Anda di halaman 1dari 4

Benigna Prostatica Hyperplasia (BPH)

Definisi. (1)

Hiperplasia prostat benigna adalah penyakit yang paling sering dijumpai pada laki-laki usia
lanjut yang ditandai dengan pembesaran prostat akibat adanya pertumbuhan atau penambahan jumlah sel
epitel dan sel stroma prostat

Epidemiologi (1,2,3)

Diperkirakan 50% pria usia di atas 60 tahun dan hampir 90% pria usia 90 tahun di USA
mempunyai gejala dari pembesaran prostat dan membutuhkan terapi.Penelitian yang dilakukan oleh divisi
urologi di California didapatkan bahwa dari 422 peserta, 91 orang (21,6%) mempunyai pembesaran
prostat pada kunjungan pertama. Penelitian yang dilakukan di Korea Selatan didapatkan bahwa dari 417
pria tua, 19,7% menderita BPH. Berdasarkan IPSS, 80,3% dilaporkan memiliki gejala ringan, 13,2%
memiliki gejala sedang dan 6,5% memiliki gejala berat, dan 42,7% dari mereka tidak pernah
berkonsultasi dengan siapapun mengenai gejala yang mereka alami.

Prevalensi BPH di Indonesia pada kelompok usia 41-50 tahun sebanyak 20%, 51-60 tahun 50%,
>80 tahun sekitar 90%. Angka tersebut bervariasi dari 24-30% kasus urologi yang dirawat di beberapa
rumah sakit. RS Cipto Mangunkusumo menangani 462 kasus selama rentang tahun 1994-1997, RS Hasan
Sadikin Bandung selama kurun 1976-1985 menangani 1.185 kasus dan selama rentang 10 tahun terakhir
(1993-2002), tercatat 1.038 kasus. Terdapat 1.948 kasus BPH di RS Dr. Soetomo Surabaya pada periode
1993-2002 dan pada rentang waktu itu juga diRSSumber Waras memiliki 602kasus.

Dari hasil penelitian di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado dalam kurun waktu 3 tahun, yaitu
dari tahun 2014 – 2017, ditemukan sebanyak 39 kasus yang memenuhi kriteria inklusi di Bagian Rekam
Medik.Menurut data WHO (2013), diperkira-kan terdapat sekitar 70 juta kasus degeneratif, salah satunya
ialah BPH, dengan insidensi di negara maju sebanyak 19%, sedangkan di negara berkembang sebanyak
5.35% kasus. Tahun 2013 di Indonesia terdapat 9,2 juta kasus BPH, di antaranya diderita oleh laki-laki
berusia di atas 60 tahun

Etiologi (1)

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia prostat;
tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan
kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai
penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah: (1) teori dihidrotestosteron, (2) adanya ketidak
seimbangan antara estrogen-testosteron, (3) interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat, (4)
berkurangnya kematian sel (apoptosis) dan (5) teori stem sel.
Patofisiologi (1)

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan menghambat aliran
urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine,
buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini
menyebakan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trobekulas, terbentuknya
selula, sakulo, dan divertikel buli-buli (Gambar 8-4). Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh
pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract
symptom(LUTS) Yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus. Tekanan intravesikal yang tinggi
diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua
muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesikc-
ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan
akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.

Obstruksi yang diakibatkan oleh hiperplasia prostat benigna tidak hanya disebabkan oleh adanya
massa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi juga disebabkan oleh tonus otot polos yang ada
pada stroma prostat, kapsul prostat, dan otot polos pada leher buli-buli. Otot polos itu dipersarafi oleh
serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus. Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen
stroma terhadap epitel. Kalau pada prostat normal rasio stroma dibanding dengan epitel adalah 2:1, pada
BPH, rasionya meningkat menjadi 4:1, hal ini menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan tonus otot
polos prostat dibandingkan dengan prostat normal. Dalam hal ini massa prostat yang menyebabkan
obstruksi komponen statik sedangkan tonus otot polos yang merupakan komponen dinamik sebagai
penyebab obstruksi prostat.

Manifestasi klinik (1,4)

a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
( LUTS ) terdiri atas gejala obstruksi dan iritatif. Gejala obstruksi yang nampak antara
lain: hesitansi, pancaran miksi lemah, intermitensi, miksi tidak puas dan menetes
setelah miksi; sedangkan pada gejala iritatif gejalanya antara lain: terjadi frekuensi,
nokturi, urgensi dan disuri

b. Gejala pada saluran kemih bagian atas Keluhan pada saluran kemih bagian atas berupa
gejala obstruksi antara lain: nyeri pinggang, benjolan dipinggang ( yang merupakan
tanda dari hidronefrosis ), atau demam yang merupakan tanda dari ifeksi atau urosepsis

c. Gejala diluar saluran kemih Keluhan yang muncul antara lain adanya hernia inguinalis
atau hemoroid. Kedua penyakit ini timbul karena sering mengejan pada saat miksi
sehingga meningkatkan tekanan intraabdominal. Pada pemeriksaan fisik didapatkankan
buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa kistus didaerah supra simfisis akibat
retensi urine. Kadang-kadang didapatkan urine yang selalu menetes tanpa disadari oleh
pasien yang merupakan tanda dari inkontinensia paradoksa
Diagnosis (1,5,6)

1. Anamnesis
Terganggunya aliran urin, sulit, buang air kecil dan keinginan buang air kecil (BAK)
namun pancaran urin lemah (sesuai gejala klinis). Evaluasi dengan menggunakan
American Urological Assosiation Symptoms Score Questeionnaire (AUA Symptom
Index).

2. Pemeriksaan Fisis:
- Perhatikan khusus pada abdomen: defisiensi nutrisi, edema, pruritus, echymosis
menunjukkan renal isufisiensi dari obstruksi yang lama.
- Distensi kandung kemih
- Inspeksi: penonjolan pada daerah supra pubik: retensi urine
- Palpasi: akan terasa adanya ballottement dan ini akan menimbulkan pasien ingin
buang air kecil
- Perkusi: redup: residual urine
- Pemeriksaan penis: uretra adanya kemungkinan penyebab lain misalnya stenose
meatus, striktur uretra, batu uretra/femosis
- Pemeriksaan rectal toucher (warna dubur)
- Syarat : buli-buli kosong/ dikosongkan

3. Penunjang
- Pemeriksaan Prostat Spesific Antigen (PSA) dan Prostatic Acid Phosphatase
(PAP)
- Urodinamik
- Uroflowmetry
- USG rektal
- Sistoskopi
- Urinalisis
- Pemeriksaan fungsi ginjal

Penatalaksanaan (1,5,6)

- Penghambat Reseptor α-Adrenergik


- Inhibitor 5α-Reduktase
- Terapi Kombinasi Penghambat Reseptorα-Adrenergik dan Inhibitor 5α-Reduktase
- Antimuskarinik
- Terapi Kombinasi Penghambat Reseptorα-Adrenergik dan Antimuskarinik
- Inhibitor 5-fosfodiesterase
- Terapi Kombinasi Lain : Fitoterapi dan Toksin Botulinum Type A IntraprostatNX-
1207
Komplikasi (5)

Komplikasi BPH antara lain retensi urin, batu kandung kemih, ISK, keruskaan ginjal atau
kandung retrograde, pneumonia, terjadi bekuan darah, perdarahan berlebih, dan impotensikemih,
inkontinensia, ejakulasi

Prognosis (5)

Lebih dari 90% pasien mengalami perbaikan sebagian atau perbaikan dari gejala yang
dialaminya. Sekitar 10-20% akan mengalami penumbatan dalam 5 tahun.

Pencegahan (1)

Berikut ini dapat membantu mengurangi risiko pengembangan BPH:  Pemeriksaan rutin:
Pemeriksaan prostat tahunan untuk deteksi dini dan pengobatan BPH.  Pemeriksaan rektal digital
(DRE) Pria berusia di atas 50 tahun harus memiliki DRE setidaknya setahun sekali. Tes ini menguji
ukuran dan bentuk prostat, dan memeriksa nodul abnormal atau pembengkakan.  Menjaga pola makan
sehat dan menerapkan gaya hidup sehat

DAFTAR PUSTAKA

1. Basuki B. Purnomo. Dasar-DasarUrologi edisi 3. Jakarta: Sagung Seto; 2016


2. Bushman W. Etiology, epidemiology, and natural history of benign Prostatic Hyperplasia. Uro
Clin North Am; 2009
3. Haryoko, MD. Korelasi usia dan merokok terhadap kejadian retensi urin total pada pria penderita
BPH di RSUD ulin banjarmasin. Banjarmasin.; 2010
4. Birowo P, Rahardjo D. Pembesaran prostat jinak. Jurnal Kedokteran &FarmasiMedika; 2002
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Interna Publishing; 2014
6. Birowo P, Rahardjo D. Pembesaran prostat jinak. Jurnal Kedokteran &FarmasiMedika; 2002

Anda mungkin juga menyukai