bagian Neurologi.
Selama persiapan dan penyusunan laporan kasus ini rampung, penulis
mengalami kesulitan dalam mencari referensi. Namun berkat bantuan, saran, dan
kritik dari berbagai pihak akhirnya laporan kasus ini dapat terselesaikan serta tak
lupa penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tulisan ini.
Semoga amal dan budi baik dari semua pihak mendapatkan pahala dan
rahmat yang melimpah dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan refarat ini terdapat banyak kekurangan dan masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan makalah ini. Saya berharap sekiranya makalah ini dapat
bermanfaat untuk kita semua. Amin.
Makassar,Januari 2020
Pembimbing
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn AW
Agama : Islam
Umur : 01-07-1967 (52 tahun)
Alamat : Saludongka
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku : Bugis
Status : Menikah
Tgl. Masuk : 14 Februari 2020
II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Lemah separuh badan sebelah kiri.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Riwayat operasi kepala bulan November 2019 akibat kecelakaan lalu lintas.
Pada saat itu kepala pasien terbentur. Dua minggu setelah operasi pasien
terbentur lagi dan mulai merasa tubuh agak kaku. Satu minggu setelahnya
pasien jatuh dari motor dan mengeluhkan nyeri kepala dan nyeri dada.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak Ada
e. Riwayat Kebiasaan
Tidak Ada
1. Status Present
- Nadi : 84 x/menit
- Pernafasan : 22 x/menit
- Suhu : 36,80C
Kepala
- Bentuk : Normocephal
Thoraks
- Paru
Inspeksi : Bentuk simetris, pergerakan simetris, retraksi ICS
(-).
Palpasi : Pelebaran ICS (-)
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
- Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak nampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung atas : ICS II
parasternalis dextra et sinistra
Batas jantung kanan : ICS IV linea
midclavicula dextra
Batas jantung kiri : ICS V midclavicula sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung S1
dan S2 murni, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar ikut gerak
napas
Palpasi : Dalam batas normal,
nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien dalam batas normal, Massa
(-), Jejas/Bekas Trauma (-)
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal.
Ekstremitas atas dan bawah
- Akral hangat, edema tidak ada, sianosis
tidak ada, peteki tidak ada.
2. Status Psychicus
3. Status Neurologicus
Kanan Kiri
Motorik
Bentuk/Massa Otot Normal Normal
Pergerakan Normal Menurun
Kekuatan 5 4
Tonus Normal Menurun
Sensibilitas
Taktil + +
Nyeri + +
Refleks fisiologis
Biseps + +
Triceps + +
Refleks patologis
Tromner - -
Hoffman - -
- SGPT: 29 u/L
- Kedua bulbu oculi dan struktu retrobulber yang terscan dalam batas
normal
- Calvariaa cranii intak
Nilai
Item Tes Nilai
maks.
ORIENTASI
Sekarang (tahun), (musim), (bulan), (tanggal), hari 5 3
apa?
2. Kita berada dimana? (negara), (propinsi), (kota), 5 4
(rumah sakit), (lantai/kamar)
REGISTRASI
3. Sebutkan 3 buah nama benda ( jeruk, uang, 3 3
mawar), tiap benda 1 detik, pasien disuruh
mengulangi ketiga nama benda tadi. Nilai 1 untuk
tiap nama benda yang benar. Ulangi sampai pasien
dapat menyebutkan dengan benar dan catat jumlah
pengulangan
ATENSI DAN KALKULASI
4. Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk tiap jawaban 5 0
yang benar. Hentikan setelah 5 jawaban. Atau
disuruh mengeja terbalik kata “ WAHYU” (nilai
diberi pada huruf yang benar sebelum kesalahan;
misalnya uyahw=2 nilai)
MENGINGAT KEMBALI (RECALL)
5. Pasien disuruh menyebut kembali 3 nama benda di 3 0
atas
BAHASA
6. Pasien diminta menyebutkan nama benda yang 2 2
ditunjukkan ( pensil, arloji)
7. Pasien diminta mengulang rangkaian kata :” tanpa 1 0
kalau dan atau tetapi ”
8. Pasien diminta melakukan perintah: “ Ambil kertas 3 3
ini dengan tangan kanan, lipatlah menjadi dua dan
letakkan di lantai
9. Pasien diminta membaca dan melakukan perintah 1 1
“Angkatlah tangan kiri anda”
10. Pasien diminta menulis sebuah kalimat (spontan) 1 0
11. Pasien diminta meniru gambar di bawah ini 1 0
Skor Total 30 16
V. DIAGNOSA
VI. PENATALAKSANAAN
Terapi :
IVFD RL 20 tpm
1. Piracetam 3gr/8jam/iv
2. Neurosanbe 1gr/24jam/iv
VII. PROGNOSIS
Vitam : Dubia
Fungsionam : Dubia
Sanationam : Dubia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 AnatomiKepala
A. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit,
connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika,
loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium.
B. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan
oksipital. Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi
oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapatmelukai
bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobusfrontalis, fosa
media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak
dan serebelum.
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu :
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri
atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu
ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid,
dimana sering dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut
Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan
sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan
hebat. Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan
laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling
sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada
fosatemporalis (fosa media).
2. Selaput Arakhnoid
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri.3. Pia mater adalah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk
kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan
menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak
juga diliputi oleh pia mater.
D. Otak
E. Cairan serebrospinalis
F. Tentorium
Gambar 2.2 Lobus-lobus otak
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial
(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial
(berisi fosa kranii posterior).
G. Perdarahan Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat
arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus
Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang
sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan
bermuara ke dalam sinus venosus cranialis
a. Hukum Monroe-Kellie
Volume intrakranial adalah tetap karena sifat dasar dari tulang tengkorang yang
tidak elastik. Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total volume
komponen-komponennya yaitu volume jaringan otak (V br), volume cairan
serebrospinal (V csf) dan volume darah (Vbl).
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses
akselarasideselarasi gerakan kepala.Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi
peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya
benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada
daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut
contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti
secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).
Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak dapat terjadi pada kalvaria atau basis. Pada fraktur
kalvaria ditentukan apakah terbuka atau tertutup, linear atau stelata, depressed
atau non depressed. Fraktur tengkorak basal sulit tampak pada foto sinar-x polos
dan biasanya perlu CT scan dengan setelan jendela-tulang untuk memperlihatkan
lokasinya. Sebagai pegangan umum, depressed fragmen lebih dari ketebalan
tengkorak (> 1 tabula) memerlukan operasi elevasi. Fraktura tengkorak terbuka
atau compound berakibat hubungan langsung antara laserasi scalp dan permukaan
serebral karena duranya robek, dan fraktura ini memerlukan operasi perbaikan
segera.
Lesi Intrakranial
Hematoma Epidural
Hematoma Subdural
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
2.6.1. DEFINISI
2.6.2. EPIDEMIOLOGI
Hematom subdural yang akut jarang terjadi. Literatur tentang laporan
kasus sporadic sangat terbatas. Kasus ini sering mempunyai suatu sumber arteri,
karena mereka biasanya dihubungkan dengan keadaan patologis yang sama seperti
yang terjadi pada perdarahan subaraknoid dan perdarahan intraserebral. Darah
dari ruptur aneurisma bisa masuk memotong melalui parenkim otak atau ruang
subaraknoid. Nyatanya, kasus telah dilaporkan mengenai suatu hematom subdural
akut yang dicetus dengan penyalahgunaan kokain. Suatu penelitian retrospektif
melaporkan bahwa 56% dari kasus pada pasien dalam kelima dan decade ketujuh.
Penelitian lain mencatat bahwa lebih dari setengah dari semua kasus terlihat pqada
pasien >60 tahun . Insiden yang tertinggi dari 7,,35 per 100.000 terjadi pada
remaja dengan umur 10-19 tahun. Rata-rata mortalitas pada pasien dengan
hematom subdural akut dilaporkan berkisar 30-90 %, tetapi sekitar 60% adalah
tipikal . Rata-rata morbiditas dan mortalitasnya dihubungkan dengan pengobatan
secara pembedahan dari hematom subdural kronik, telah diperkirakan berkisar
11% dan 5% secara berurutan. Hematom subdural dapat terjadi pada semua umur.
2.6.3. ETIOLOGI
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan
kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan
subdural. Hemoragi subdura biasanya disebabkan oleh sobeknya vena di tempat
vena itu melalui rongga subdura. Gerak otak depan relatif terhadap dura dengan
mendadak, dapat terjadi setelah mendapat pukulan yang tidak mengakibatkan
fraktur tengkorak. Hemoragi subdural mungkin sekali selalu disebabkan oleh
trauma kapitis walaupun traumanya mungkin tidak berarti (trauma pada orang tua)
sehingga tidak terungkap oleh anamnesis. Yang seringkali berdarah ialah bridging
veins, karena tarikan ketika terjadi pergeseran rotatorik otak.
1. Trauma kapitis
2. Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau
putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.
3. Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah
terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada
orangtua dan juga pada anak – anak.
4. Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan
subdural.
5. Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan
subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor
intrakranial.
6. Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.
2.6.4. PATOFISIOLOGI
Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas
hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging
veins” . Karena perdarahan subdural sering disebabkan oleh perdarahan vena,
maka darah yang terkumpul hanya 100-200 cc saja. Perdarahan vena biasanya
berhenti karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai
mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang
diserap meninggalkan jaringan yang kaya pembuluh darah. Disitu timbul lagi
perdarahan kecil, yang menimbulkan hiperosmolalitas hematom subdural dan
dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya perdarahan kecil dan pembentukan
kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah (higroma).
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan
tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun
mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala
seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat.
Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena
jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil
sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan
pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena
yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum
gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi
perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan
terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut.
Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang
peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh
sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural
kronik.
2.6.5. KLASIFIKASI
1) Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam – jam setelah trauma. Biasanya
terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan
perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan
tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas.
Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.
3) Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan
kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun
bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya
terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga
mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan
subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa
menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan
dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk
mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk
atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila
terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah
yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini
protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari
hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru
yang menyebabkan menggembungnya hematoma.
Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap
cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan
gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik
dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening
tomografinya didapatkan lesi hipodens.
2. Tipe laminar
Tingkat kekambuhan pada tipe terpisah adalah tinggi sedangkan pada tipe
yang trabekular adalah rendah. Pada perdarahan subdural kronik diyakini bahwa
pada awalnya dalam bentuk homogen, kemusian seringkali berlanjut menjadi
bentuk laminar. Sedangkan pada subdural kronik yang matang, diwakili oleh
stadium terpisah dan hematomnya terkadang melalui stadium trabekular selama
penyerapan.
3. Tipe interhemisferik
Gambaran klinis ditentukan oleh dua faktor: beratnya cedera otak yang
terjadi pada saat benturan trauma dan kecepatan pertambahan volume hematoma.
Penderita dengan trauma berat dapat menderita kerusakan parenkim otak difus
yang menybabkan pasien tidak sadar dengan tanda-tanda gangguan batang otak.
Penderita dengan hematoma subdural yang lebih ringan akan sadar kembali pada
derajat kesadaran tertentu sesuai dengan beratnya benturan trauma pada saat
terjadi kecelakaan (initial impact). Keadaan berikutnya akan ditentukan oleh
kecepatan pertambahan hematoma dan penanggulangannya. Pada penderita
dengan benturan trauma yang ringan tidak akan kehilangan kesadaran pada waktu
terjadinya trauma. Terdapatnya hematoma subdural dan lesi massa intrakranial
lainnya yang dapat membesar harus dicurigai bila ditemukan penurunan kesadaran
setelah terjadinya trauma.
Gejala-gejala klinis yang terjadi pada hematoma subdural, sebagai akibat
cedera otak primer dan tekanan oleh massa hematoma. Pupil anisokor dan defisit
motorik adalah gejala klinik yang paling sering ditemukan. Lesi pasca trauma baik
hematoma atau lesi parenkim otak umumnya terletak ipsilateral terhadap pupil
yang melebar dan kontralateral terhadap defisit motorik. Akan tetapi, gambaran
pupil dan gambaran defisit motorik tidak merupakan indikator yang mutlak dalam
menentukan letak hematoma. Gejala defisit motorik dapat tidak sesuai bila
kerusakan parenkim otak terletak kontralateral terhadap hematoma subdural atau
karena terjadi kompresi pedunkulus serebri yang kontralateral pada tepi bebas
tentorium. Trauma langsung pada saraf okulomotor atau batang otak pada saat
terjadi trauma menyebabkan dilatasi pupil kontralateral terhadap trauma.
Perubahan diamater pupil ini lebih dipercaya sebagai indikator letak hematoma
subdural.
Secara umum, gejala yang terjadi pada hematoma subdural seperti pada tingkat
yang ringan (sakit kepala) sampai penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran
pada hematoma subdural tidak begitu hebat seperti kasus cedera neuronal primer,
kecuali apabila terdapat efek massa atau lesi lainnya. Gejala yang timbul tidak
khas dan merupakan manisfestasi dari peningkatan tekanan intrakranial seperti:
sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan N.
III, epilepsi, pupil anisokor, dan defisit neurologis lainnya.
a) Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai
48 jam pasca trauma. Keadaan ini berkaitan erat dengan trauma otak berat.
Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan
otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya
menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat
menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut
nadi dan tekanan darah. 9,12,13
b) Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48
jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah trauma. Seperti pada hematoma
subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam
ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini adalah adanya trauma
kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan
status neurologik yang perlahan-lahan. Namun dalam jangka waktu
tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang
memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam
beberapa jam. Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring
pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar
dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri.
Pergeseran isi intrakranial dan peningkatan intrakranial yang disebabkan
oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi sentral dan melengkapi
tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.
c) Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan
bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek
salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan
secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah
perdarahan terjadi, darah dikelilingi oleh membran fibrosa. Dengan adanya
selisih tekanan osmotik yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma,
terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran
hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek
membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan
tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering
terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada
kedua keadaan ini, trauma yang terjadi dianggap ringan, sehingga selama
beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar
karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural
yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala
neurologis seperti:
sakit kepala yang menetap
rasa mengantuk yang hilang-timbul
aphasia
perubahan ingatan
kelumpuhan atau keluhan sensorik ringan pada sisi tubuh yang
berlawanan.
2.6.7. DIAGNOSIS
Anamnesis
Trauma akut subdural hematoma sering terjadi sebagai akibat dari
jatuh, kekerasan, atau kecelakaan kendaraan bermotor. Kecurigaan
terhadap terjadinya subdural hematom akut muncul kapapun ketika pasien
mengalami trauma tumpul derajat sedang hingga berat. Gambaran
klinisnya akan tergantung pada lokasi lesi dan perkembangan dari lesi
tersebut.
Sering ditemukan, pasien dalam keadaan menuju koma setelah
kejadian. Beberapa pasien dalam keadaan sadar, dan yang lainnya dalam
masa perburukan yang muncul perlahan seiring perluasan hematoma.
Pasien yang usia tua rentan mengalami subdura hematoma akut dibanding
pasien lain yang mengalami trauma. Pada sebuah studi menunjukkan
rerata umur pasien yang mengalami trauma tetapi tanpa kejadian subdura
hematoma akut adalah 26 tahun, sedangkan rerata umur yang mengalami
subdural hematom akut adalah 41 tahun. Oleh karena itu pasien usia tua
menjadi resiko tersendiri untuk kemunculan subdural hematom akut
setelah cedera kepala. Hal ini diperkirakan terjadi karena pada pasien tua
memiliki otak yang lebih atrofi, sehingga mengakibatkan robekan yang
lebih mudah terjadi pada bridging vein segera setelah cedera kepala
terjadi.
Subdura hematoma subakut ditegakan sebagai SDH yang muncul
antara 4 hingga 21 hari setelah cedera kepala terjadi. SDH kronik
ditentukan sebagai SDH yang muncul pada 21 hari atau lebih setelah
cedera terjadi. Angka – angka tersebut tidaklah absolute, klasifikasi SDH
yang lebih akurat jika menggunakan CT-scan.
Dari anamnesis ditanyakan adanya riwayat trauma kepala baik
dengan jejas dikepala atau tidak, jika terdapat jejas perlu diteliti ada
tidaknya kehilangan kesadaran atau pingsan. Jika ada pernah atau tidak
penderita kembali pada keadaan sadar seperti semula. Jika pernah apakah
tetap sadar seperti semula atau turun lagi kesadarannya, dan diperhatikan
lamanya periode sadar atau lucid interval. Untuk tambahan informasi perlu
ditanyakan apakah disertai muntah dan kejang setelah terjadinya trauma
kepala.
Kepentingan mengetahui muntah dan kejang adalah untuk mencari
penyebab utama penderita tidak sadar apakah karena inspirasi atau
sumbatan nafas atas, atau karena proses intra kranial yang masih berlanjut.
Pada penderita sadar perlu ditanyakan ada tidaknya sakit kepala dan mual,
adanya kelemahan anggota gerak salah satu sisi dan muntah-muntah yang
tidak bisa ditahan. Ditanyakan juga penyakit lain yang sedang diderita,
obat-obatan yang sedang dikonsumsi saat ini, dan apakah dalam pengaruh
alkohol.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey)
yang mencakup jalan nafas (airway), pernafasan (breathing) dan tekanan
darah atau nadi (circulation) yang dilanjutkan dengan resusitasi. Jalan
nafas harus dibersihkan apabila terjadi sumbatan atau obstruksi, bila perlu
dipasang orofaring tube atau endotrakeal tube lalu diikuti dengan
pemberian oksigen. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan perfusi dan
oksigenasi jaringan tubuh. Pemakaian pulse oksimetri sangat bermanfaat
untuk memonitor saturasi O2. Secara bersamaan juga diperiksa nadi dan
tekanan darah untuk memantau apakah terjadi hipotensi, syok atau
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Jika terjadi hipotensi atau
syok harus segeradilakukan pemberian cairan untuk mengganti cairan
tubuh yang hilang. Terjadinya peningkatan tekanan intrakranial ditandai
dengan Cushing respon yaitu peningkatan tekanan darah, bradikardia dan
bradipnea.17,18 Pemeriksaan neurologis yang meliputkankesadaran
penderita dengan menggunakan. Skala GCS, pemeriksaan diameter kedua
pupil, dan tanda-tanda defisit neurologis fokal. Pemeriksaan kesadaran
dengan Skala GCS menilai kemampuan membuka mata, respon verbal dan
respon motorik pasien terhadap stimulasi verbal atau nyeri (merupakan
fungsi ARAS, batang otak dan kortes).Pemeriksaan diameter kedua pupil
dan adanyadefisit neurologi fokal menilai apakah telah terjadi herniasi di
dalam otak dan terganggunya sistem kortikospinal di sepanjang kortex
menuju medula spinalis.Pada pemeriksaan sekunder, dilakukan
pemeriksaan neurologi serial meliputi GCS, lateralisasi dan refleks pupil.
Hal ini dilakukan sebagai deteksi dini adanya gangguan neurologis. Tanda
awal dari herniasi lobus temporal (unkus) adalah dilatasi pupil dan
hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Apabila terjadi trauma langsung
pada mata membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit.
Gambar 2.5. CT scan Kepala pada Pasien dengan Progresif Hemiplegi Kiri dan
Penurunan Kesadaran.
Demonstratingan acute-on-chronic subdural hematoma. History revealed that the patient sustained
a fall 4 weeks before presentation. Arrowheads outline the hematoma. The acute component is
slightly denser and is seen as the hyperdense area in the dependent portion.
2.6.8. PENATALAKSANAAN
a. Operasi
Indikasi :
Sebuah operasi disarankan hanya jika perubahan yang signifikan
terjadi terhadap status neurologis.Penatalaksanaan terhadap pasien SDH
kronis dengan kompressi pada otak dan midlineshift, tetapi tidak terdapat
gejala neurologis masih merupakan hal yang controversial.
Sebuah SDH akut dengan ketebalan >10mm atau midline shift >5mm
pada CT scan dapat dilakukan pembedahan evakuasi klot, tanpa
melihat GCS pasien. (surgical guideline)
Semua pasien dengan SDH akut pada keadaan koma (GCS kurangdari
9) harus dilakukan monitor tekanan intracranial.
Pasien koma (GCS kurang dari 9 ) dengan ketebalan SDH < 10 mm
dan midline shift < 5mm perlu mendapat pembedahan evakuasi klot
jika skor GCS berkurang dan/atau pasien menunjukkan pupil yang
anisokor dan/atau ICP yang lebih dari 20mmHg.
Metode Operasi
Banyak metoda operasi yang telah dijalankan untuk melakukaan
evakusai terhadap SDH. Metoda yang paling sering dilakukan adalah:
Twist drill Trephination/Craniostomy procedure
TDC (Twist Drill Craniostomy) dapat dilakukan pada ruangan rawat
dibawah anatesi local, kemudahan ini menjadikan teknik ini pilihan
untuk pasien yang terutama memiliki polimorbid dengan
kemungkinan hasil operasi yang buruk. Sebuah sistem drainase
tertutupdiletakkan saat operasi untuk menyediakan drainase yang
kontinyu dan memberikan brain expansion setelah operasi.23TDC
dilakukan dengan membuat lubang kecil berukuran 10mm pada
tengkorak. TDC sangat efektif pada kasus dimana hematoma sudah
menjadi cair dan tidak ada membrane yang menyelubungi.
Burr Hole Craniotomy
BHC (Burr Hole Craniotomy) adalah sebuah metoda yang paling
sering digunakan untuk SDH kronis.25 Burr holes dimaksudkan untuk
mengevakuasi SDH secaracepat dengan lokal anestesi. BHC
dilakukan dengan membuat lubang kecil berukuran 30mm pada
tengkorak.25 Pada saat akut tindakan ini sulit untuk dibenarkan karena
dengan trepanasi sukar untuk mengeluarkan keseluruhan hematoma
yang biasanya solid dan kenyal apalagi kalau volume hematoma
cukup besar. Lebih dari seperlima penderita SDH akut mempunyai
volume hematoma lebih dari 200 ml.
Craniotomy with or without craniectomy
Craniotomy memaparkan sebagian besar bagain dari otak sehingga
memberikan dokter bedah kesempatan untuk bekerja pada area operasi
yang luas. Metoda ini juga merupakan metoda yang paling invasif,
karena lamanya durasi operasi, besarnya jumlah darah yang keluar,
dan banyaknya komplikasi yang dapat terjadi. Sebagian besar dokter
bedah sekarang,setuju untuk melakukan craniotomy hanya jika
terdapat rekumulasi pada subdural, hametoma yang padat atau
terkalsifikasi, kegagalan otak untuk mengembang dan menutup ruang
subdural, atau terdapat membran yang tebal.Pada craniostomy dibuat
sebagian tulang tengkorak akan diangkat (>30mm) lalu dilakukan
evakuasi hematom, tulang yang diangkat tadi diganti dan mejadikan
suatu defek pada tulang tengkorak. Atau dapat juga dilakukan
craniectomy, dimana bagian tengkorak yang dianagkat akan ditanam
pada peritoneum, sambil menunggu hilangnya edema pada otak, lalu
setelh itu ditanam kembali ke lokasi asalnya.
Subtemporal decompressive craniectomy
Large decompressive hemicraniectomy, with or without dural
grafting.
b. Terapi Konservatif
Terapi konservatif merupakan terapi yang diberikan untuk pasien
yang asimtomatik, pasien yang menolak tindakan operasi,atau pasien yang
memiliki resiko tinggi untuk dilakukan operasi. Meskipun metoda drainase
operatif menjadi pilihan terapi yang efektif untuk SDH kronis tetapi
beberapa kasus dapat terjadi reabsorbsi spontan dari SDH kronis.
Oleh karena itu gejala – gejala yang muncul pada pasien akan
menentukan terapi konservatif yang akan diberikan. Jika dilihat dari gejala
klinis yang muncul seperti hematoma tanpa efek massa yang signifikan,
dan ada tidaknya tanda – tanda yang menunjukkan herniasi transtentorial
seperti abnormalitas pada pupil, memberikan tanda kepada tenaga medis
untuk mempersiapkan terapi konservatif untuk pasien tersebut.. Selain itu
pertimbangan terakhir dilihat pada umur pasien, secara statistik umur
memberikan perbedaan hasil secara signifikan terhadap terapi. Sehingga
secara umum terapi konservatif dapat diberikan pada pasien dengan:
Ketebalan hematoma tidak melebihi ketebalan tulang (10mm)
Terdapat sedikit midline shift atau efek massa yang kecil
Pupil masih dalam keadaan normal atau kembali normal dengan
cepat
Umur pasien kurang dari 40 tahun.
Sesuai doktrin tersebut, maka jika ada saja salah satu dari volume
tersebut meningkat, maka volume lain akan terdesak dan akhirnya
tekanan intrakranial akan segera meningkat. Peningkatan tekanan
intrakranial ini akan meningkatkan CVR(Cerebro Vascular Resistant)
sehingga akan mengurangi Cerebral Blood Flow. Rendahnya aliran
darah ke otak akan mengakibatkan turunya cerebral perfusion
pressure dan tubuh akan mengkompensasi keadaan ini dengan
Cushing response.
Pasien bisa juga menderita stroke dari distribusi arteri cerebral posterior.
Hampir 5% kasus, hemiparesis bisa ipsilateral dengan dilatasi pupil. Fenomena ini
disebut sebagai fenomena Kernohan Notch Syndrome dan terjadi jika herniasi
unkus menekan otak tengah bergeser sehingga pedunkulus serebri kontralateral
ditekan melawan incisura tentorial kontralateral.
2.6.10. PROGNOSIS
Tidak ada prognostic yang jelas yang dihubungkan dengan hematom subdural
kronik. Sementara beberapa pengarang telah menemukan suatu hubungan dengan
tingkat preoperative dari fungsi neurologis dan hasil akhir, yang lain tidak.
Diantara 86% dan 90% pasien dengan CSDH diobati dengan adekuat setelah
prosedur pembedahan.