Anda di halaman 1dari 7

Tugas Akhir Filsafat Sosial: Mini Research

Tugas pengganti Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Filsafat Sosial

Dosen Pengampu Dr. Supartiningsih

Rido Tri Putra (18/423589/FI/04447)

REPRESENTASI FETISISME KOMODITAS

PADA PRODUK NIKE

A. Pendahuluan
Frankfurt School atau juga sering disebut Mazhab Frankfurt merupakan
mazhab Marxis kristis yang berkembang di Franfurt, Jerman, pada tahun 1920-1930,
yang berpusat di Institute for Social Research yang secara resmi dididikaran pada
tahun 1923. Salah satu tokoh yang cukup popular dari Mazhab Frankfurt adalah
Theodor W. Adorno. Mazhab Frankfurt biasa disebut juga dengan neomarxisme atau
ada juga yang menyebutnya sebagai teori kritis. Berawal dari marxisme yang hendak
menghapuskan hak milik perseorangan. Hal itu merupakan bentuk protes Marx
terhadap kaum kapitalis yang sewenang-wenang mempekerjakan kaum proletar
namun keuntungan hasil kerjanya di ambil oleh kaum kapitalis. Marx berkeinginan
bahwa paham kapitalisme harus diganti dengan paham komunisme, yaitu paham yang
ada di bidang politik yang hendak menghapuskan hak milik perseorangan. Inilah
dasar dari teori marxisme.
Mazhab Frankfurt melahirkan pemikiran berupa teori kritis. Teori ini adalah
lanjutan dari marxisme atau biasa disebut sebagai bentuk kristis terhadap marxisme,
tetapi pada perkembangannya tidak meninggalkan inti dari ajaran marxisme itu
sendiri. Inti dari teori kritis ini adalah ide dan pengetahuan harus bebas dan tidak
menjadi pokok ajaran yang memaksa dan harus meinggalkan suatu perubahan yang
positif.

B. Biografi
Adorno lahir dengan nama Theodor Wiesengrund Adorno pada tahun 1903 di
Frankfurt. Ayahnya Wiesengrund adalah seorang pedagang anggur keturunan
Yahudi. Ibunya dikenal sebagai penyanyi terkenal sebelum ia menikah (Bertens,
2002: 205-207). Menurut Martin Jay, ia menghapus Wiesengrund dari namanya
karena dianggap agak berbau Yahudi. Pada saat berusia 15 tahun, antara tahun 1918
dan 1919 ia belajar dibawah asuhan Siegfried Kracauer di tingkat Gymnasium.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Gymnasium, ia masuk di universitas
Frankfurt tempat ia belajar filsafat, sosiologi dan musik. Ia menerima gelar doktor
filsafat pada tahun 1924. Pada tahun 1925, ia pergi ke wina untuk belajar komposisi
dibawah bimbingan Alban Berg dan mulai menerbitkan beberapa artikel tentang
music (Lechte, 2001: 270)
Pada waktu terjadi huru-hara di Jerman, dimana Partai Nazi yang dipimpin
Adolf Hitler berusaha menghabiskan semua bangsa Yahudi yang berada di Jerman
dengan cara membantai mereka. Maka Adorno yang notabene keturunan Yahudi dari
garis ayahnya, bersama beberapa tokoh mazhab Frankfurt yang lain, diantaranya Max
Horkheimer, Herbet Marcuse, dan Erich Fomm, memutuskan untuk pindah ke
Amerika Serikat.
Kemudian pada tahun 1937, Adorno berkunjung ke New York dan
memutuskan untuk menetap di sana dan berpisah dengan sahabat dekatnya
(Benjamin) yang tetap tinggal di Eropa. Sejak saat itu komunikasi Adorno dengan
Benjamin hanya sebatas melalui surat. Adorno mulai memfokuskan diri untuk aktif di
sebuah Institut Penelitian Sosial di Columbia University dan selebihnya perhatiannya
dicurahkan sebagai direktur musik pada sebuah proyek radio yang dipimpin oleh
seorang sosiolog Austria, Paulus Lazarsfeld, di Universitas Princeton (Lechte, 2001:
275)
Bersama Max Horkheimer, Adorno tampak menampilkan nada pesimistik
terhadap akal budi zaman pencerahan dan hal itu ditulisnya dalam Dialectic of
Enlightenment yang pertama kali terbit pada 1947(Lechte, 2001: 270) Adapun
karyanya yang paling masyhur dalam kalangan paling luas ialah The Authoritarian
Personality (1950), yang ditulis oleh Adorno bekerja sama dengan Else Frenkel-
Brunswik, Daniel J. Levinson, dan R. Nevitt Sanford. Studi tentang kepribadian
otoriter ini dilatarbelakangi pengalamannya dengan fasisme di Eropa. Sebagai studi
tentang psikologi sosial, buku ini mengaitkan dengan cara memuaskan gagasan-
gagasan Mazhab Frankfurt dengan metode empiris yang lazim di Amerika Serikat.
Mazhab Frankfurt ini lebih memberi perhatian besar kepada masalah otoritarianisme
(Bertens, 2002: 205-207).
Selain tinggal di New York, Adorno juga pernah tinggal di California dan
kembali ke Jerman pada tahun 1949 setelah berlalunya huru-hara di Jerman yang
cukup mencekam bagi bangsa Yahudi. Di Jerman ia mengambil posisi sebagai filosof
di bagian departemen filosofi. Pada tahun 1949 itu juga, Adorno mendirikan kembali
Institut Penelitian Sosial bersama sahabatnya, Horkheimer dan serentak juga menjadi
profesor di Universitas Frankfurt. Jika Horkheimer mencapai umur pensiun pada
1958, Adorno menggantikannya sebagai direktur Institut Penelitian Sosial di
Frankfurt sampai saat kematiannya yaitu pada tahun 1969 (Bertens, 2002: 208).

C. Teori Reifikasi Adorno


Adorno banyak berbicara tentang hal yang terkini, salah satunya berbicara
mengenai reifikasi. Teori reifikasi Adorno berakar dari fetisisme komoditas Marx dan
teori nilai khususnya pembedaan antara nilai tukar dan nilai guna. Masyarakat yang
terreifikasi berarti dominasi proses pertukaran telah meningkat sampai pada kontrol
terhadap institusi, tingkah laku manusia, dan susunan kelas sedemikian rupa sehingga
meniadakan bentuk-bentuk kesadaran kritis dan otonom.
Reifikasi ini merupakan akibat dari adanya budaya industri. Bagi Adorno
budaya industri adalah bentuk penipuan massa yang menstandarisasi reaksi yang
justru mengafirmasi stasus quo. Dengan budaya industri, teknologi digunakan untuk
memproduksi barang-barang yang menciptakan standard dengan alasan pertama-tama
demi alasan kebutuhan konsumen. Budaya industri ini menghasilkan sirkulasi
manipulasi dengan kesatuan sistem yang semakin menguat (Adorno& Horkheimer,
1972).
Budaya menjadi industri yang taat pada peraturan yang sama dengan produksi
komoditas. Produksi budaya menjadi komponen yang terintegrasi dengan ekonomi
kapitalis secara keseluruhan. Kebudayaan tidak lagi menjadi tindakan reflektif masa
kini demi keberlangsungan di masa depan (Bernstein, 2001). Dengan kata lain
budaya komoditas atau budaya industri yang menghasilkan budaya massa
menstrukturkan kejiwaan manusia menjadi bersifat kompromis. Manusia menjadi
pasif. Dengan diciptakan kesenangan yang mudah diraih melalui konsumsi budaya
popular, orang menjadi nyaman dan senang tidak peduli betapapun keadaan ekonomi
mereka sedang sulit. Dengan demikian prinsip quantifikasi dan pertukaran dalam
budaya komoditas memasuki ranah pikiran manusia.

D. Fetisisme Komoditas Terhadap Nike


Kasus kisruh yang terjadi saat sejumlah massa mengantre sepatu Nike Pada 22
Agustus 2017 saat Nike menggelar diskon besar-besaran di Grand Indonesia.
Antusias massa yang tidak terbendung mengakitbatkan rolling door show room
tersebut jebol. Pemandangan terjadi lebih mirip penjarahan daripada antrian diskon.
Tidak hanya itu, para peminat rela mengantri berjam-jam demi mendapatkan produk
yang mereka inginkan. Merek kenamaan asal Amerika Serikat tersebut menawarkan
diskon sampai dengan 70%, tidak mengherankan jika antrian membludak ditambah
lagi sindrom ‘gila merk’ pada kalangan menengah ke atas.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, kasus rusuhnya antrian masyarakat
pada diskon yang diadakan oleh Nike merupakan fenomena yang menggambarkan
bagaimana fetisisme telah merasuki para konsumen dalam sistem sosial masyarakat
di Indonesia, yang didominasi oleh kalangan menengah. Sebagaimana yang dikatakan
oleh Adorno (1967) mengenai fetisisme sebagai gaya hidup, dalam fenomena tersebut
dapat dilihat bahwa masyakart Indonesia cenderung terjebak pada gaya hidup fetish
dengan berusaha mati-matian mendapatkan produk dari Nike dengan potongan harga
yang cukup fantastis.
Sesuai dengan konsep fetisisme komoditas yang dikemukakan oleh Marx
dalam Das Kapital (1954), orang-orang yang turut terlibat dalam antrian Nike itu
dapat dipadang sebagai entitas yang terdominasi oleh sistem kapitalisme. Namun,
sebagai pihak yang berada dalam posis subordinat, perilaku mereka justru merupakan
suatu bentuk adaptasi dan reproduksi kapitalisme. Operasionalisasi sistem kapitalis
kelas menengah bekerja melalui pembentukan kepercayaan akan nilai-nilai sebuah
komoditas. Begitu juga dengan kelas menengah yang menganggap Nike adalah alat
pemuas kebutuhan. Mereka seolah-olah tak mau kehilangan kesempatan ketika ada
produk dari Nike.

Fenomena kisuruhnya antrian Nike juga menunjukkan jalan kedua reproduksi


kapitalisme yang dilakukan para produsen dengan membentuk siklus konsumsi
melalui produk yang plaing up-to-date. Dimulai dari kelas menengah yang berjumlah
mayoritas terus berebut menduduki hirarki sosial dalam sistem kelas dengan cara
mengkonsumsi komoditas ‘high-end’ atau barang-barang yang paling mutakhir, salah
satunya ialah Nike. Namun, oleh para produsen, hal ini dimanfaatkan dengan jalan
menciptakan dan memperbaharui produk ‘high-end’ tersebut secara kontiyu dan
gradual.
E. Penutup
Berdasarkan paparan konseptual dan hasil analisis yang telah dilakukan, dapat
disimpulkan bahwa dari segi konseptual, fetisisme komoditas merupakan konsep
yang dikemukakan oleh Adorno, bahwa konsep fetisisme komoditas muncul ketika
adanya suatu pergeseran pada aspek budaya. Dalam masyarakat kapitalis modern,
fetisisme komoditas merupakan cara untuk mempertahankan status quo kapitalisme
melalui perilaku konsumsi individu dalam kehidupan sehari-hari.
Fetisisme komoditas menekankan nilai pertukaran suatu barang dibanding
nilai fungsinya, sehingga dalam mengkonsumsi suatu produk, seorang individu lebih
memikirkan nilai yang ia peroleh dalam relasi sosial dari produk tersebut, dibanding
fungsi produk tersebut untuk memenuhi kebutuhannya.Hal inilah yang menciptakan
sifat konsumtif dalam diri individu. Akibatnya, terbentuklah suatu masyarakat
pekerja kelas menengah yang selalu berusaha mengkonsumsi komoditas kapitalis
dengan tujuan memperoleh nilai sosial barang tersebut.
Fenomena konsumerisme yang terbentuk melalui fetisisme komoditas ini
dapat dilihat dalam kasus ricuhnya antrian Nike yang didiskon hinggai 70% di Grand
Indonesia. Sebagian besar masyarakat yang terlibat dalam antrian tersebut adalah
masyarakat kelas menengah yang notabene memiliki literasi dan rasionalitas. Namun,
fetisisme terhadap komoditas Nike yang terbntuk dalam masyarakat kelas menengajh
membuat mereka tak lagi berbelanja secara rasional berdasarkan kebutuhan, tetapi
hanya demi kepuasan akan sebuah brand. Sifat fetish yang terbentuk dalam diri
individu tersebut membawanya pada suatubentuk pemujaan terhadap berbagai
komoditas atau wujud kebendaan.
F. Daftar Pustaka
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman, (Jakarta :
PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), hal. 194.
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman, hal. 205
dan 207.
John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer dari Strukturalisme sampai
Postmodernitas, (Yogyakarta : Kanisius, 2001), hal. 270.
Adorno, Theodor & Max Horkheimer. 2002. “The Culture
Industry: Enlightenment as Mass Deception”. Dalam Dialectic
of Enlightenment: Philosophical Fragments. Stanford University
Press.

Adorno, T.W. & Horkheimer, M. 2002. Dialectic of Enlightenment. California:


Stanford University Press.
Agger, B. 2003. Critical Social Theories: An Introduction (Penerjemah Nurhadi).
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Lloyd, Gareth. (2008). Thesis. Commodity Fetishism and Domination: The
Contributions of Marx, Lukacs, Horkheimer, Adorno and Bourdieu.
Rhodes University : School of Humanity.
https://www.hipwee.com/feature/antri-diskonan-sepatu-nike-ricuh-ini-bukti-
sindrom-gila-merek-sudah-jangkiti-indonesia/
https://www.idntimes.com/hype/viral/bebe-cervesa/bazaar-nike-di-grand-
indonesia-ricuh-c1c2/full

Anda mungkin juga menyukai