A. Hidrocephalus
1. Definisi
Hidrocephalus adalah keadaan patologis otak yang
mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinalis karena
adanya tekanan intrakranial yang meningkat. Hal ini menyebabkan
terjadinya pelebaran berbagai ruang tempat mengalirnya liquor.
2. Klasifikasi
a. Berdasarkan Sumbatannya:
1) Hidrocephalus Obstrukstif
Tekanan CCS meningkat akibat obstruksi pada salah satu
tampat pembentukan CSS, antara lain pleksus koroidalis dan
keluarnya ventrikel IV melalui faromen luscka dan magendhi.
2) Hidrocephalus Komunikans
Tekanan CSS yang meningkat tidak disebabkan oleh
penyumbatan pada salah satu tempat pembentukan CSS.
Cairan dapat bebas keluar-masuk ventrikel.
b. Berdasarkan Perolehannya:
1) Hidrocephalus Kongenital
Hidrosefalus ini sudah diderita sejak dalam kandungan.
Berarti, pada saat lahir otaknya sudah berukuran kecil atau
pertumbuhan otak terganggu karena desakan oleh banyaknya
cairan dalam kepala dan tingginya tekanan intrakranial.
2) Hidrocephalus Didapat
Pertumbuhan otak pada awalnya sudah sempurna, tetapi
kemudian terjadi gangguan karena adanya tekanan
intrakranial yang tinggi.
3. Etiologi
a. Hidrocephalus Kongenital
1) Stenosis akuaduktus sylvii: penyebab terbanyak hidrosefalus
bayi dan anak (60-90%). Akuaduktus dapat merupakan saluran
buntu atau lebih sempit dari biasanya. Gejala hidrocephalus
umunya erlihat sejak lahir atau progresif dengan cepat pada
bulan-bulan pertama kelahiran.
2) Spina bifida dan kranium bifida: berhubungan dengan sindrom
Arnold-Chiari akibat tertariknya medula spinalis ke medula
oblongata dan serebelum terletaak lebih rendah dan menutupi
foreman magnum sehingga terjadi penyumbatan sebagian
atau total.
3) Sindrom Dandy-Walker: atresia kongenital foramen Luscka dan
Magendhi yang menyebabkan hidrosefalus obstruktif dengan
pelebaran ventrikel- terutama ventrikel IV-yang dapat menjadi
sangat besar hingga menjadi suatu kista besar didaerah fosa
posterior.
4) Kista araknoid: dapat terjadi secara kongenital atau trauma
sekunder suatu hematoma.
b. Hidrocephalus Didapat
1) Infeksi: biasanya terjadi pada hidrosefalus pasca meningitis.
2) Neoplasma: disebabkan oleh adanya obstruksi mekanisme
pada saluran aliran CSS
3) Perdarahan intrakranial: dapat menyebabkan hematoma
didalam otak sehingga dapat timbul penyumbaan
4) Sumbatan pada penyakit penimbunan, misalnya
mukopolisakarida dan histiositosis X
5) Intoksikasi vitamin A
4. Gambaran Klinis
a. Bayi muda
1) Kecepatan pertumbuhan kepala tidak normal
2) Penonjolan fontanel (khususnya anterior) yang kadang tanpa
disertai pembesaran kepala : tegang dan tidak berdenyut
3) Dilatasi vena pada kulit kepala
4) Terdapat peregangan sutura
5) Tanda Mecewen (bunyi “cracked-post [vas pecah]”) pada saat
perkusi
6) Terjadi penipisan tulang tengkorak
b. Bayi lanjut
1) Pembesaran frontal atau “bossing”
2) Depresi mata
3) Tanda setting sun (skelra terlihat diatas iris)
4) Respons pupil lambat dan tidak sama dalam merespon cahaya
c. Bayi, umum:
1) Peka terhadap rangsangan
2) Letargik
3) Bayi menangis jika diangkat atau diayun dan diam jika
dibiarkan berbaring
4) Kerja refleks dini menetap
5) Respons normal tidak terlihat
6) Dapat menunjukkan tanda: tingkat kesadaran berubah,
opistotonus (sering kali bersifat ekstrem), spastisitas
ekstermitas bawah
5. Diagnosis
a. Pemeriksaan fisik, gambaran klinik yang samar-samar
b. Pemeriksaan CT tidak scan dan MRI dapat menunjukan ukuran
ventrikel dan mengindikasikan letak obstruksi. CT scan
merupakan cara aman yang dapat diandalkan untuk
membedakan hidrosefalus dari penyakit lain yang juga
menyebabkan pembesaran kepala abnormal
c. Pemeriksaan fisik, gambaran klinik yang samar-samar
6. Pemeriksaan Diagnostik
Selain dari gejala-gejala klinik, keluhan pasien maupun dari
hasil pemeriksaan fisik dan psikis, untuk keperluan diagnostik
hidrosefalus dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yaitu:
a. Rontgen foto kepala
Dengan prosedur ini dapat diketahui:
1) Hidrosefalus tipe kongenital atau infantile, yaitu: ukuran
kepala, adanya pelebaran sutura, tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakranial kronik berupa imopressio digitate dan
erosi prosessus klionidalis posterior.
2) Hidrosefalus tipe juvenile atau adult oleh karena sutura telah
menutup maka dari foto rontgen kepala diharapkan adanya
gambaran kenaikan tekanan intrakranial.
b. Transimulasi
Syarat untuk transimulasi adalah fontanela masih terbuka,
pemeriksaan ini dilakukan dalam ruangan yang gelap setelah
pemeriksa beradaptasi selama 3 menit. Alat yang dipakai lampu
senter yang dilengkapi dengan rubber adaptor. Pada
hidrosefalus, lebar halo dari tepi sinar akan terlihat lebih lebar 1-
2 cm.
c. Lingkaran Kepala
Diagnosis hidrocephalus pada bayi dapat dicurigai, jika
penambahan lingkar kepala melampaui satu atau lebih garis-
garis kisi pada chart (jarak antara dua garis kisi 1 cm) dalam
kurun waktu 2-4 minggu. Pada anak yang besar lingkaran kepala
dapat normal hal ini disebabkan oleh karena hidrosefalus terjadi
setelah penutupan suturan secara fungsional.
Tetapi jika hidrosefalus telah ada sebelum penutupan
suturan kranialis maka penutupan sutura tidak akan terjadi
secara menyeluruh.
d. Ventrikulografi
Setelah kontras masuk langsung difoto, maka akan terlihat
kontras mengisi ruang ventrikel yang melebar. Pada anak yang
besar karena fontanela telah menutup untuk memasukkan
kontras dibuatkan lubang dengan bor pada kranium bagian
frontal atau oksipitalis. Ventrikulografi ini sangat sulit, dan
mempunyai risiko yang tinggi. Di rumah sakit yang telah memiliki
fasilitas CT Scan, prosedur ini telah ditinggalkan.
e. Ultrasanografi
Dilakukan melalui fontanela anterior yang masih terbuka.
Dengan USG diharapkan dapat menunjukkan system ventrikel
yang melebar. Pendapat lain mengatakan pemeriksaan USG
pada penderita hidrosefalus ternyata tidak mempunyai nilai di
dalam menentukan keadaan sistem ventrikel hal ini disebabkan
oleh karena USG tidak dapat menggambarkan anatomi sistem
ventrikel secara jelas, seperti halnya pada pemeriksaan CT Scan.
f. CT Scan Kepala
Pada hidrosefalus obstruktif CT Scan sering menunjukkan
adanya pelebaran dari ventrikel lateralis dan ventrikel III. Dapat
terjadi di atas ventrikel lebih besar dari occipital horns pada anak
yang besar. Ventrikel IV sering ukurannya normal dan adanya
penurunan densitas oleh karena terjadi reabsorpsi
transependimal dari CSS.
Pada hidrosefalus komunikans gambaran CT Scan
menunjukkan dilatasi ringan dari semua sistem ventrikel
termasuk ruang subarakhnoid di proksimal dari daerah
sumbatan.
7. Penatalaksanaan
Pada sebagian besar penderita, pembesaran kepala akan
berhenti dengan sendirinya (arrested hydrocephalus). Hal ini
mungkin disebabkan oleh rekanalisasi ruang subaraknoid atau
kompensasi pembentukan CSS yang berkurang. Tindakan bedah
untuk menangani hidrosefalus sebelum kelahiran tidak berhasil dan
bersifat eksperimental. Jika penyebab hidrosefalus adalah tumor,
tindakan bedah untk mengangkat tumor tersebut dapat
dipertimbangkan.
Penatalaksanaan hidrosefalus antara lain adalah:
a. Lakukan perawatan umum, misalnya pengawasan suhu,
pencegahan infeksi, pengawasan asupan dan haluaran, serta
perawatan setelah BAK dan BAB.
b. Ukur lingkar kepala secara berkala untuk mengetahui laju
pertama, bahkan CSS.
c. Lakukan pengawasan dan pencegahan muntah.
d. Lakukan pengawasan kejang. Jika perlu, spatel lidah dapat
dipasang untuk mencegah retraksi lidah yang dapat
menyebabkan perdarahan atau sumbatan pada saluran
pernapasan.
e. Dapatkan informed consent dari orangtua untuk merujuk ke
pusat pelayaan kesehataan yang lebih memadai.
Pada dasarnya terdapat tiga prinsip dalam pengobatan
hidrosefalus, yaitu mengurangi produksi CSS, memengaruhi
hubungan antara tempat produksi CSS dan tempat absorbsi, serta
pengeluaran CSS ke dalam organ ekstrakranial.
7. Manajemen Terapi
Ada 3 prinsip pengobatan hidrosefalus:
a. Mengurangi produksi cairan serebrospinal dengan merusak
sebagian pleksus khoroideus dengantindakan reseksi
(pembedahan) atau koagulasi.
b. Memperbaiki hubungan antara tempat produksi cairan
serebrospinal dengan tempat absorbsi yaknimenghubungkan
ventrikel dengan subarakhnoid.
c. Pengeluaran CSS ke dalam rongga ekstra kranial dengan operasi
pemasangan shunt. Operasi pemasangan shunt dilakukan sedini
mungkin, tetapi biasanya dipasang pada usia 3-4
bulan,sedangkan revisi pada usia 18-24 bulan, 1-6 tahun, 10-12
tahun.
Prognosis hidrosefalus infatil mengalami perbaikan bermakna
namun tidak dramatis dengan temuanoperasi pisau. Jika tidak
dioperasi 50-60% bayi akan meniggal karena hidrosefalus sendiri
ataupun penyakit penyerta. Skitar 40% bayi yang bertahan
memiliki kecerdasan hampir normal. Dengan bedahsaraf dan
penatalaksanaan medis yang baik, sekitar 70% diharap dapat
melampaui masa bayi, sekitar40% dengan intelek normal, dan
sektar 60% dengan cacat intelek dan motorik bermakna. Prognosis
bayi hidrosefalus dengan meningomilokel lebih buruk.
8. Operasi Shunting
Sebagian besar pasien memerlukan tindakan ini untuk
membuat saluran baru antara aliran likuor (ventrikel atau lumbar)
dengan kavitas drainase (seperti peritoneum, atrium kanan, dan
pleura). Komplikasi operasi ini dibagi menjadi tiga yaitu infeksi,
kegagalan mekanis, dan kegagalan fungsional. Tindakan ini
menyebabkan infeksi sebanyak >11% pada anak setelahnya dalam
waktu 24 bulan yang dapat merusak intelektual bahkan
menyebabkan kematian.
2. Etiologi
Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada
sumber mengatakan kelainan bawaan anus disebabkan oleh
gangguan pertumbuhan, fusi, dan pembentukan anusdari tonjolan
embriogenik. Atresia ani dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain:
a. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur
sehingga bayi lahir tanpalubang dubur.
b. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12
minggu atau 3 bulan.
c. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik
didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis,
yang terjadi antara minggu keempat sampaikeenam usia
kehamilan.
d. Berkaitan dengan sindrom down (kondisi yang menyebabkan
sekumpulan gejala mentaldan fisik khas ini di sebabkan oleh
kelainan gen dimana terdapat ekstra salinankromosom 21).
e. Atresia ani adalah suatu kelainan
3. Patofisiologi
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum
anorektal pada kehidupan embrional. Anus dan rektum
berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari
bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan
bakal genitourinaria dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal
karena adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia
ani karena tidak ada kelengkapan migrasi dan perkembangan
struktur kolon antara 7 dan 10 mingggu dalam perkembangan
fecal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam
agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak
ada pembukaan usus besar yang keluar melalui anus menyebabkan
fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami
obstruksi.
Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya
fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi
cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir
melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga
terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir ke arah
traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini
biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ
sekitarnya. Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina
(rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki
biasanya letak tinggi, umumnya fistula menuju ke vesika urinaria
atau ke prostate. (rektovesika). Pada letak rendah fistula menuju ke
uretra (rektourethralis).
4. Gambaran Klinis
a. Selama 24-48 jam setelah lahir, bayi mengalami muntah-muntah
dan tidak ada defekasi meconium.
b. Tidak ditemukan anus dengan ada atau tidak adanya fistula.
c. Perut kembung baru kemudian disusul muntah.
d. Gerak usus dan bising usus meningkat (hiperperistaltik).
e. Jika ada fistula rektovestibular dan meconium keluar dari fistula
tersebut, berarti terjadi atresia letak rendah.
5. Penatalaksanaan
a. Beri dukungan emosional dan keyakinan pada ibu.
b. Pertolongan pertama adalah dengan tidak memberikan apa pun
melalui mulut, menutup organ yang menonjol dengan kassa steril
yang dibasahi saline normal, sehingga kassa tetap basah,
memastikan bayi tetap hangat, memasang pipa lambung untuk
membiarkan cairan lambung mengalir bebas.
c. Ganti asupan makanan melalui mulut dengan pemberian cairan
intravena sesuai dengan kebutuhan, misalnya glukosa 5-6 %
atau Na-bikarbonat.
d. Pengobatan kasus atresia ani adalah dengan pembedahan untuk
membuat lubang anus. Untuk itu, dapatkan informed consent
dari orangtua untuk merujuk bayi ke pusat pelayanan kesehatan
yang lebih memadai.
e. Pembedahan perlu segera dilakukan setelah tinggi atresia
ditentukan. Pada atresia ani letak tinggi dan intermediet,
dilakukan sigmoid kolostomi, 6-12 minggu kemudian dilakukan
tindakan definitive (PSARP). Pada atresia ani letak rendah,
dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk
mengidentifikasi batas otot sfingter ani sekitar anus dan
melakukan perineal anoplasti. Pada atresia ani yang disertai
fistula, dilakukan cut back incision. Pada stenosis ani dilakukan
dilatasi rutin.
C. Labiopalatoschizis
1. Definisi
Labiopalatoschizis adalah suatu kelainan yang dapat terjadi
pada daerah mulut, palatoschizis (sumbing palatum), dan
labioschizis (sumbing pada bibir) yang terjadi akibat gagalnya
jaringan lunak (struktur tulang) untuk menyatu selama
perkembangan embroil.
Labiopalatoschizis adalah penyakit congenital anomaly yang
berupa adanya kelainan bentuk pada struktur wajah.
Labiopalatoschizis adalah kelainan congenital pada bibir dan
langit-langit yang dapat terjadi secara terpisah atau bersamaan
yang disebabkan oleh kegagalan atau penyatuan struktur fasial
embrionik yang tidak lengkap. Kelainan ini cenderung bersifat
diturunkan (hereditary), tetapi dapat terjadi akibat faktor non-
genetik.
Labiopalatoschizis adalah suatu kondisi dimana terdapat celah
pada bibir atas diantara mulut dan hidung. Kelainan ini dapat
berupa celah kecil pada bagian bibir yang berwarna sampa ipada
pemisahan komplit satu atau dua sisi bibir memanjang dari bibir
ke hidung. Kelainan ini terjadi karena adanya gangguan pada
kehamilan trimester pertama yang menyebabkan terganggunya
proses tumbuh kembang janin. Faktor yang diduga dapat
menyebabkan terjadinya kelainan ini adalah kekurangan nutrisi,
stress pada kehamilan, trauma dan factor genetic.
Palatoschizis adalah adanya celah pada garis tengah palato
yang disebabkan oleh kegagalan penyatuan susunan palate pada
masa kehamilan 7-12 minggu. Komplikasi potensial meliputi infeksi,
otitis media, dan kehilangan pendengaran.
3. Manifestasi Klinis
a. Tampak ada celah pada tekak (uvula), palato lunak, dan
keras atau foramen incisive
b. Adanya rongga pada hidung
c. Distorsi hidung
d. Teraba ada celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksa
dengan jari
e. Kesulitan dalam menghisap atau makan
f. Distersi nasal sehingga bisa menyebabkan gangguan pernafasan
g. Gangguan komunikasi verbal
Celah bibir dan kebanyakan celah palatum tampak pada saat
lahir dan penampilan kosmetik merupakan keprihatinan yang
timbul segera pada orang tua. Tidak ada kesukaran minum ASI atau
botol pada bayi dengan bibir sumbing yang kurang berat dengan
palatum utuh. Pada sumbing yang luas, dan terutama bila disertai
celah palatum, muncul dua masalah; mengisap mungkin tidak
efektif dan saliva serta susu dapat bocor ke dalam ronggga hidung,
dan mengakibatkan refleks gag atau tersedak ketika bayi bernapas.
Bicara dapat terhambat dan bila berkembang, dapat ada
hipernasalitasa dan artikulasi yang jelek. Sebagai akibat defisiensi
pada fungsi otot palatum mole, fungsi tuba eustachii dapat
terganggu, dan keterlibatan telinga tengah memalui otitis akut
berulang atau otitis media menetap dengan efusi lazim terjadi.
Anak yang mengalami celah palatum sering berkembang
infeksi sinus masalis dan hipertrofi tonsil dan adenoid. Infeksi ini
lazim terdapat bahkan sesudah perbaikan bedah sekalipun, dan
dapat turut menyebabkan sering terkenanya telinga tengah.
Gabungan penampilan kosmetik dan gangguan bicara sering
menciptakan kesukaran psikologis yang serius pada anak yang
lebih tua.
4. Klasifikasi
Klasifikasi menurut struktur-struktur yang terkena menjadi:
a. Palatum primer: meliputi bibir, dasar hidung, alveolus dan
palatum durum dibelahan foramen incivisium.
b. Palatum sekunder: meliputi palatum durum dan molle posterior
terhadap foramen.
Suatu belahan dapat mengenai salah satu atau keduanya,
palatum primer dan palatum sekunder dan dapat unilateral atau
bilateral.
Kadang-kadang terlihat suatu belahan submukosa, dalam
kasus ini mukosanya utuh dengan belahan mengenai tulang dan
jaringan otot palatum.
a. Klasifikasi menurut organ yang terlibat:
1) Celah bibir (labioschizis)
2) Celah di gusi (gnatoschizis)
3) Celah dilangit (Palatoschizis)
4) Celah dapat terjadi lebih dari satu organ misalnya terjadi di
bibir dan langit-langit (labiopalatoschizis)
b. Klasifikasi menurut lengkap atau tidaknya celah yang terbentuk:
Tingkat kelainan bibir sumbing bervariasi, mulai dari yang
ringan hingga yang berat, beberapa jenis bibir sumbing yang
diketahui adalah:
1) Unilateral iincomplete: Jika celah sumbing terjadi hanya di
salah satu bibir dan tidak memanjang ke hidung
2) Unilateral complete: Jika celah sumbing yang terjadi hanya
disalah satu sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung
3) Bilateral complete: Jika celah sumbing terjadi dikedua sisi bibir
dan memanjang hingga ke hidung.
5. Tindakan Pembedahan
Masalah ini melibatkan anak dan orang tua, bersifat kompleks,
bervariasi, dan membutuhkan penanganan yang lama. Penanganan
anak kelainan celah bibir dengan atau tanpa celah palatum dan
kelainan celah palatum memerlukan kerjasama tim, seperti bagian
anak, THT, bedah, gigi, ortopedi, ahli rehabilitasi suara dan
pendengaran, dan beberapa bidang lain seperti bedah saraf, mata,
prostodontik, perawat, dan psikolog.
Prioritas medis utama adalah memberikan makanan dan
nutrisi yang cukup. Bayi dengan bibir sumbing biasanya tidak
mengalami masalah dalam pemberian air susu ibu ataupun minum
dari botol, akan tetapi bayi dengan bibir sumbing dan palatum atau
celah palatum akan bermasalah. Jika sumbing lebar, bayi akan sulit
menyusu, lelah dan menelan banyak udara; dibutuhkan preemie
nipple. Posisi tegak saat minum susu juga mengurangi risiko
regurgitasi. Pada bayi dengan sumbing lebar, penggunaan protesis
palatum membantu pemberian makanan dan minuman.
Selain tatalaksana tersebut, operasi rekonstruksi wajah dapat
dilakukan untuk memperbaiki fungsi organ hidung, gigi, dan mulut,
perkembangan berbicara, serta memperbaiki estetika wajah.
Operasi meliputi perlekatan bibir, rekonstruksi bibir sumbing, dan
rekonstruksi celah palatum.
a. Perlekatan Bibir
Pada bayi dengan bibir sumbing lebar, perlekatan ini
berguna membantu mempersempit celah, sebelum dilakukan
rekonstruksi bibir. Pada umumnya dilakukan dengan taping
menggunakan plester hipoalergik yang dilekatkan antar pipi
melewati celah bibir. Plester ini digunakan 24 jam dan diganti
setiap hari atau jika basah akibat pemberian makan atau minum.
Apabila plester tidak efektif, dapat dilakukan operasi perlekatan
bibir untuk mengubah sumbing sempurna menjadi sumbing
sebagian agar mengurangi tegangan saat dilakukan operasi
rekonstruksi bibir. Operasi perlekatan bibir dapat dilakukan pada
bayi usia 2 sampai 4 minggu. Semakin tua usia bayi maka
operasi perlekatan bibir akan menimbulkan jaringan parut
sampai dewasa, walaupun telah dilakukan rekonstruksi bibir.
b. Perlekatan Bibir Unilateral
Menggunakan Millard rotation, metode ini dimulai dengan
langkah pertama yaitu menentukan area operasi. Kemudian
membuat fl ap segiempat di mukosa vermilion di celah medial
dan lateral, lalu menyatukan kedua mukosa. Penyatuan mukosa
itu dilakukan dengan benang jahit yang dapat diserap di bibir
dalam, setelah itu menjahit dengan benang yang tidak dapat
diserap melewati kartilago septum di sisi tidak bercelah melewati
muskulus orbicularis oris, lalu kembali ke kartilago septum.
Kemudian dengan benang yang dapat diserap, menjahit di
bagian otot bibir medial dan lateral dengan teknik interrupted.
c. Perlekatan Bibir Bilateral
Metode ini sama dengan operasi unilateral, hanya berbeda
penggunaan teknik menjahit dengan teknik horizontal mattress.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko tinggi peningktan tekana intracranial b.d peningkatan
jumlah cairan cerebrospinal
b. Nyeri yang berhubunngan dengan peningkatan tekanan
intracranial
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan perubahan mencerna makanan,
peningkatan kebutuhan metabolism.
d. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
meningkatnya volume cairan serebrospinal, meningkatnya
tekanan intra karnial.
e. Kurangnya pengetahuan keluarga sehubungan dengan kurang
informasi dalam keadaan krisis.
f. Resiko tinggi terjadinya kerusakan intregasi kulit sehubungan
dengan penekanan dan ketidakmampuan untuk menggerakan
kepala.
3. Intervensi Keperawatan
a. Resiko tinggi peningkatan tekanan intracranial b.d peningkatan
jumlah cairan serebrospinal.
Tujuan : Setelah dilakukan atau diberikan asuhan keperawatan
2x24 jam klien tidak mengalami peningkatan TIK.
Kriteria hasil : Klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan
muntah, GCS 4, 5, 6 tidak terdapat papiledema, TTV
dalam batas normal.
1) Intervensi
a) Kaji faktor penyebab dari keadaan individu atau penyebab
koma atau penurunan perfusi jaringan dan kemungkinan
penyebab peningkatan TIK.
Rasional : Deteksi dini untuk memperioritaskan
intervensi, mengkaji status neurologi atau tanda-
tanda kegagalan untuk menentukan perawatan
kegawatan atau tindakan pembedahan.
d. Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia
ani adalah anustampak merah, usus melebar, kadang – kadang
tampak ileus obstruksi, termometeryang dimasukkan melalui
anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi
terdenganhiperperistaltik, tanpa mekonium dalam 24 jam setelah
bayi lahir, tinja dalam urin danvagina.
1) Tanda-tanda vital
Nadi: 110 X/menit.
Respirasi: 32 X/menit.
Suhu axila: 37º Celsius.
2) Kepala
Kepala simetris, tidak ada luka/lesi, kulit kepala bersih,
tidak ada benjolan atau tumor, tidak ada caput succedanium,
tidak ada chepal hematom.
3) Mata
Simetris, tidak konjungtifitis, tidak ada perdarahan
subkonjungtiva, tidak ikterus, tidak nistagamus atau tidak
episnatus, conjungtiva tampak agak pucat.
4) Hidung
Simetris, bersih, tidak ada luka, tidak ada secret, tidak
ada pernafasan cuping hidung, tidak ada pus dan lendir.
5) Mulut
Bibir simetris, tidak macrognatia, micrognatia, tidak
macroglosus, tidakcheilochisis.
6) Telinga
Memiliki 2 telinga yang simetris dan matur tulang
kartilago berbentuksempurna
7) Leher
Tidak ada webbed neck
8) Thorak
Bentuk dada simetris, silindris, tidak pigeon chest, tidak
funnel shest, pernafasan normal.
9) Jantung
Tidak ada mur-mur, frekuensi jantung teratur
10) Abdomen
Simetris, teraba lien, teraba hepar, teraba ginjal, tidak
termasa atau tumor, tidak terdapat perdarahan pada
umbilicus.
11) Getalia
Terdapat lubang uretra, tidak ada epispandia pada penis
tidak ada hipospandia pada penis, tidak ada hernia sorotalis.
12) Anus
Tidak terdapat anus, anus nampak merah, usus melebar,
kadang-kadang tampak ileus obstruksi. Thermometer yang
dimasukan kedalam anus tertahan oleh jaringan. Pada
auskultasi terdengar peristaltik.
13) Ektrimitas
Ekstremitas atas dan bawah simetris, tidak fraktur,
jumlah jari lengkap, telapak tangan maupun kaki dan
kukunya tampak agak pucat.
14) Punggung
Tidak ada penonjolan spina bifida.
15) Pemeriksaan Refleka
a) Suching +
b) Rooting +
c) Moro +
d) Grip +
e) Plantar +
2. Diagnosis Keperawatan
a. Diagnosis Pre Operasi
1) Konstipasi berhubungan dengan ganglion.
2) Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan menur
unnya intake, muntah.
3) Cemas orang tua berhubungan dengan kurang
pengetahuan tentang penyakit dan prosedur perawatan.
b. Diagnosis Post Operasi
1) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma sar
af jaringan.
2) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi.
3) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan.
4) Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan
di rumah.
3. Intervensi Keperawatan
a. Diagnosa Pre Operasi
Diagnosis
No
Keperawata Tujuan Intervensi Rasional
.
n
1. Konkonstipa Setelah 1. Lakukan 1. Evaluasi bowel
si b/d dilakukan enema atau meningkatkan
ganglion tindakan irigasi rectal kenyaman pada
keperawatan sesuai order anak
selama 1x24 2. Kaji bising 2. Meyakinkan ber-
jam klien usus dan fungsinya usus
mampu abdomen
mempertahan setiap 4 jam.
kan pola 3. Ukur lingkar 3. Pengukuran
eliminasi BAB abdomen lingkar abdomen
dengan membantu
teratur mendeteksi
dengan terjadinya
kriteria hasil: distensi
Penurunan
distensi
abdomen,
meningkatnya
kenyamanan
2. Resiko Setelah 1. Monitor inta 1. Dapat
kekekurangan dilakukan ke–output mengidentifik
volume cairan tindakan cairan asi status
b/d keperawatan cairan klien
menurunnya selama 1x24 2. Lakukan pe 2. Mencegah
intake, muntah jam klien masangan dehidrasi
mampu infus dan
mempertahan berikan
kan cairan IV 3. Mengetahui
keseimbangan 3. Observasi kehilangan
cairan dengan TTV cairan melalui
kriteria hasil: suhu
Output urin 1- tubuhyang
2 ml/kg/jam, 4. Monitor tinggi
capillary refill status 4. Mengetahui
3-5 detik, hidrasi tanda-tanda
turgor kulit (kelembaba dehidrasi
baik, n membran
membran mukosa,
mukosa nadi
lembab. adekuat).
3. Cemas Setelah 1. Jelaskan dg 1. Agar orangtua
orang dilakukan n istilah mengerti
tua b/d kura tindakan yang kondisi pasien
ng pengeta keperawatan dimengerti
huan selama 1x24 tentangan
tentang jam anatomi
penyakit Kecemasan dan fisiologi
dan prosed orang tua saluran
ur dapat berkura pencernaan
perawatan ng dengan normal. 2. Pengetahuan
kriteria hasil: 2. Gunakan tersebut
pasien tidak alat, media diharapkan
lemas. dan dapat
gambar. membantu
Beri jadwal menurunkan
studi kecemasan
diagnosa 3. Membantu
pada orang mengurangi
tua kecemasan
3. Beri pasien
informasi p
ada
orangtua
tentang
operasi
kolostomi
Diagnosis
No
Keperawata Tujuan Intervensi Rasional
.
n
1. Gangguan Setelah 1. Hindari 1. Mencegah pe
integritas dilakukan kerutan pa rlukaan pada
kulit b/d tindakan da tempat kulit
kolostomi keperawatan tidur
selama 1x24 2. Jaga 2. Menjaga
jam kebersihan ketahanan
diharapkan kulit agar kulit
integritas kulit tetap bersi
dapat h dan
dikontrol kering
dengan 3. Monitor 3. Mengetahui
kriteria hasil: kulit adanya
temperatur da akanadany tanda
lam batas a kerusakan ja
normal, kemerahan ringan kulit
sensasi dalam 4. Menjaga
batas normal, 4. Oleskan kelembaban
elastisitas lotion atau kulit
dalam batas baby
normal oil pada
daerah 5. Menjaga
yang keadekuatan
tertekan nutrisi
5. Monitor guna penye
status mbuhan luka
nutrisi klien
2. Resiresiko Setelah 1. Monitor 1. Mengetahui
infeksi dilakukan tanda tanda infeksi
b/d prosedu tindakan dangejala lebih dini
r pembedah keperawatan infeksisiste
an selama 1 x 24 mik dan 2. Menghindari
jam local kontaminasi
diharapkan 2. Batasi dari
klien bebas pengunjun pengunjung
dari tanda- g 3. Mencegah pe
tanda infeksi -nyebab
KH : bebas 3. Pertahanka infeksi
dari tanda dan n teknik
gejala infeksi cairan
asepsis
pada klien 4. Mengetahui
yang kebersihan
beresiko luka dan
4. Inspeksi tanda infeksi
kondisi 5. Gejala infeksi
luka atau dapat di
insisi deteksi lebih
bedah dini
5. Ajarkan
keluarga
klien 6. Gejala infeksi
tentang dapat segera
tanda dan teratasi
gejala
infeksi
6. Laporkan
kecurigaan
infeksi
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola makan bayi b/d abnormalitas anatomik d/d
ketidakmampuan untuk mengoordinasi mengisap, menelan, dan
bernapas, ketidakmampuan untuk memulai mengisap yang
efektif, ketidakmampuan untuk mempertahankan mengisap yang
efektif
b. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b/d
faktor biologis d/d kurang makanan, ketidakmampuan memakan
makanan.
c. Hambatan komunikasi verbal b/d defek anatomis (misl; celah
palatum) d/d kesulitan menggunakan ekspresi wajah dan tubuh.
d. Gangguan citra tubuh b/d penyakit d/d perubahan aktual pada
fungsi, perubahan aktual pada struktur.
e. Risiko aspirasi d/d gangguan menelan.
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosis
NOC NIC
Keperawatan
Ketidakefektifan pola Setelah dilakukan Pemberian Makan
makan bayi b/d tindakan keperawatan dengan Botol
abnormalitas selama 3x24 jam, 1. Pegang bayi selama
anatomik d/d diharapkan nyeri pada menyusui dengan botol
ketidakmampuan saat makan berkurang, 2. Posisikan bayi pada
untuk mengoordinasi dengan kriteria hasil: posisi semi fowler pada
mengisap, menelan, 1. Asupan gizi saat bayi menyusu
dan bernapas, 2. Asupan makanan 3. Sendawakan bayi
ketidakmampuan 3. Asupan cairan sering-sering selama
untuk memulai 4. Energi dan setelah menyusu
mengisap yang 5. Rasio berat badan 4. Tempatkan dot di ujung
lidah
efektif, 6. Hidrasi
5. Control intake cairan
ketidakmampuan
untuk
dengan mengatur
mempertahankan
kelembutan dot, ukuran
mengisap yang
lubang dot, dan ukuran
efektif
botol
6. Tingkatkan
kewaspadaan terhadap
bayi dengan
melonggarkan pakaian
bayi, menggosok kaki
dan tangan, atau bicara
pada bayi
7. Dorong untuk
menghisap dengan
menstimulasi reflek
rooting, sesuai
kebutuhan
8. Monitor intake cairan
9. Monitor atau evaluasi
reflex menghisap
selama menyusu