Anda di halaman 1dari 17

1.

Konjungtivitis
a. Definisi
Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva dan penyakit ini adalah
penyakit mata yang paling umum di dunia. Karena lokasinya, konjungtiva
terpajan oleh banyak mikroorganisme dan faktor-faktor lingkungan lain yang
mengganggu (Vaughan, 2010)
b. Etiologi
Konjungtivitis dapat disebabkan oleh bakteri, klamidia, alergi, viral toksik,
berkaitan dengan penyakit sistemik. Peradangan konjungtiva atau
konjungtivitis dapat terjadi pula karena asap, angina dan sinar (Ilyas, 2008;
2014)
c. Patofisiologi
Mikroorganisme (virus, bakteri, jamur), bahan alergen, iritasi
menyebabkan kelopak mata terinfeksi sehingga kelopak mata tidak dapat
menutup dan membuka sempurna. Karena mata menjadi kering sehingga
terjadi iritasi menyebabkan konjungtivitis. Pelebaran pembuluh darah
disebabkan karena adanya peradangan ditandai dengan konjungtiva dan sklera
yang merah, edema, rasa nyeri dan adanya sekret mukopurulen (Silverman,
2010).
Konjungtiva, karena posisinya terpapar pada banyak organisme dan
faktor lingkungan lain yang mengganggu. Ada beberapa mekanisme
melindungi permukaan mata dari substansi luar, seperti air mata. Pada film air
mata, unsur berairnya mengencerkan infeksi bakteri, mucus menangkap debris
dan mekanisme memompa dari palpebra secara tetap akan mengalirkan air
mata ke ductus air mata. Air mata mengandung substansi anti mikroba
termasuk lisozim. Adanya agen perusak, menyebabkan cedera pada epitel
konjungtiva yang diikuti edema epitel, kematian sel dan eksfoliasi, hipertropi
epitel atau granuloma. Mungkin pula terdapat edema pada stroma konjungtiva
(kemosis) dan hipertropi lapis limfoid stroma atau pembentukan folikel. Sel-
sel radang bermigrasi melalui epitel ke permukaan. Sel-sel ini kemudian
bergabung dengan fibrin dan pus dari sel goblet, membentuk eksudat

1
konjungtiva yang menyebabkan perlengketan tepian palpebra pada saat
bangun tidur (Bielory, 2010; Majmudar, 2010).
Adanya peradangan pada konjungtiva ini menyebabkan dilatasi
pembuluh-pembuluh mata konjungtiva posterior, menyebabkan hiperemi yang
tampak paling nyata pada formiks dan mengurang kearah limbus. Pada
hiperemi konjungtiva ini biasanya didapatkan pembengkakan dan hipertropi
papilla yang sering disertai sensasi benda asing dan sensasi tergores, panas
atau gatal. Sensasi ini merangsang sekresi air mata. Transudasi ringan juga
timbul dari pembuluh darah yang hiperemi dan menambah jumlah air mata
(More, 2009)
d. Tanda dan gejala
Tabel 1.Gambaran beberapa jenis konjungtivitis ( Vaughan, 2010)

Virus Bakteri Alergi Klamidia

Gatal Minimal Minimal Berat Minimal

Hiperemia Umum Umum Umum Umum

Sekret Serous mucous Purulen, Viscus Purulen


kuning, krusta

Lakrimasi Banyak Sedang Sedang Sedang

Adenopati Lazim Tidak Lazim Tidak Ada Lazim hanya


Preaurikular pada
konjungtivitis
inklusi

Eksudasi Minimal Banyak Minimal Banyak

Pewarnaan Monosit Bakteria, PMN Eosinofil Badan inklusi


kerokan dan sel plasma,
eksudat PMN

Radang Kadangkadang Kadangkadang Tidak Tidak pernah


tenggorok pernah
dan demam

e. Faktor resiko
Konjungtivitis bakterial biasanya mulai pada satu mata kemudian
mengenai mata yang sebelah melalui tangan dan dapat menyebar ke orang

2
lain. Penyakit ini biasanya terjadi pada orang yang terlalu sering kontak
dengan penderita, sinusitis dan keadaan imunodefisiensi (Marlin, 2009).
Konjungtivitis viral dapat disebabkan berbagai jenis virus, tetapi
adenovirus adalah virus yang paling banyak menyebabkan penyakit ini, dan
Universitas Sumatera Utara herpes simplex virus yang paling membahayakan.
Selain itu penyakit ini juga dapat disebabkan oleh virus Varicella zoster,
picornavirus (enterovirus 70, Coxsackie A24), poxvirus, dan human
immunodeficiency virus (Scott, 2010). Penyakit ini sering terjadi pada orang
yang sering kontak dengan penderita dan dapat menular melalu di droplet
pernafasan, kontak dengan benda-benda yang menyebarkan virus (fomites)
dan berada di kolam renang yang terkontaminasi (Ilyas, 2008).
Konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan subkategorinya.
Misalnya konjungtivitis alergi musiman dan tumbuhtumbuhan biasanya
disebabkan oleh alergi tepung sari, rumput, bulu hewan, dan disertai dengan
rinitis alergi serta timbul pada waktu-waktu tertentu. Vernal konjungtivitis
sering disertai dengan riwayat asma, eksema dan rinitis alergi musiman.
Konjungtivitis atopik terjadi pada pasien dengan riwayat dermatitis atopic,
sedangkan konjungtivitis papilar rak pada pengguna lensakontak atau mata
buatan dari plastik (Asokan, 2007).
Konjungtivitis jamur paling sering disebabkan oleh Candida albicans
dan merupakan infeksi yang jarang terjadi. (Vaughan, 2010).

f. Diagnosa
Diagnosis konjungtivitis bakteri dapat ditegakkan melalui riwayat
pasien dan pemeriksaan mata secara menyeluruh, seperti pemeriksaan mata
eksternal, biomikroskopi menggunakan slit-lamp dan pemeriksaan ketajaman
mata. Kerokan konjungtiva untuk pemeriksaan mikroskopik dan biakan
disarankan untuk semua kasus dan diharuskan jika penyakitnya purulen,
bermembran atau berpseudomembran. Pemeriksaan gram melalui kerokan
konjungtiva dan pengecatan dengan Giemsa menampilkan banyak neutrofil
polimorfonuklear (Garcia-Ferrer,2008).
Dalam penegakan diagnosis, anamnesis dan pemeriksaan (baik
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan mata) harus dilakukan secara

3
komprehensif. Perlu ditanyakan mengenai onset, lokasi (unilateral atau
bilateral), durasi, penyakit penyerta seperti gangguan saluran nafas bagian
atas, gejala penyerta seperti fotofobia, riwayat penyakit sebelumnya, serta
riwayat keluarga. Pemeriksaan selsel radang terlihat dalam eksudat atau
kerokan yang diambil dengan spatula platina steril dari permukaan
konjungtiva kemudian di pulas dengan pulasan Gram (untuk mengidentifikasi
organisme) dan dengan pulasan Giemsa (untuk menetapkan jenis dan
morfologi sel). Pada konjungtivitis virus biasanya banyak ditemukan sel
mononuklear khususnya limfosit dalam jumlah yang banyak (Garcia-
Ferrer,2008).
Diperlukan riwayat alergi baik pada pasien maupun keluarga pasien
serta observasi pada gejala klinis untuk menegakkan diagnosis konjungtivitis
alergi. Gejala yang paling penting untuk mendiagnosis penyakit ini adalah rasa
gatal pada mata, yang mungkin saja disertai mata berair, kemerahan dan
fotofobia (Weissman, 2010).

g. Tatalaksana
Terapi spesifik konjungtivitis bakteri tergantung pada temuan agen
mikrobiologiknya. Terapi dapat dimulai dengan antimikroba topikal spektrum
luas. Pada setiap konjungtivitis purulen yang dicurigai disebabkan oleh
diplokokus gram-negatif harus segera dimulai terapi topical dan sistemik .
Pada konjungtivitis purulen dan mukopurulen, sakus konjungtivalis harus
dibilas dengan larutan saline untuk menghilangkan sekret konjungtiva (Ilyas,
2008).
Konjungtivitis virus yang terjadi pada anak di atas 1 tahun atau pada
orang dewasa umumnya sembuh sendiri dan mungkin tidak diperlukan terapi,
namun antivirus topikal atau sistemik harus diberikan untuk mencegah
terkenanya kornea (Scott, 2010). Pasien konjungtivitis juga diberikan instruksi
hygiene untuk meminimalkan penyebaran infeksi (James, 2005).
Penyakit ini dapat diterapi dengan tetesan vasokonstriktor-antihistamin
topikal dan kompres dingin untuk mengatasi gatal-gatal dan steroid topikal
jangka pendek untuk meredakan gejala lainnya (Vaughan, 2010).
h. Edukasi

4
Edukasi untuk tidak menyentuh matanya dan mencuci tangannya saat
sebelum dan sesudah makan, saat kembali ke rumah dan saat telah menyentuh
matanya. Edukasi ini diberikan karena transmisi dari penyakit ini berasal dari
air mata yang telah terkontaminasi bakteri ataupun tangan yang telah
terkontaminasi. Sehingga higienitas dari tangan harus tetap terjaga
(Bennett,2008). Selain itu penularan konjungtivitis juga berasal dari droplet
udara, kontak lens dan air yang telah terkontaminasi yang digunakan untuk
membersihkan mata.(Akinsinde,2011)
i. Komplikasi
Blefaritis marginal kronik sering menyertai konjungtivitis bateri,
kecuali pada pasien yang sangat muda yang bukan sasaran blefaritis. Parut di
konjungtiva paling sering terjadi dan dapat merusak kelenjar lakrimal
aksesorius dan menghilangkan duktulus kelenjar lakrimal. Hal ini dapat
mengurangi komponen akueosa dalam film air mata prakornea secara drastis
dan juga komponen mukosa karena kehilangan sebagian sel goblet. Luka parut
juga dapat mengubah bentuk palpebra superior dan menyebabkan trikiasis dan
entropion sehingga bulu mata dapat menggesek kornea dan menyebabkan
ulserasi, infeksi dan parut pada kornea (Vaughan, 2010).
Konjungtivitis virus bisa berkembang menjadi kronis, seperti
blefarokonjungtivitis. Komplikasi lainnya bisa berupa timbulnya
pseudomembran, dan timbul parut linear halus atau parut datar, dan
keterlibatan kornea serta timbul vesikel pada kulit (Vaughan, 2010).
Komplikasi pada penyakit ini yang paling sering adalah ulkus pada
kornea dan infeksi sekunder (Jatla, 2009)

Daftar Pustaka
Bennett, G et al. 2008. SHEA/APIC Guideline: Infection Prevention and Control in
the Long-Term Care Facility. Am J Infect Control. 36(7): 504-535. Akinsinde, KA et
al. 2011. Bacteriologic and Plasmid Analysis of Etiologic Agents of Conjunctivitis in
Lagos, Nigeria. J Ophthal Inflamm Infect. 1: 95-103

5
2. Miopia Ringan
a. Definisi
Miopia adalah kelainan refraksi mata, di mana mata mempunyai kekuatan
pembiasan berlebihan sehingga sinar sejajar yang datang dari jarak tak terhingga
difokuskan di depan retina oleh mata dalam keadaan tanpa akomodasi
b. Etiologic
Miopia disebabkan karena terlalu kuatnya pembiasan sinar di dalam mata untuk
panjangnya bola mata akibat dari : Beberapa hal yang bisa menyebabkan mata
minus 27: 1. Jarak yang terlalu dekat pada waktu membaca buku, menonton televisi,
bermain video games, bermain komputer, bermain telepon selular/ponsel, dan
sebagainya. Mata yang dipaksakan dapat merusak mata itu sendiri. 2. Genetik atau
keturunan. 3. Terlalu lama beraktivitas pada jarak pandang yang sama seperti
bekerja di depan komputer, di depan layar monitor, di depan berkas, dan lain-lain.
Mata membutuhkan istirahat yang teratur dan cukup agar tidak terus berkontraksi
secara monoton. 4. Kebisaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan mata kita
seperti membaca sambil tidur-tiduran, membaca di tempat yang gelap, membaca di
bawah matahari langsung yang silau, menatap sumber terang langsung, dan lain
sebagainya. 5. Terlalu lama mata berada di balik media transparan yang tidak cocok
dengan mata dapat mengganggu kesehatan mata seperti terlalu lama memakai
helm, terlalu lama memakai kacamata/lensa kontak yang tidak sesuai dengan mata
normal kita, dan sebagainya. 6. Kekurangan gizi yang dibutuhkan mata juga bisa
memperlemah mata sehingga kurang mampu bekerja keras dan mudah untuk
terkena rabun jika mata bekerja terlalu dipaksakan. Vitamin A, betakaroten, alpukat
merupakan beberapa makanan yang baik untuk kesehatan mata. Selain itu,
beberapa faktor yang diduga dapat mempengaruhi terjadinya miopia yaitu usia,
status gizi, onset miopia, tekanan intraokular, stress dan faktor sosial ekonomi.
c. Patofisiologi
Patofisiologi miopia Penelitian-penelitian terdahulu mengemukakan bahwa miopia
disebabkan oleh pemanjangan sumbu bola mata, namun penyebab yang
mendasarinya masih belum jelas sepenuhnya.41 Terdapat dua teori utama tentang
terjadinya pemanjangan sumbu bola mata pada miopia. Yang pertama adalah teori
biologik, menganggap bahwa pemanjangan sumbu bola mata sebagai akibat dari
kelainan pertumbuhan retina (overgrowth) sedangkan teori yang kedua adalah teori

6
mekanik yang mengemukakan adanya penekanan (stres) sklera sebagai penyebab
pemanjangan tersebut.33 Salah satu mekanisme pemanjangan sumbu bola mata
yang diajukan pada teori mekanik adalah penekanan bola mata oleh muskulus
rektus medial dan obliq superior. Seperti diketahui, penderita miopia selalu
menggunakan konvergensi berlebihan. Von Graefe mengatakan bahwa otot
ekstraokular terutama rektus medial bersifat miopiagenik karena kompresinya
terhadap bola mata pada saat konvergensi. Jakson menganggap bahwa konvergensi
merupakan faktor etiologik yang penting dalam perkembangan miopia.
Dikemukakan juga bahwa muskulus oblik superior juga menekan bola mata pada
waktu melihat atau bekerja terlalu lama.33 Konvergensi berlebihan disebabkan oleh
karena penderita miopia memiliki jarak pupil yang lebar.42 Di samping lebar, orbita
juga lebih rendah sehingga porsi muskulus oblik superior yang menekan bola mata
lebih besar. Jadi di sini ada pengaruh dari anatomi mata terhadap terjadinya miopia.
Kebenaran akan hal ini telah dikonfirmasi oleh beberapa ahli lain.26 Possey dan
Vandergift mengemukakan bahwa anatomi merupakan faktor yang terpenting dalam
terjadinya miopia. Fox mengidentifikasikan orbita bagian dalam akan lebih
memungkinkan untuk terjadinya pemanjangan sumbu bola mata.
d. Tanda dan gejala
Manifestasi klinis miopia 1. Penderita miopia akan mengatakan melihat jelas dalam
jarak dekat atau pada jarak tertentu dan melihat kabur jika pandangan jauh. 2.
Penderita miopia mempunyai kebiasaan mengernyitkan mata untuk mencegah
aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole (lubang kecil). 3. Timbulnya
keluhan yang disebut astenopia konvergensi karena pungtum remotum (titik terjauh
yang masih dilihat jelas) yang dekat sehingga mata selalu dalam keadaan
konvergensi. Bila hal di atas menetap, maka penderita akan terlihat juling ke dalam
atau esotropia.
e. Faktor resiko
Faktor risiko miopia American Optometric Association (AOA) mengemukakan bahwa
ada beberapa faktor risiko terjadinya miopia, antara lain : riwayat keluarga (faktor
herediter atau keturunan), aktivitas melihat dekat (faktor lingkungan dan
kebiasaan), penurunan fungsi akomodasi, kelengkungan kornea dan panjang aksis
bola mata (faktor mata atau pertumbuhan anatomi mata
f. Anamnesis
g. Pemeriksaan fisik

7
h. Pemeriksaan penunjang
i. Diagnosa banding
j. Tatalaksana
k. Edukasi
l. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul pada penderita myopia yaitu:
1. Ablasio retina Merupakan komplikasi tersering. Biasanya didahului dengan
timbulnya hole pada daerah perifer retina akibat proses-proses degenerasi dari
daerah ini
2. Vitreal Liquefaction dan Detachment Badan vitreus yang berada di antara lensa
dan retina mengandung 98% air dan 2% serat kolagen yang seiring pertumbuhan
usia akan mencair secara perlahan-lahan, namun proses ini akan meningkat pada
penderita miopia tinggi. Hal ini berhubungan dengan hilangnya struktur normal
kolagen. Pada tahap awal, penderita akan melihat bayangan-bayangan kecil
(floaters). Pada keadaan lanjut, dapat terjadi kolaps badan viterus sehingga
kehilangan kontak dengan retina. Keadaan ini nantinya akan menimbulkan risiko
untuk terlepasnya retina dan menyebabkan kerusakan retina. Vitreus detachment
pada miopia tinggi terjadi karena luasnya volume yang harus diisi akibat
memanjangnya bola mata.
3. Glaukoma Risiko terjadinya glaukoma pada mata normal adalah 1,2%, pada
miopia sedang 4,2%, dan pada miopia tinggi 4,4%. Glaukoma pada miopia terjadi
dikarenakan stres akomodasi dan konvergensi serta kelainan struktur jaringan ikat
penyambung pada trabekula.
4. Trombosis dan perdarahan koroid Sering terjadi pada obliterasi dini pembuluh
darah kecil. Biasanya terjadi di daerah sentral, sehingga timbul jaringan parut yang
mengakibatkan tajam penglihatan. 5. Katarak Transparansi lensa berkurang.
Dilaporkan bahwa pada orang dengan miopia, onset katarak muncul lebih cepat.

8
3. Skleritis
a. Definisi
Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang
ditandai oleh destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang
mengisyaratkan adanya vaskulitis
b. Etiologic
Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skelritis murni diperantarai oleh
proses imunologi yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan
tipe III (kompleks imun) dan disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus,
mungkin terjadi invasi mikroba langsung, dan pada sejumlah kasus proses
imunologisnya tampaknya dicetuskan oleh proses-proses lokal, misalnya
bedah katarak.
Berikut ini adalah beberapa penyebab skleritis, yaitu:
1. Penyakit Autoimun
Spondilitis ankylosing, Artritis rheumatoid, Poliartritis nodosa,
Polikondritis berulang, Granulomatosis Wegener, Lupus eritematosus
sistemik, Pioderma gangrenosum, Kolitis ulserativa, Nefropati IgA, Artritis
psoriatic.
2. Penyakit Granulomatosa
Tuberkulosis, Sifilis, Sarkoidosis, Lepra, Sindrom Vogt-Koyanagi-
Harada (jarang)
3. Gangguan metabolic
Gout, Tirotoksikosis, Penyakit jantung rematik aktif Infeksi
Onkoserkiasis, Toksoplasmosis, Herpes Zoster, Herpes Simpleks, Infeksi oleh
Pseudomonas,Aspergillus, Streptococcus, Staphylococcus
4. Lain-lain Fisik (radiasi, luka bakar termal), Kimia (luka bakar asam atau
basa), Mekanis (cedera tembus), Limfoma, Rosasea, Pasca ekstraksi katarak
Tidak diketahui
c. Patofisiologi
Degradasi enzim dari serat kolagen dan invasi dari sel-sel radang
meliputi sel T dan makrofag pada sklera memegang peranan penting
terjadinya skleritis. Inflamasi dari sklera bisa berkembang menjadi iskemia

9
dan nekrosis yang akan menyebabkan penipisan pada sklera dan perforasi dari
bola mata.
Inflamasi yang mempengaruhi sklera berhubungan erat dengan
penyakit imun sistemik dan penyakit kolagen pada vaskular. Disregulasi pada
penyakit auto imun secara umum merupakan faktor predisposisi dari skleritis.
Proses inflamasi bisa disebabkan oleh kompleks imun yang berhubungan
dengan kerusakan vaskular (reaksi hipersensitivitas tipe III dan respon kronik
granulomatous (reaksi hipersensitivitas tipe IV). Interaksi tersebut adalah
bagian dari sistem imun aktif dimana dapat menyebabkan kerusakan sklera
akibat deposisi kompleks imun pada pembuluh di episklera dan sklera yang
menyebabkan perforasi kapiler dan venula post kapiler dan respon imun sel
perantara.
d. Tanda dan gejala
Gejala-gejala dapat meliputi rasa nyeri, mata berair, fotofobia, spasme,
dan penurunan ketajaman penglihatan. Tanda primernya adalah mata merah.
Nyeri adalah gejala yang paling sering dan merupakan indikator terjadinya
inflamasi yang aktif.. Nyeri timbul dari stimulasi langsung dan peregangan
ujung saraf akibat adanya inflamasi. Karakteristik nyeri pada skleritis yaitu
nyeri terasa berat, nyeri tajam menyebar ke dahi, alis, rahang dan sinus, pasien
terbangun sepanjang malam, kambuh akibat sentuhan. Nyeri dapat hilang
sementara dengan penggunaan obat analgetik. Mata berair atau fotofobia pada
skleritis tanpa disertai sekret mukopurulen. Penurunan ketajaman penglihatan
biasa disebabkan oleh perluasan dari skleritis ke struktur yang berdekatan
yaitu dapat berkembang menjadi keratitis, uveitis, glaucoma, katarak dan
fundus yang abnormal
e. Anamnesis
Pada saat anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama pasien,
perjalanan penyakit, riwayat penyakit dahulu termasuk riwayat infeksi, trauma
ataupun riwayat pembedahan juga perlu pemeriksaan dari semua sistem pada
tubuh. Gejala-gejala dapat meliputi rasa nyeri, mata berair, fotofobia, spasme,
dan penurunan ketajaman penglihatan. Tanda primernya adalah mata merah.
Nyeri adalah gejala yang paling sering dan merupakan indikator terjadinya
inflamasi yang aktif.. Nyeri timbul dari stimulasi langsung dan peregangan

10
ujung saraf akibat adanya inflamasi. Karakteristik nyeri pada skleritis yaitu
nyeri terasa berat, nyeri tajam menyebar ke dahi, alis, rahang dan sinus, pasien
terbangun sepanjang malam, kambuh akibat sentuhan. Nyeri dapat hilang
sementara dengan penggunaan obat analgetik. Mata berair atau fotofobia pada
skleritis tanpa disertai sekret mukopurulen. Penurunan ketajaman penglihatan
biasa disebabkan oleh perluasan dari skleritis ke struktur yang berdekatan
yaitu dapat berkembang menjadi keratitis, uveitis, glaucoma, katarak dan
fundus yang abnormal
Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pada mata menjelaskan adanya
penyakit sistemik, trauma, obat-obatan atau prosedur pembedahan dapat
menyebabkan skleritis seperti :
1. Penyakit vaskular atau penyakit jaringan ikat
2. Penyakit infeksi
3. Penyakit miscellanous ( atopi,gout, trauma kimia, rosasea)
4. Trauma tumpul atau trauma tajam pada mata
5. obatan seperti pamidronate, alendronate, risedronate, zoledronic acid
dan ibandronate.
6. laserasi gaster, diabetes, penyaki hati, penyakit ginjal, hipertensi
dimana mempengaruhi pengobatan selanjutnya.
7. Pengobatan yang sudah didapat dan pengobatan yang sedang
berlangsung dan responnya terhadap pengobatan
f. Pemeriksaan fisik
1. Daylight
Sklera bisa terlihat merah kebiruan atau keunguan yang difus. Setelah
serangan yang berat dari inflamasi sklera, daerah penipisan sklera dan
translusen juga dapat muncul dan juga terlihat uvea yang gelap. Area
hitam, abu-abu dan coklat yang dikelilingi oleh inflamasi yang aktif
yang mengindikasikan adanya proses nekrotik. Jika jaringan nekrosis
berlanjut, area pada sklera bisa menjadi avaskular yang menghasilkan
sekuester putih di tengah yang dikelilingi lingkaran coklat kehitaman.
Proses pengelupasan bisa diganti secara bertahap dengan jaringan
granulasi meninggalkan uvea yang kosong atau lapisan tipis dari
konjungtiva.

11
2. Pemeriksaan Slit Lamp
Pada skleritis, terjadi bendungan yang masif di jaringan dalam
episklera dengan beberapa bendungan pada jaringan superfisial
episklera. Pada tepi anterior dan posterior cahaya slit lamp bergeser ke
depan karena episklera dan sclera edema. Pada skleritis dengan
pemakaian fenilefrin hanya terlihat jaringan superfisial episklera yang
pucat tanpa efek yang signifikan pada jaringan dalam episklera.
3. Pemeriksaan Red-free Light
Pemeriksaan ini dapat membantu menegakkan area yang mempunyai
kongesti vaskular yang maksimum, area dengan tampilan vaskular
yang baru dan juga area yang avaskular total. Selain itu perlu
pemeriksaan secara umum pada mata meliputi otot ekstra okular,
kornea, uvea, lensa, tekanan intraokular dan fundus.
g. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Berdasarkan riwayat penyakit dahulu, pemeriksaan sistemik dan pemeriksaan
fisik dapat ditentukan tes yang cocok untuk memastikan atau menyingkirkan
penyakit-penyakit yang berhubungan dengan skleritis. Adapun pemeriksaan
laboratorium tersebut meliputi :
1. Hitung darah lengkap dan laju endap darah
2. Kadar komplemen serum
3. Kompleks imun serum
4. Faktor rematoid serum
5. Antibody antinukleus serum
6. Antibody antineutrofil sitoplasmik
7. Immunoglobulin E
8. Kadar asam urat serum
9. Rata-rata sedimen eritrosit
10. Tes serologis
11. HBsAg
Pemeriksaan radiologi.
Berbagai macam pemeriksaan radiologis yang diperlukan dalam menentukan
penyebab dari skleritis adalah sebagai berikut :

12
1. Foto thorax
2. Rontgen sinus paranasal
3. Foto lumbosacral
4. Foto sendi tulang panjang
5. Ultrasonography ( Scan A dan B)
6. CT –Scan
7. MRI
Pemeriksaan lain yang diperlukan antara lain :
1. Tes usapan dan kultur
2. Skin test
3. PCR
4. Histopatologi
h. Diagnosa banding
Konjunctivitis alergika
Episkleritis
Karsinoma sel skuamosa pada konjunctiva
Karsinoma sel skuamosa pada palpebral
Uveitis anterior nongranulomatosa
i. Tatalaksana Awal
Terapi skleritis disesuaikan dengan penyebabnya. Terapi awal skleritis
adalah obat anti inflamasi non-steroid sistemik. Obat pilihan adalah
indometasin 100 mg perhari atau ibuprofen 300 mg perhari. Pada sebagian
besar kasus, nyeri cepat mereda diikuti oleh pengurangan peradangan. Apabila
tidak timbul respon dalam 1-2 minggu atau segera setelah tampak
penyumbatan vaskular harus segera dimulai terapi steroid sistemik dosis
tinggi. Steroid ini biasanya diberikan peroral yaitu prednison 80 mg perhari
yang ditirunkan dengan cepat dalam 2 minggu sampai dosis pemeliharaan
sekitar 10 mg perhari. Kadangkala, penyakit yang berat mengharuskan terapi
intravena berdenyut dengan metil prednisolon 1 g setiap minggu.
Obat-obat imunosupresif lain juga dapat digunakan. 2 Siklofosfamid
sangat bermanfaat apabila terdapat banyak kompleks imun dalam darah.
Tetapi steroid topikal saja tidak bermanfaat tetapi dapat dapat menjadi terapi
tambahan untuk terapi sistemik. Apabila dapat diidentifikasi adanya infeksi,

13
harus diberikan terapi spesifik. Peran terapi steroid sistemik kemudian akan
ditentukan oleh sifat proses penyakitnya, yakni apakah penyakitnya
merupakan suatu respon hipersensitif atau efek dari invasi langsung mikroba

14
4. Laserasi kelopak mata
a. Definisi
Laserasi kelopak mata adalah robekan sebagian atau seluruh ketebalan kelopak
mata.
b. Tanda dan gejala
1. Nyeri periorbital
2. Epifora
Faktor Risiko : Riwayat trauma di daerah mata
c. Anamnesis
Hasil Anamnesis (Subjective) - Keluhan : 1. Nyeri periorbital 2. Epifora - Faktor
Risiko : Riwayat trauma di daerah mata Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang
sederhana
d. Pemeriksaan fisik:
Laserasi superficial, dapat juga terjadi laserasi dalam
e. Diagnosa banding
-
f. Tatalaksana awal
a. Menggunakan pinset bergigi, tarik dengan hati-hati tepi luka, tentukan kedalaman
dari laserasi
b. Jika laserasi pada daerah nasal atas, atau bawah pungtum dan irigasi dari system
kanalikular untuk menyingkirkan keterlibatan kanalikular
c. Pada anak yang tidak kooperatif, pemberian sedative atau anestesi umum dalam
pemeriksaan mungkin diperlukan untuk pemeriksaan yang menyeluruh kelopak dan
bola mata
5. Dakriostenosis
a. Definisi
b. Etiologic
c. Patofisiologi
d. Tanda dan gejala
e. Faktor resiko
f. Anamnesis
g. Pemeriksaan fisik
h. Pemeriksaan penunjang
i. Diagnosa banding
15
6. Endoftalmitis
a. Definisi
b. Etiologic
c. Patofisiologi
d. Tanda dan gejala
e. Faktor resiko
f. Anamnesis
g. Pemeriksaan fisik
h. Pemeriksaan penunjang
i. Diagnosa banding
7. Diplopia binokuler
a. Definisi
Diplopia adalah persepsi bayangan ganda saat melihat satu benda. Dipopia
bisa terjadi monokuler maupun binokuler. Diplopia monokuler ada jika salah
satu mata dibuka sedangkan diplopia binokuler hilang jika salah satu mata
ditutup (Wessels, 2011).
b. Etiologic
c. Patofisiologi
d. Tanda dan gejala
e. Faktor resiko
f. Anamnesis
g. Pemeriksaan fisik
h. Pemeriksaan penunjang
i. Diagnosa banding
8. Optic diss cupping
a. Definisi
b. Etiologic
c. Patofisiologi
d. Tanda dan gejala
e. Faktor resiko
f. Anamnesis
g. Pemeriksaan fisik
h. Pemeriksaan penunjang

16
i. Diagnosa banding

17

Anda mungkin juga menyukai