Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

PENURUNAN FUNGSI SISTEM


MUSKULOSKELETAL PADA LANSIA

DISUSUN OLEH : JENIUS BERUTU

MAHASISWA PROFESI NERS STIKES YATSI


STASE KEPERAWATAN KOMUNITAS GERONTIK
TAHUN AJARAN 2017-2018
LAPORAN PENDAHULUAN
PENURUNAN FUNGSI SISTEM MUSKULO SKELETAL
PADA LANSIA

A. Definisi Gangguan Muskuloskeletal Pada Lansia


Sistem Muskuloskeletal merupakan penunjang bentuk tubuh dan
bertanggung jawab terhadap pergerakan. Komponen utama sistem
muskuloskeletal adalah jaringan ikat. Sistem ini terdiri dari tulang, sendi,
otot, rangka, tendon, ligamen, bursa, dan jaringan-jaringan khusus yang
menghubungkan struktur-struktur ini.
Gangguan muskuloskeletal pada usia lanjut merupakan salah satu
dan demikian banyak kasus geriatri yang lazim dijumpai di praktik sehari-
hari. Pada kenyataannya, sedikit sekali jenis kelainan muskuloskeletal
yang bersifat endemis pada usia lanjut. Tidak dapat disangkal bahwa kaum
usia lanjut lebih sering menderita osteoarthritis, penggantian sendi melalui
tindakan bedah, maupun kelainan kronis pada rotator cuff. Untuk dapat
memahami kelainan muskuloskeletal pada kelompok usia lanjut,
perubahan-perubahan seiring dengan pertambahan usia yang timbul pada
otot, tulang, persendian, jaringan ikat, dan persarafan harus diketahui.
Perubahan akan terjadi pada tubuh manusia sejalan dengan makin
meningkatnya usia. Perubahan ini terjadi sejak awal kehidupan hingga usia
lanjut pada semua organ dan jaringan tubuh. Keadaan demikian itu tampak
pula pada semua sistem muskuloskeletal dan jaringan lain yang ada
kaitannya dengan kemungkinan timbulnya gangguan muskuloskeletal.
Adanya gangguan pada sistem muskuloskeletal dapat mengakibatkan
perubahan otot, hingga fungsinya dapat menurun bila otot pada bagian
yang menderita tidak dilatih guna mengaktifkan fungsi otot. Di Daerah
Urban, dilaporkan bahwa keluhan nyeri otot sendi-tulang (gangguan
sistem musculoskeletal) merupakan keluhan terbanyak pada usia lanjut.
Meningkatnya usia harapan hidup (UHH) memberikan dampak
yang kompleks terhadap kesejahteraan lansia. Di satu sisi peningkatan
UHH mengindikasikan peningkatan taraf kesehatan warga negara. Namun
di sisi lain menimbulkan masalah masalah karena dengan meningkatnya
jumlah penduduk usia lanjut akan berakibat semakin besarnya beban yang
ditanggung oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah, terutama dalam
menyediakan pelayanan dan fasislitas lainnya bagi kesejahteraan lansia.
Mobilitas dan aktivitas adahal hal yang vital bagi kesehatan total
lansia sehingga perawat harus banyak memiliki pengetahuan dalam
pengkajian dan intervensi musculoskeletal. Perawat memainkan dua
peranan penting. Peratama. Mempraktikkan promosi kesehatan jauh
sebelum berusia 65 tahun dapat menunda dan memperkecil efek
degeneratif dari penuaaan. Penyakit musculoskeletal bukan merupakan
suatu konsekuensi penuaan yang dapat dihindari dan kaerenanya harus
dianggap sebagai suatu proses penyakit spesifik, tidak hanya sebagai
akibat dari penuaan. Dalam pengajaran promosi kesehatan, perawat dapat
membantu orang lain mengatasi dan menundu efek perubahan postur
tubuh, penurunan mobilitas, potensial cedera, dan ketidaknyamanan yang
secara normal menyertai penuaan. Perawat yang paling terpercaya adalah
mereka yang meningkatkan kesehatan mereka sendiri dan melakukan
latihan yang teratur, postur tubuh, dan diet yang benar setiap hari dalam
kehidupan mereka sendiri. Kedua, ketika merawat lansia dengan masalah
musculoskeletal, perawat harus mempunyai suatu pemahaman tentang
masalah musculoskeletal yang umum terjadi yang memengarhi lansia dan
suatu kemampuan untuk membedakan antara “keluhan reumatik” dan
keluhan – keluhan lain yang memerlukan evaluasi lebih seksama dan perlu
dirujuk. Pengetahuan tentang osteoporosis, osteoarthritis, penyakit
inflamasi pada sendi, dan fraktur sangat diperlukan untuk membantu
mencegah komplikasi dan memperkecil dampaknya. Asuhan keperawatan
harus didasarkan pada kepercayaan bahwa pemeliharaan mobilitas
merupakan hal yang kritid untuk kesehatan, kesejahteraan, dan kualitas
hidup. Perawat juga memainkan suatu peran penting dalam mengenali dan
mengajarkan kepada orang lain tentang kerentanan lansia karena
perpaduan antara faktor-faktor yang berhubungan dengan perubahan usia
dan kemungkinan adanya factor iatrogenik yang terjadi pada lansia yang
dirawat di Rumah Sakit karena gangguan mobilitas mereka.
B. Perubahan Anatomik pada Sistem Muskuloskeletal
Massa tulang kontinu sampai mencapai puncak pada usia 30-35
tahun setelah itu akan menurun karena disebabkan berkurangnya aktivitas
osteoblas sedangkan aktivitas osteoklas tetap normal. Secara teratur tulang
mengalami turn over yang dilaksanakan melalui 2 proses yaitu; modeling
dan remodeling, pada keadaan normal jumlah tulang yang dibentuk
remodeling sebanding dengan tulang yang dirusak. Ini disebut positively
coupled jadi masa tulang yang hilang nol. Bila tulang yang dirusak lebih
banyak terjadi kehilangan masa tulang ini disebut negatively coupled yang
terjadi pada usia lanjut.
Dengan bertambahnya usia terdapat penurunan masa tulang secara
linier yang disebabkan kenaikan turn over pada tulang sehingga tulang
lebih pourus. Pengurangan ini lebih nyata pada wanita, tulang yang hilang
kurang lebih 0,5 sampai 1% per tahun dari berat tulang pada wanita pasca
menopouse dan pada pria diatas 80 tahun, pengurangan tulang lebih
mengenai bagian trabekula dibanding dengan kortek. Pada pemeriksaan
histologi wanita pasca menopouse dengan osteoporosis spinal hanya
mempunyai trabekula kurang dari 14%. Selama kehidupan laki-laki
kehilangan 20-30% dan wanita 30-40% dari puncak massa tulang.
Pada sinofial sendi terjadi perubahan berupa tidak ratanya
permukaan sendi terjadi celah dan lekukan dipermukaan tulang rawan.
Erosi tulang rawan hialin menyebabkan pembentukan kista di rongga sub
kondral. Ligamen dan jaringan peri artikuler menga¬lami degenerasi
Semuanya ini menyebabkan penurunan fungsi sendi, elastisitas dan
mobilitas hilang sehingga sendi kaku, kesu¬litan dalam gerak yang rumit
Perubahan yang jelas pada sistem otot adalah berkurangnya masa
otot terutama mengenai serabut otot tipe II. Penurunan ini disebabkan
karena otropi dan kehilangan serabut otot. Perubahan ini menyebabkan
laju metabolik basal dan laju komsumsi oksigen maksimal berkurang. Otot
menjadi mudah lelah dan kecepatan laju kontraksi melambat. Selain
penurunan masa otot juga dijumpai berkurangnya rasio otot dan jaringan
lemak.
1. Perubahan Fisik Sistem Muskuloskeletal Pada Lansia
Perubahan fisik sistem muskuloskeletal pada lansis terdiri dari :
a. Tulang kehilangan densikusnya yaitu rapuh
b. Resiko terjadi fraktur
c. Kyphosis
d. Persendian besar dan menjadi kaku
e. Pada wanita lansia > resiko fraktur
f. Pinggang, lutut dan jari pergelangan tangan terbatas
g. Pada diskus intervertebralis menipis dan menjadi pendek
( tinggi badan berkurang )
a. Gerakan volunter yaitu gerakan berlawanan
b. Gerakan reflektonik yaitu Gerakan diluar kemauan sebagai
reaksi terhadap rangsangan pada lobus
c. Gerakan involunter yaitu Gerakan diluar kemauan, tidak
sebagai reaksi terhadap suatu perangsangan terhadap lobus
d. Gerakan sekutu yaitu Gerakan otot lurik yang ikut bangkit
untuk menjamin efektifitas dan ketangkasan otot volunter.

2. Perubahan Pada Sistem Muskuloskeletal


Perubahan pada sistem muskuloskeletal antara lain sebagai
berikut :
a. Tulang
Tulang menyediakan kerangka untuk semua sistem
muskuloskelethal dan bekerja berhubungan dengan sistem
otot untuk memfasilitasi pergerakan. Fungsi tambahan
tulang pada tubuh manusia adalah penyimpanann calcium,
produksi sel darah, dan mendukung serta melindungi
jaringan dan organ tubuh. Tulang terbentuk dari lapisan
luar yang keras disebut cortical atau tulang padat, dan di
bagian dalm terdapat spongy berlubang yang disebut
trabecular. Bagian cortical terhadap komponen tabecular
berubah berdasrkan tipe tulang. Tulang panjang misalnya,
radius dan femur, mengandung sebanyak 90% corticol,
sedangkan tulang vertebrata susunan utamanya adalah sel
trabecular. Corticol dan trabecular merupakan komponen
tulang yang berpengaruh pada lansia.
Pada lansia terdapat perubahan pada susunan pembentukan
tulang yaitu :
1. Tulang kortical
Mulai umur 40 tahun, terjadi perubahan penurunan
sejumlah tulang cortical 3 % perdecade pada laki-
danwanitaberlanjut terus sampai akhir dewasa.
Setelah menopause, wanita terjadi penambahan
penurunan/ kehilangan tulang cortical, sehingga jumlah
rata-rata penurunan mencapai 9% sampai 10 %
perdecade pada umur 45-75 tahun. Penurunan tulang
corticl berakhir pada umur 70- 75 . Hasil akhir
perubahan ini seumur hidup kira-kira 35%-23% pada
wanita dan laki-laki berturut-turut.

2. Tulang trabekular
Serangan hilangnya tulang trabecular lebih dulu dari
serangan kehilangan cortical pada wanita dan laki-laki.
Rata-rata hilangnya tulang trabecular kira-kira 6%-8%
perdecade setelah menopause, wanita terjadi
kehilangan tulang trabecular secara cepat Hasil akhir
kehilangan seumur hidup kira-kira 50%- 33% pada
wanita dan laki-laki seumur hidup.
3. Peningkatan reabsorpsi tulang oleh tubuh.
4. Penurunan penyerapan kalsium
5. Serum parathyroid hormone meningkat
6. Gangguan regulasi aktivitas osteoblas
7. Gangguan pembentukan tulang, sekunder untuk
mengurangi matriks tulang.
8. Jumlah fungsi sel marrow yang digantikan oleh
jaringan sel lemak

b. Otot
Semua kegiatan sehari – hari (ADL) langsung dipengaruhi
oleh fungsi otot, yang di kendalikan oleh saraf motorik.
Perubahan yang berhubungan dengan usia berdampak
besar pada fungsi otot, yaitu :
1. Hilangnya masa otot sebagai hasil penurunan dalam
ukuran dan jumlah serat otot
2. Penurunan serat otot dengan penggantian
selanjutnya oleh jaringan penghubung dan akhirnya
oleh jaringan lemak.
3. Penurunan membran sel otot dan keluarnya cairan
dan pota.
Dengan umur 80 tahun, kira-kira masa otot hilang
(Tonna, 1987). Pada penjumlahan, terdapat
kehilangan saraf motorik yang berhubungan dengan
usia, dan ini mempengaruhi fungsi otot. Dan pada
akhirnya perubahan yang berhubungan dengan usia
adalah kemunduran fungsi motorik dan hilangnya
kekuatan dan ketahanan otot
c. Persendian
Pada perrsendian perubahan yang terjadi adalah :
1. Penurunan viskositas cairan sinovial
2. Terbentuknya jaringan perut dan adanya kalsifikasi
pada persendian
3. Jaringan penghubung (kolagen dan elastis)
Kolagen sebagai protein pendukung utama pada
kulit, tendon, tulang, kartilago, dan jaringan ikat
mengalami perubahan menjadi bentangan cross
linking yang tidak teratur. Bentangan yang tidak
teratur dan penurunan hubungan tarikan linear pada
jaringan kolagen merupakan salah satu alasan
penurunan mobilitas pada jaringan tubuh. Setelah
kolagen mencapai puncak fungsi atau daya
mekaniknya karena penuaan, tensile strenght dan
kekakuan dari kolagen mulai menurun.
Kolagen dan elastin yang merupakan jaringan ikat
pada jaringan penghubung mengalami perubahan
kualitatif dan kuantitatif sesuai penuaan. Perubahan
pada kolagen itu merupakan penyebab turunnya
fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan
dampak berupa nyeri, penurunan kemampuan untuk
meningkatkan kekuatan otot, kesulitan bergerak
dari duduk ke berdiri, jongkok dan berjalan, dan
hambatan dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari
d. Kartilago
Jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan
mengalami granulasi dan akhirnya permukaan sendi
menjadi rata. Selanjutnya kemampuan kartilago untuk
regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi
cenderung ke arah progresif. Proteoglikan yang merupakan
komponen dasar matriks kartilago berkurang atau hilang
secara bertahap. Setelah matriks mengalami deteriorasi,
jaringan fibril pada kolagen kehilangan kekuatannya dan
akhirnya kartilago cenderung mengalami fibrilasi.
Kartilago mengalami kalsifikasi di beberapa tempat, seperti
pada tulang rusuk dan tiroid. Fungsi kartilago menjadi
tidak efektif, tidak hanya sebagai peredam kejut , tetapi
juga sebagai permukaan sendi yang berpelumas.
Konsekuensinya kartilago pada persendian menjadi rentan
terhadap gesekan. Perubahan tersebut sering terjadi pada
sendi besar penumpu berat badan. Akibat perubahan itu
sendi mudah mengalami peradangan, kekakuan, nyeri,
keterbatasan gerak dan terganggunya aktivitas sehari-hari.

C. Masalah Gangguan Sistem Muskuloskeletal Yang Terjadi Pada


Lansia
1. Osteoporosis
a. Patofisiologi
Osteoporosis adalah suatu kondisi penurunan masa
tulang secara keseluruhan, merupakan suatu keadaan
tidak mampu berjalan atau bergerak, sering merupakan
penyakit tulang yang menyakitkan yang terjadi proporsi
epidemik. Walaupun osteoporosis paling sering
ditemukan pada wanita, pria juga beresiko mengalami
osteoporosis. Hilangnya substansi tulang menyebabkan
tulang menjadi lemah secara mekanis dan cenderung
untuk mengalami fraktur, baik fraktur spontan maupun
fraktur akibat trauma minimal. Ketika kemampuan
menahan berat badan normal menurun atau tidak ada
sebagai konsekuensi dari penurunan atau gangguan
mobilitas, akan terjadi osteoporisis karena gangguan
mobilitas, akan terjadi osteoporosis karena tulang yang
jarang digunakan. Aktivitas osteoklastik reabsorpsi
tulang, dan pelepasan kalsium dan fosfor kemudian
dipercepat.
b. Manifestasi Klinis
Fraktur-fraktur primer yang paling sering ditemukan
pada klien dengan osteoporosis adalah fraktur vertebra,
fraktur tulang panggul, dan fraktur lengan bawah.
Fraktur ini terjadi salah satunya akibat dari stress cedera
yang berulang-ulang atau akibat trauma akut, yang
mungkin memperberat mikto-fraktur ini. Sebagai
konsekuensinya, tidak diketahui dengan pasti faktor apa
yang memulai terjadinya fraktur panggul.
Fraktur osteoporosis cenderung berkelompok, dan
kejadian satu jenis fraktur pada umumnya menunjukkan
bahwa seorang pasien beresiko tinggi untuk mengalami
fraktur berikutnya pada lokasi yang lain. Fraktur
vertebra dan lengan bagian bawah cenderung terjadi
lebih awal dalam hidup dibandingkan feaktur panggul.
Fraktur membatasi mobilitas dan menempatkan pasien
pada risiko tinggi untuk mengalami kemunduran status
fungsional dan perkembangan komplikasi selanjutnya
akibat keterbatasan mobilitas.
c. Insiden
Perkembangan osteoporosis sering dimulai pada
usia muda dan dipengaruhi oleh perubahan endokrin
dan metabolisme juga oleh efek pada tulang yang
berhubungan dengan usia dan terkait jenis kelamin.
Faktor-faktor yang memengaruhi pencapaian dan
pemeliharaan puncak massa tulang terjadi setelah
maturitas skeletal (misalnya: ras, jenis kelamin, dan
hereditas) juga menentukan siapa yang beresiko untuk
mengalami osteoporosis. Wanita pasca menopause,
berkulit putih yang langsing paling peka terhadap
osteoporosis.
Meskipun demikian, sekitar 30% dari wanita yang
berusia di atas 60 tahun menagalami osteoporosis klinis.
Massa tulang menurun sekitar 2 sampai 3% per tahun
pada waktu wanita setelah menopause. Hilangnya
massa tulang terus terjadi tanpa diketahui sampai
fraktur terjadi.
d. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan keperawatan untuk osteoporosis
termasuk pencegaha melalui pendidikan kesehatan
dengan menekankan pada pengurangan faktor risiko,
asupan kalsium dan nutrisi yang adekuat, aktivitas fisik,
dab terapi sulih hormon.
Lansia yang tinggal di Institusi, yang mengalami
gangguan mobilitas, terutama sangat rentan karena
osteoporosis meningkat dengan cepat dari hari ketiga
sampai minggu ketiga dari imobilisasi dan mencapai
puncaknya selama minggu kelima atau keenam.
Namun, dengan ambulasi, mineral tulang disimpan
kembali dengan kecepatan hanya 1% setiap bulannya,
tekankan pentingnya pencegahan kehilangan awal.

2. Osteoartritis
a. Patofisiologi
Osteoartritis (juga disebut penyakit degeneratif
sendi, hipertrofi artritis, artritis senescent, dan
osteoartrosis) adalah gangguan yang berkembang secara
lambat, tidak simetris dan non inflamasi yang terjadi
pada sndi-sendi yang digerakkan, khususnya pada
sendi-sendi yang menahan berat tubuh. Osteoartritis
ditandai oleh degenerasi kartilago sendi dan oleh
pembentukan tulang baru pada bagian pinggir sendi.
Kerusakan pada sendi-sendi akibat penuaan
diperkirakkan memainkan suatu peran penting dalam
perkembangan osteoartritis. Perubahan degeneratif
menyebabkan kartilago yang secara normal halus, putih,
tembus cahaya menjadi buram dan kuning, dengan
permukaan yang kasar dan area malacia (pelunakan).
Ketika lapisan karilago menjadi lebih tipis , permukaan
tulang tumbuh semakin dekat satu sama lain. Inflamasi
sekunder dari membran sinovial mungkin mengikuti.
Pada saat permukaan sendir menipiskan kartilago,
tulang subkondrial meningat kepadatannya dan menjadi
sklerosis.
b. Manifestasi Klinis
Nyeri, kekakuan, hilangnya gerakan, penurunan
fungsi dan deformitas sendi secara khas dihubungkan
dengan tanda-tanda inflamasi seperti nyeri tekan,
pembengkakan, dan kehangatan. Klien mungkin positif
mempunyai riwayat trauma, penggunaan sendi
berlebihn, atau penyakit sendi sebelumnya.
Pada awalnya, nyeri terjadi bersama gerakan;
kemudian, nyeri dapat juga terjadi pada saat iistirahat.
Pemeriksaaan menunjukkan adanya daerah nyeri tekan
krepitus, berkurangnya rentang gerak, seringnya
pembesaran tulang, dan tanda-tanda inflamasi pada
saat-saat tertenu. Peningkatan rasa nyeri diiringi oleh
kehilangan fungsi secara progresif. Keseluruhan
koordinasi dan postur tubuh mungkin terpengaruh
sebagai hasil dari nyeri dan hilangnya mobilitas.
c. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan gangguan kronis ini dimulai
dengan menemukan aktifitas kehidupan sehari-hari
yang mungkin ikut berperan terhadap tekanan pada
sendi yang sakit, memberikan alat bantu kepada klien
untuk mengurangi beban berat pada sendi yang sakit,
mengajarkan klien untuk menggunakan alat bantu ini,
dan merencanakan penatalaksanaan nyeri yang sesuai.
d. Atroplasti
Atroplasti adalah rekonstruksi atau penggantian
sendi. Prosedur pembedahan ini dilakukan untuk
menghilangkan rasa nyeri, meningkatkan atau
mempertahakan rentang gerak, dan memperbaiki
kondisi deformitas yang dapat diakibatkan oleh
osteoartritis, AR, atau nekrosis avaskular. Artoplasti
dapat berupa penggantian sebagian sendi, pembedahan
untuk membentuk kembali tulang sendi atau
penggantian sendi secara total. Penggantian atroplasti
tersedia untuk siku, bahu, pinggul, lutut, pergelangan
kaki, dan sendi-sendi falang jari. Rekonstruksi pinggul
sering digunakan untuk pengobatan klien dengan AR,
osteoartritis, dan fraktur pinggul.
Sakit yang tidak berkurang sebagai akibat dari
kerusakan yang berat pada sendi lutut merupakan
indikasi utama atroplasti lutut. Sebagian atau seluruh
sendi lutut mungkin digantikan dengan suatu alat
prostetik metal dan plastik. Dalam 2 sampai 5 hari
setelah operasi, klien diinstruksikan untuk melakukan
laihan pengaturan kuadrisep dan menaikkan kaki secara
lurus. Ketika pembalut luka yang besar ukurannya telah
dilepaskan, latihan fleksi aktif dimulai. Latihan
menahan beban dimulai segera setelag klien dapat
menggunakan walker atau tongkat.
3. Artritis Rheumatoid
a. Patofisologi
Penyakit inflamasi artikular yang paling sering
terjadi pada lansia, AR, adalah suatu penyakit kronis,
sistemik, yang secara khas berkembang perlahan-lahan
dan ditandai oleh adanya radang yang sering kambuh
pada sendi-sendi diartrodial dan struktur yang
behubungan. AR sering disertai dengn nodul-nodul
reumathoid, artritis, neuropati, skleritis, perikarditis,
limfadenopati dan splenomegali. AR di tandai oleh
periode-periode remisi dan bertambah parahnya
penyakit.
b. Manifestasi Klinis
Pada lansia, AR dapat digolongkan ke dalam tiga
kelompok. Kelompok pertama adalah AR klasik. Sendi-
sendi kecil pada kaki dan tangan sebagian besae
terlibat. Terdapat faktor reumatoid, dan nodula-nodula
reumatoid sering terjadi. Penyakit dalam kelompok ini
dapat mendorong ke arah kerusakan sendi yang
progresif.
Kelompok kedua, termasuk klien yang memenuhu
kriteria dari American Rheumatologic Association
untuk AR karena mereka mempunyai radang sinovitis
yang terus menerus dan simetris, sering melibatkan
pergelangan tangan dan sendi-sendi jari.
Kelompok ketiga, sinovitas terutama memengaruhi
bagian proksimal sendi, bahu dan panggul. Awitannya
mendadak, sering ditandai dengan kekakuan pada pagi
hari. Pergelangan tangan pasien sering mengalami hal
ini, dengan adanya bengkak, nyeri tekan, penurunan
kekuatan genggaman, dan sindrom carpal tunnel.
Kelompok ini mewakili suatu kelompok penyakit yang
dapat sembuh sendiri yang dapat dikendalikan secara
baik dengan menggunakan prednison dosis rendah atau
agens antiinflamasi dan memiliki prgonosis yang baik.
Jika tidak diistirahatkan, AR akan berkembang
menjadi empat tahap yaitu :
1. Terdapat radang sendi dengan pembengkakan
membran sinovial dan kelebihan produksi cairan
sinovial tidak ada perubahan yang bersifat merusak
terlihat pada radiografi. Bukti osteoporosis
mungkin ada
2. Secara radiologis, kerusakan tulang pipih atau
tulang rawan dapat dilihat. Klien mungkin
mengalami keterbatasan gerak tetapi tidak ada
deformitas sendi
3. Jaringan ikat fibrosa yang keras mmenggantikan
panas, sehingga mengurangi ruang gerak sendi.
Ankilosis fibrosa mengakibatkan penurunan
gerakan sendi, perubahan kesejajaran tubuh, dan
deformitas. Secara radiologis terlihat adanya
kerusakan kartilago dan tulang
4. Ketika jaringan fiborsa mengalami klasifikasi,
ankilosis tulang dapat mengakibatkan terjadinya
imobilisasi sendi secara total. Atrofi otot yang
meluas dan luka pada jaringan lunak seperti
nodula-nodul mungkin terjadi.
c. Penatalaksanaan
Penanganan medis bergantung pada tahap penyakit
ketika diagnosis dibuat dan termasuk dalam kelompok
mana yang sesuai dengan kondisi tersebut. Untuk
menghilangkan nyeri dengan mmenggunakan agens
anti-inflmasi, obat yang dapat dipilih adalah aspirin.
Namun efek anti-inflamasi dari aspirin tidak terlihat
pada dosis kurang dari 12 tablet per hari, yang dapat
menyebabkan gejala sistem gastrointestinal dan sistem
saraf pusat. Obat anti-inflamasi non-steroid sangat
bermanfaat, tetapi dianjurkan untuk menggunakan dosis
yang direkomendasikan oleh pabrik dan pemantauan
efek samping secara hati-hati sangat perlu dilakukan.
Terapi kortikosteroid yang diinjeksikan melalui sendi
mungkin digunakan untuk infeksi di dalam satu atau
dua sendi. Injeksi secara cepat dhubungkan dengan
nekrosis dan penurunan kekuatan tulang. Biasanya,
injeksi yang diberikan ke dalam sendi apapun tidak
boleh diulangi lebih dari tiga kali. Rasa nyeri dan
pembengkakan umumnya hilang untuk waktu 1 sampai
6 minggu.
Penatalaksanaan keperawatan menekankan
pemahaman klien tentang sifat alami RA kronis dan
kelompok serta tahap-tahap yang berbeda untuk
memantau perkembangan penyakit. Klien harus ingat
bahwa walaupun pengobatan mungkin mengurangi
radang dan nyeri sendi, mereka harus pula
mempertahankan pergerakan dan kekuatan untuk
mencegah deformitas sendi. Suatu program aktivitas
dan istirahat yang seimbang sangat penting untuk
mencegah peningkatan pada sendi.
4. Fraktur Kompresi Vetebra
Suatu gejala osteoporosis yang sering dijumpai
adalah sakit punggung, akibat fraktur kompresi vertebra.
Nyeri akut pada bagian tengah sampai bagian bawah
vertebra torasika selama aktivitas harian rutin mungkin
merupakan gejala yang paling awal terjadi. Fraktur
kompresi ini dapat terjadi setelah trauma minimal, seperti
melepaskan kancing pada bagian punggung, membuka
jendela atau bahkan merapihkan tempat tidur.
Fokus dari perawatan untuk fraktur kompresi akut
adalah mengurangi gejala sesegera mungkin dengan tirah
baring pada posisi apapun yang mampu memberikan
kenyamanan maksimum. Relaksan otot seperti panas dan
analgesik dapat digunakan jika ada indikasi pengunaan
relaksan otot jangka pendek dalam jumlah sedikit dapat
mengurangi spasme otot yang sering menyertai fraktur-
fraktur ini.
Segera setelah rasa nyeri berkurang, klien perlu
mencoba untuk bangun dari tempat tidur secara perlahan-
lahan dan dengan bantuan. Latihan yang dilakukan dengan
pengawasan untuk memperbaiki deformitas postural dan
meningkatkan tonus otot sangat bermanfaat bagi klien.
Berenang, walaupun bukan merupakan latihan menahan
berat, dapat mempertahakankan fleksibilitas dan mungkin
merupakan cara yang paling efektif bagi klien harus
diajarkan tentang cara mencegah keregangan punggung
dengan menghindari gerakan berputar atau pergerakan yang
kuat atau membungkuk secara mendadak. Tindakan untuk
menjaga keamanan yang berhubungan dengan cara
mengangkat dan membawa barang-barang perlu dijelaskan.
5. Fraktur Panggul
Klien lansia biasanya mengalami cedera ini karena
jatuh. Walaupun hanya 3% dari semua fraktur adalah
fraktur panggul, tipe cedera ini diperhtiungkan
menimbulkan 5 sampai 20% kematian di antara lansia
akibat fraktur. Fraktur panggul adalah hal yang tidak
menyenangkan karena fraktur tersebut dapat juga
menyebabkan cedera intraabdomen yang serius, seperti
laserasi kolon, paralisis ileum, perdarahan intrapelvis dan
ruptur urtra serta kandung kemih
6. Fraktur Pinggul
Walaupun fraktur tulang belakang yang mengarah
pada deformitas dan fraktur pinggul menyebabkan
disfungsi tubuh, tetapi fraktur pinggullah yang sangat berat
memengaruhi kualitas hidup dan menantang kemampuan
bertahan hidup pada lansia. Holdruck melaporkan bahwa
satu dari 20 pasien yang berusia lebih dari 65 tahun yang
baru saja di rawat di Rumah Sakit mengalami
penyembuhan dari fraktur panggul. Bahkan ditangan ahli
yang terbaik, 405% dari klien yang mengalami fraktur
panggul tidak dapat bertahan hdup 2 tahun setelah cedera
ini. Pada pasien yang berasal dari Panti Jompo, 70% tidak
bertahan hidup satu tahun, hanya sepertiga dari pasien yang
dapat bertahan hidup setelah mengalmi raktur panggul
dapat kembali ke agay hidup dan tingkat kemandirian yang
dapat dibandingkan dengan gaya hidup dan kemandirian
yang dinikmatinya sebelum mengalami cedera tersebut.
Antara 75 dan 80% dari semua fraktur tulang
panggul memengaruhi wanita, dan hampir 50% terjadi pada
seseorang yang berusia 80 tahun atau lebih. Manifestasi
klinis dari raktur tulang pinggul adalah rotasi eksternal,
pemendekan ekstremitas yang terkena, dan nyeri berat serta
nyeri tekan di lokasi fraktur. perubahan letak akibat fraktur
pada bagian leher tulang fremur dapat menyebabkan
gangguan serius pada supali darah ke kafut femur, yang
dapat mengakibatkan nekrosis avaskular.
Perbaikan dengan pembedahan lebih disukai dalam
menangani fraktur tulang pinggul. Penanganan melalui
pembedahan memungkinkan klien untuk bangun dari
tempat tidur lebih cepat dan mencegah komplikasi yang
lebih besar yang dihubungkan dengan imobilias. Pada
awalnya, ekstremitas yang terpengarh untuk sementara
mungkin diimobiliasikan dengan menggunakan traksi buck
atau rusel sampai kondisi fisik klien stabil dan pembedahan
dapat diajdwalkan. Banyak yang percatya bahwa lansia
berada pada kondisi yang palinh sehat segera setelah
kecelakaan sehingga operasi harus dilaksanakan secepat
mungkin.

a. Penatalaksanaan
Karena banyak klien lansia cenderung untuk
berada di suatu sttaus yang berbahaya sebelum
terjadinya fraktur, perawat harus mewaspadai
beberapa faktor pra operasi dan paska operasi
yang jika tidak dikenali, mungkin menjadi
faktor penentu yang berdampak kurang baik
terhadap klien.
b. Faktor pra operasi
Masalah kesehatan kronis seperti diabetes
melitus, hipetensi, dekompensasi jantung, dan
arthritis mungkin mempersulit gamabarn klinis.
Spasme otot berat dapat meningkatkan nyeri.
Spasme ini dapat ditangani dengan pengobatan
yang sesuai, posisi yang nyaman (kecuali jika
ada kontraindikasi), dan penggunaan traksi yang
sesuai secara tepat, jika digunakan traksi.
Pemijatan pada bagian tungkai yang terkena
tidak dianjurkan selama tidak terjadi kejang.
Klien harus diajarkan untuk melatih kaki yang
tidak mengalmi cedera dan kedua lengannya.
Sebelum operasi, klien harus diajarkan tentnang
cara menggunakan trapez yang dpasang pada
bagian atas tempat tidur dan sisi pengaman
tempat tidur yangg berlawanan untuk
membantunya dalam mengubah posisi. Karena
ambulasi pada umumnya dimulai pada hari
kedua sesudah operasi, klien perlu
mempraktikan bagaimana cara bangun dari
tempat tidur dan pindah ke kursi. Rencana untuk
pemulangan klien harus didiskusikan dan
pengaturan dilakukan bersama pekerja sosial
atau manajer kasus untuk perawatan dirumah
atau perawatan terampil.
c. Faktor pasca operasi
Perawatan awal hampir sama pada setiap klien
lansia yang mengalami operasi, yaitu memantau
tanda vital serta asupan dan haluaran,
memeriksa perubahan status mental (sensori),
mengawasi aktifitas pernafasan seperti nafas
dalam dan batuk, memberikan pengobatan untuk
rasa nyeri dan mengobservasi balutan luka
terhadap tada-tanda perdarahan dan infeksi.
Sebelum dan setelah reduksi fraktur, selalu ada
potensial untuk mengalami gangguan sirkulasi,
sensasi, dan pergerakan. Denyut nadi perifer
pada bagian distal tungkai yang fraktur harus
dikaji. Perawat mengkaji kemampuan jari kaki
klien untuk bergerak, kehangatan dan warna
merah muda pada kulit, perasaan mati rasa atau
kesemutan, dan edema. Tungkai klien tetap
diangkat untuk mencegah edema. Sebuah bidai
abduktor dapat digunakan diantara lutut klien
ketika mengubah posisi klien dari satu sisi ke
sisi yang lain. Karung yang berisi pasir dan
bantal dapat sangat membantu untuk
mempertahanakan agar tungkai tidak berputar
secara eksternal. Penggunaan Transcutanneous
Elektrcial Nerve Stimulator (TENS) setelah
operasi dapat menurunkan kebutuhan akan
penggunaan narkotika secara signifikan.
Bila fraktur tulang pinggul telah ditangani
dengan menyisipkan frosteis kapur femur, klien
dan keluarga harus menyadari sepenuhnya
tentang posisi dan aktifitas yang mungkin dapat
menyebabkan dislokasi (fleksi, adduksi dengan
rotasi internal). Banyak aktifitas sehari-hari
yang dapat menimbulkan posisi ini, seperti
menggunakan kaos kaki dan sepatu,
menyilangkan kaki pada saat duduk, berbaring
miring dengan posis yang salah, posisi tubuh
relatif fleksi kearah kursi pada saat akan berdiri
atau duduk, dan duduk pada tempat duduk yang
rendah. Aktifitas ini harus di hindari secara ketat
sedikitnya 6 minggu, sampai jaringan lunak
disekitar tulang pinggul telah cukup pulih untuk
menstabilkan prostesis yang dipasang. Rasa
nyeri yang berat dan mendadak rotasi eksternal
yang ekstrim mengindikasikan adanya
perubahan letak prostesis tersebut.
Untuk mencegah dislokasi prostesis, perawat
harus selalu menempatkan 3 bantal diantara
tungkai klien ketika mengubah posisi,
pertahankan bidai adduktor tungkai pada klien
kecuali ketika sedang mandi, hindari fleksi
tulang pinggul secara ektrem, dan hindari
mengubah posisi klien ke sisi yang mengalami
frakur. Ketika fraktur tulang pinggul ditangani
dengan tindakan fiksasi agar klien tidak dapat
bergerak, tindakan pencegahan dislokasi tidak
perlu dilakukan. Pada umumnya, klien perlu
didorong untuk bangun dari tempat tidur
padahari pertama sesudah operasi. Menahan
beban berat pada ekstremitas yang terkena tidak
diizinkan sampai pemeriksaan radiologi
menunjukkan adanya tanda-tanda penyembuhan
yang adekuat, biasanya dalam waktu 3 sampai 5
bulan.
D. Pencegahan
a. Pencegahan Primer
Dasar dari terapi pencegahan terletak pada
mengoreksi faktor resiko yang diketahui untuk terjadinya
kehilangan tulang dan masalah yang dihubungkan dengan
beberapa gangguan seperti osteoporosis. Faktor terkait usia
yang dapat meningkatkan terjadinya kehilangan unsur-
unsur tulang yang terdiri dari penurunan hormon, dan
perubahan diet dan gaya hidup, merupakan hal yang
penting karena efek dari kehilangan tulang yang terjadi
sepanjang kehidupan adalah kumulatif.

1. Estrogen
Estrogen memainkan peran utama dalam
memperhatikan integritas tulang pada wainta.
Kehilangan unsur-unsur tulang terjadi bila kadar
estrogen turun. Kehilangan tulang bergantung estrogen
terjadi secara cepat selama 5 sampai 10 tahun setelah
menopause. Pria juga berhadapan dengan resiko
mengalami kehilangan tulang karena kemunduran
fungsi hormonal seiring perttambahan usia. Laju
penurunan kadar hormon pada pria ini tidak sedramatis
daripada yang dihubungkn dengan menopause pada
wanita.
Suatu penelitian terbaru mengidentifikasi bahwa
sebagian besar wanita lanjut usia itu tidak
menggunakan terapi sulih estrogen (Estrogen
Replacement Therapy (ERT) karena mereka percaya
bahwa mereka tidak memerlukan terapi tersebut,
mereka takut efek samping yang tidak diinginkan dari
ERT, atau mereka percaya vahwa pengobatan akan
merugikan diri mereka. Perawat mempunyai suatu
peran kunci untuk dimainkan dalam memberikan
pendidikan kesehatan pada wanita-wanita lanjut usia
mengenai keuntungan-keuntungan ERT dan perannya
dalam pencegahan efek menyakitkan dan melumpuhkan
dari kehilangan tulang di usia tua.
2. Diet
Kebiasaan makan yang dilakukan sepanjang hidup
memengaruhi maturitas massa tulang. Nutrisi yang
seimbang dengan asupan kalsium dan vitamin D yanga
dekuat sangat penting untuk mempertahakan struktur
dan integritas tulang pada semua usia. Kemampuan
saluran gastrointestinal lansia untuk mengabsorpsi dan
menggunakan diet kalsium menunjukkan suatu
kemunduran yang jelas. Oleh karena itu, rekomendasi
terbaru untuk asupan kalsium bagi lansia adalah antara
1000 samai 1500 mg/hari. Saran untuk meningkatkan
asupan kalsium dalam diet harus kreatif dan sederhana.
Perawat perlu memberikan perhatian khusus terhadap
diet hidup sendiri, karena sebagian besar dari mereka
beresiko mengalami defisiensi diet dan akan perlu
untuk mencari sumber daya keluarga dan komunitas.

3. Olahraga
Perawat dapat memberi dampak yang berarti pada
kualitas hidup dan disabilitas yang berhubungan dengan
penyakir kronis pada sistem muskuloskeletal dengan
cara memberi dorongan dan mengajarkan suatu
program kebugaran dan latihan yang efektif dan aman.
Olahraga telah terbukti dapat menunda perubahan
fisiologis yang biasanya terjadi pada proses penuaan
muskuloskeletal : penurunan kekuatan dan fleksibilitas,
peningkatan kerentanan terhadap cedera, peningkatan
lemak tubuh, penurunan kelenturan struktur sendi, dan
osteoporosis. Olahraga dapat melindungi lansia dari
jatuh dan terutama terhadap efek yang merusak akibat
fraktur tulang pinggul. Terlambat memulai jauh lebih
baik daripada tidak memulai sama sekali. Seperti yang
dikatakan oleh ahli epidemiologi., Helmrich, “ semua
hal yang buruk pada saat anda bertambah buruk pada
saat anda bertambah tua akan membaik dengan
berolahraga”.

4. Mengatasi imobilitas pada lansia di Panti


Selain memberikan perawatan berkesinambungan,
perawat dapat bertindak sebagai penolong dalam
pencegahan komplikasi lebih lanjut ketika merawat
lansia yang lemah, dan sakit. Imobilitas meruapakan
salah satu masalah yang paling sering terjadi di antara
lansia, yang dapat mendorong ke arah konsekuensi
fisiologis dan psikologis yang serius. Perawat perlu
mengidentifikasi dan memasukkan hal-hal yang secara
fisik dan struktural akan membatasi mobilitas kedalam
pendidikan kesehatan yang akan diberikan termasuk
lantai yang licin, tidak ada alat bantu fisik, dan resitren
fisik dan kimia. Dari 10 sampao 15% kekuatan otot
dapat hilang setiap minggu jika otot itu beristirahat
sepenuhnya, dan sebanyak 5,5% dapat hilang setiap hari
pada kondisi istirahat dan imobilitas sepenuhnya.
Walaupun semua sendi dapat dipengaruhi oleh
imobilisasi, pinggul, lutut dan pergelangan kaki
terutama merupakan sendi yang sangat mudah
terpengaruh karena pengaruh gravitasi. Hal yang
semakin mempersulit situasi itu adalah kontraktur pada
lutut dan pinggul yang membuat klien kurang stabil dan
karenanya lebih cenderung untuk jatuh.
b. Pencegahan Sekunder
1. Pengkajian Sistem Muskuloskeletal
a. Riwayat Penyakit
Pengkajian keperawatan memfokuskan pada
bagaimana perubahan yang berhubungan dengan
usia memengaruhi status fungsional lansia dan
termasuk hal-hal berikut ini:
- Tinggi badan, berat badan, postur tubuh, dan
gaya berjalan memberikan data dasar yang dapat
mengindikasikan adanya kerusakan otot,
obesitas atau edema.
- Aktivitas dan pola istirahat, dulu dan sekarang,
harus dicatat. Seseorang yang tidak pernah
berolahraga atau diikut sertakan dalam aktivitas
mungkin memiliki kesukaran dalam suatu
program latihan di usia lanjut, terutama jika
aktivitas tersebut sulit atau menyakitkan.
- Pengkajian diet termasuk asupan kalsium dan
vitamin D. Obesitas dan malnutrisi dapat
mempengaruhi mobilitas dan kekuatan otot.
Obesitas menjadi faktor predisposisi bagi lansia
untuk mengalami ketidak stabilan ligamen,
terutama pada daerah punggung bagian bawah
dan sendi-sendi lain yang menahan berat tubuh.
- Pengobatan, termasuk obat-obatan yang dijual
bebas dan pengobatan sendiri di rumah, dapat
membuat lansia lebih mudah mengalami
keracunan obat dan efek sanping obat.
Pengumpulan informasi yang spesifik tentang
penggunaan relaksan otot, agens antireumatik,
salsilat, agen antiinflamasi non steroid, dan
steroid sistemik harus dilakukan. Beberapa obat
telah diketahui dapat menimbulkan kerusakan
pada sistem muskuloskeletal: antikonvulsi
(osteomalasia), fenotiazin (gangguan cara
berjalan), steroid (distribusi lemak tubuh
abnormal dan kelemahan otot), dan diuretik
yang dapat menurunkan kadar kalium
(kelemahan otot dan kram). Amfetamin dan
kafein dapat menyebabkan peningkatan aktivitas
motorik secara umum.
- Kombinasi mobilitas, kekuatan, dan
keseimbangan menentukan kemampuan
fungsional klien tersebut. Pengkajian mobilitas
mengikut sertakan beberapa aspek mobilitas dan
kemampuan fungsional.
- Cedera pada masa lalu ( misalnya faktor tulang
pinggul) dapat mengidentifikasikan adanya
suatu kondisi osteoporosis. Riwayat nyeri sendi,
dan kekuatan, kelemahan, atau keletihan sering
dihubungkan dengan adanya osteoartritis atau
artritis reumatoid (AR). Nyeri punggung dan
parestesia atau rasa kesemutan pada ekstremitas
bawah mungkin merupakan gejala degenerasi
diskusvertebral atau interveterbral pada daerah
lumbal. Daftar cedera-cedera ringan atau berat
pada sistem muskuloskeletal harus termasuk
kondisi-kondisi yang dihubungkan dengan
cedera, evaluasi diagnostik, metode dan jangka
waktu pengobatan, status cedera pada saat ini,
kebutuhan untuk alat bantu, dan setiap hal yang
mengganggu aktivitas kehidupan sehari-hari.
- Pertanyaan spesifik tentang praktik keamanan
klien ketika mereka berhubungan dengan
lingkungan pekerjaan, pengaturan tempat
tinggal, kemanan dari berbagai bahaya dan alat
bantu untuk menjamin kemanan di rumah,
rekreasi, dan olah raga harus diminta pada klien
untuk mengidentifikasi masalah dan
mengarahkan pendidikan kesehatan klien.
b. Pengkajian Fisik
Adanya kifosis atau skoliosis harus dicatat.
Kifosis yang berat dapat mengganggu fungsi
pernafasan dan kardiovaskular. Adanya nyeri tekan
di atas prosesus spinosus dapat diduga adanya suatu
fraktur vertebral. Sendi-sendi diperiksa selanjutnya,
terutama sekali sendi-sendi pada tangan.
Osteoartritis pada sendi-sendi interfalang distal pada
tangan dan lutut umum terjadi. Pertumbuhan tulang
yang berlebihan pada bagian distul sendi interfalang
disebut nodus Heberden. Keterbatasan rotasi
eksternal pada pinggul dapat merupakan suatu tanda
awal dari keterlibatan osteoartritis. Rentang gerak
semua sendi harus dikaji.
AR pada tangan cenderung untuk
memengaruji bagian proksimal sendi-sendi
interfalang. Bengkak yang terlihat pada sendi-sendi
reumatoid bukanlah tulang, tetapi lebih pada
pembengkakan sinovial dan jaringan lunak.
Mungkin terdapat deviasi ulnar pada tangan di
bagian sendi-sendi metakarpofalang, juga adanya
kecenderungan sendi-sendi untuk mengalami
subluksasi (dislokasi parsial yang berhubungan
dengan ketidakstabilan). Nyeri dan kekakuan sendi
pada pagi hari dapat berlangsung selama beberapa
jam pada klien dengan AR, sedangkan klien dengan
osteoartritis akan terbebas dari rasa nyeri dalam
waktu cepat setelah menggerakkan sendi-sendi yang
lain.
c. Pencegahan Tersier
Tanggung jawab perawat yang utama dalam melakukan
rehabilitasi adalah penddikan kesehatn pada klien dan
keluarga. Dalam pendidikan kesehatan klien, hal yang
penting diingat adalah lansia mungkin mempunyai berbagai
diagnosis yang secara kronis memengaruhi beberapa sistem
organ tubuh. Oleh karena itu, suatu rencana menyeluruh
yang berpusat pada kekuatan klien dan tujuan pribadi untuk
kembali ketingkatan kemandirina klien sebelumnya juga
semua perawatan kesehatan yang diperlukan sangat
penting. Manajer kasus geriatrik atau perencana
pemulangan pasien merupakan aset yang tidak ternilai
untuk lansia yang sedang mengalami proses penyembuhan
dari fraktur.

Anda mungkin juga menyukai