Anda di halaman 1dari 11

MASALAH CALON TUNGGAL TERHADAP MAKNA DEMOKRASI KERAKYATAN

NAMA : SUGENG SUWITO

NIM : 030427585

FAKULTAS : EKONOMI

JURUSAN : MANAJEMEN

UPBJJ : 77/ DENPASAR

COURSES : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

TANGGAL : 12 OKTOBER 2017


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penelitian Pemilihan umum untuk pertama kalinya dalam sejarah kemerdekaan Indonesia yang baru
berusia 10 (sepuluh) tahun saat itu diselenggarakan pada tahun 1955. Rangkaian pemilihan umum
selanjutnya baru kembali dilaksanakan pada masa Orde Baru yaitu pemilihan umum 1971, 1977, 1982,
1987, 1992 dan 1997.1 Setelah Presiden Soeharto lengser dari kekuasaannya pada 21 Mei 1998 jabatan
Presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik pemilihan
umum Tahun 1997 harus segera digantikan. Sebagai alasan diadakannya pemilihan umum adalah untuk
memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena
pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk pemilihan umum 1997 sudah
dianggap tidak dipercaya.2 Selanjutnya pada tahun 1999, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid banyak
melakukan perubahan subtansial di berbagai bidang terutama sosial. Pluralisme dan kesetaraan hak
asasi semua elemen bangsa menjadi fenomena besar yang positif hasil dari pemerintahannya. Tahun
2004, bangsa Indonesia kembali melaksanakan pemilu.

Namun jauh berbeda dengan pemilihan umum yang sebelumnya, pemilihan umum 2004 merupakan
pemilihan umum pertama yang memungkinkan rakyat langsung wakil mereka untuk duduk di DPR, DPD,
dan DPRD serta memilih langsung presiden dan wakil presiden.3 Penyelenggaraan pemilihan umum
Presiden dan Wakil Presiden 2004 secara langsung telah mengilhami dilaksanakannya pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung pula. Hal ini didukung pula dengan semangat
otonomi daerah yang telah digulirkan pada 1999. Oleh karena itulah, sejak 2005, telah diselenggarakan
pemilihan kepala daerah secara langsung, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.4 Pemilihan
kepala daerah merupakan pemilihan langsung kepala daerah oleh masyarakat sebagai perwujudan
demokrasi. Sebelum 2005 pemilihan kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD), Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala
daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
atau disingkat Pilkada dan pertama kali diselenggarakan pada bulan juni Tahun 2005.5 Dipilihnya sistem
pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan sebuah koreksi atas pilkada terdahulu yang
menggunakan sistem perwakilan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Digunakannya sistem
pemilihan langsung ini menunjukkan perkembangan dan penataan format demokrasi daerah yang
berkembang dalam kerangka liberalisasi politik pertama Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara
langsung akan digelar secara serentak pada bulan Desember. Di Tahun 2015 pula, Pilkada telah
memasuki periode ketiga sejak dimulai pada Tahun 2005. Semenjak Tahun 2005, berbagai evaluasi dan
kritik terhadap pelaksanaan Pilkada di ratusan daerah kabupaten/kota dan provinsi telah ditelaah.
Namun demikian, ide pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak merupakan konsekuensi sebagai
pembelajaran dari hasil evaluasi yang menekankan pada aspek efektifitas dan efisiensi pun mulai
diimplementasikan di Tahun 2015 ini.

Pemilihan kepala daerah secara serentak dilaksanakan sesuai amanat Undang-Undang No 8 Tahun 2015
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa
pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota dilaksanakan secara serentak dan bertujuan untuk
menghemat anggaran Negara.6 Pelaksanaan pemilihan kepala daerah Tahun 2015 menjadi menarik
untuk dikaji sebagai gelombang awal dalam desain Pilkada serentak yang akan dilakukan selanjutnya di
Tahun 2017 dan 2018 mendatang. Berdasarkan Pasal 51 ayat (2), dan Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 8 Terkait dengan pemilihan kepala daerah, ada beberapa hal yang melatar belakangi
pelaksanaan dan mekanisme yang berlaku pada Tahun 2015 berbeda dengan periode sebelumnya,
diantaranya masalah terkait pencalonan tunggal dimana hanya ada satu kandidat calon kepala daerah,
yang ikut meramaikan kompetisi pilkada.

Sementara itu calon tunggal tidak diatur dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada
karena didalam undangundang tersebut minimal diikuti oleh dua pasangan calon. Hal ini dimungkinkan
karena ketiadaan calon yang memiliki potensi kekuatan yang besar untuk menyaingi calon tunggal
tersebut, adanya kekosongan hukum (Rechtvacum) dengan lemahnya regulasi tentang pilkada yang
diikuti oleh calon tunggal yang berimplikasi pada rencana penundaan pelaksanaan pilkada, partai politik
dan gabungan partai politik tidak mau mengusulkan pasangan calon dengan tujuan agar pemilihan
kepala daerah di daerah tertentu tidak dapat terlaksana dan ditunda ke pemilihan serentak selanjutnya.
Partai politik dan gabungan partai politik tidak mau mengusulkan pasangan calon semata karena merasa
akan menghabiskan sumber daya, biaya, energi, waktu, dan sebagainya, secara sia-sia karena demikian
kuatnya elektabilitas petahana. Begitu sulit dan rumitnya pemenuhan persyaratan bagi calon
perseorangan pada pemilihan kepala daerah mengakibatkan harapan untuk tercapainya formula
“setidaknya dua pasangan calon” juga sulit tercapai. Mengenai calon tunggal ini terjadi di beberapa
daerah diantaranya Kota Surabaya, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Blitar, Kabupaten Tasikmalaya, Kota
Samarinda, Kota Mataran, dan Kabupaten Timor Tengah Utara. padahal masyarakat yang memiliki
kemampuan untuk memimpin daerahnya bisa mencalonkan pada pilkada serentak ini, karena setiap
warga negara yang punya hak memilih juga mempunyai hak dipilih serta memiliki kesempatan yang
sama dalam pemerintahan yang telah terjamin oleh Undang- 5 Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (3).
Pasangan calon tunggal ini juga sudah mendapatkan lampu hijau dari Mahkamah Konstitusi, dimana
Mahkamah Konstitusi sudah mengeluarkan putusan terkait calon tunggal yang bernomor 100/PUU-
XIII/2015 yang di ajukan oleh Effendi Gazali. Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa,
“Bertentangan dengan semangat Undang-Undang Dasar 1945 jika Pemilihan Kepala Daerah tidak
dilaksanakan dan ditunda sampai pemilihan berikutnya sebab hal itu merugikan hak konstitusional
warga negara, dalam hal ini hak untuk dipilih dan memilih, hanya karena tak terpenuhinya syarat paling
sedikit adanya dua pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah meskipun sudah
diusahakan dengan sungguh-sungguh”. Walaupun menurut putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
dijelaskan bahwa cukup dengan memberikan pilihan kepada rakyat untuk memilih setuju atau tidak
setuju, jika rakyat “Setuju” untuk memilih pasangan calon tersebut maka pasangan calon dimaksud
ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Sebaliknya apabila ternyata suara
rakyat lebih banyak memilih “Tidak Setuju” maka dalam keadaan demikian pemilihan ditunda sampai
Pemilihan Kepala Daerah serentak berikutnya. Mahkamah Konstitusi juga beralasan ingin menjaga hak
politik publik, seperti dalam pemberitaan berikut: Metrotvnews.com, Jakarta: Mahkamah Konstitusi
(MK) memutus mengizinkan daerah dengan calon kepala daerah tunggal untuk menggelar pilkada
serentak tahap berikutnya. Pengamat 6 Politik Universitas Padjajaran Muradi menyebut, putusan MK
merupakan bagian dari skema untuk mengupayakan hak politik publik tetap terjaga.

B. PERMASALAHAN

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penulis mengidentifikasikan masalah, sebagai
berikut:

1. Bagaimana Mekanisme tahapan Pemilihan Kepala Daerah dengan calon tunggal berdasarkan
putusan MK Nomor 100/PUU-XIII/2015 dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
Tentang Pemilihan Kepala Daerah ?

2. Apa yang menjadi kendala terhadap Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang
diikuti oleh calon tunggal ?

3. Bagaimana akibat hukum penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah yang hanya diikuti oleh calon
tunggal ?

4. Akankah pembolehan calon tunggal dapat menyeselesaikan kekhawatiran masyarakat terhadap


penyelenggaraan Pilkada Serentak untuk pemenuhan hak memilih dan dipilih?

5. Apakah mekanisme referendum efektif diterapkan dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak 2017?

C. TUJUAN PENULISAN

Setiap penelitian yang dilakukan mempunyai tujuan yang diharapkan, demikian juga dengan makalah ini,
adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian makalah ini yaitu :
1. Untuk mengkaji, mengetahui dan menganalisis tentang, Mekanisme tahapan Pemilihan Kepala
Daerah dengan calon tunggal berdasarkan putusan MK Nomor 100/PUU-XIII/2015 dihubungkan dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Kepala Daerah.

2. Untuk mengkaji, mengetahui dan menganalisis tentang pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang diikuti oleh calon tunggal.

3. Untuk mengkaji dan memahami tentang, akibat hukum penyelenggaraan pilkada yang hanya diikuti
oleh calon tunggal.

D. SIGNIFIKANSI PENULISAN

1. Secara teoritis, menggambarkan kemanfaatan secara khusus bagi pengembangan ilmu hukum tata
negara dan secara umum bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum.

2. Secara praktis, menggambarkan bagaimana manfaat hasil penelitian dalam skripsi ini bagi praktisi
hukum dan instansi yang terkait dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

5.1. Tinjauan Pustaka

Berdasarkan dengan judul makalah oleh penulis mengenai “ Masalah Calon tunggal terhadap Makna
Demokrasi Kerakyatan” maka diperlukan penjelasan mengenai sejarah awal mula Calon Tunggal Pilkada

5.2. Calon Tunggal Pemilihan Umum Kepala Daerah

Pemilihan umum kepala daerah tidak hanya memilih kepala pemerintahan di daerah saja tetapi juga
memilih seorang pemimpin Menurut Stoner, (1998) semakin banyak jumlah sumber kekuasaan yang
tersedia bagi pemimpin, akan semakin besar potensi kepemimpinan yang efektif. Seorang pemimpin
harus bisa memadukan unsur-unsur kekuatan diri, wewenang yang dimiliki, ciri-ciri kepribadian dan
kemampuan sosial untuk bisa mempengaruhi perilaku orang lain. Pemimpin ada dua macam, yaitu
pemimpin formal dan pemimpin informal. Dimana pemimpin formal harus memiliki kekuasaan dan
kekuatan formal yang ditentukan oleh organisasi, sedangkan pemimpin informal walaupun tidak
memiliki legitimasi kekuatan dan kekuatan resmi namun harus memiliki kemampuan mempengaruhi
yang besar yang disebabkan oleh kekuatan pribadinya. Oleh karena itu, dalam proses kepemimpinan
telah muncul beberapa teori kepemimpinan. Teori kepemimpinan dalam organisasi telah berevolusi dari
waktu ke waktu ke dalam berbagai jenis dan merupakan dasar terbentuknya suatu kepemimpinan.
Setiap teori menyediakan gaya yang efektif dalam organisasi. Banyak penelitian manajemen telah
menemukan solusi kepemimpinan yang sempurna. Hal ini menganalisis sebagian besar teori terkemuka
dan mengeksplorasinya.

Pemilihan umum kepala daerah atau bisa disingkat pilkada, bisa dilakukan secara langsung atau tidak
langsung yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pilkada langsung pertama kali diselenggarakan pada bulan juni 2005 dengan dasar hukum Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, Pilkada langsung dinilai lebih demokratis
dan dianggap sebagai cita-cita reformasi yang ingin mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat. Karena
itu, Pilkada langsung dianggap sebagai 23 hak warga negara yang dijamin konstitusi. Pada tahun 2014
yang lalu terjadi polemik di Indonesia dengan adanya usulan untuk merubah pilkada langsung menjadi
tidak langsung, tetapi polemik itu berhasil diredam dengan keluarnya 2 Peraturan Pengganti Undang-
Undang (perppu) yaitu, pertama Perppu Nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan
Wali Kota. Yang sekaligus mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Dan yang kedua Perppu kedua yang terkait dengan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang isinya menghapus kewenangan DPRD untuk
melaksanakan pemilihan kepala daerah. Pada tahun 2015 Pemilihan Kepala Daerah secara langsung dan
serentak dilakukan diseluruh indonesia, tetapi terdapat polemik baru yaitu munculnya calon tunggal di
beberapa daerah salah satunya di daerah kabupaten Tasikmalaya dengan calon tunggal kepala daerah
yaitu, Uu Ruzhanul Ulum dan pasangannya H Ade Sugianto tentu polemik ini baru terdengar sepanjang
sejarah pemilihan kepala daerah di indonesia, walaupun didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan Peraturan
pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, Dan
Walikota Menjadi Undang-Undang, telah ditetapkan dalam Pasal 49 ayat (9), Pasal 50 ayat (9) yang pada
intinya menyebutkan bahwa Komisi Pemilihan Umum (kpu) membuka kembali pendaftaran dan
penundaan pemilihan umum selama 3 hari dan pada Pasal 51 ayat (2), dan Pasal 52 ayat (2) yang pada
intinya menyebutkan bahwa Komisi Pemilihan Umum menetapkan minimal 2 pasang calon kepala
daerah. Oleh karena itu Effendi Gazali mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terkait
permasalahan tersebut dan keluarlah putusan Nomor 100/PUU-XIII/2015 yang memnyebutkan pada
intinya menyatakan bahwa Pasal 49 ayat (9), Pasal 50 ayat (9), Pasal 51 ayat (2), dan Pasal 52 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 8 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Bertentangan dengan Undang-Undang dan
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.21 Berdasarkan fenomena yang terjadi diperoleh hasil sistem
pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Indonesia perlu diperbarui karena belum
mengakomodasi prinsip demokrasi secara utuh, masih dimonopoli oleh partai politik, pembaharuan
tersebut untuk lebih menjamin hak asasi politik masyarakat daerah dan pembangunan hukum ortodoks
mendominasi Indonesia.
Menurut Logemann, bahwa setiap peraturan hukum pada hakikatnya dipengaruhi oleh dua unsur
penting, yaitu:

1. unsur riil, karena sifatnya yang konkret, bersumber dari lingkungan di mana manusia itu hidup,
seperti tradisi atau sifat-sifat yang dibawa manusia sejak lahir dengan perbedaan jenisnya;

2. unsur idiil, karena sifatnya yang abstrak, bersumber pada diri manusia itu sendiri yang berupa
“akal/pikiran” dan perasaan.

Bangunan hukum yang bersumber pada perasaan manusia disebut “asas-asas” (beginselen), sedangkan
yang bersumber pada “akal/pikiran” manusia disebut “pengertian-pengertian”. Karena bersumber pada
perasaan maka “asas-asas” mempunyau sifat yang berubah-ubah dalam arti berbeda-beda tergantung
pada masing-masing pandangan hidup yang menganutnya. Sedangkan “pengertian-pengertian” yang
merupakan hasil kontruksi akal/pikiran adalah bersifat tetap. Itulah yang menyebabkan asas demokrasi
dalam hukum tata negara memiliki asas yang berbeda-beda karena tergantung pada pandangan hidup
masyarakat yang bersangkutan. Asas demokrasi yang yang hidup di Indonesia adalah kekeluargaan
untuk mengabdi kepentingan bersama dalam mencapai tujuan yang sama. Berbeda dengan masyarakat
Barat yang sifatnya individualistis, justru kepentingan perseorangan akan lebih diutamakan, bahkan
menonjol daripada kepentingan bersama[6].

Merujuk pada pendapat Harmaily cs dalam bukunya Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia yang
dikutip oleh Daud Busroh halaman 36 dalam bukunya Asas-asas Hukum Tata Negara bahwa yang
menjadi pegangan pokok dalam penyelidikan hukum tata negara ialah metode yuridis formal,
sebagaimana hal yang dilakukan dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnya. Sedangkan metode-
metode lainnya hanyalah merupakan alat pembantu dalam melakukan pendekatan.[7]

§ Waktu Pelaksanaan Pilkada Serentak

Adapun waktu pelaksanaan pilkada serentak di Indonesia adalah

1. Gelombang pertama dilaksanakan pada bulan Desember 2015 untuk daerah yang masa jabatan
pemerintahannya berakhir di tahun 2015 dan awal 2016

2. Gelombang kedua dilaksanakan pada 15 Februari 2017 yang terdiri dari terdiri atas 7 provinsi (Aceh,
Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat), 76 kabupaten, dan
18 kota

3. Gelombang ketiga dilaksanakan Juni 2018 untuk daerah yang masa jabatan pemerintahannya
berakhir tahun 2018 dan awal tahun 2019.
BAB III

ANALISIS KASUS

Penyelenggaraan Pilkada Serentak telah berhasil dilaksanakan pada gelombang pertama pada 9
Desember 2015. Saat ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) tengah disibukkan dalam persiapan Pilkada
Serentak gelombang kedua yang akan dilaksanakan pada tanggal 15 Februari 2017.[9] Jika berkaca pada
permasalahan dalam Pilkada Serentak sebelumnya yang memunculkan problematika calon tunggal di
beberapa daerah kini pemerintah sudah mensiasati apabila terdapat calon tunggal maka tetap
dilaksanakan Pilkada Serentak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/ PUU-XIII/2015.
Oleh karena negara Indonesia adalah negara hukum maka jika dianalisa putusan tersebut telah
mencerminkan adanya perlindungan konstitusional dan realisasi pelaksanaan pemilihan umum yang
bebas yang merupakan syarat Rule of Law sebagaimana dikutip oleh Prof Mahsyur Effendi Berdasarkan
hasil keputusan dalam pertemuan para ahli hukum di Bangkok 1965 yang diselenggarakan oleh
International Comission of Jurist.[10]

Dalam kondisi riil menurut Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
setiap warga negara berhak dipilih dan memilih dalam Pemilu, apabila dalam pelaksanaannya warga
negara yang sedang berada di daerah yang pemilihan kepala daerahnya yang pemilihan kepala
daerahnya hanya memiliki satu pasangan calon terdaftar di KPUD jelas mengalami kerugian hak memilih
yang tak hanya bisa tertunda satu kali namun tidak menutup kemungkinan dapat tertunda berkali-kali
dalam kondisi tidak menentu. Selain itu jika pilkada suatu daerah harus ditunda maka hingga pemilu
berikutnya suatu daerah dipimpin oleh pelaksana tugas. Sehingga pantaslah tetap dilakukan Pilkada
Serentak sekalipun hanya terdapat satu calon tungal namun yang menjadi problematika lebih lanjut saat
ini adalah akankah pembolehan calon tunggal dapat menyeselesaikan kekhawatiran masyarakat
terhadap penyelenggaraan Pilkada Serentak 2017 untuk pemenuhan hak memilih dan dipilih mengingat
rakyat hanya disajikan satu pasang calon yang kemudian dilakukan referendum oleh rakyat tersebut.
Ketika hanya terdapat pilihan “setuju”atau “tidak setuju” akankah hak memilih rakyat benar-benar
terjamin masihlah dipertanyakan. Jika dibandingkan dengan negara Amerika Serikat dangan asas
demokrasi yang dianutnya menetapkan keadaan dengan satu calon tunggal maka calon itulah yang
langsung ditetapkan menjadi Kepala Daerah. Hal tersebut tentunya berbeda dengan Indonesia dengan
asas demokrasi[11] yang berlandaskan kekeluargaan untuk mengabdi pada kepentingan bersama dalam
mencapai tujuan yang sama dengan kemudian tidak bisa serta merta menjadikan calon tunggal dalam
Pilkada Serentak menjadi Kepala Daerah melainkan dengan mekanisme lebih lanjut yaitu dengan
referendum.

Penerapan calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah sebagai wujud nyata atas terjaminnya hak
konstitusional seluruh rakyat Indonesia agar tetap bisa memilih dan dipilih melalui mekanisme
referendum sebagaimana terdapat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/ PUU-XIII/2015.
Pembolehan calon tunggal dapat menyeselesaikan kekhawatiran masyarakat terhadap penyelenggaraan
Pilkada Serentak untuk pemenuhan hak memilih dan dipilih saat itu juga tapi tidak menjawab kebutuhan
masyarakat dalam memperoleh Kepala Daerah yang kompeten yang diharapkan oleh masyarakat daerah
tersebut. Kita dapat menggunakan analogi perut yang sedang lapar. Ketika perut rakyat lapar dan hanya
terdapat pilihan makanan rujak dan minuman sinom maka rakyat akan condong memilih makan rujak
dan minum sinom dengan konsekuensi memakan yang bisa jadi adalah yang ingin dimakan namun besar
kemungkinan tidak ingin dimakan daripada tidak makan dan minum sama sekali yang memiliki
konsekuensi lebih berat yaitu membuat perut mereka tetap lapar dan haus. Dalam analogi tersebut
dapat kita analisa bahwasanya dalam suatu Pilkada Serentak dengan hanya disajikan satu pasangan
calon itu sama halnya dengan dalam kondisi lapar hanya disajikan satu menu makanan beserta minuman
yang mengharuskan rakyat memilih dengan terpaksa karena tidak ada pilihan lain. Hal tersebut tidak
menjadi masalah ketika rakyat banyak yang menyukai dan kondisi perutnya sesuai dengan karakter
makanan seperti rujak dan minuman seperti sinom. Namun hal tersebut menjadi bermasalah ketika
terdapat 50% atau bahkan lebih dari 50% rakyat tidak cocok dengan rujak dan sinom. Seperti halnya
dengan 50% rakyat tidak cocok dengan calon tunggal tersebut namun daripada daerahnya harus
menunggu hingga pemilu berikutnya dengan dipimpin oleh pelaksana tugas sebagian dari 50% itu
terpaksa menyesuaikan dengan memaksakan pilihan mereka hingga membuat pemilih yang setuju
adalah 60% atau bahkan hanya 51%. Hal tersebut adalah masalah mengingat penambahan 1% saja
untuk yang setuju dapat merubah kepemimpinan daerah tersebut dalam satu kali periode (5 tahun).
Sehingga tidak salah jika penulis menyebut Pilkada Serentak dengan satu calon tunggal adalah
demokrasi terpaksa.

Mekanisme referendum efektif diterapkan dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak 2017 apabila
daerah tersebut memang memiliki satu calon yang digandrungi oleh rakyat daerah tersebut dan menjadi
tidak efektif ketika calon tersebut tidak digandrungi oleh rakyat daerah tersebut. Parameter efektif tidak
hanya seputar kualitas dari calon tunggal tersebut tapi lebih kepada hasil suara Pilkada Serentak
tersebut. Jika berkaca pada hasil Pilkada Serentak ditahun 2015 kesuksesan Pilkada Serentak dengan
calon tunggal dapat kita ambil sampel Pilkada Serentak di Blitar dengan hasil yang memilih setuju adalah
80%. Namun sampel dari Tasikmalaya bertolak belakang karena yang menyatakan setuju hanya 60%
mengingat 60% berarti hanya 3/5 rakyat setempat yang setuju dengan calon tunggal tersebut termasuk
didalamnya adalah mereka yang dengan terpaksa memilih calon tunggal tersebut daripada daerahnya
harus dipimpin oleh pelaksana tugas yang notabene akan sulit membuat kebijakan yang bersifat
strategis dengan efek domino berupa daerah tersebut sulit mengalami pembangunan.

BAB IV

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1. KESIMPULAN
Memilih dan dipilih merupakan salah satu hak konstitusional warga Indonesia yang dijamin dalam UUD
NRI 1945. Legalitas penerapan calon tunggal dalam Pilkada Serentak merupakan upaya nyata dalam
menjamin hak konstitusional seluruh rakyat Indonesia sebagai konsekuensi logis dari Indonesia sebagai
negara hukum. Sehingga agar tetap bisa memilih dan dipilih digunakanlah mekanisme referendum
sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/ PUU-XIII/2015. Pembolehan calon tunggal
dapat menyeselesaikan kekhawatiran masyarakat terhadap penyelenggaraan Pilkada Serentak untuk
pemenuhan hak memilih dan dipilih saat itu juga tapi tidak menjawab kebutuhan masyarakat dalam
memperoleh Kepala Daerah yang kompeten yang diharapkan oleh masyarakat daerah tersebut.

Mekanisme referendum efektif jika penyelenggaraan Pilkada Serentak di suatu daerah dengan satu
calon yang digandrungi oleh rakyat daerah tersebut namun menjadi tidak efektif ketika satu calon itu
tidak digandrungi oleh rakyat daerah tersebut. Putusan MK yang membolehkan calon tunggal dalam
Pilkada Serentak 2015 memicu timbulnya calon tunggal dalam Pilkada 2017 nanti. Padahal pada
mulanya pembolehan calon tunggal hanya sebagai pilihan terakhir namun saat ini isu mengenai calon
tunggal dalam Pilkada Serentak semakin marak diberbagai daerah.

4.2. REKOMENDASI

Dalam mengantisipasi timbulnya calon tunggal yang semakin marak kami menawarkan solusi dengan
prosedur pelaksanaan khusus calon tunggal yang diperketat dengan perolehan suara minimal 70%
setuju agar legalitas calon tunggal Pilkada Serentak tidak disalahgunakan. Serta memberikan sanksi pada
parpol yang tidak mengusungkan calonnya ditiap-tiap daerah. Dengan begitu keberadaan calon tunggal
dalam Pilkada Serentak dapat ditekan dan hak konstitusionel rakyat Indonesia terjamin.

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

I. UUD NRI 1945:Grahamedia Press

II. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

III. Busroh Abu Daud, Abubakar Busroh.1983.Asas-asas Hukum Tata Negara:Ghalia

IV. Indonesia.

V. Effendi, Mahsyur.1993.Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia.Malang:Ghalia

VI. Indonesia.

VII. http://www.kpu.go.id

VIII. http://www.kpu.go.id/index.php/post/read/2015/3768/KPU-Kebut-Pengesahan-PKPU-untuk-
Pilkada-Serentak/kpu-dalam-berita
IX. Zulfatun Ni’mah, Sosiologi Hukum; Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 94.

X. UU No. 8 Tahun 2015. Di akses pada tanggal 6 November pkl. 12.15 WIB, dari
http://www.rumahpemilu.org/in/read/91/Undang-undang-terkait-pemilu.

XI. Kabupaten Blitar Akhirnya Gelar Pilkada dengan Calon Tunggal. Di akses ada tanggal 6
November 2015 pkl. 11.21 WIB, darihttp://m.okezone.com/read/2015/09/29/519/1223090/kabupaten-
blitar-akhirnya-gelar-pilkada-dengan-calon-tunggal.

Anda mungkin juga menyukai