Anda di halaman 1dari 10

Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS)

Manusia dapat merasakan nyeri ketika mengalami sakit kronis, infeksi, pembedahan
maupun intervensi medis lainnya. Nyeri didefinisikan sebagai bentuk pengalaman sensorik dan
emosional yang tidak menyenangkan berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan. Rasa sakit
sering mengganggu aktivitas pasien sehari-hari. Hal ini mengundang penderita untuk segera
mengatasinya baik dengan upaya farmakologi maupun non farmokologi. Upaya non farmakologi
yang dapat dilakukan adalah fisioterapi dan pembedahan sedangkan upaya farmokologi berawal
dengan pemberian obat anti nyeri. Obat yang digunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri
disebut analgetik. Terdapat dua kelompok obat yang sering digunakan yaitu obat analgetik
opioid dan obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS).
OAINS merupakan obat yang dapat mengurangi inflamasi dan meredakan nyeri melalui
penekanan pembentukan prostaglandin (PG) dengan menghambat enzim siklooksigenase (COX).
Enzim COX adalah suatu enzim yang mengkatalisis sintesis PG dari asam arakidonat. Tahapan
biosintesis dari PG yaitu tahap pertama dimulai oleh pelepasan asam arakidonat (AA) oleh
membran fosfolipid yang dikatalisasi oleh fosfolipase A 2 . Tahap kedua AA akan dikonversi
menjadi prostaglandin G2 (PGG2) oleh enzim COX. PGG2 yang dihasilkan oleh COX dengan
cepat akan diubah menjadi prostaglandin H2 (PGH2) oleh enzim yang sama dalam reaksi
peroksidase. PGH2 nantinya akan mensintesis tromboksan A2 (TXA2) dan prostasiklin (PGI2),
sehingga hasil akhir dari metabolisme AA adalah prostaglandin, tromboksan dan prostasiklin.
Terdapat dua isoform utama dari enzim COX, yaitu COX-1 dan COX 2. Meskipun kedua
enzim tersebut menjalankan reaksi katalisis yang sama, akan tetapi terdapat perbedaan dalam
ekspresi, fungsi dan bentuk dari kedua enzim. COX-1 berada pada semua jaringan tubuh tetapi
konsentrasi yang tinggi berada dalam ginjal, saluran gastrointestinal dan platelet. COX-1
mengatur jalannya fungsi-fungsi fisiologis seperti perlindungan terhadap mukosa
gastroinstestinal, meregulasi fungsi trombosit dan pengaturan fungsi ginjal. Sebaliknya, isoform
COX-2 hanya diekspresikan bila ada rangsangan inflamasi saja. COX-2 hampir tidak terdeteksi
dalam manusia yang sehat, ekspresinya dengan cepat diinduksi oleh sel inflamasi dalam
menanggapi rangsangan pro-inflamasi seperti sitokin, growth factor, tumor promoting agents,
dan bakteri endotoksin. PG yang diproduksi oleh COX-2 memiliki peran utama dalam reaksi
inflamasi dan bertanggungjawab untuk gejala karakteristik inflamasi (kemerahan, nyeri, edema,
demam dan kehilangan fungsi) selain itu COX-2 juga terlibat dalam proses patologis pada
beberapa proliferasi sel kanker seperti pada kanker payudara dan kamker kolorektal.
Penelitian terbaru menyebutkan saat ini telah dikenal tiga isoenzim COX yaitu COX-1,
COX-2 dan COX-3. COX-3 merupakan isoenzim yang baru-baru ini ditemukan dan merupakan
varian turunan dari COX-1 yang telah dikenal sebelumnya. COX-3 dapat menjelaskan
mekanisme kerja dari beberapa analgetik antipiretik OAINS yang memiliki efektivitas kerja
lemah dalam menginhibisi COX-1 dan COX-2 tetapi dapat dengan mudah melakukan penetrasi
ke otak. Asetaminofen merupakan obat yang dikenal memiliki efek inhibisi terhadap COX-3.
Pengetahuan mengenai mekanisme kerja COX-3 sangat diperlukan dalam menerangkan
mekanisme kerja dari asetaminofen yang sampai saat ini masih sangat sulit untuk dipahami.

Berdasarkan Selektivitasnya, OAINS terbagi menjadi:


1. OAINS Non-Selektif (Menghambat kerja COX-1 dan COX-2)
a) Ibuprofen
Ibuprofen merupakan turunan asam propionat yang memiliki efek antiinflamasi,
analgesik dan antipiretik. Ibuprofen termasuk kedalam obat golongan OAINS yang
bekerja menghambat COX-1 dan COX-2.
Indikasi;
 Sakit gigi dan setelah cabut gigi
 Sakit kepala termasuk migraine
 Sakit pada telinga
 Nyeri otot dan sendi termasuk nyeri akibat penyakit asam urat dan rematik
 Nyeri akibat batu ginjal
 Nyeri pasca operasi
 Nyeri haid
 Di beberapa negara, diberikan juga dalam bentuk garam lisin (lysinate ibuprofen)
yang digunakan untuk penutupan patent ductus arteriosus pada bayi yang lahir
prematur dengan berat badan 500 – 1500 gram, yang lahir saat usia kehamilan tidak
lebih dari 32 minggu. Sediaan ini diberikan secara intravena saat tindakan medis
yang biasa tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Kontraindikasi;
 Pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap  ibuprofen, aspirin atau NSAID
lainnya.
 Pasien yang akan atau telah menjalani operasi by-pass jantung
 Pasien yang menderita asma, urtikaria, atau tukak pada lambung (ulkus peptikum)
atau usus (ulkus duodenum)
 NSAID termasuk ibuprofen sebaiknya tidak diberikan untuk penderita demam
berdarah, karena menginduksi kebocoran kapiler dan gagal jantung.
Sediaan; Tablet (200 mg, 400 mg), kapsul, sirup (100 mg / 5 ml, 200 mg / 5 ml),
suntik (intravena), suppositoria (125 mg)
Dosis; Untuk analgesia dan antipiretis, kisaran dosis lazimnya ibuprofen adalah 200 –
400 mg secara oral setiap 4 – 6 jam, dosis maksimal 40 mg/kgBB
Efek Samping; ketidaknyamanan gastrointestinal, mual, diare, terkadang
pendarahan, dan terjadi ulserasi.
b) Asam Mefenamat
Asam mefenamat (mefenamic acid)  adalah derivat asam antranilat yang termasuk ke dalam
golongan NSAID. NSAID ini digunakan untuk pengobatan nyeri ringan sampai sedang,
antiinflamasi, dan antipiretik. Asam mefenamat sifatnya tidak selektif, sehingga
kinerjanya menghambat COX-1 dan COX-2. 
Indikasi;
 Mengobati nyeri ringan sampai sedang pada sakit kepala, sakit telinga, nyeri otot, nyeri
sendi, nyeri setelah operasi, nyeri haid, dan kadang-kadang digunakan untuk mencegah
migrain berkaitan dengan menstruasi (pengobatan dalam jangka pendek, tidak lebih dari 7
hari)
 Sakit gigi dan setelah cabut gigi diketahui efektif untuk membantu meredakan nyeri. 
Kontraindikasi;
 Pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap obat asam mefenamat, aspirin atau NSAID
lainnyas
 Pasien yang akan atau telah menjalani operasi by-pass jantung
 Pasien yang menderita asma, urtikaria, atau tukak pada lambung atau usus
 Pasien yang sedang hamil terutama di 3 bulan terakhir, sebaiknya tidak menggunakan obat
ini.
 NSAID termasuk asam mefenamat (mefenamic acid) tidak boleh diberikan untuk
penderita demam berdarah, karena menginduksi kebocoran kapiler dan gagal jantung.
Sediaan; Tablet (250 mg, 500 mg), kapsul, sirup (50 mg / 5 ml), suntik
Dosis; Dosis awal 500 mg, kemudian dilanjutkan 250 mg tiap 6 jam (maksimum 7
hari). Dosis maksimal 1000 mg/hari (1250 mg pada hari pertama)
Efek Samping; Mual, diare, kembung, pusing dan lain-lain.
c) Indometasin
Indometasin adalah senyawa turunan indol. Indometasin adalah penghambat COX non-
selektif. Indometasin digunakan untuk mempercepat penutupan patent ductus arteriosus.
Indometasin juga bermanfaat dalam penanganan inflamasi konjungtiva dan gusi.
Indikasi;
 Arthritis reumatoid sedang hingga parah, baik akut maupun kronis
 Gout akut
 Spondilitis ankilosa sedang hingga parah
 Steoarthritis sedang hingga parah
 Bursitis dan tendonitis akut.
Kontraindikasi;
 Orang dengan riwayat hipersensitivitas/alergi terhadap indometasin, aspirin atau
OAINS lainnya
 Penderita gangguan fungsi ginjal serta pendarah aktif seperti pendarahan
intraventrikular dan pendarahan saluran cerna
 Penderita trombositopenia
 Pasien yang sedang dirawat akibat proktitis atau pendarahan rectal
 Penderita atau memiliki riwayat asma, urtikaria atau reaksi alergi tertentu
 Baru saja menjalani operasi baypass jantung
 Penggunaan bersamaan dengan diflunisal
Sediaan; Kapsul (25 mg, 100 mg), tablet
Dosis; Radang otot dan sendi 25 – 200 mg per hari, asam urat 150-200 mg per hari
Efek Samping; Sakit kepala, pusing, vertigo, lelah, mual diare, dan lain-lain
2. OAINS Selektif COX-1
a) Asetosal (Aspirin)
Asetosal atau asam asetil salisilat merupakan jenis obat turunan salisilat. Asetosal yang
sering dikenal sebagai aspirin digunakan oleh masyarakat luas sebagai analgesik atau
penahan rasa sakit atau nyeri minor, antipiterik (penurun demam) dan anti-inflamasi
(peradangan). Aspirin berbeda dengan derivat asam salisilat lainnya karena mempunyai
gugus asetil. Gugus asetil inilah yang nantinya mampu menginaktivasi enzim COX
secara ireversibel. Aspirin bekerja dengan cara menghambat enzim COX dan obat
tersebut lebih menghambat COX-1 dibanding COX-2, sehingga obat ini dapat
menyebabkan kerusakan epitel pada mukosa lambung, perdarahan dan ulkus.

Indikasi;
 Mengobati nyeri ringan sampai sedang, misalnya pada sakit gigi dan setelah cabut
gigi, sakit kepala, sakit telinga, nyeri otot, nyeri sendi, sebagai penurun demam, dan
mengatasi peradangan.
 Membantu mencegah serangan jantung dan stroke pada penggunana dosis rendah
dan jangka panjang.
 Menghambat pembekuan darah (antiplatelet) pada orang yang berisiko tinggi
terjadinya pembekuan darah.
 Aspirin bisa diberikan segera setelah serangan jantung untuk mencegah pembekuan
dan mengurangi risiko serangan jantung atau kematian jaringan jantung.
 Gangguan muskuloskeletal, seperti osteoarthritis dan rheumatoid arthritis
 Sebagai antiplatelet untuk pencegahan infark miokard dan stroke iskemik
 Angina pektoris
Kontraindikasi;
 Memiliki riwayat alergi terhadap  aspirin, ibuprofen atau naproxen, atau NSAID
secara umum.
 Jangan digunakan untuk pasien yang memiliki intoleransi salisilat.
 Sebaiknya jangan memberikan obat ini untuk anak-anak usia di bawah 16 tahun,
karena potensi terjadinya sindrom reye (penyakit yang terkait dengan penggunaan
aspirin atau salisilat lainnya pada anak-anak selama episode infeksi virus atau
bakteri).
 Jangan digunakan untuk orang yang memiliki tukak peptik yang
aktif, hemofilia atau gangguan perdarahan lain.
 Penggunaan obat ini sebagai penurun panas pada kasus demam berdarah tidak boleh
dilakukan karena bisa meningkatkan perdarahan.
 Orang yang memiliki penyakit ginjal, hiperurisemia, atau gout sebaiknya tidak
menggunakan obat ini karena menghambat
kemampuan ginjal mengekskresikan asam urat, sehingga dapat memperburuk
kondisi pasien.
 Jangan menggunakan obat ini pada pasien asma, rhinitis, dan polip hidung. Aspirin
dapat menyebabkan urtikaria parah, angioedema, atau bronkospasme pada pasien
ini.
 Penggunaan pada pasien dengan gangguan hati berat tidak dianjurkan karena
potensi peningkatan risiko pendarahan yang signifikan secara klinis dan efek
samping lainnya.
 Penggunaan pada pasien dengan gangguan ginjal berat (CrCl kurang dari 10 mL /
menit) tidak dianjurkan karena potensi peningkatan risiko toksisitas salisilat.
 Tidak boleh digunakan oleh wanita hamil pada trimester 3 dan menyusui.
Sediaan; Tablet (80 mg, 100 mg, 160 mg, 500 mg) tablet kunyah (80 mg), kaplet
(300 mg, 650 mg) tablet salut enterik (80 mg, 100 mg, 160 mg)
Dosis; Nyeri, demam dan inflamasi: 325-650 mg setiap 4-6 jam jika perlu.
Antiplatelet dan antitrombotik: 80-160 mg/hari, pada infark miokardiak dapat
ditingkatkan hingga 300 mg/hari sedangkan pada stroke dapat ditingkatkan hinggan
1000 mg/hari.
Efek Samping; mual, muntah, iritasi dan perdarahan pada lambung dan usus,
kenaikan asam lambung, gangguan darah seperti trompositopenia dan lain-lain

b) Ketorolak
Ketorolak merupakan obat OAINS yang termasuk kedalam golongan derivat
heterocylicacetic acid. Ketorolak menunjukkan efek analgesia yang poten tetapi hanya
meiliki aktivitas anti inflamasi yang sedang bila diberikan secara intramuskular atau
intravena
Indikasi;
 Penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang sampai berat setelah
prosedur bedah (<5 hari)
 Mengatasi gatal mata akibat konjungtivitis alergi. 
Kontraindikasi;
 Digunakan sebagai obat prabedah obstetri
 Penderita gangguan ginjal
 Ibu hamil dan menyusui
 Ada riwayat asma
 Hipersitivitas terhadap ketorolak
Sediaan; Tablet (10 mg, 30 mg), suntik, tetes
Dosis; Nyeri pascaoperasi 20 mg, lalu 10 mg pada 4-6 jam sebagai terapi lanjutan
dari dosis parenteral. Dosis maksimalnya adalah 40 mg per hari.
Efek Samping; Pingsan, detak jantung cepat, gangguan pendengaran, sakit kepala, dan
lain-lain
3. OAINS Selektif COX-2
a) Celecoxib
Celecoxib merupakan obat antiinflamasi non-steroid (AINS) yang bekerja menghambat
sintesis prostaglandin, terutama melalui penghambatan enzim siklooksigenase-2 (COX-
2). Berdasarkan studi farmakologi, dilaporkan bahwa pada konsentrasi terapeutik di
manusia, celecoxib tidak menghambat isoenzim siklooksigenase-1 (COX-1). Hasil studi
klinik pada pemberian berulang celecoxib 600 mg dua kali sehari (bid) selama 7 hari
menunjukkan bahwa tidak memiliki efek pada agregasi platelet dan waktu perdarahan,
namun masih diteliti apakah efek ini berkontribusi terhadap peningkatan risiko adverse
events (AEs) trombosis kardiovaskular. Penghambatan sintesis PGE2 oleh celecoxib
dapat menyebabkan retensi natrium dan air melalui peningkatan reabsorpsi di ginjal.
Indikasi;
 Untuk mengobati rasa sakit dan peradangan akibat osteoarthritis, rheumatoid
arthritis, ankylosing spondylitis, nyeri akut pada orang dewasa, nyeri haid, dan
arthritis juvenile rheumatoid pada anak usia ≥ 2 tahun.
 Sebagai pereda nyeri pasca operasi
 Pengobatan polip turun-temurun di usus besar dan dubur, tetapi tidak diketahui
apakah itu menurunkan tingkat kanker, sehingga bukan obat pilihan yang baik
untuk tujuan ini.
Kontraindikasi;
 Jangan digunakan untuk pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap celecoxib.
 Pasien yang telah menunjukkan reaksi alergi pada sulfonamid, sebaiknya tidak
menggunakan obat ini.
 Pasien yang akan atau telah menjalani operasi by-pass jantung
 Tidak boleh diberikan kepada pasien yang menderita asma, urtikaria, atau reaksi
alergi lain terhadap aspirin atau OAINS lainnya.
 Tidak boleh dikombinasikan dengan OAINS lain atau obat-obat kortikosteroid,
karena bisa meningkatkan resiko perdarahan saluran pencernaan.
 Seperti OAINS lainnya, mulai dari 30 minggu kehamilan, celecoxib harus dihindari
karena dapat menyebabkan penutupan dini duktus arteriosus.
Sediaan; Kapsul (50 mg, 100 mg, 200 mg, 400 mg)
Dosis; Osteoarthritis 200 mg per hari, bisa dosis tunggal atau 2 x 100 mg; Rheumatoid
arthritis 2 x 100 mg atau 2 x 200 mg; Ankylosing spondylitis 2 x 100 mg atau 1 x 200
mg, dapat dinaikkan hingga 400 mg per hari; Nyeri akut dosis awal yang disarankan
adalah 400 mg, dapat ditambahkan 200 mg pada hari pertama bila perlu.
Efek Samping; Sakit perut, dyspepsia, mual, muntah, ruam, batuk dan lain-lain
b) Rofecoxib
Rofecoxib adalah inhibitor penghambat COX-2 yang terlibat dalam sintesis
prostaglandin. Rofecoxib tidak memiliki tindakan penghambatan yang signifikan pada
COX-1. Obat ini biasanya digunakan untuk menangani nyeri akut yang terkait dengan
operasi.

Indikasi;
 Osteoarthritis
 Nyeri haid yang berhubungan dengan dismenor primer
 Rheumatoid arthritis
Kontraindikasi;
 Hipersensitif rofecoxib
 Gangguan fungsi ginjal
 Gangguan pada kardiovaskuler
Sediaan; Tablet (12.5 mg, 25 mg), suspensi oral (12,5 mg / 5 ml)
Dosis; 50 mg lalu setelah itu diberikan 25 mg per hari
Efek Samping; Nyeri dada, kram otot, diare, sakit kepala, mual, infeksi saluran
pernapasan atas, hipertensi, iskemia dan lain-lain
4. OAINS Selektif COX-3
a) Asetaminofen (Parasetamol)
Asetaminofen adalah suatu golongan obat analgetik dengan kemampuan penghambat
COX yang paling sering digunakan dalam bidang kedokteran. Obat ini dianggap
memiliki efek analgetik ringan serta efek antipiretik dan bekerja dengan cara
menghambat prostaglandin terutama di Sistem Saraf Pusat (SSP). Kelebihan parasetamol
dalam mengurangi nyeri adalah pada efek samping saluran cerna yang lebih rendah dari
obat analgetik lainnya. Parasetamol juga digunakan sebagai obat alternatif pengganti
aspirin sebagai antipiretik dan analgesik pada pasien pediatri dan pasien yang tidak dapat
mengonsumsi aspirin (pasien dengan ulkus peptikum). Selama lebih dari tiga dekade,
parasetamol diperkirakan memiliki efek inhibisi terhadap nyeri melalui proses inhibisi
periperal prostanoid. Selain itu, parasetamol diperkirakan menghambat reseptor COX-3
spesifik, tetapi hal ini masih menjadi perdebatan.
Indikasi;
 Kondisi seperti sakit kepala, sakit gigi, nyeri pasca operasi, nyeri akibat pilek, nyeri otot
pasca-trauma dapat diredakan dengan Parasetamol.
 Selain itu,  sakit kepala, migrain, dismenore dan nyeri sendi juga dapat diringankan dengan
obat parasetamol ini.
 Pada pasien kanker juga bisa diberikan parasetamol untuk mengatasi nyeri ringan atau
dapat diberikan dalam kombinasi dengan opioid (misalnya kodein).
 Parasetamol dapat digunakan pada anak-anak. Ini merupakan alternatif yang lebih
disukai ketika aspirin (asam asetilsalisilat) merupakan kontraindikasi (misalnya
karena riwayat ulkus atau infeksi virus pada anak).
Kontraindikasi
 Memiliki riwayat alergi parasetamol
 Gangguan fungsi hati dan penyakit hati
 Gangguan fungsi ginjal
 Overdosis asetaminofen
Sediaan; Tablet (100 mg, 120 mg, 250 mg, 500 mg, 650 mg) kaplet, kapsul, tablet
larut, suspensi oral (125 mg / 5 ml, 160 mg / 5 ml, 250 mg / 5 ml) supositoria (125
mg, 250 mg)
Dosis; Tablet 500 mg: dewasa atau anak > 12 tahun : 3 - 4 x sehari 1 tablet.
Anak 5 – 12 tahun : 3 – 4 x sehari ½ tablet.
Efek Samping; mual, muntah, risiko kerusakan ginjal dan lain-lain

Anda mungkin juga menyukai