Anda di halaman 1dari 16

i

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan Negara berkembang, yang terdiri dari ribuan pulau
yang memiliki budaya yang beraneka ragam, lautan, dan sumberdaya alam yang
melimpah. Dengan perkembangan yang terjadi saat ini mendorong pemerintah untuk
melakukan perubahan di segala sektor demi meningkatkan pendapatan atau kas negara
guna membiayai pembangunan. Dalam melakukan perubahan tersebut, pastilah
memerlukan dana yang sangat besar, dan dana itu berasal dari Anggaran Pendapatan
Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), dimana
sebagian besar bersumber dari penerimaan pajak. Ini menjelaskan bahwa pajak memiliki
peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam
pelaksanaan pembangunan karena pajak sendiri merupakan sumber pendapatan negara
untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan.
        Pajak penghasilan pasal 22 atau disingkat PPh pasal 22 adalah pajak yang dipungut
oleh bendaharawan pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah,
instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan
dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badan-badan tertentu baik badan
pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan dibidang impor atau kegiatan
usaha dibidang lain. Dasar hukum PPh pasal 22 adalah UU Pajak Penghasilan nomor 36
tahun 2008, pasal 22. Untuk lebih memahami secara mendalam dan komprehensif
mengenai pajak penghasilan (pph) pasal 22, maka yang akan dibahas dalam makalah ini
yaitu mengenai subjek PPh pasal 22, objek, pemungut, pengecualian dari pengenaan pph
pasal 22, saat terutang, batas waktu setor dan lapor, serta contoh soal atau kasus yang
berkaitan dengan pasal 22.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini yaitu:
1. Apa pengertian dari PPh Pasal 23 dan 26?
2. Siapa pemotong PPh Pasal 23 dan 26?
3. Apa saja yang termasuk objek PPh Pasal 23 dan 26?

1
4. Apa saja yang dikecualikan dari PPh Pasal 23 dan 26?
5. Kapan saat terutang, pemungutan dan pelaporan PPh Pasal 23 dan 26?
6. Bagaimana cara menghitung tarif PPh Pasal 23 dan 26?

C. Tujuan
Adapun tujuan pada makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian dari PPh Pasal 23 dan 26.
2. Untuk mengetahui Siapa pemotong PPh Pasal 23 dan 26.
3. Untuk mengetahui Apa saja yang termasuk objek PPh Pasal 23 dan 26.
4. Untuk mengetahui Apa saja yang dikecualikan dari PPh Pasal 23 dan 26.
5. Untuk mengetahui Kapan saat terutang, pemungutan dan pelaporan PPh Pasal 23
dan 26.
6. Untuk mengetahui Bagaimana cara menghitung tarif PPh Pasal 23 dan 26.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Pemotong PPh Pasal 23


Pajak Penghasilan Pasal 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dipotong atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha
Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain
yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh
badan pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk
Usaha Tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
Pemotong PPh Pasal 23 terdiri atas:
1. Badan pemerintah
2. Subjek pajak badan dalam negeri
3. Penyelenggara dalam negeri
4. Bentuk usaha tetap
5. Perwakilan perusahaan di luar negeri lainnya
6. Orang Pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh kepala
kantor pelayanan pajak sebagai pemotong PPh Pasal 23, yaitu:
a. Akuntan, arsitek, dokter, notaries, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), kecuali
camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas
b. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan atas
pembayaran berupa sewa.

B. Tarif dan Penghasilan yang Dikenakan PPh Pasal 23


Penghasilan yang dikenakan PPh pasal 23 sesuai dengan pasal 23 UU No. 36
Tahun 2008 menetapkan tarif sebagai berikut:
1. Sebesar 15% dari jumlah bruto atas:
a. Dividen;
b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang;
c. Royalt; dan

3
d. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh yang
dimaksut dalam Pasal 21 ayat 1 huruf e.
2. Sebesar 2% dari jumlah bruto atas:
a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan oenggunaan harta yang telah dikenai
PPh Pasal 4 ayat (2); dan
b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa managemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh pasal 21, dalam hal
Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan tersebut tidak
memiliki nomer NPWP besarnya tariff pemotongan adalah lebih tinggi 100%
daripada tarif yang sebenarnya.

C. Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 23


Beberapa jenis penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sesuai
dengan pasal 23 Aayat (4) uu No 17 tahun 2000, yaitu:
1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.
2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan
hak opsi.
3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh PT sebagai wajib pajak dalam
negeri, koperasi, BUMN, BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
4. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi termasuk pemegang unit penyertaan kontrak kolektif.
5. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.
6. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang
berfungsi sebagai penyalur pinjaman atau pembiayaan yang diatur dengan PMK.

D. Saat Terutang, Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 23


1. PPh Pasal 23 terutang pasa akhir bulan dilakukan pembayaran atau pada akhir bulan
terutangnya pengasilan yang bersangkutan.
2. PPh Pasal 23 harus disetorkan oleh pemotong pajak selambat-lambatnya tanggal 10
bulan takwim berikutnya setelah bulan saar terutangnya pajak ke bank presepsi atau
kantor pos Indonesia.

4
3. Pemotong PPh Pasal 23 diwajibkan menyampaikan SPT Masa selambat-lambatnya
20 hari setelah masa pajak berakhir.
4. Pemotong PPh Pasal 23 harus memberikan tanda bukti pemotongan kepada orang
pribadi atau badan yang dibebani PPh yang dipotong.
5. Pelaksanaan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 23 dilakukan secara
desentralisasi artinya dilakukan di tempat terjadinya pembayaran atau terutangnya
penghasilan yang merupakan Objek PPh Pasal 23, hal ini dimaksutkan untuk
mempermudah pengawasan terhadap pelaksanaan pemotongan PPh PAsal 23
tersebut. Transaksi-transaksi yang merupakan objek pemotongan PPh pasal 23 yang
pembayarannya dilakukan oleh kantor pusat, PPh Pasal 23 dipotong, disetor dan
dilaporkan oleh kantor pusat, sedangkan objek PPh Pasal 23 yang pembayarannya
dilakukan oleh kantor cabang misalnya sewa kantor cabang, PPh Pasal 23 dipotong,
disetor dan dilaporkan oleh kantor cabang yang bersangkutan.

E. Perhitungan PPh Pasal 23


1. Contoh Kasus-1
Pada tanggal 10 Mei 2010, PT Mayora Indah, membagikan dividen masing-masing
Rp 10,000,000 kepada 20 pemegang sahamnya. Atas dividen yang dibagikan, PT
Mayora Indah wajib memungut PPh Pasal 23.
PPh pasal 23 yang harus dipotong PT Mayora Indah adalah:
=> 15% x Rp 10.000.000,- = Rp 150.000,-
=> 20 x Rp 150.000,- = Rp 3.000.000,-
Saat terutang : akhir bulan dilakukan pembayaran yaitu pada tanggal 31 Mei 2010
Saat Penyetoran : paling lambat 10 Juni 2010
Saat Pelaporan : paling lambat 20 Juni 2010

2. Contoh Kasus-2
Pada tanggal 20 agustus 2010, PT Rhoma membayar bunga atas pinjaman
membayarkan bunga kepada PT Irama sebesar Rp 90.000.000,-
PPh pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Rhoma adalah :
=> 15% x Rp 90.000.000 = Rp 13.500.000,-
Saat terutang : akhir bulan dilakukan pembayaran yaitu pada tanggal 31 Agustus
2010
Saat Penyetoran : paling lambat 10 September 2010

5
Saat Pelaporan : paling lambat 20 September 2010

3. Contoh Kasus-3
CV. Ayam Goreng Krenyes membayar Royalti kepada Tn Wiro atas pemakaian
merek Ayam Goreng “Pak Wiro” sebesar Rp 1.000.000.000,- pada tanggal 2 Maret
2010.
PPh pasal 23 yang harus dipotong CV. Ayam Goreng Krenyes :
=> 15% x Rp 1.000.000.000,- = Rp 150.000.000,-
Saat terutang : akhir bulan dilakukan pembayaran yaitu pada tanggal 31 Maret 2010
Saat Penyetoran : paling lambat 10 April 2010
Saat Pelaporan : paling lambat 20 April 2010

4. Contoh Kasus-4
Doan Pasaribu mendapat hadiah sebuah mobil senilai Rp 200.000.000,- atas undian
tabungan yang diselenggarakan Bank Nusantara pada tanggal 20 Januari 2010.
PPh pasal 23 yang harus dipotong Bank Nusantara adalah :
=> 15% x Rp 200.000.000,- = Rp 30.000.000,-
Saat terutang : akhir bulan dilakukan pembayaran yaitu pada tanggal 31 Januari2010
Saat Penyetoran : paling lambat 10 Februari 2010
Saat Pelaporan : paling lambat 20 Februari 2010

5. Contoh Kasus-5
PT Agung Jaya menyewa sebuah bus pariwisata dengan nilai sewa Rp 20.000.000,-
milik Budi.
PPh pasal 23 yang harus dipungut PT Agung Jaya:
=> 2% x Rp. 20.000.000,- = Rp 400.000,-
Apabila Budi tidak mempunyai NPWP maka PPh Pasal 23 yang dipotong PT Agung
Jaya adalah Rp 800.000,-

6. Contoh Kasus-6
PT Cendekia membayarkan jasa konsultan PT Jaya sebesar Rp 2.200.000 (termasuk
PPN). PT Jaya tidak mempunyai NPWP, maka PPh pasal 23 yang dipotong PT
Cendekia adalah:
=> 200% x 2% x Rp 2.000.000 = Rp 80.000,-

6
7. Contoh Kasus-7
PT Kalkulus meminta jasa dari Pak Dodi untuk membuat sistem akuntansiPerusahaan
dengan imbalan sebesar Rp. 22.000.000,- (sudah termasuk PPN).
PPh pasal 23 yang dipotong PT kalkulus adalah:
=>2% x Rp 20.000.0000,- = Rp 400.000,-

F. Pengertian, Tarif, dan Objek PPh Pasal 26


Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas
penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
(WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya
dipersamakan dengan subjek pajak badan. Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri
selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia, adalah Negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak
luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial
owner).
Tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri berupa:
1. Dividen;
2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang;
3. Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
4. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
5. Hadiah dan penghargaan;
6. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
7. Premi swap dan transaksi lindung lainnya;
8. Keuntungan karena pembebasan utang;
9. Hasil penjualan atau pengalihan di Indonesia;
10. Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan di luar negeri;
11. Hasil penjualan atau pengalihan saham; dan/atau
12. Laba setelah pajak yang diperoleh oleh BUT di Indonesia yang tidak ditanamkan
kembali di Indonesia.

7
20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa: penghasilan dari penjualan
harta di Indonesia; premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun
melalui pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
20% (final) dari perkiraan penghasilan neto atas penjualan atau pengalihan saham
perusahaan antara conduit company atau spesial purpose company yang didirikan atau
bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak yang mempunyai
hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
atau BUT di Indonesia.
20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT
di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.

G. Saat Terutang, Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 26
PPh pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan
terutangnya penghasilan, tergantung yang mana terjadi lebih dahulu. Pemotong PPh
pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh pasal 26 rangkap 3:
1. Lembar pertama untuk Wajib Pajak luar negeri;
2. Lembar kedua untuk Kantor Pelayanan Pajak; dan
3. Lembar ketiga untuk arsip Pemotong.
PPh pasal 26 wajib disetorkan ke bank Persepsi atau Kantor Pos dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP), paling lambat tanggal 10 bulan takwim
berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.
SPT Masa PPh Pasal 26, dengan dilampiri SSP lembar kedua, bukti pemotongan
lembar kedua dan daftar bukti pemotongan disampaikan ke KPP setempat paling lambat
20 hari setelah Masa Pajak berakhir.

Contoh: Pemotongan PPh Pasal 26 dilakukan tanggal 24 Mei 2009, penyetoran paling
lambat tanggal 10 Juni 2009 dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat
tanggal 20 Juni 2009. Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh
Pasal 26 bertepatan degan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional,
penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

H. Pemotongan PPh Pasal 26


Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008

8
(Undang-undang Pajak Penghasilan 1984), pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26
ayat (1)  adalah:
1. Badan Pemerintah
Tidak ada penjelasan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tentang arti
Badan Pemerintah ini. Namun demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa yang
dimaksud dengan Badan Pemerintah adalah Pemerintah negara Republik Indonesia
dan Pemerintah Daerah di Indonesia beserta instansi-instansi di bawahnya.
2. Subjek Pajak Badan dalam negeri
Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984,
subjek pajak badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia. Istlah didirikan mengandung arti bahwa badan tersebut
didirikan berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia. Sementara itu istilah bertempat
kedudukan menunjukkan bahwa badan tersebut memiliki efektif manajemen di
Indonesia di mana pengambilan keputusan-keputusan penting tentang badan tersebut
dilakukan di Indonesia.
Pengertian badan sendiri berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang
Pajak Penghasilan 1984 adalah  sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha
milik Negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan
bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
3. Penyelenggara Kegiatan
Penyelenggara kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan
yang melakukan suatu event atau kegiatan. Contoh penyelenggara kegiatan adalah
orang pribadi atau badan yang mengorganisir suatu acara seperti pertunjukkan,
perlombaan, seminar dan lain-lain.
4. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
BUT adalah bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di
Indonesia sehingga menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari
Indonesia. Walaupun termasuk Wajib Pajak luar negeri, pemenuhan hak dan
kewajiban BUT disamakan dengan pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak
dalam negeri.

9
Pengertian BUT bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Pajak
Penghasilan, yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih
dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa tempat
kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor,
pabrik, bengkel dan lain-lain.
5. Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya
Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia
juga merupakan pemotong PPh Pasal 23. Contohnya adalah Representative Office
(RO) dari perusahaan-perusahaan asing.

I. Pihak yang Dipotong PPh Pasal 26


Beda dengan pemotongan jenis pajak lain, pemotongan PPh Pasal 26 dikenakan
terhadap Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap. Pengertian Wajib Pajak
luar negeri bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b Undang-undang Pajak
Penghasilan 1984. Pada ketentuan ini Subjek Pajak (juga Wajib Pajak) luar negeri selain
BUT adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia.
Jadi, Wajib Pajak luar negeri seperti ini mendapatkan penghasilan dari Indonesia
tanpa perlu melakukan kegiatan usaha di Indonesia melalui BUT. Misalnya warga negara
Singapura yang memiliki saham PT Indosat yang menerima penghasilan berupa dividen
dari PT Indosat. Di sisi lain, pengenaan Pajak Penghasilan terhadap Wajib Pajak BUT
adalah hampir sama dengan Wajib Pajak dalam negeri melalui sistem self assesment
pelaporan SPT Tahunan.

J. Pengecualian

10
BUT dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 apabila Penghasilan Kena Pajak
sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari BUT ditanamkan kembali di Indonesia dengan
syarat:
1. Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi
PPh dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan dan
berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;
2. Dilakukan dalam tahun berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya dari
tahun pajak diterima atau diperoleh penghasilan tersebut; dan
3. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut sekurang-kurangnya
dalam waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan, mulai
berproduksi komersil.

K. Contoh Perhitungan Pemotongan PPh Pasal 26


1. Contoh Kasus-1
Suatu badan subjek pajak dalam negeri membayarkan royalti sebesar Rp.
100.000.000,00 kepada Wajib Pajak Luar Negeri, subjek pajak dalam negeri tersebut
berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% dari Rp.
100.000.000,00. Seorang atlet dari luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam
perlombaan lari marathon di Indonesia kemudian merebut hadiah uang maka atas
hadiah tersebut dikenai pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 20%.
PKP BUT di Indonesia 2009 = Rp. 17.500.000,00
Pajak Penghasilan: 28% x Rp. 17.500.000,00 = Rp.  4.900.000,00 _
PKP setelah pajak                   = Rp. 12.600.000,00
PPh Pasal 26 terutang: 20% x Rp. 12.600.000,00 = Rp. 2.520.000,00
Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp. 12.600.000,00 tersebut
ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
257/PMK.03/2008, atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.
2. Contoh Kasus-2
Mike adalah karyawan asing pada perusahaan PT Dira Consult. Mike
bertempat tinggal kurang dari 183 hari. Mike sudah beristri, dan mempunyai seorang
anak. Dalam bulan April 2009, Mike memperoleh gaji US$ 5,000 sebulan. Kurs yang
berlaku adalah Rp. 10.500,00 per US$ 1.
Penghitungan PPh pasal 26:
Penghasilan bruto berupa gaji sebulan : 5,000 x Rp 10.500,00 = Rp 52.500.000,00

11
Penerapan tarif : 20% x Rp 52.500.000,00 = Rp 10.500.000,00
PPh pasal 26 atas gaji Mike bulan April 2009 adalah Rp 10.500.000,00.

12
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan
yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang
telah dipotong PPh Pasal 21. Dalam melakukan pemotongan PPh Pasal 23 terdapat
pemotong pajak yang telah ditentukan oleh peraturan uu PPh pasal 23 begitu pula dengan
tarif dan penghasilan apasaja yang tergolong dapat dipotong PPh Pasal 23 ataupun yang
dikecualikan. Makalah diatas juga menunjukan kapan saat terutang, pelaporan dan
penyetoran PPh pasal 23 yang telah ditentukan oleh UU. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal
26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap
(BUT) di Indonesia.
Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya
dipersamakan dengan subjek pajak badan. Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri
selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia, adalah Negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak
luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial
owner).

13
DAFTAR PUSTAKA

Blog. (2016, November 07). PPh Pasal 23 dan Pasal 26. Diakses pada tanggal 28
Februari 2020 dari https://mysetetestinta.blogspot.com/2016/11/pph-pasal-23-
dan-pph-pasal-26.html

Cermati.com. (2019, Maret 22). PPh Pasal 23: Penjelasan, Tarif, dan Perhitungannya.
Diakses pada tanggal 28 Februari 2020 dari
https://www.cermati.com/artikel/pph-pasal-23-penjelasan-tarif-dan-
perhitungannya

Mekari. (2018, Juni 15). PPh23: Pahami Ketentuan Umum dan Cara Hitung Pajaknya.
Diakses pada tanggal 28 Februari 2020 dari https://klikpajak.id/blog/bayar-
pajak/pph-23-pahami-ketentuan-umum-dan-cara-hitung-pajaknya/

Onlinepajak. (2016, Desember 01). Pajak Penghasilan Pasal 26. Diakses pada tanggal
28 Februari 2020 dari https://www.online-pajak.com/pph-pajak-penghasilan-
pasal-26

14

Anda mungkin juga menyukai