Anda di halaman 1dari 2

D.

Layanan Individual
Tidak dipungkiri bahwa, pelaksanaan pembelajaran akan lebihh efektif dan efisien jika
dilaksanakan secara klasikal. Rasio guru-siswa menjadi perdebatan yang sampai saat ini belum
meiliki titik temu. Di Indonesia, biasanya hanya terdapat satu orang guru untuk menangani
seluruh siswa dalam satu kelas. Di sisi lain, beberapa ahli pendidikan mengatakan bahwa
pendidikan yang baik setidaknya di dalam satu kelas terdapat dua orang guru yang menangani
siswa. Apalagi jika salah satu ada di kelas ada anak yang memerlukan kebutuhan khusus karena
memiliki hambatan belajar.
Kajian tentang efektifitas dan efesiensi sering kali mengabaikan mutu pendidikan, kekuatan
guru untuk menangani siswa, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kualitas pendidikan.
Seringkali kajian tentang efektifitas dan efesiensi hanya mempertimbangkan faktor ekononomi,
efesiensi tenaga, dan efesiensi waktu. Maka dari itu Indonesia dalam satu kelas sudah terbiasa
satu orang guru ada yang menangani 45 siwa, bahkan di beberapa sekolah bisa lebih dari itu.
Di beberapa negara yang telah memulai pendidikan inklusif dengan baik (Australia dan
Norwegia), satu kelas setidaknya dua orang guru untuk menangani sekita 20-25 siswa. Hal itu
merupakan standar umum. Jika didalam kelas ada siswa yang cukup berat, bisa lebih dari dua
orang guru yang menanganinya.
Teori tentang layanan individual dalam setting pendidikan inklusif, dimaksudkan jika ada
siswa yang tidak bisa mengikuti pembelajaran secara klasikal. Siswa yang tidak bisa mengikuti
pembelajaran secara klasikal terbut maka dilayani kebutuhan pendidikannya dengan layanan
individual (layanan pendidikan yang berbeda dengan anak pada umumnya). Anak-anak yang
paling banyak mendapatkan layanan individual yaitu anak-anak yang termasuk kategori ABK.
Sebenarnya layanan individual tidak hanya diberlakukan pada anak berkebutuhan khusus
(ABK permanen) saja, namun bisa jadi bagi anak yang sebenarnya tidak berkebutuhan khusus
permanen (ABK temporer). ABK temporer adalah anak yang mengalami hambatan belajar tetapi
sifatnya sementara dan jika ditangani dengan benar maka anak akan bisa mengikuti pembelajaran
layaknya anak-anak pada umumnya (anak reguler). Jika anak sudah kembali seperti layaknya
anak-anak pada umumnya maka anak tersebut tidak disebut ABK lagi.
Bagaimana implementasi layanan individual di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu diawali pemahaman bahwa sekolah yang
menyelenggarakan paradigma pendidikan inklusif tidak dipermanenkan untuk menghomogen
siswa dan juga sebisa mungkin anak-anak dalam keadaan apapun tetap dilayani kebutuhan
pendidikannya dalam satu kelas. Menurut Sapon Shevin (2004), anak-anak akan belajar dengan
nyaman jika belajar dengan teman sebaya. Berdasarkan hal tersebut maka sebisa mungkin
layanan individual tetap dilakukan didalam kelas dimana teman-teman lainnya belajar secara
klasikal. Jika memang ada yang mengalami hambatan belajar dan hambatan belajarnya tersebut
menggangu anak-anak lainnya (misalnya ada anak Autis sedang tantrum), maka diperkenankan
untuk sementara layanan individual dilakukan diluar kelasnya yaitu dengan cara ditarik dari
kelasnya dan jika telah selesai maka anak tersebut dikembalikan ke kelasnya.
Contoh prasarana layanan individual untuk ABK pemanen maupun ABK temporer :
a. Anak Tunanetra
Untuk peserta didik tunanetra diperlukan ruang untuk melaksanakan kegiatan asesmen, 
konsultasi, orientasi dan mobilitas, remedial teaching, latihan menulis braille, latihan mendengar,
latihan fisik, keterampilan, dan penyimpanan alat.
b. Anak Tunarungu
Untuk peserta didik tunarungu / gangguan komunikasi diperlukan ruang untuk melaksanakan
kegiatan asesmen,  konsultasi, latihan bina wicara, bina persepsi bunyi dan irama, remedial
teaching,  latihan fisik, keterampilan, dan penyimpanan alat.
c. Anak Tunagrahita
Untuk peserta didik tunagrahita / anak lamban belajar diperlukan ruang untuk melaksanakan
kegiatan assesmen,  konsultasi, latihan sensori, bina diri, remedial teaching,  latihan perseptual,
keterampilan, dan penyimpanan alat.
d. Anak Tunadaksa
Untuk peserta didik tunadaksa diperlukan ruang untuk melaksanakan kegiatan
assesmen,  konsultasi, latihan fisik, bina diri, remedial teaching,  keterampilan, dan penyimpanan
alat.
e. Anak Tunalaras
Untuk peserta didik tunalaras diperlukan ruang untuk melaksanakan kegiatan
assesmen,  konsultasi, latihan perilaku, terapi permainan, terapi fisik, remedial teaching, dan
penyimpanan alat.
f. Anak Cerdas Istimewa
Di samping memberdayakan atau mengoptimalkan penggunaan prasarana yang ada apabila
di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif peserta didiknya ada yang berkecerdasan istimewa,
prasarana khusus yang perlu disediakan adalah ruang assesmen.
g. Anak Berbakat Istimewa
Untuk anak berbakat istimewa di samping memberdayakan atau mengoptimalkan
penggunaan prasarana yang ada apabila di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif peserta
didiknya ada yang berbakat, prasarana khusus yang perlu disediakan adalah ruang assesmen.
h. Anak yang Mengalami Kesulitan Belajar
Untuk peserta didik yang Mengalami Kesulitan Belajar diperlukan ruang untuk
melaksanakan kegiatan assesmen,  dan remedial. Sebagai catatan, pada dasarnya di sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif cukup disiapkan satu unit ruang sebagai ”Resource Room”
atau ruang sumber.

Muhammad, Jamila. 2008. Special Education For Special Children. Bandung: PT. Mizan
Publika

Anda mungkin juga menyukai