Ada tiga istilah yang dikenal tentang agama, yaitu: 1) agama, 2) religi, 3) din.
1. Secara etimologi, kata agama berasal dari bahasa Sangsekerta, yang
berasal dari akar kata gam artinya pergi. Kemudian akar kata gam
tersebut mendapat awalan a dan akhiran a, maka terbentuklah kata
agama artinya jalan. Maksudnya, jalan untuk mencapai kebahagiaan.
Di samping itu, ada pendapat yang menyatakan bahwa kata
agama berasal dari bahasa Sangsekerta yang akar katanya adalah a dan
gama. A artinya tidak dan gama artinya kacau. Jadi, agama artinya tidak
kacau atau teratur. Maksudnya, agama adalah peraturan yang dapat
membebaskan manusia dari kekacauan yang dihadapi dalam hidupnya,
bahkan menjelang matinya.
2. Kata religi–religion dan religio, secara etimologi — menurut Winkler Prins
dalam Algemene Encyclopaedie–mungkin sekali berasal dari bahasa Latin,
yaitu dari kata religere atau religare yang berarti terikat, maka
dimaksudkan bahwa setiap orang yang ber-religi adalah orang yang
senantiasa merasa terikat dengan sesuatu yang dianggap suci. Kalau
dikatakan berasal dari kata religere yang berarti berhati-hati, maka
dimaksudkan bahwa orang yang ber-religi itu adalah orang yang
senantiasa bersikap hati-hati dengan sesuatu yang dianggap suci.
Sedangkan secara terminologi, agama dan religi ialah suatu tata
kepercayaan atas adanya yang Agung di luar manusia, dan suatu tata
penyembahan kepada yang Agung tersebut, serta suatu tata kaidah
yang mengatur hubungan manusia dengan yang Agung, hubungan
manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam yang lain,
sesuai dengan tata kepercayaan dan tata penyembahan tersebut.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada agama dan religi
terdapat empat unsur penting, yaitu:
1) Tata pengakuan atau kepercayaan terhadap adanya Yang Agung,
2) Tata hubungan atau tata penyembahan terhadap yang Agung itu
dalam bentuk ritus, kultus dan pemujaan,
3) Tata kaidah/doktrin, sehingga muncul balasan berupa kebahagiaan
bagi yang berbuat baik/jujur, dan kesengsaraan bagi yang berbuat
buruk/jahat,
4) Tata sikap terhadap dunia, yang menghadapi dunia ini kadang-
kadang sangat terpengaruh (involved) sebagaimana golongan
materialisme atau menyingkir/menjauhi/uzlah (isolated) dari dunia,
sebagaimana golongan spiritualisme.
3. Selanjutnya, kata din–secara etimologi–berasal dari bahasa Arab, artinya:
patuh dan taat, undang-undang, peraturan dan hari kemudian.
Maksudnya, orang yang berdin ialah orang yang patuh dan taat terhadap
peraturan dan undang-undang Allah untuk mendapatkan kebahagiaan di
hari kemudian.
Oleh karena itu, dalam din terdapat empat unsur penting, yaitu:
1) tata pengakuan terhadap adanya Yang Agung dalam bentuk iman
kepada Allah,
2) tata hubungan terhadap Yang Agung tersebut dalam bentuk ibadah
kepada Allah,
3) tata kaidah/doktrin yang mengatur tata pengakuan dan tata
penyembahan tersebut yang terdapat dalam al-Qur`an dan Sunnah
Nabi,
4) tata sikap terhadap dunia dalam bentuk taqwa, yakni
mempergunakan dunia sebagai jenjang untuk mencapai kebahagiaan
akhirat.
Sedangkan menurut terminologi, din adalah peraturan Tuhan
yang membimbing manusia yang berakal dengan kehendaknya sendiri
untuk kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan di akhirat.
Berdasarkan pengertian din tersebut, maka din itu memiliki
empat ciri, yaitu:
1) “Din” adalah peraturan Tuhan,
2) “Din” hanya diperuntukkan bagi manusia yang berakal, sesuai hadis
Nabi yang berbunyi: al-din huwa al-aqlu la dina liman la aqla lahu,
artinya: agama ialah akal tidak ada agama bagi orang yang tidak
berakal,
3) “Din” harus dipeluk atas dasar kehendak sendiri, firman Allah: la
ikraha fi al-din, artinya: tidak ada paksaaan untuk memeluk din
(agama),
4) “Din” bertujuan rangkap, yakni kebahagiaan dan kesejahteraan dunia
akhirat
TEORI EVOLUSI
Menurut teori Evolusi (yang sampai kini belum ada bukti-bukti utuh dan
lengkap tentang kebenarannya), manusia modern atau homo sapiens ada
karena suatu proses perkembangan yang panjang dan dalam rentang waktu
lama. Proses panjang dan lama itu terjadi karena manusia berkembang dari
organisme sederhana menjadi makhluk yang relatif sempurna; dan segala
sesuatu yang bertalian dengan manusia serta kemanusiaannya juga
berkembang karena adanya proses evolusi. Dan dalam kenyataannya, evolusi
hanya merupakan teori, tetapi diajarkan dan dijabarkan sebagai suatu
peristiwa yang benar-benar terjadi atau dialami pada semua makluk.
Akan tetapi, menurut Kitab Suci Agama-agama, manusia, alam semesta,
dan segala sesuatu adalah hasil ciptaan TUHAN Allah; hasil ciptaan yang penuh
dengan kesempurnaan. Karena kesempurnaan itu, manusia mampu bertambah
banyak karena di dalam diri mereka tertanam naluri bertahan hidup serta
kemampuan reproduksi. Di samping itu, manusia juga dilengkapi dengan
berbagai kemampuan serta kreativitas (penggagas Teori Evolusi pun, tidak
pernah bisa menjawab siapa yang telah melengkapi manusia dengan berbagai
kemampuan serta kreativitas tersebut), sehingga mampu beradaptasi dengan
sikon hidup dan kehidupannya; bahkan menjadikan segala sesuatu di
sekitarnya menjadi lebih baik serta memberi kenyamanan padanya.
Kemampuan dan kreativitas itu, menjadikan manusia mempunyai
keinginan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya. Sehingga,
yang tadinya mempunyai pola nomade, lambat laun menetap kemudian
membangun komunitas pada suatu lokasi dengan batas-batas geografis
tertentu. Dalam batas-batas geografis itu, mereka semakin bertambah banyak
serta mampu membangun komunitas masyarakat dengan berbagai aspek yang
bertalian dengannya.
Salah satu aspek yang biasanya ada dalam suatu komunitas
masyarakat adalah cara-cara penyembahan kepada kekuatan lain di luar
dirinya. Hal itu terjadi karena manusia mempunyai naluri religius yang
universal. Kekuatan lain di luar diri manusia itu bersifat Ilahi, supra natural,
berkuasa, mempunyai kemampuan maha dasyat, sumber segala sesuatu, dan
lain-lain. Ia adalah Kekuasaan Yang Tertinggi melebihi apapun yang ada di
alam semesta. Akan tetapi, manusia tidak mampu menggambarkan bentuk-
bentuk konkrit dari apa yang mereka sembah sebagai Kekuasaan Yang
Tertinggi itu. Komunitas tersebut mempunyai keyakinan bahwa Ia ada,
dihormati, disembah, ditakuti; kemudian diikuti dengan memberi
persembahan korban kepadanya. Kondisi seperti itu biasanya disebut agama
suku atau agama asli.
AGAMA-AGAMA ASLI
Agama Asli adalah bentuk-bentuk atau cara-cara penyembahan yang
ada pada suatu suku dan sub-suku; kerohanian khas pada suatu bangsa, suku,
dan sub-suku; berasal dari antara mereka sendiri, serta tidak dipengaruhi atau
meniru dari komunitas ataupun orang lain. Ciri-ciri yang ada pada agama asli
antara lain:
terikat pada lokasi atau tempat bangsa ataupun suku dan sub-suku hidup
dan berkembang; misalnya diseputar lembah atau pegunungan, daerah
pedalaman serta terpencil, dan lain sebagainya; sehingga terbatas pada
masyarakat dalam komunitas atau lingkungan tertentu
dianut oleh sekelompok suku atau sub-suku ataupun gabungan
beberapan suku;
mempunyai atau adanya banyak larangan-larangan, tabu, benda-benda
dan tempat-tempat keramat serta dianggap suci; tempat-tempat keramat
tersebut biasanya difungsikan juga sebagai pusat kegiatan penyembahan
atau ritus;
pada umumnya berhubungan dengan alam (misalnya benda-benda langit;
pohon, gunung, gua, dan lain-lain); bersifat spiritisme (adanya roh-roh
pada benda-benda di alam semesta), animisme (adanya nyawa atau jiwa
pada benda-benda tertentu), dinamisme (adanya kekuatan dan kuasa
pada semua makhluk), totemmisme (adanya hubungan antara manusia
dengan binatang tertentu).
Hubungan erat antara (masyarakat) penganut agama suku dengan
alam terjadi karena anggapan bahwa pada alam ada atau berdiam (tinggal)
pribadi yang mempunyai kekuatan dan kuasa. Sebagai pribadi, alam juga tidak
mau diganggu atau dirusak oleh manusia. Dalam konsep agama-agama suku,
jika pribadi pada alam tersebut diganggu (mendapat gangguan), maka Ia akan
mendatangkan murka pada manusia. Dan juga hubungan itulah, yang seringkali
menjadikan mereka lebih memperhatikan dan menjaga keselarasan hidup
dengan lingkungan.
Akan tetapi, seiring dengan perkembangan hidup dan kehidupan,
pemikiran dan pemahaman manusia tentang siapa Yang Ilahi yang disembah
semakin maju. Pada perkembangan selanjutnya, model atau cara-cara
penyembahan pada agama suku, berubah dan berkembang menjadi suatu
sistem yang teratur. Perubahan dan perkembangan ini, juga menjadikan
manusia mempunyai aneka pendapat atau pengertian tentang agama.