Anda di halaman 1dari 14

KANZ PHILOSOPHIA Volume 4, Number 1, June 2014 47

KANZ PHILOSOPHIA
Volume 4 Number 1, June 2014 Page 1-151

ETIKA LINGKUNGAN DALAM PERSPEKTIF TEORI KESATUAN WUJUD


TEOSOFI TRANSENDEN

Muhammad Yasser

STIT Daarul Fatah, Tangerang-Selatan


Email : penerbit_yes@yahoo.co.id

ABSTRACT

The study of environmental ethics based on the theory of oneness of being of Transcendent Theosophy has
frontally criticizes modern scientific paradigm which is anthropocentric in character. This particular perspective
believes that only man who posses value in itself (intrinsic value), while other being posses only instrumental
value in relation to man interests. On the other hand, it also criticizes the ecocentric perspective which considers
nature to posses her own value independently from man. The principle of oneness of being (wahdat al-wujūd)
is the main (ontological) argumentation used by muslim philosophers, including Mulla Sadra as the founder
of Transcendent Theosophy, in answering all cosmological questions and concerns throughout the ages. The
Transcendent Theosophy itself is a (relatively) new perspective in the tradition of Islamic philosophy, which is
based on a creative synthesis and harmonization of nearly all the earlier schools.

Keywords: oneness of being, transcendent theosophy, anthropocentrism, ecocentrism, theocentrism,


ontocentrism

ABSTRAK

Etika lingkungan berdasarkan pada kesatuan wujud Teosofi Transenden merupakan kritik terhadap paradigma
modern yang bercorak antroposentris. Perspektif ini memiliki keyakinan bahwa hanya manusia yang memiliki
nilai di dalam dirinya (nilai intrinsik) sedang nilai yang terdapat pada alam semata instrumental dalam kaitannya
dengan kepentingan manusia. Di sisi lain ia juga mengkritik pandangan ekosentrisme yang memandang alam
memiliki nilainya sendiri terlepas dari kepentingan manusia. Prinsip kesatuan wujud (oneness of being, waḥdat
al-wujūd) merupakan argumentasi ontologis para filsuf Muslim, termasuk di dalamnya Mulla Sadra sebagai
pendiri aliran Teosofi Transenden. Teosofi Transenden sendiri merupakan perspektif yang relatif baru dalam
tradisi filsafat Islam yang mendasarkan dirinya pada sintesis-kreatif dan harmonisasi semua aliran filsafat.

Kata-kata Kunci : kesatuan wujud, teosofi transenden, antroposentrisme, ekosentrisme, teosentrisme,


ontosentrisme.
48 ETIKA LINGKUNGAN DALAM PERSPEKTIF TEORI KESATUAN WUJUD... (Muhammad Yasser)

Pendahuluan pemanasan global, polusi air dan udara, radiasi


nuklir, dan lain sebagainya. Kedua, bencana
Sejak tahun 1970-an tema etika alam (natural disaster) yaitu bencana yang
lingkungan semakin populer seiring dengan diakibatkan oleh aktivitas alam itu sendiri,
meningkatnya berbagai peristiwa yang terkait seperti gempa bumi, erupsi gunung berapi, dan
dengan alam dan lingkungan. Sebagai salah tsunami. Walaupun bencana jenis ini bukan
satu cabang dari filsafat, etika lingkungan sepenuhnya diakibatkan oleh perilaku manusia,
mempertanyakan keyakinan manusia modern tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa bencana
yang bersifat antroposentris, yaitu cara- tersebut terjadi karena kelalaian manusia
pandang yang menekankan pada peran sentral dalam mengantisipasinya.
manusia sebagai penguasa dan eksploitasinya Lebih dari itu, gaya hidup manusia modern
terhadap alam semesta. Setidaknya terdapat yang konsumtif, hedonis, dan anti-ekologi tidak
saja telah merusak alam semesta tapi juga
dua pertanyaan fundamental yang muncul:
berefek negatif terhadap aspek kemanusiaan
pertama, asumsi moral superioritas manusia
itu sendiri. Dalam dunia medis, misalnya,
atas alam; dan kedua, penelitian terhadap
tidak hanya terancam dari bahaya wabah dan
kemungkinan argumentasi rasional terkait
kelaparan yang saat ini banyak menimpa negara
nilai intrinsik pada alam dan setiap spesies
miskin seperti di Afrika, tetapi juga mengancam
non-manusia di dalamnya. Dari pertanyaan-
masyarakat urban yang tinggal di negara-negara
pertanyaan tersebut, dapat dipahami bahwa
kaya melalui penyakit-penyakit kronis seperti
etika lingkungan merupakan suatu disiplin
serangan jantung, kanker, lupus dan lainnya,
filsafat yang mempelajari tentang relasi moral
sebagai akibat dari gaya hidup modern, polusi
antara manusia dengan alam dan penghuninya
dan makanan sintetis. Dalam dunia industri,
serta nilai dan status moralnya.
persediaan bahan bakar fosil telah berada di
Krisis lingkungan yang dapat ujung tanduk, sementara alternatif utamanya,
membahayakan peradaban modern merupakan reaktor nuklir, menyimpan potensi kerusakan
efek dari perlakuan manusia modern itu sendiri yang tak kalah mengerikan. Dari beberapa
terhadap alam. Perkembangan pesat teknologi contoh di atas, dapat dikatakan bahwa hal
pada satu sisi dan minimnya pertimbangan tersebut terjadi karena prilaku manusia modern
nilai-nilai moral di sisi yang lain, merupakan yang memandang alam semata-mata fisik dan
salah satu bentuk dari manifestasi cara-pandang bernilai ekonomis (Schumacher 1975, 13-22).
antroposentris. Secara umum, krisis lingkungan Dengan demikian dapat dipahami
dapat dibedakan menjadi dua: pertama, bahwa krisis lingkungan khususnya, dan krisis
bencana lingkungan (environmental disaster), kemanusiaan pada umumnya, merupakan
yaitu bentuk bencana yang diakibatkan bagian dari krisis modernitas yang multi-
oleh perlakuan manusia yang mengganggu dimensional. Menurut Fritjof Capra, krisis-
keseimbangan ekosistem, dan berujung pada krisis tersebut lahir sebagai akibat dari krisis
kerusakan jangka panjang dan berskala global. tunggal, yaitu krisis persepsi (2002, 11-14;
Termasuk dalam kategori ini adalah problem 2004, 19).1 Demikian juga Nurcholish Madjid

1 Dalam bukunya yang lain Capra juga menganalisis hakikat krisis lingkungan sebagai krisis
transisional, dimana transformasi secara eksternal (teknologi ramah lingkungan) dan internal (paradigma
KANZ PHILOSOPHIA Volume 4, Number 1, June 2014 49

mengatakan bahwa akar segala krisis dewasa lain adalah essai berjudul The Historical Roots of
ini mestilah krisis dalam moralitas dan Our Ecological Crisis yang ditulis oleh Lynn White
spiritualitas, yang “mengalir” dari atas (para tentang akar historis krisis lingkungan, yang tak
pengambil-keputusan) ke bawah (masyarakat lain adalah paradigma Judeo-Kristian tentang
umum) (Nurcholish Madjid 1998, 186). superioritas manusia atas alam dan Tuhan yang
Faktanya, mayoritas manusia modern, terlebih transenden dan supra-natural (White, 2014).3
para pengambil-kebijakan, selalu menggunakan Terakhir, tapi tak kalah pentingnya, adalah
paradigma sekular yang menganggap bahwa buku A Sand County Almanac (1949) oleh Aldo
alam semesta dan juga manusia hanya terdiri Leopold yang mengusung ide urgensi land
dari unsur-unsur fisik. Akibatnya, solusi yang ethics (sebagai prototipe etika lingkungan pada
ditawarkan terkait dengan krisis lingkung tahun 1970-an) sebagai etika yang melingkupi
masih terbatas pada aspek fisik itu sendiri, wilayah moralitas non-manusia (2014).4
seperti menanam kembali pohon-pohon yang Dari hasil beberapa penelitian di atas,
telah dihancurkan, tetapi, di tempat lain dan disimpulkan bahwa terdapat tiga faktor
pada saat yang sama, hutan-hutan sedang utama yang dihadapi studi etika lingkungan.
dihancurkan. Inilah yang disebut dengan Pertama, berkaitan dengan kecemasan dan
paradok modernisme. kebutuhan akan solusi yang permanen atas
Untuk mengatasi berbagai krisis krisis lingkungan yang mengancam peradaban
multidimensional di atas, para ilmuan telah modern. Dari hasil penelitian dalam buku The
mengajukan beberapa solusi alternatif melalui Limits to Growth, dan banyak hasil penelitian
beberapa penelitian, seperti yang diabadikan lain sejenisnya, memperlihatkan kesaling-
dalam buku berjudul The Limits to Growth terkaitan (interconnectedness) berbagai krisis
(1972) yang meneliti batas fundamental yang terjadi dewasa ini. Oleh karena itu,
pertumbuhan populasi global, agrikultur, energi diperlukan solusi yang komprehensif dan
fosil, industri, polusi, dan keterkaitan di antara fundamental. Kedua, terkait pertanyaan akar
kesemuanya (Meadows 1974, 10).2 Penelitian krisis dunia modern, yaitu, antroposentrisme

ekologis) bukanlah sebuah pilihan tapi keniscayaan, hanya saja manusia memiliki pilihan untuk menjalaninya
berdasarkan kesadaran atau keterpaksaan.
2 Buku ini ditulis oleh sekelompok peneliti MIT sebagai konkritisasi hasil pertemuan Klub
Roma. Fokus utamanya adalah menganalisa permasalahan yang dihadapi manusia modern, meliputi, paradoks
kelaparan di tengah melimpahnya produksi makanan; degradasi lingkungan; kehilangan kepercayaan
terhadap institusi; urbanisasi yang tak terkontrol; pengangguran; alienasi generasi muda; perlawanan nilai-
nilai tradisional; hingga inflasi dan disrupsi moneter lainnya. Kesimpulan yang dihasilkan adalah, betapa
kesemua problem tersebut ternyata saling terkait, dan karenanya berbagai krisis tersebut memerlukan solusi
yang komprehensif, holistik dan ekologis.
3 Kritik yang diajukan White terbilang mengejutkan sebab mendemonstrasikan akar ideologi
antroposentrisme yang arogan tersebut ternyata adalah teologi Yahudi dan Kristen (termasuk Islam sebagai
bagian dari tradisi Semitik). Yang menarik, ia juga menyimpulkan, karena akarnya adalah paradigma agama
maka solusinya juga mesti berasal dari agama-agama tersebut.
4 Lewat land ethics nya Leopold menekankan bahwa manusia bukanlah penguasa alam ini
melainkan salah satu anggota komunitas biotis di dalam alam semesta. Dari sini lahir aturan emas etika nya,
“Sesuatu itu baik bilamana mendukung integritas, stabilitas dan keindahan komunitas biotis, vice versa, sesuatu
itu buruk bilamana berkecenderungan sebaliknya.”
50 ETIKA LINGKUNGAN DALAM PERSPEKTIF TEORI KESATUAN WUJUD... (Muhammad Yasser)

yang berdasarkan kepada tradisi agama Semitik Sebagaimana telah disinggung dalam bab
tentang superioritas manusia atas alam. sebelumnya, Lynn White menyebutkan bahwa
Pertanyaan ini penting bukan saja bagi kalangan akar dari krisis lingkungan global berasal
agamawan tapi masyarakat secara keseluruhan paradigma Judeo-Kristian (White, 2014).5
mengingat hakikat sains modern itu sendiri White bukanlah satu-satunya pemikir yang
sebagai manifestasi teologi Semitik. Ketiga, berusaha menyandarkan krisis lingkungan
terkait ide Aldo Leopold tentang land ethics pada paradigma Judeo-Kristian, karena
yang mencoba menginvestigasi kemungkinan banyak pemikir modern lain turut serta
mengaplikasikan nilai intrinsik pada alam dan mempersalahkan fondasi filosofis pemikiran
para penghuni non-manusia di dalamnya. Ide modern. S.R Sterling, misalnya, menegaskan
ini penting sebab tanpa landasan yang memadai bahwa berbagai permasalahan dunia dewasa
bagi nilai intrinsik pada alam, maka manusia ini diawali oleh “gerhana” dalam paradigma
“berhak” melakukan apa saja pada alam. Kristiani abad pertengahan. Gerhana
tersebut terjadi ketika gereja tak lagi mampu
Islam dan Etika Lingkungan menjembatani pandangan intelektual para
sarjana modern mulai dari Francis Bacon hingga
Secara historis, studi etika lingkungan Isaac Newton. Akibatnya adalah paradigma
pertamakali muncul dan berkembang di sekular-materialis yang secara inheren telah
negara-negara Barat, yaitu negara-negara yang membukakan pintu dan jalan bagi manusia
memiliki indeks humanitarian tertinggi dan untuk mengeksploitasi alam semesta. Salah
terdepan dalam isu lingkungan. Berdasarkan satu pemikir modern yang paling berpengaruh
pada fakta tersbeut, diskursus tentang tema dalam konteks ini adalah cara pandang dualitas
krisis lingkungan beserta solusi-solusi yang Cartesian yang memisahkan antara kesadaran
ditawarkan lahir dari negara-negara Barat. dan tubuh, yang mana pandangan tersebut
Namun demikian, akan menjadi problem memberikan implikasi negatif terhadap
jika menjadikan Barat sebagai satu-satunya perbedaan secara mendasar antara manusia
model dalam pengembangan etika lingkungan sebagai subjek dan alam sebagai objek.
sebagai solusi alternatif bagi krisis lingkungan. Berbeda dengan teologi Kristiani yang
Alasannya, karena fakta historis menunjukkan memberi landasan pada paradigma modern
bahwa krisis lingkungan yang mengancam yang antroposentris dan mengarah pada krisis
peradaban modern berawal dari peradaban lingkungan dewasa ini, dalam teologi Islam
Barat itu sendiri, yang memiliki kecenderungan terkandung prinsip-prinsip etika lingkungan
sekular dan antroposentris. Berbagai aliran etika yang lebih seimbang, integratif, dan holistik
lingkungan yang berkembang sesungguhnya dalam memandang relasi manusia-alam.
merupakan antitesis dari paradigma dunia yang Menurut Ziauddin Sardar prinsip-prinsip ini
terbukti problematis dan tak lagi memadai. meliputi konsep tauhid (tawhīd), khilāfah

5 Ada alasan tersendiri kenapa “hanya” dua agama Semitik ini yang dijadikan fokus dalam tesis
penelitian White, mengingat keduanya, terutama teologi Kristiani, telah menjadi paradigma yang dominan di
Barat sepanjang abad modern. Sementara Islam dipandang, dalam konteks teologi Kristiani tersebut, sebagai
tak lebih dari “penyelewengan” agama Kristiani layaknya Marxisme pada akhir abad 19 M.
KANZ PHILOSOPHIA Volume 4, Number 1, June 2014 51

(termasuk di dalamnya konsep amānah dan melulu mengeksploitasinya untuk kepentingan


‘ilm), istishlāh (kepentingan umum) dan halal ekonomis semata, mengingat alam bukan
haram, serta lainnya meliputi keadilan dan cuma bernilai secara instrumental tapi lebih
moderasi, kesederhanaan, keseimbangan dan dari itu yaitu sebagai manifestasi Tuhan dalam
harmoni (i‘tidāl), dan juga konsep istihsān kehidupan dunia (vestigia dei).6
(kecenderungan untuk berbuat baik). Kesemua Prinsip lain terkait dengan etika
prinsip ekologis di atas, sebagaimana ditekankan lingkungan dalam Islam adalah konsep istishlāh,
Sardar, merupakan landasan paradigma etika yang berarti kebaikan masyarakat secara
lingkungan berdasarkan ajaran Islam (syarī‘ah), umum, dan istihsān yang berarti tendensi
dan sekaligus mementahkan tudingan White untuk keadaan yang lebih baik. Kebaikan sosial
tentang Islam sebagai modus penyelewengan dan kondisi di sini bukan dalam arti sempit
tradisi Judeo-Kristiani, layaknya Marxisme, sebagai keuntungan ekonomis, sebagaimana
dan karenanya turut andil dalam “destruksi dalam etika kapitalis yang antroposentris
monoteistis” atas alam, sebagai suatu tuduhan dan materialistis, tapi mencakup kebaikan
yang tidak relevan dan tidak masuk akal (Sardar individu, sosial dan lingkungan alamiah serta
1987, 235-236). aspek-aspek material, mental dan spiritual.7
Dengan demikian dapat dimengerti Pada akhirnya, dalam tataran yang lebih
bahwa prinsip tauhid (kesatuan Tuhan) praktis terdapat prinsip halal dan haram yang
merupakan jiwa atau fondasi paling mendasar berdasarkan kepada aspek-aspek teoritis etika
setiap pemikiran dan perilaku seorang Muslim, lingkungan Islam sebelumnya (tawhīd, khalīfah,
dan merupakan petunjuk dalam prinsip-prinsip istishlāh dan istihsān).
keagamaan dan etika, politik dan relasi sosial, Konsep halal dalam kaidah hukum
epistemologi dan sains, dan sebagai prinsip fikih, dapat diartikan sebagai tindakan yang
bagi manusia hubungannya dengan lingkungan membawa kebaikan kepada semua pihak,
alamiah. Ibarat lingkaran, maka prinsip tauhid bukan cuma individu dan masyarakat tapi juga
ini terletak tepat di tengahnya, sementara lingkungan alamiah, dan sebaliknya haram
berbagai prinsip lain, seperti hubungan bilamana tindakan tersebut membawa kepada
manusia dan alam, mengelilinginya. Adapun kerusakan dan disharmoni lingkungan alamiah.
prinsip tauhid kaitannya dengan konsep Kerusakan yang dimaksud di sini bukan hanya
khalīfah, yakni manusia sebagai wakil Tuhan di dalam artian material (ekonomis) tapi juga
muka bumi, maka selain merupakan penguasa secara mental dan spiritual. Implikasinya
alam semesta manusia juga memiliki tanggung adalah, sekalipun sebuah tindakan membawa
jawab primordial untuk menjaga alam dan tidak keuntungan ekonomis yang luar biasa, namun

6 Antara lain disebutkan dalam QS 16: 68-69. “Dan Tuhan mu mengilhamkan kepada lebah,
‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia...’ Dari
perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang
menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian ini terdapat tanda kebesaran Tuhan bagi
orang-orang yang memikirkan.”
7 Tentang larangan berbuat kerusakan pada alam lihat antara lain QS 7:56, “Dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya, dan berdoalah dengan rasa takut dan
harapan. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
52 ETIKA LINGKUNGAN DALAM PERSPEKTIF TEORI KESATUAN WUJUD... (Muhammad Yasser)

bisa dikategorikan haram bilamana memiliki Menurut Sayyid Mustafa, dalam Teosofi
kecenderungan merusak keseimbangan alam Transenden, seperti yang diungkapkan
(abai aspek amdal) dan mental serta spiritual oleh Mulla Sadra, terdapat tiga prinsip yang
manusia, serta menyalahi prinsip-prinsip etika menjadi landasan etika lingkungan Islam.
lingkungan lainnya (Bakar 2007, 38-41).8 Pertama, dunia atau alam dipandang sebagai
Adapun terkait dengan pertanyaan nilai organisme yang hidup (insān al-kabīr). Prinsip
intrinsik pada alam, yang merupakan jantung tersebut mengatakan bahwa setiap makhluk di
pertanyaan etika lingkungan, maka tentu saja dalamnya, bahkan benda-benda mati sekalipun,
berbagai prinsip syarī‘ahIslam di atas tidaklah memiliki “kesadaran” akan asal-usul nya dan
memadai sebab lingkupnya terbatas hanya penciptanya, bahkan mereka secara aktif
pada kalangan umat Islam (Schmidtz dan berzikir kepada Tuhan (walaupun dalam bahasa
Willott, 2002).9 Di sinilah letak pentingnya yang tak bisa dimengerti manusia), sebab
demonstrasi burhānī atau argumentasi rasional segala sesuatu mulai dari mineral sederhana
filsafat Islam, dalam hal ini Teosofi Transenden, hingga organisme yang kompleks memiliki jiwa
yang berdasarkan kepada sumber-sumber dan kehidupan. Pandangan ini berbeda dengan
otentik Islam (al-Qur’an dan Hadis) serta cara pandang sekular mekanistik-deterministik
pengaruh-pengaruh filsafat lainnya (Yunani, yang menyatakan bahwa alam semesta
Persia dan lainnya) dalam suatu aturan logis layaknya mesin raksasa. Kedua, terkait dengan
dan sistimatika pemikiran. Dapat dipahami konsep kebangkitan kembali alam ini, yaitu cara
pula bahwa letak perbedaan filsafat Islam pandang yang meyakini bahwa setiap makhluk
dengan filsafat Barat, dimana secara historis (termasuk tumbuhan dan benda-benda di
peradaban Islam mencapai masa keemasannya alam lainnya) akan mengalami revivikasi
(dalam abad 9-11 M) lewat proyek sakralisasi (kebangkitan kembali) layaknya manusia,
sains dan filsafat berdasarkan kepada ajaran mengingat takdir manusia dan alam seluruhnya
tauhid, sedang Barat justru mencapainya lewat tak bisa dipisahkan. Ketiga, yaitu teori kesatuan
proyek sekularisasi yang terjadi sepanjang abad wujud sebagai landasan bagi semua teori di atas
modern (16-20 M). dan menjadi landasan bagi pengembangan etika

8 Selain keempat prinsip ekologi Islam di atas, dalam Alquran sendiri terdapat banyak ayat
terkait ide, ajakan dan nasehat dalam memberlakukan alam secara baik. Di antaranya QS 32:5 tentang ide
kesatuan makhluk dan takdir bumi terkait alam semesta seluruhnya dan manusia; QS 26:17 tentang keunikan
bumi sebagai “planet” yang mendukung kehidupan; QS 6:38, terkait prinsip harmoni antara organisme dan
lingkungannya; QS 55:7-9, ide tentang keseimbangan ekologis; dan QS 6:141 terkait ide tentang “ekonomi
ilahiah” dalam alam yang tidak mengandung kesia-siaan dan anti-konsumerisme, bahwa Tuhan tidak
menciptakan sesuatu pun secara sia-sia.
9 Dari berbagai sumber penulis menyimpulkan, setidaknya terdapat tiga pertanyaan nilai
intrinsik alam yang perlu dijawab oleh etika lingkungan Islam: Pertama, apakah alam bernilai semata-
mata instrumental bagi kepentingan manusia, ataukah memiliki nilai secara intrinsik layaknya manusia
dan bagaimana argumentasi eksistensi nilai intrinsik pada alam tersebut; Kedua, terkait sifat nilai intrinsik
tersebut, apakah subyektif ataukah obyektif; dan akhirnya pertanyaan ketiga, perihal apakah nilai intrinsik
alam tersebut bersifat individualistik ataukah holistik. Namun karena keterbatasan tempat maka dalam tulisan
ini hanya akan dijawab pertanyaan mendasar pertama saja. Lebih jauh tentang pertanyaan-pertanyaan nilai
intrinsik alam.
KANZ PHILOSOPHIA Volume 4, Number 1, June 2014 53

lingkungan terutama dalam tulisan ini (Damad, lingkungan modern, integrasi ekologi dengan
2014).10 teologi, proyek resakralisasi alam dan sains
Teori kesatuan wujud Teosofi Transenden, sakral, hingga praktek konservasi Islam dan fiqh
yang menjadi fondasi utama penelitian ini, al-bi‘ah (fiqih lingkungan).
sedikit banyak dipengaruhi oleh teori emanasi, Dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr,
Illuminasi, dan bahkan mistisisme. Tetapi, tapi paradigma antroposentris yang berdasarkan
di atas semua itu, konsep ini memiliki akarnya kepada materialisme dan sekularisme, telah
dalam ajaran tauhid Islam. Para filsuf Muslim, menyebabkan desakralisasi alam di mana alam
dengan analisa kritis dan kreativitasnya telah semata-mata dilihat pada aspek kuantitatif
mengembangkan teori ini menjadi lebih dan nilai instrumentalnya dalam rangka
baik lagi dan lebih sempurna. Teori kesatuan menghasilkan keuntungan ekonomis yang
wujud yang berasal dari emanasi Plotinos, sebesar-besarnya. Solusi terhadap problem
misalnya, telah mengalami perubahan dan tersebut, menurut Nasr, mestilah resakralisasi
perkembangan signifikan di tangan para filsuf alam dan sains (scientia sacra), dimana
Muslim seperti Ibn Sina, Ibn ‘Arabi, Suhrawardi, aspek metafisika terkait hakikat alam mesti
dan mencapai puncaknya dalam Teosofi dihidupkan kembali dan kualitas sakral sekali
Transenden Mulla Sadra. Bahkan, di tangan lagi diatributkan ke alam semesta. Tujuan
para filsuf Islam kontemporer seperti Seyyed proyek resakralisasi alam ini tak lain dalam
Hossein Nasr dan Murtadha Muthahhari, teori rangka mengembalikan sains modern pada
ini telah berkembang sedemikian rupa sehingga akar metafisikanya. Hanya dengan mengakui
menjadi landasan rekognisi nilai intrinsik dalam kesucian dan aspek kualitatif alam, maka
studi etika lingkungan. Di samping itu, konsep alam akan membuka segala keindahan dan
ini diperluas hingga mencakup tema-tema rahasianya, dan pada akhirnya relasi harmoni
filsafat kontemporer meliputi eksistensialisme, antara manusia dan alam akan terjalin dengan
filsafat analitik, filsafat organisme, hingga baik (Nasr 2007, 14).
teori-teori sains modern seperti evolusi Untuk mengatasi krisis lingkungan, lanjut
kreatif, biologi molekuler dan tentu saja teori Nasr, tidak hanya menghidupkan kembali
kuantum. Keunikan yang ditawarkan Nasr dan prinsip-prinsip metafisika pada alam semesta,
Muthahhari terkait dengan etika lingkungan tetapi juga pada sains itu sendiri. Bagi Nasr, sains
Islam berdasarkan pada teori Teosofi modern telah memiliki peran penting dalam
Transenden, dapat dilihat dalam kritiknya proses krisis tersebut. Oleh karena itu, sains
terhadap sekularisme sebagai akar krisis sakral, sebagai lawan dari sains sekuler, memiliki

10 Bukan hanya dalam Teosofi Transenden Mulla Sadra, para filsuf pendahulu nya seperti Ibn
Sina, Nasir al-Din Thusi dan lainnya juga menekankan betapa segala sesuatu di alam materi ini memiliki jiwa
dan berfungsi layaknya cermin yang memantulkan esensi ilahiah dan kebenaran transendental. Ibn Sina
membagi dunia menjadi lima level, dimana dunia materi ini hanyalah salah satu level nya yang bersumber
dari esensi ilahiah. Sementara itu Jalaludin Rumi mengatakan terdapat dua gerakan dalam hirarki wujud ini,
gerak ke bawah (dari sumber ke dunia materi ini) dan gerak ke atas (dari alam materi kembali ke asal), dan
manusia sebagai makhluk yang komprehensif, terlibat dalam setiap level dan tingkatan, memiliki tanggung-
jawab primordial untuk memimpin alam materi ini kembali kepada dunia intelek dan akhirnya sumber segala
sesuatunya.
54 ETIKA LINGKUNGAN DALAM PERSPEKTIF TEORI KESATUAN WUJUD... (Muhammad Yasser)

kerangka acuan dan aplikasi pengetahuan secara sia-sia). Konsekuensi-nya, manusia,


sakral ke dalam setiap domain realitas baik dengan kesadaran-dirinya, memiliki kewajiban
fisik maupun spiritual. Alam dipandang sebagai untuk tidak menyalahi hak-hak yang dimiliki oleh
realitas yang sakral, vestigia dei atau ayātullāh, alam (sebagai konsekuensi nilai intrinsik alam),
yaitu tanda-tanda Tuhan yang menunjukan seperti membuat kerusakan atas alam tanpa
kebesaran-Nya. Nasr juga menekankan betapa memperhatikan aspek amdal-nya mengingat
sains sakral seperti ini merupakan kelanjutan alam memiliki hak untuk hidup dan lestari.
dari sains tradisional (baik sains Islam ataupun Nilai intrinsik alam yang seperti ini (nilai sakral
Eropa abad pertengahan) yang sesungguhnya, sebagai nilai intrinsik alam yang sebenarnya),
sementara sains modern tak lebih dari anomali dimana pada satu sisi manusia “tetap” lebih
sebab beroperasi dalam kerangka yang “salah- mulia daripada alam seluruhnya dan di sisi
arah” (materialisme dan sekularisme) sehingga lain alam juga bernilai secara intrinsik bukan
alam melulu tereduksi menjadi semata bernilai semata instrumen bagi kepentingan manusia,
secara kuantitatif dan manusia modern dibuat mendapatkan landasannya dalam argumentasi
terbuai oleh “mitos” bahwa segala krisis yang ontologis (dan epistemologis) yang ditawarkan
melanda akan selesai dengan sendirinya seiring oleh teori kesatuan wujud Teosofi Transenden.
dengan kemajuan sains.
Dengan menghadirkan kembali nilai Etika Lingkungan dalam Teori Kesa-
sakral (baik pada alam maupun sains), menurut tuan Wujud Teosofi Transenden
penulis, telah menjawab salah satu problem
mendasar peraban modern, yaitu krisis Arne Naess, dalam makalahnya tentang
lingkungan dan juga manusia. Sebagaimana ekologi yang berjudul The Shallow and Deep,
telah dipaparkan sebelumnya, dalam etika Long Range Movements, membagi studi etika
antroposentrisme manusia dianggap sebagai lingkungan menjadi dua kategori, dangkal
satu-satunya entitas yang bernilai secara (shallow ecology) dan dalam (deep ecology)
intrinsik (dan karenanya berhak melakukan (Naess, 1973). Ekologi dangkal dikenal juga
apa saja pada alam) sebab hanya manusia sebagai etika lingkungan antroposentris yang
yang memiliki kesadaran-diri dan karenanya memandang manusia sebagai satu-satunya
bisa memberi nilai pada dirinya sendiri (akan entitas yang bernilai secara intrinsik dan
halnya alam yang tidak memiliki kesadaran- berbagai tindak konservasi alam dilakukan
diri dan karenanya tidak mungkin bernilai semata untuk kepentingan manusia. Sementara
secara intrinsik, melainkan manusia yang itu, ekologi-dalam dikenal juga sebagai etika
memberikannya). Maka dalam etika lingkungan lingkungan ekosentrisme yang memandang
Islam setiap entitas dalam alam mesti bernilai alam tidak semata bernilai secara instrumental
secara intrinsik dikarenakan kualitas sakral- bagi manusia tapi juga bernilai secara intrinsik
nya (sebagai ciptaan Tuhan yang tidak tercipta (Mangunjaya dan Heriyanto 2007, 93-94).11

11 Semantara itu Husain Heriyanto membagi studi etika lingkungan ke dalam tiga kategori, ekologi
dangkal, dalam dan sosial ekologi. Bila ekologi dalam mengkritik pandangan ekologi dangkal dan pendekatan-
pendekatannya dalam konservasi alam yang bersifat superfisial, tambal-sulam, parsial dan semata solusi yang
temporer tanpa menyentuh akar masalahnya (yaitu perspektif antroposentrisme itu sendiri), maka sosial
ekologi mengkritik pandangan dan pendekatan yang digunakan ekologi dalam, sebagai solusi yang putus-asa
KANZ PHILOSOPHIA Volume 4, Number 1, June 2014 55

Dalam hemat penulis, selain dua aliran (Collins dan Sellina 1998, 51-73);13 dan
di atas, terdapat juga aliran etika lingkungan teosentrisme yang menolak baik nilai intrinsik
ketiga, yaitu teosentrisme; suatu cara pada alam ataupun manusia berdasarkan
pandang yang melihat Tuhan sebagai satu- argumentasi refleksionisme, dimana manusia
satunya entitas yang bernilai secara intrinsik, dan alam diciptakan semata bagi kepentingan
sedangkan manusia dan alam merupakan Tuhan (bernilai secara instrumental bagi
manifestasi dan instrumen dari kreasi Tuhan. Tuhan) sebagai satu-satunya entitas sejati yang
Dari ketiga aliran di atas, jika dibandingkan bernilai secara intrinsik (Clark 1998, 42-43;
dengan menggunakan argumentasi ontologis, Murata 1997, 111-112) .14 Dalam konteks ini,
maka perbandingannya adalah sebagai berikut: penulis hendak memperlihatkan kelemahan
antroposentrisme, yang menekankan manusia setiap aliran etika lingkungan di atas, dan
sebagai satu-satunya subyek dan agen moral, mendemonstrasikan keutamaan aliran etika
mendapatkan landasannya dalam argumentasi lingkungan yang berdasarkan kepada teori
dualisme tubuh-jiwa Cartesian dan kehendak- kesatuan wujud Teosofi Transenden yang
bebas Immanuel Kant;12 ekosentrisme, yang mencakup keseluruhan aliran etika lingkungan
menekankan pada realitas nilai intrinsik alam, sebelumnya.
mendapatkan landasannya dalam argumentasi Seyyed Mohsen Miri, menyebutkan
relasionalisme dan ekologi-diri (ecological-self) bahwa terdapat empat prinsip yang menjadi
Baruch Spinoza dan ontologi Martin Heidegger landasan etika lingkungan Islam berdasarkan

(desperate), tidak koheren secara intelektual, dan abai terhadap faktor sosial-ekonomi dalam problem
lingkungan, dan mencoba melacak akar permasalahannya pada dominasi sosial manusia sebagaimana terdapat
dalam sistem kapitalisme.
12 Dualisme Descartes, antara res cogitan dan res extensia, mendapatkan angin segarnya dengan
keberhasilan fisika Newton, dan melahirkan paradigma mekanistik-determinan pada alam yang dipandang
layaknya jam mekanik. Sementara Kant melanjutkan kecenderungan Descartes dengan etika deontologi
nya yang meletakkan freewill yang dimiliki manusia sebagai landasan moralitas. Keduanya menjadi klaim
antroposentrisme untuk memanipulasi dan eksploitasi alam bagi kepentingan manusia. Selain keduanya,
antroposentrisme juga mendapatkan landasannya dalam teologi Semitik Judeo-Kristiani dan argumentasi
teleologi Aristoteles.
13 Ekosentrisme sejatinya merupakan kelanjutan dari biosentrisme yang ditawarkan Aldo
Leopold lewat land ethics nya, yang sayangnya dikritik karena tidak memiliki landasan filosofis yang
memadai. Atas alasan ini maka Naess “hanya” menekankan ekologi-dalam sebagai suatu platform yang non-
antroposentris, sedang landasan argumentasi filosofisnya diserahkan kepada setiap peradaban, baik di Timur
ataupun di Barat. Di Barat sendiri ekosentrisme mendapatkan landasan ontologisnya dalam Deus Sive natura
nya Spinoza, dimana tubuh dan jiwa pada dasarnya adalah substansi yang satu dengan atribut berbeda.
Sementara Dasein Heidegger memandang manusia sebagai entitas yang sejak awal telah “terlempar” ke tengah-
tengah lingkungan alam dan sosial, dan tidak berdiri sendiri. Impilikasinya adalah penolakan individualisme
atomistik yang memandang manusia secara esensial terpisah dari alam, dan sebagai alternatifnya menawarkan
ide relasionalisme atau gambaran total-menyeluruh akan alam semesta dan ekologi-diri (ecological self).
14 Teosentrisme memiliki dasarnya dalam doktrin mistisisme dan atau gerakan spiritualitas
pantheisme seperti Shintoisme, metafisika Spinoza, dan teori kesatuan wujud Ibn Arabi—dimana relasi antara
Tuhan dan semesta alam (termasuk manusia) layaknya hubungan antara subyek sejati dan bayangannya di
dalam cermin, dimana alam dan manusia tak lebih dari bayangan di dalam cermin tersebut, sementara Tuhan
sebagai alpha dan omega kreasi alam semesta dan manusia.
56 ETIKA LINGKUNGAN DALAM PERSPEKTIF TEORI KESATUAN WUJUD... (Muhammad Yasser)

Teosofi Transenden. Pertama, bahwa segala ekosentrisme, yang cenderung mengabaikan


sesuatu yang ada, Tuhan dan segenap ciptaan fakta keutamaan manusia atas alam
Nya, berbagi eksistensi (wujūd) yang sama seluruhnya—bahkan menganggap kepentingan
dan karenanya terkait secara eksistensial; manusia tak lebih penting dari spesies lainnya,
Kedua, hukum sebab-akibat sebagai suatu apalagi dibanding kepentingan ekosistem itu
kepastian layaknya kalkulasi matematika, sendiri—maka, berdasarkan pada teori gradasi
dengan eksistensi Tuhan sebagai penyebab wujud, terdapat gradasi dalam nilai intrinsik,
bagi segala eksistensi lainnya; Ketiga, bahwa dimana manusia sebagai wakil Tuhan di muka
setiap entitas adalah refleksi atau manifestasi bumi memiliki tingkatan nilai intrinsik yang
Tuhan—ibarat cahaya transparan yang tunggal lebih tinggi dibanding alam (dan karenanya
dan terefleksi oleh kaca kristal menjadi hak-hak yang lebih eksklusif pula, mencakup
berbagai macam warna; Keempat, bahwa bukan saja hak untuk hidup dan lestari, tapi
setiap entitas bersifat sempurna pada dirinya juga hak memperoleh pendidikan, kebebasan
sendiri berdasarkan tingkatan eksistensial berekspresi, dan lainnya). Sementara, terlepas
dan gradasi eksistensinya (Mangunjaya and dari fakta bahwa teosentrisme (dalam hal
Heriyanto 2007, 26-33). Dengan kata lain ini teori kesatuan wujud dan teori tajallī Ibn
terdapat kesatuan eksistensial antara Tuhan, ‘Arabi) memiliki akar tauhid yang sama dengan
manusia dan alam seluruhnya, dengan Tuhan Teosofi Transenden, dimana Tuhan dipandang
sebagai eksistensi murni sementara manusia sebagai satu-satunya entitas yang absolut
dan alam sebagai manifestasi-Nya yang sedangkan manusia dan alam seluruhnya tak
bersifat plural dan hirarkis bergantung kepada lebih dari refleksi tak sempurna Tuhan, maka,
level kedekatannya kepada Tuhan (gradasi berdasarkan teori kesatuan wujud Teosofi
eksistensi). Tak kalah pentingnya adalah Transenden, setiap entitas (tak peduli serendah
konsep al-harakah al-jawhariyyah (gerak trans- apapun tingkatan mereka dalam skema gradasi
substansial) yang memandang manusia dan wujud) memiliki wujud yang nyata alih-alih
alam seluruhnya tidaklah diciptakan secara sekadar refleksi tidak sempurna dari Tuhan dan
acak dan tanpa tujuan, tapi dengan asal dan karenanya bernilai secara intrinsik (alih-alih
fungsi transendental. sekadar instrumen bagi Tuhan) (Mulla Sadra).15
Kaitannya dengan pertanyaan nilai Lebih jauh, berdasarkan skema gerak
intrinsik alam, maka berbeda dengan trans-substansial, dapat disimpulkan bahwa
antroposentrisme yang menjadikan kapasitas manusia pada satu sisi (yaitu sisi gerak ke bawah
rasio manusia dan kesadaran-diri sebagai dalam gerakan melingkar) merupakan produk
landasan nilai intrinsiknya, menurut prinsip alam, yang berarti manusia sebagai salah-satu
teori kesatuan wujud nilai intrinsik suatu entitas spesies memiliki kedudukan yang sama dengan
justru terletak pada eksistensinya sendiri, spesies yang lain, tetapi, dari sisi lain, yaitu
dimana segala sesuatu yang eksis (mawjūd) sisi gerak ke atas dalam gerakan melingkar,
maka secara otomatis mesti memiliki nilai manusia memiliki derajat yang lebih tinggi dari
intrinsik pula. Demikian juga, berbeda dengan alam secara keseluruhan, mengingat manusia

15 Berbeda dengan teori kesatuan wujud Ibn Arabi, dalam Teosofi Transenden alam selain
merupakan mumkīn al-wujūd li nafsih juga merupakan wajīb al-wujūd li ghairih.
KANZ PHILOSOPHIA Volume 4, Number 1, June 2014 57

merupakan awal dari sebuah gerak vertikal setiap entitas berasal dari-Nya.
yang memiliki tujuan kembali kepada Tuhan Sebagaimana halnya teori kesatuan
(Sadra 2011, 67-78).16 Ia berawal dari dunia wujud dalam ontologi, epistemologi Teosofi
alamiah (dunia sub-lunar) ke alam malakūt, Transenden pun berdasarkan kepada ajaran
dan seterusnya, hingga tingkatan kesatuan tauhid, yang memiliki kecenderungan
dengan Tuhan dalam diri seorang insān kāmil, mempersatukan berbagai metode ilmu
sebagaimana dikatakan oleh Nasr, “Tujuan pengetahuan alih-alih memisahkannya
penciptaan manusia di muka bumi, menurut sebagaimana terjadi dalam epistemologi Barat
Islam, tak lain dalam rangka mendapatkan (utamanya antara rasonalisme dan empirisme).
pengetahuan secara menyeluruh tentang segala Konsekuensinya, sebagaimana ditekankan oleh
sesuatu, menjadi manusia universal (insān al-Farabi, bila dalam ontologi terdapat hirarki
kamīl), cermin yang mampu merefleksikan wujud maka dalam epistemologi terdapat
semua kualitas dan keagungan nama Nya” (Nasr klasifikasi atau hirarki ilmu berdasarkan
1997, 96-97). keutamaan (principality) suatu obyek
Indikasi lain realitas nilai intrinsik (ontologi), kedalaman suatu bukti (metodologi),
alam berdasarkan Teosofi Transenden adalah dan kegunaannya (etika). Kontribusi penting
argumentasi Sadra bahwa segala sesuatu di lainnya terkait proses inteleksi pikiran manusia,
alam (baik itu binatang, tumbuhan, bahkan berturut-turut dari persepsi sensoris ke ide
makhluk-makhluk yang lebih primitif) akan sensoris, lalu (lewat proses konsepsi) konsep
dibangkitkan lagi kelak pada hari pembalasan ke-apa-an (first intelligible), dan akhirnya
bersama-sama dengan manusia, berdasarkan (lewat proses konsepsi tingkat lanjut) konsep
prinsip filsafatnya bahwa setiap entitas alam filsafat (second intelligible). Melalui tahapan
memiliki gerakan esensialnya, penciptaan dan proses seperti ini, dalam epistemologi Islam
kebangkitan, serta awal dan kembalinya kepada kita mengenal tiga jenis konsep universal
landasan noetik nya (Shadra 1981, 247-248). (tashawwur), yaitu, konsep primer, konsep
Tak kalah pentingnya adalah konsep makro dan logika sekunder (secondary logical), dan konsep
mikro-kosmos, yang berarti alam seluruhnya, filsafat sekunder (secondary philosophical)
layaknya manusia, merupakan entitas tunggal (Yazdi 1999, 120).
dengan kesadaran-diri dan karenanya bernilai Lewat skema seperti ini maka dapat
secara intrinsik atau sakral sebagai tanda- dimengerti bahwa konsep nilai intrinsik pada
tanda Tuhan.17 Dengan demikian alam memiliki alam merupakan konsep filsafat sekunder
hak-hak sakral yang harus dihargai manusia universal, sebagaimana konsep kausalitas.
sekalipun manusia memiliki keutamaan atas Konsep nilai intrinsik diperoleh melalui
alam, dan bahwa segala entitas (bukan hanya proses inteleksi pikiran manusia, dimana
manusia) akan kembali kepada-Nya (Tuhan rasio manusia melakukan analisa rasional
sebagai tujuan segala sesuatu) sebagaimana dan membandingkannya dengan obyek yang

16 Dalam skema gerak trans-substansial terdapat dua gerakan (dalam satu gerak melingkar),
yaitu, gerak ke bawah dari dunia immateri ke dunia materi, dan kedua gerak ke atas dari dunia materi kembali
kepada immateri.
17 Sekalipun konsep ini dapat dilacak jejaknya hingga filsafat Yunani, namun dalam teori
kesatuan wujud Teosofi Transenden lah ia memiliki landasan ontologisnya.
58 ETIKA LINGKUNGAN DALAM PERSPEKTIF TEORI KESATUAN WUJUD... (Muhammad Yasser)

lain, untuk kemudian menghasilkan konsep “sebab” sekaligus “akibat” dalam relasinya
filsafat sekunder (dalam hal ini nilai intrinsik dengan entitas yang lain, yang berarti pula
alam). Begitulah, analisa atas realitas obyektif setiap entitas mesti memilki nilai intrinsik dan
nilai intrinsik diperoleh seseorang setelah instrumental kaitannya dengan kepentingan
mengamati realitas partikular di sekitarnya— entitas lainnya—sebagaimana halnya tak ada
seekor sapi, misalnya, memiliki nilai bagi sebab murni atau akibat murni dalam alam
manusia karena menghasilkan susu dan semesta, pun tak ada satu entitas pun di dunia
kegunaan lainnya. Dari sini maka diperoleh ini yang semata-mata bernilai intrinsik atau
konsep nilai instrumental sapi bagi peternak, bernilai instrumental.
dan sebagai implikasinya pula, konsep nilai
intrinsik dalam diri si peternak (mengingat KESIMPULAN
mustahil membayangkan nilai instrumental
suatu entitas tanpa nilai intrinsik pada entitas Etika lingkungan Islam, berdasarkan
tertentu lainnya). teori kesatuan wujud Teosofi Transenden,
Namun pertanyaan pentingnya di sini tak dapat dikategorikan ke dalam salah satu
adalah, bagaimana cara epistemologi Islam perspektif ekologi konvensional, seperti,
membuktikan realitas nilai intrinsik pada alam, antroposentrisme, ekosentrisme, dan bahkan
dimana entitas non-manusia (seperti sapi) teosentrisme, mengingat ia mencakup ketiga
tidak memiliki kemampuan rasionalitas dan aspek dalam studinya tentang keberadaan
kehendak-bebas yang memungkinkan mereka itu sendiri. Karenanya, diperlukan sebuah
mengerti konsep universal filsafat sekunder? istilah yang lebih tepat untuk menggambarkan
Jawabannya dapat ditemukan dalam proses perspektif yang digunakan dalam Teosofi
inteleksi itu sendiri. Seekor sapi, misalnya, Transenden, yaitu, wujud atau being atau onto-
tidak memiliki rasio yang memungkinkannya sentrisme—dimana manusia, alam dan Tuhan
melakukan abstraksi konsep universal seperti berbagi eksistensi (ontis) yang sama, dan
kausalitas dan nilai intrinsik, tapi secara karenanya semua memiliki nilai intrinsik dalam
instingtif sapi akan menghindari api yang suatu skema hirarkis (gradatif).
berpotensi membakar dirinya, sebab hukum Dengan demikian dapat disimpulkan,
kausalitas (api sebagai sebab terbakarnya bahwa nilai intrinsik pada alam, berdasarkan
sesuatu) itu sendiri merupakan realitas epistemologi Islam (Teosofi Transenden),
obyektif terlepas dari kemampuan suatu entitas merupakan konsep filsafat sekunder dan realitas
dapat memahaminya atau tidak. Begitu pun yang obyektif (independen dari kemampuan
seekor sapi, seperti manusia juga, memiliki suatu entitas dalam memahaminya atau tidak)
mekanisme pertahanan diri dari faktor-faktor sebagaimana halnya hukum kausalitas. Nilai
eksternal yang berpotensi membahayakan intrinsik tidak terbatas hanya pada manusia
keselamatannya yang mengindikasikan nilai dan hewan saja (yang memiliki pengalaman
intrinsik pada sapi (walau ia tidak seperti penderitaan dan kesenangan, pain/pleasure
manusia memiliki rasio untuk “menangkap” experience, yang menjadi dasar nilai intrinsik
konsep nilai intrinsik). Lebih jauh, dengan alam dalam biosentrisme), tapi juga mencakup
membandingkan konsep nilai intrinsik pada tumbuhan, mineral, bahkan keseluruhan
alam dengan konsep kausalitas, maka kita dapat alam itu sendiri. Lebih jauh, metode ḥūshūli
mengerti bahwa setiap entitas di alam adalah (argumentasi rasional dan empiris) bukanlah
KANZ PHILOSOPHIA Volume 4, Number 1, June 2014 59

satu-satunya metode ilmu pengetahuan yang Madjid, Nurcholish. 1998. Dialog


diakui dalam epistemologi Islam, terdapat pula Keterbukaan, Artikulasi Nilai Islam dalam
metode ḥudhūrī, yaitu, metode memperoleh Wacana Sosial Politik Kontemporer. Jakarta:
pengetahuan secara langsung dari suatu Paramadina.
obyek tanpa perantara (intuisi, ilham). Mangunjaya, Fachruddin M. dan Husain
Maka pengalaman estetis dan spiritual para Heiryanto, ed. 2007. Menanam Sebelum Kiamat.
environmentalis, seperti Aldo Leopold ketika Jakarta: YOI.
merumuskan pandangannya tentang land ethics Meadows Dennis L., ed. 1974. The Limits
(sebagai landasan ekosentrisme atau ekologi to Growth. London: Pan Books.
dalam ke depannya), merupakan bukti yang Muhaqqiq Damad, Sayyid Mustafa.
valid atas nilai intrinsik pada alam (atau lebih Natural Environment from the Perspective of
tepatnya nilai estetis dan sakral alam), terlepas the Transcendent Philosophy, http://www.
dari kenyataan bahwa ide Leopold tersebut mullasadra.org/, diakses pada 4 Juni, 2014.
dianggap tidak memiliki landasan teoritis Naess, Arne. 1973. The Shallow and The
dan filosofis yang memadai oleh para sarjana Deep, Long Range Movements, www.alamut.com/
Barat. Akhirnya, sebagai penutup, penulis subj/ideologies/pessimism/Naess_deepEcology.
hendak mengutip salah satu ayat al-Qur’an yang html‎ diakses pada 4 Juni, 2014.
mengindikasikan realitas nilai intrinsik pada Nasr, Seyyed Hossein. 1997. Three
alam sekalipun mereka tidak memiliki rasio dan Muslim Sages, USA: Caravan.
kehendak-bebas seperti manusia. demikianlah Nasr, Seyyed Hossein. 1997. Man And
yang ditegaskan oleh Tuhan dalam al-Qur’an, Nature. Chicago,: ABC International Group.
surat 17, ayat 44, yang berbunyi sebagai berikut: Osman Bakar. 2007. Environmental
“Tujuh langit, bumi dan semua (entitas) yang Wisdom for the Planet Earth: The Islamic
ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan Heritage. Kuala Lumpur: Univ of Malaya.
tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan Pasaribu, Norman dan Ahmad Norma
memuji Nya, hanya saja kamu sekalian tidak Permata. 2002. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
memahami tasbih mereka. Sesungguhnya Allah Shadra, Mulla, Kitab Al-Masha’ir,
Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh
Seyyed Hossein Nasr.
Shadra, Mulla. 2011. Manifestasi-
DAFTAR RUJUKAN Manifestasi Ilahi, diverifikasi oleh Sayyid
Jalaludin al Astiyani dan terjemah oleh Irwan
Al-Qur’an dan Terjemahnya, 1421 H. Kurniawan, Jakarta: Sadra Press.
Majmu’ Al Malik Fahd, Madinah: Percetakan Sadra, Mulla. 1981. The Wisdom of the
Raja Fahd. Thrones, diterjemahkan oleh James Winston
Capra, Fritjof. 2004. Titik Balik Morris, USA: Princeton Univ.
Peradaban, diterjemahkan oleh M. Thoyibi. Sardar, Ziauddin. 1987. Masa Depan
Yogyakarta: Bentang. Islam, Bandung: Penerbit Pustaka.
Leopold, Aldo. 1948. The Land Ethics, Schumacher, E.F. 1975. Small is
taken from his books, A Sand County Almanac, Beautiful. New York: First Perennial.
http://home.btconnect.com/tipiglen/ White, Lynn. The Historical Roots of Our
landethic.html diakses pada 4 Juni, 2014. Ecological Crisis, http://www.zbi.ee/~kalevi/
60 ETIKA LINGKUNGAN DALAM PERSPEKTIF TEORI KESATUAN WUJUD... (Muhammad Yasser)

lwhite.htm, diakses pada 4 Juni, 2014.


Yazdi, Misbah. 1999. Philosophical
Instruction. USA: SSIPS.

Anda mungkin juga menyukai