Anda di halaman 1dari 10

A.

Kewenangan Relatif
Yang dimaksud dengan kekuasaan relative (relative competentie)
adalah kekuasaan dan wewenang yang diberikan antara pengadilan dalam
lingkungan peradilan yang sama atau wewenang yang berhubungan dengan
wilayah hukum antar Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama.
Misalnya antar Pengadilan Agama Bandung dengan Pengadilan Agama Bogor
(Soetantio, 1997: 11).
Pada dasarnya setiap permohonan atau gugatan diajuakn ke
Pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi:
a. gugatan diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi
wilayah kediaman tergugat. Apabila tidak diketahui tempat kediamannya
maka pengadilan dimana tergugat bertempat tinggal;
b. apabila tergugat lebih dari satu orang maka gugatan dapat diajukan kepada
pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah salah satu kediaman
tergugat;1
c. apabila tempat kediaman tergugat tidak diketahui atau tempat tinggalnya
tidak diketahui atau jika tergugat tidak dikenal (tidak diketahui) maka
gugatan diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat
tinggal penggugat;
d. apabila objek perkara adalah benda tidak bergerak gugatan dapat diajukan
ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi letak benda tidak
bergerak.
e. Apabila dalam suatu akta tertulis ditentukan dominan pilihan, gugatan
diajukan kepada pengadilan yang domisilinya dipilih. (Pasal 118 HIR)
Pada dasarnya untuk menentukan kekuasaan relatif Pengadilan Agama
dalam perkara permohonan adalah diajukan ke pengadilan yang wilayah
hukumnya meliputi kediaman pemohon. Namun dalam Pengadilan Agama

1
hlm 87
telah ditentukan mengenai kewenangan relatif dalam perkara-perkara tertentu
dalam Undang Undang NOmor 7 Tahun 1989 sebagai berikut.
a. Permohonan ijin poligami diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah
hukumannya meliputi kediaman pemohon. (Pasal 4 ayat (1) Undang
Undang Nomor 1 Tahun 1974)2
b. Permohonan dispensasi perkawinan bagi calon suami atau istri yang
belum mencapai umur perkawinan (19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun
bagi perempuan) diajukan oleh orang tuanya yang bersangkutan kepada
Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon
(Pasal 7 ayat (2) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974)
c. Permohonan pencegahan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama
yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan. (Pasal
17 ayat (1) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974)
d. Permohonan pembatalan pembatalan perkawinan diajukan kepada
Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat
dilangsungkannya pernikahan atau tempat tinggal suami atau istri. (Pasal
28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974)
Kewenangan relatif pada Pengadilan Agama terdapat beberapa
pengecualian sebagai berikut.3
1. Permohonan Cerai Talak
Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa, mengadili, dan
memutuskan perkara-perkara permohonan cerai talak diatur dalam pasal
66 ayat (2) Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang pada pokoknya
adalah sebagai berikut.

2
hlm 88

3
hlm88- 89
a. Apabila suami atau pemohon yang mengajukan permohonan cerai
talak makan yang berhak memeriksa perkara adalah Pengadilan
Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman istri termohon.4
b. Suami atua pemohon dapat mengajukan permohonan cerai talak ke
Pengadilan Agama yang wilyaah hukumnya meliputi kediaman suami
atau pemohon apabila istri atau termohon secara sengaja meninggalkan
tempat kediaman tanpa ijin suami.
c. Apabila istri atau termohon bertempat kediaman di luar negri maka
yang berwenang adalah Pengadilan Agama yang meliputi kediaman
suami atau pemohon
d. Apabila keduanya (suami istri) bertempat kediaman di luar negri, yang
berhak adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi
tempat pelaksanaan perkawinan atau Pengadilan Agama Jakarta
Pusat.5
.
2. Perkara Gugat Cerai
Pengadilan Agama yang berwenang memriksa, mengadili, dan
memutuskan perkara gugat cerai diatur dalam pasal 73 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 yang pada pokonya adalah sebagai berikut.
a. Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa perkara cerai gugat
adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi
kediaman istri atau penggugat
b. Apabila istri atau penggugat secara sengaja meninggalkan tempat
kediaman tanpa ijin suami maka perkara gugat cerai diajukan ke
Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman
suami atau tergugat

4
hlm 89

5
hlm 89-90
c. Apabila istri atau penggugat bertempat kediaman di luar negeri
maka yang berwenang adalah Pengadilan Agama yang meliputi
kediaman suami atau tergugat
d. Apabila keduanya (suami istri) bertempat kediaman di luar negeri,
yang berhak adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya
meliputi tempat pelaksanaan perkawinan ayau Pengadilan Agama
Jakarta Pusat.6

B. Kewenangan Absolut
Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan yang
berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan
(Soetantio,1997):11). Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama
adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di
kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam.
Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989.
Pengadilan Agama berwenang untuk memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:7

a. Perkawinan
Dalam bidang perkawinan meliputi hal-hal yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang [erkawinan sebagai berikut:
- izin beristri lebih dari seorang

6
hlm 90-91

7
hlm 91
- izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21
(dua puluh satu) tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga
dalam garis lurus ada perbedaan pendapat
- dispensasi kawin
- pencegahan perkawinan
- penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatatan Nikah
- pembatalan perkawinan
- gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri
- percaraian karena talak
- gugatan perceraian
- peneyelesaian harta bersama
- penguasaan anak-anak
- ibu dapat memikul biaya pemeliharan dan pendidikan bilamana bapak
yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya
- penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada
bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri
- putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak
- putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua
- pencabutan kekuasaan wali
- penunjukkan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal
kekuasaan seorang wali dicabut
- menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup
umur 18 (delapan belas tahun) yang ditinggal kedua orang tuanya
padahal tidak ada penunjukkan wali oleh orangtuanya
- pembebanan kewajiban gabti kerugian terhadap wali yang telah
menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah
kekuasaannya
- penetapan asal usul seorang anak
- pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-
Undang Nomor 1 Tahu 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan
menurut peraturab yang lain.8

1) Ijin beristri lebih dari seorang


Pada dasarnya dalam perkawinan hanya diperbolehkan seorang
suami mempunayi seorang istri (pasal 3). Namun apabila seorang
suami mempunyai keinginan utnuk beristri lebih dari seorang istri
maka diperbolehkan sepanjang hukum agama tidak melarang.
Seorang yang akan melakukan perkawinan dengan lebih dari
seorang istri harus mendapat ijin dari Pengadilan (Pasal 3 ayat 2
jo. Pasal 56 ayat (1) KHI). Untuk dapat memproleh ijin dari
Pengadilan Agama yang bersangkutan harus mengajukan
permohonan ijin poligami ke Pengadilan yang wilayah hukumnya
meliputi tempat tinggal pemohon (pasal 4 ayat (1)).
Untuk dapat mengajukan ijin poligami ke Pengadilan harus
dipenuhi terlebih dahulu syarat-syarat sebagai berikut:
- Adanya persetujuan istri / istri-istri
- Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka
- Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap
istri-istri dan anak-anak mereka (pasal 5 ayat (1)).
Selain syarat-syarat diatas harus dipenuhi, Pengadilan
harus memeriksa ada atau tidaknya alasan untuk dapat
memberikan ijin beristri lebih dari seorang. Adapun alasan-
alasan sumi untuk dapat beristri lebiih dari seorang adalah
sebagai berikut:
- Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
8
hlm 91-93
- Istri mendapat cacat badan dan penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
- Istri tidak dapat melahirkan keturunan (pasal 4 ayat (2))
Dalam pemeriksaan perkara ijin beristri lebih dari seorang
pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang
bersangkutan. Apabila ternyata Pengadilan berpendapat bahwa
ada cukup alasan bagi pemohon untuk dapat beristri lebih dari
seorang maka Pengadilan memberi putusan yang berupa ijin
untuk beristri lebih dari seorang (pasal 42 dan 43 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975)9

2) Ijin melangsungkan perkawinan bagi yang belum berusia 21


(dua puluh satu) tahun dalam hal orang tua atau wali atau
keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat.
Seorang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang
akan melangsungkan perkawinan harus mendapat ijin dari orang
tuanya. Apabila ternyata salah satu dari kedua orang tuanya telah
meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya
maka cukup orang tuanya yang masih hidup atau yang mampu
menyatakan kehendaknya. (Pasal 6 ayat (1) dan (2)).
Apabila kedua orangtuanya telah meninggal dunia atau
keduanya tidak mampu menyatakan kehendaknya maka ijin
diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarganya yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas
selama mereka masih hidup atau dalam keadaan yang dapat
menyatakan kehendaknya (pasal 6 ayat (4)).
kalau ternyata terdapat perbedaan antara kedua orangtua atau
wali, yang memelihara, atau keluarga yang mempunyai hubungan
9
hlm 93-95
darah dalam garis keturunan lurus ke atas baik salah seorang atau
lebih di antara mereka maka orang yang akan melangsungkan
perkawinan mengajukan permohonan ijin kawin ke Pengadilan
yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal pemohon.
Pengadilan dapat memberikan ijin setelah mendengar keterangan
dari kedua orang tua atau wali atau keluarga yang mempunyai
hhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas (pasal 6 ayat
(6)).10

3) Dispensasi Kawin
Pada dasarnya perkawinan hanya diijinkan apabila pihak pria
sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan wanita telah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun (pasal 7 ayat (1)). Namun
apabila umur pria atau wanita belum mencapai usia sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini dapat meminta dispensasi kepada
Pengadilan. Dispensasi diajukan oleh orangtua yang bersangkutan
kepada Pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tenpat tinggal
pemohon (Pasal 7 ayat (2)).
Dalam hal ketentuan-ketentuan mengenai keadaan seorang atau
kedua orangtua sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (3), ayat (4),
dan ayat (6) berlaku pula dalam perkara permohonan dispensasi
kawin ke Pengadilan (Pasal 7 ayat (3)).11

4) Pencegahan Perkawinan
perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melakukan perkawinan (pasal 13).

10
hlm 95-96

11
hlm 96-97
Adapun syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan diatur
dalam Bab II tentang syarat-syarat Perkawinan pasal 6 sampai
dengan pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan dan Kompolasi Hukum Islam Bab VI tentang Rukun
dan Syarat Perkawinan pasal 14 sampai dengan pasal 29, Bab V
tentang Mahar pasal 30 sampai dengan pasal 38, dan Bab VI
tentang Larangan Perkawinan pasal 39 sampai dengan pasal 44.
Pencegahan perkawinan dilakukan oleh:
- keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas atau ke
bawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah
seorang mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan
(pasal 14 ayat (1)).
- Pihak yang masih dalam perikatan perkawinan dengan
salah satu pihak atau kedua belah pihak yang akan
melangsungkan perkawinan baru (pasal 15).
- Pejabat yang ditunjuk apabila ketentuan dalam pasal 7 ayat
(1), pasal 8, aal 9, pasal 10, dan pasal 12 tidak terpenuhi
(pasal 16 ayat (1)).
Pencegaha dapat dilakukan apabila salah satu calon mempelai
berada di bawah pengampunan sehingga dengan perkawinan itu
nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai lainnya
(pasal 14 ayat 1).
Permohonan pencegahan perkawinan diajukan ke Pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan akan
dilangsungkan dengan memberitahukan kepada Pegawai Pencatat
Nikah kemudian oelh Pegawai Pencatat Nikah diberitahukan
kepada calon mempelai.
Selama pencegahan perkawinan belum dicabut maka perkawinan
belum dapat dilangsungkan (pasal 9). Pencegahan perkawinan
dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik
kembali permohonan pencegahan perkawinan yang diajukan ke
Pengadilan oleh pemohon (pasal 18).12

5) Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah


Pegawai Pencatat Nikah yang berpendapat bahwa terhadap
perkawinan yang akan dilangsungkan terdapat larangan menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 harus menolak
melangsungkan perkawinan (pasal 21 ayat 1). Penolakan
perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah diberitahukan dengan
keterangan tertulis disertai alasan-alasan penolakannya.
Pihak yang ditolak dapat mengajukan permohonan kepada
Pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat perkawinan
akan dilangsungkan dengan menyerahkan surat keterangan
penolakan dari Pegawai Pencatat Nikah (pasal 21 ayat 3).
Atas permohonan tersebut Pengadilan akan memerikasa
perkara dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan
apakah menguatkan penolakan atau memerintahkan Pegawai
Pencatat Nikah melangsungkan perkawinan (pasal 21 ayat 4).
Penetapan Pengadilan mengenai sahnya penolakan Pegawai
Pencatat Nikah untuk melangsungkan perkawinan tidak lagi
mempunyai kekuatan hukum apabila rintangan-rintangan yang
mengakibatkan penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat
Nikah hilang dan pihak yang ingin nikah memberitahukan kembali
akan dilangsungkannya perkawinannya (Pasal 21 ayat 5).13

12
hlm 97-98

13
hlm 98-99

Anda mungkin juga menyukai