Anda di halaman 1dari 47

APLIKASI KEPERAWATAN PADA BAYI DENGAN GANGGUAN

KONGENITAL DAN TINDAKAN PEMBEDAHAN


Kelainan kongenital atau bawaan adalah kelainan yang sudah ada sejak lahir yang
dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik. Ilmu yang mempelajari kelainan
bawaan disebut dismorfologi.1 Menurut World Health Organization (WHO), kelainan
kongenital adalah suatu keadaan yang umum. Dengan keberhasilan penanggulangan
penyakit akibat infeksi dan gangguan gizi, masalah yang akan muncul ke permukaan
adalah masalah genetik (termasuk di dalamnya kelainan bawaan). WHO memperkirakan
adanya 260.000 kematian (7% dari seluruh kematian neonatus) yang disebabkan oleh
kelainan kongenital di tahun 2004. Di negara maju, 30% dari seluruh penderita yang
dirawat di rumah sakit anak terdiri dari penderita dengan kelainan kongenital dan akibat
yang ditimbulkannya.
Kelainan atau cacat fisik pada tubuh bayi yang sering ditemui adalah hidrocephalus,
labiopalatoschizis, bagian tubuh tidak normal, seperti kaki pengkor atau bengkok, kelainan
bentuk dan letak tulang panggul (dislokasi panggul kongenital), kelainan pada saluran
cerna, seperti penyakit hirschsprung, fistula saluran cerna hingga atresia ani atau anus
imperforate.
Sekitar 3% bayi baru lahir mempunyai kelainan bawaan (kongenital). Meskipun
angka ini termasuk rendah, akan tetapi kelainan ini dapat mengakibatkan angka kematian
dan kesakitan yang tinggi. Di negara maju, 30% penderita yang dirawat di rumah sakit
anak terdiri atas penderita kelainan kongenital dan akibat yang ditimbulkannya. Sepuluh
persen kematian periode perinatal dan 40% kematian periode satu tahun pertama
disebabkan oleh kelainan bawaan. Penanganan Bayi dengan Kelainan Kongenital dan
Konseling Genetik
Dengan keberhasilan penanggulangan penyakit akibat infeksi dan gangguan gizi,
masalah yang akan muncul ke permukaan adalah masalah genetik (termasuk di dalamnya
kelainan bawaan). Di Inggris pada tahun 1900 angka kematian bayi adalah 154 per 1.000
kelahiran hidup dan 3,5 di antaranya disebabkan kelainan genetik. Pada tahun 1986 angka
kematian bayi turun menjadi 9,6 per 1.000 kelahiran hidup, tahun 1991 sebanyak 7,4 per
1.000 kelahiran hidup, akan tetapi angka kematian karena kelainan genetik tidak berubah
yaitu 3,5 per 1.000 kelahiran hidup. Dari angka tersebut dapat dilihat bahwa kontribusi
kelainan genetik terhadap angka kematian bayi meningkat dari 3% menjadi hampir 50%.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka perlunya mempelajari lebih
dalam lagi mengenai aplikasi keperawatan pada bayi dengan kelainan
kongenital dan tindakan pembedahan yang dapat membantu
menambah wawasan sehingga dapat digunakan dalam kehidupan
sehari-hari.

A. Hidrocephalus
1. Definisi
Hidrocephalus adalah keadaan patologis otak yang
mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinalis karena
adanya tekanan intrakranial yang meningkat. Hal ini menyebabkan
terjadinya pelebaran berbagai ruang tempat mengalirnya liquor.

2. Klasifikasi
a. Berdasarkan Sumbatannya:
1) Hidrocephalus Obstrukstif
Tekanan CCS meningkat akibat obstruksi pada salah satu
tampat pembentukan CSS, antara lain pleksus koroidalis dan
keluarnya ventrikel IV melalui faromen luscka dan magendhi.
2) Hidrocephalus Komunikans
Tekanan CSS yang meningkat tidak disebabkan oleh
penyumbatan pada salah satu tempat pembentukan CSS.
Cairan dapat bebas keluar-masuk ventrikel.
b. Berdasarkan Perolehannya:
1) Hidrocephalus Kongenital
Hidrosefalus ini sudah diderita sejak dalam kandungan.
Berarti, pada saat lahir otaknya sudah berukuran kecil atau
pertumbuhan otak terganggu karena desakan oleh banyaknya
cairan dalam kepala dan tingginya tekanan intrakranial.
2) Hidrocephalus Didapat
Pertumbuhan otak pada awalnya sudah sempurna, tetapi
kemudian terjadi gangguan karena adanya tekanan
intrakranial yang tinggi.
3. Etiologi
a. Hidrocephalus Kongenital
1) Stenosis akuaduktus sylvii: penyebab terbanyak hidrosefalus
bayi dan anak (60-90%). Akuaduktus dapat merupakan saluran
buntu atau lebih sempit dari biasanya. Gejala hidrocephalus
umunya erlihat sejak lahir atau progresif dengan cepat pada
bulan-bulan pertama kelahiran.
2) Spina bifida dan kranium bifida: berhubungan dengan sindrom
Arnold-Chiari akibat tertariknya medula spinalis ke medula
oblongata dan serebelum terletaak lebih rendah dan menutupi
foreman magnum sehingga terjadi penyumbatan sebagian
atau total.
3) Sindrom Dandy-Walker: atresia kongenital foramen Luscka dan
Magendhi yang menyebabkan hidrosefalus obstruktif dengan
pelebaran ventrikel- terutama ventrikel IV-yang dapat menjadi
sangat besar hingga menjadi suatu kista besar didaerah fosa
posterior.
4) Kista araknoid: dapat terjadi secara kongenital atau trauma
sekunder suatu hematoma.
b. Hidrocephalus Didapat
1) Infeksi: biasanya terjadi pada hidrosefalus pasca meningitis.
2) Neoplasma: disebabkan oleh adanya obstruksi mekanisme
pada saluran aliran CSS
3) Perdarahan intrakranial: dapat menyebabkan hematoma
didalam otak sehingga dapat timbul penyumbaan
4) Sumbatan pada penyakit penimbunan, misalnya
mukopolisakarida dan histiositosis X
5) Intoksikasi vitamin A

4. Gambaran Klinis
a. Bayi muda
1) Kecepatan pertumbuhan kepala tidak normal
2) Penonjolan fontanel (khususnya anterior) yang kadang tanpa
disertai pembesaran kepala : tegang dan tidak berdenyut
3) Dilatasi vena pada kulit kepala
4) Terdapat peregangan sutura
5) Tanda Mecewen (bunyi “cracked-post [vas pecah]”) pada saat
perkusi
6) Terjadi penipisan tulang tengkorak
b. Bayi lanjut
1) Pembesaran frontal atau “bossing”
2) Depresi mata
3) Tanda setting sun (skelra terlihat diatas iris)
4) Respons pupil lambat dan tidak sama dalam merespon cahaya
c. Bayi, umum:
1) Peka terhadap rangsangan
2) Letargik
3) Bayi menangis jika diangkat atau diayun dan diam jika
dibiarkan berbaring
4) Kerja refleks dini menetap
5) Respons normal tidak terlihat
6) Dapat menunjukkan tanda: tingkat kesadaran berubah,
opistotonus (sering kali bersifat ekstrem), spastisitas
ekstermitas bawah
5. Diagnosis
a. Pemeriksaan fisik, gambaran klinik yang samar-samar
b. Pemeriksaan CT tidak scan dan MRI dapat menunjukan ukuran
ventrikel dan mengindikasikan letak obstruksi. CT scan
merupakan cara aman yang dapat diandalkan untuk
membedakan hidrosefalus dari penyakit lain yang juga
menyebabkan pembesaran kepala abnormal
c. Pemeriksaan fisik, gambaran klinik yang samar-samar

6. Pemeriksaan Diagnostik
Selain dari gejala-gejala klinik, keluhan pasien maupun dari
hasil pemeriksaan fisik dan psikis, untuk keperluan diagnostik
hidrosefalus dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yaitu:
a. Rontgen foto kepala
Dengan prosedur ini dapat diketahui:
1) Hidrosefalus tipe kongenital atau infantile, yaitu: ukuran
kepala, adanya pelebaran sutura, tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakranial kronik berupa imopressio digitate dan
erosi prosessus klionidalis posterior.
2) Hidrosefalus tipe juvenile atau adult oleh karena sutura telah
menutup maka dari foto rontgen kepala diharapkan adanya
gambaran kenaikan tekanan intrakranial.
b. Transimulasi
Syarat untuk transimulasi adalah fontanela masih terbuka,
pemeriksaan ini dilakukan dalam ruangan yang gelap setelah
pemeriksa beradaptasi selama 3 menit. Alat yang dipakai lampu
senter yang dilengkapi dengan rubber adaptor. Pada
hidrosefalus, lebar halo dari tepi sinar akan terlihat lebih lebar 1-
2 cm.
c. Lingkaran Kepala
Diagnosis hidrocephalus pada bayi dapat dicurigai, jika
penambahan lingkar kepala melampaui satu atau lebih garis-
garis kisi pada chart (jarak antara dua garis kisi 1 cm) dalam
kurun waktu 2-4 minggu. Pada anak yang besar lingkaran kepala
dapat normal hal ini disebabkan oleh karena hidrosefalus terjadi
setelah penutupan suturan secara fungsional.
Tetapi jika hidrosefalus telah ada sebelum penutupan
suturan kranialis maka penutupan sutura tidak akan terjadi
secara menyeluruh.
d. Ventrikulografi
Setelah kontras masuk langsung difoto, maka akan terlihat
kontras mengisi ruang ventrikel yang melebar. Pada anak yang
besar karena fontanela telah menutup untuk memasukkan
kontras dibuatkan lubang dengan bor pada kranium bagian
frontal atau oksipitalis. Ventrikulografi ini sangat sulit, dan
mempunyai risiko yang tinggi. Di rumah sakit yang telah memiliki
fasilitas CT Scan, prosedur ini telah ditinggalkan.
e. Ultrasanografi
Dilakukan melalui fontanela anterior yang masih terbuka.
Dengan USG diharapkan dapat menunjukkan system ventrikel
yang melebar. Pendapat lain mengatakan pemeriksaan USG
pada penderita hidrosefalus ternyata tidak mempunyai nilai di
dalam menentukan keadaan sistem ventrikel hal ini disebabkan
oleh karena USG tidak dapat menggambarkan anatomi sistem
ventrikel secara jelas, seperti halnya pada pemeriksaan CT Scan.
f. CT Scan Kepala
Pada hidrosefalus obstruktif CT Scan sering menunjukkan
adanya pelebaran dari ventrikel lateralis dan ventrikel III. Dapat
terjadi di atas ventrikel lebih besar dari occipital horns pada anak
yang besar. Ventrikel IV sering ukurannya normal dan adanya
penurunan densitas oleh karena terjadi reabsorpsi
transependimal dari CSS.
Pada hidrosefalus komunikans gambaran CT Scan
menunjukkan dilatasi ringan dari semua sistem ventrikel
termasuk ruang subarakhnoid di proksimal dari daerah
sumbatan.

g. MRI (Magnetic Resonance Image)


Untuk mengetahui kondisi patologis otak dan medula
spinalis dengan menggunakan teknik scaning dengan kekuatan
magnet untuk membuat bayangan struktur tubuh.

7. Penatalaksanaan
Pada sebagian besar penderita, pembesaran kepala akan
berhenti dengan sendirinya (arrested hydrocephalus). Hal ini
mungkin disebabkan oleh rekanalisasi ruang subaraknoid atau
kompensasi pembentukan CSS yang berkurang. Tindakan bedah
untuk menangani hidrosefalus sebelum kelahiran tidak berhasil dan
bersifat eksperimental. Jika penyebab hidrosefalus adalah tumor,
tindakan bedah untk mengangkat tumor tersebut dapat
dipertimbangkan.
Penatalaksanaan hidrosefalus antara lain adalah:
a. Lakukan perawatan umum, misalnya pengawasan suhu,
pencegahan infeksi, pengawasan asupan dan haluaran, serta
perawatan setelah BAK dan BAB.
b. Ukur lingkar kepala secara berkala untuk mengetahui laju
pertama, bahkan CSS.
c. Lakukan pengawasan dan pencegahan muntah.
d. Lakukan pengawasan kejang. Jika perlu, spatel lidah dapat
dipasang untuk mencegah retraksi lidah yang dapat
menyebabkan perdarahan atau sumbatan pada saluran
pernapasan.
e. Dapatkan informed consent dari orangtua untuk merujuk ke
pusat pelayaan kesehataan yang lebih memadai.
Pada dasarnya terdapat tiga prinsip dalam pengobatan
hidrosefalus, yaitu mengurangi produksi CSS, memengaruhi
hubungan antara tempat produksi CSS dan tempat absorbsi, serta
pengeluaran CSS ke dalam organ ekstrakranial.

7. Manajemen Terapi
Ada 3 prinsip pengobatan hidrosefalus:
a. Mengurangi produksi cairan serebrospinal dengan merusak
sebagian pleksus khoroideus dengantindakan reseksi
(pembedahan) atau koagulasi.
b. Memperbaiki hubungan antara tempat produksi cairan
serebrospinal dengan tempat absorbsi yaknimenghubungkan
ventrikel dengan subarakhnoid.
c. Pengeluaran CSS ke dalam rongga ekstra kranial dengan operasi
pemasangan shunt. Operasi pemasangan shunt dilakukan sedini
mungkin, tetapi biasanya dipasang pada usia 3-4
bulan,sedangkan revisi pada usia 18-24 bulan, 1-6 tahun, 10-12
tahun.
Prognosis hidrosefalus infatil mengalami perbaikan bermakna
namun tidak dramatis dengan temuanoperasi pisau. Jika tidak
dioperasi 50-60% bayi akan meniggal karena hidrosefalus sendiri
ataupun penyakit penyerta. Skitar 40% bayi yang bertahan
memiliki kecerdasan hampir normal. Dengan bedahsaraf dan
penatalaksanaan medis yang baik, sekitar 70% diharap dapat
melampaui masa bayi, sekitar40% dengan intelek normal, dan
sektar 60% dengan cacat intelek dan motorik bermakna. Prognosis
bayi hidrosefalus dengan meningomilokel lebih buruk.

8. Operasi Shunting
Sebagian besar pasien memerlukan tindakan ini untuk
membuat saluran baru antara aliran likuor (ventrikel atau lumbar)
dengan kavitas drainase (seperti peritoneum, atrium kanan, dan
pleura). Komplikasi operasi ini dibagi menjadi tiga yaitu infeksi,
kegagalan mekanis, dan kegagalan fungsional. Tindakan ini
menyebabkan infeksi sebanyak >11% pada anak setelahnya dalam
waktu 24 bulan yang dapat merusak intelektual bahkan
menyebabkan kematian.

9. Endoscopic Third Ventriculostomy


Metode Endoscopic Third Ventriculostomy (ETV) semakin
sering digunakan di masa sekarang dan merupakan terapi pilihan
bagi hidrosefalus obstruktif serta diindikasikan untuk kasus seperti
stenosis akuaduktus, tumor ventrikel 3 posterior, infark serebral,
malformasi Dandy Walker, syringomyelia dengan atau tanpa
malformasi Arnold Chiari tipe 1, hematoma intraventrikel,
myelomeningokel, ensefalokel, tumor fossa posterior dan
kraniosinostosis. ETV juga diindikasikan pada kasus block shunt
atau slit ventricle syndrome. Kesuksesan ETV menurun pada
kondisi hidrosefalus pasca perdarahan dan pasca infeksi.
Perencanaan operasi yang baik, pemeriksaan radiologis yang tepat,
serta keterampilan dokter bedah dan perawatan pasca operasi
yang baik dapat meningkatkan kesuksesan tindakan ini.

B. Atresia Ani atau Anus Imperforata


1. Defenisi
Atresia ani adalah kondisi dimana tidak ada lubang secara
tetap di daerah anus.Kondisi ini merupakan kelainan malformasi
kongenital dimana terjadi ketidaklengkapan perkembangan
embrionik pada bagian anus atau tertutupnya anus secara
abnormal.
Menurut Melbourne, atresia ani dibedakan menjadi tiga jenis,
yaitu:
a. Atresia ani letak tinggi: rectum berakhir diatas m. levatorani (m.
pubokoksigeus), jarak anatara ujung buntu rectum dan kulit
perineum > 1cm.
b. Atresia ani letak intermediet: rectum berakhir di m. levator ani,
tetapi tidak menembusnya.
c. Atresia anus letak rendah (pada anus): rectum berakhir dibawah
m. levator ani, jarak antara kulit dan ujung rectum paling jauh 1
cm (Saputra, Dr. Lyndon. 2014).

2. Etiologi
Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada
sumber mengatakan kelainan bawaan anus disebabkan oleh
gangguan pertumbuhan, fusi, dan pembentukan anusdari tonjolan
embriogenik. Atresia ani dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain:
a. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur
sehingga bayi lahir tanpalubang dubur.
b. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12
minggu atau 3 bulan.
c. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik
didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis,
yang terjadi antara minggu keempat sampaikeenam usia
kehamilan.
d. Berkaitan dengan sindrom down (kondisi yang menyebabkan
sekumpulan gejala mentaldan fisik khas ini di sebabkan oleh
kelainan gen dimana terdapat ekstra salinankromosom 21).
e. Atresia ani adalah suatu kelainan

3. Patofisiologi
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum
anorektal pada kehidupan embrional. Anus dan rektum
berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari
bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan
bakal genitourinaria dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal
karena adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia
ani karena tidak ada kelengkapan migrasi dan perkembangan
struktur kolon antara 7 dan 10 mingggu dalam perkembangan
fecal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam
agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak
ada pembukaan usus besar yang keluar melalui anus menyebabkan
fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami
obstruksi.
Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya
fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi
cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir
melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga
terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir ke arah
traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini
biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ
sekitarnya. Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina
(rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki
biasanya letak tinggi, umumnya fistula menuju ke vesika urinaria
atau ke prostate. (rektovesika). Pada letak rendah fistula menuju ke
uretra (rektourethralis).

4. Gambaran Klinis
a. Selama 24-48 jam setelah lahir, bayi mengalami muntah-muntah
dan tidak ada defekasi meconium.
b. Tidak ditemukan anus dengan ada atau tidak adanya fistula.
c. Perut kembung baru kemudian disusul muntah.
d. Gerak usus dan bising usus meningkat (hiperperistaltik).
e. Jika ada fistula rektovestibular dan meconium keluar dari fistula
tersebut, berarti terjadi atresia letak rendah.

5. Penatalaksanaan
a. Beri dukungan emosional dan keyakinan pada ibu.
b. Pertolongan pertama adalah dengan tidak memberikan apa pun
melalui mulut, menutup organ yang menonjol dengan kassa steril
yang dibasahi saline normal, sehingga kassa tetap basah,
memastikan bayi tetap hangat, memasang pipa lambung untuk
membiarkan cairan lambung mengalir bebas.
c. Ganti asupan makanan melalui mulut dengan pemberian cairan
intravena sesuai dengan kebutuhan, misalnya glukosa 5-6 %
atau Na-bikarbonat.
d. Pengobatan kasus atresia ani adalah dengan pembedahan untuk
membuat lubang anus. Untuk itu, dapatkan informed consent
dari orangtua untuk merujuk bayi ke pusat pelayanan kesehatan
yang lebih memadai.
e. Pembedahan perlu segera dilakukan setelah tinggi atresia
ditentukan. Pada atresia ani letak tinggi dan intermediet,
dilakukan sigmoid kolostomi, 6-12 minggu kemudian dilakukan
tindakan definitive (PSARP). Pada atresia ani letak rendah,
dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk
mengidentifikasi batas otot sfingter ani sekitar anus dan
melakukan perineal anoplasti. Pada atresia ani yang disertai
fistula, dilakukan cut back incision. Pada stenosis ani dilakukan
dilatasi rutin.
C. Labiopalatoschizis
1. Definisi
Labiopalatoschizis adalah suatu kelainan yang dapat terjadi
pada daerah mulut, palatoschizis (sumbing palatum), dan
labioschizis (sumbing pada bibir) yang terjadi akibat gagalnya
jaringan lunak (struktur tulang) untuk menyatu selama
perkembangan embroil.
Labiopalatoschizis adalah penyakit congenital anomaly yang
berupa adanya kelainan bentuk pada struktur wajah.
Labiopalatoschizis adalah kelainan congenital pada bibir dan
langit-langit yang dapat terjadi secara terpisah atau bersamaan
yang disebabkan oleh kegagalan atau penyatuan struktur fasial
embrionik yang tidak lengkap. Kelainan ini cenderung bersifat
diturunkan (hereditary), tetapi dapat terjadi akibat faktor non-
genetik.
Labiopalatoschizis adalah suatu kondisi dimana terdapat celah
pada bibir atas diantara mulut dan hidung. Kelainan ini dapat
berupa celah kecil pada bagian bibir yang berwarna sampa ipada
pemisahan komplit satu atau dua sisi bibir memanjang dari bibir
ke hidung. Kelainan ini terjadi karena adanya gangguan pada
kehamilan trimester pertama yang menyebabkan terganggunya
proses tumbuh kembang janin. Faktor yang diduga dapat
menyebabkan terjadinya kelainan ini adalah kekurangan nutrisi,
stress pada kehamilan, trauma dan factor genetic.
Palatoschizis adalah adanya celah pada garis tengah palato
yang disebabkan oleh kegagalan penyatuan susunan palate pada
masa kehamilan 7-12 minggu. Komplikasi potensial meliputi infeksi,
otitis media, dan kehilangan pendengaran.

2. Etiologi dan Faktor resiko


a. Faktor Genetik
Merupakan penyebab beberapa palatoschizis, tetapi tidak
dapat ditentukan dengan pasti karena berkaitan dengan gen
kedua orang tua. Diseluruh dunia ditemukan hampir 25-30 %
penderita labio palatoschizis terjadi karena faktor herediter.
Faktor dominan dan resesif dalam gen merupakan manifestasi
genetik yang menyebabkan terjadinya labiopalatoschizis. Faktor
genetik yang menyebabkan celah bibir dan palatum merupakan
manifestasi yang kurang potensial dalam penyatuan beberapa
bagian kontak.
b. Insufisiensi zat untuk tumbuh kembang organ selama masa
embrional, baik kualitas maupun kuantitas (Gangguan sirkulasi
foto maternal). Zat-zat yang berpengaruh adalah:
1) Asam folat
2) Vitamin C
3) Zn
c. Apabila pada kehamilan, ibu kurang mengkonsumsi asam folat,
vitamin C dan Zn dapat berpengaruh pada janin. Karena zat - zat
tersebut dibutuhkan dalam tumbuh kembang organ selama masa
embrional. Selain itu gangguan sirkulasi foto maternal juga
berpengaruh terhadap tumbuh kembang organ selama masa
embrional.
d. Pengaruh obat teratogenik.Yang termasuk obat teratogenik
adalah:
1) Jamu
Mengkonsumsi jamu pada waktu kehamilan dapat
berpengaruh pada janin, terutama terjadinya labio
palatoschizis. Akan tetapi jenis jamu apa yang menyebabkan
kelainan kongenital ini masih belum jelas. Masih ada penelitian
lebih lanjut
2) Kontrasepsi hormonal
Pada ibu hamil yang masih mengkonsumsi kontrasepsi
hormonal, terutama untuk hormon estrogen yang berlebihan
akan menyebabkan terjadinya hipertensi sehingga
berpengaruh pada janin, karena akan terjadi gangguan
sirkulasi fotomaternal.
3) Obat-obatan yang dapat menyebabkan kelainan kongenital
terutama labio palatoschizis. Obat-obatan itu antara lain:
a) Talidomid, diazepam (obat-obat penenang)
b) Aspirin (Obat-obat analgetika)
c) Kosmetika yang mengandung merkuri & timah hitam (cream
pemutih)
4) Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan yang dapat menyebabkan Labio
palatoschizis, yaitu:
a) Zat kimia (rokok dan alkohol). Pada ibu hamil yang masih
mengkonsumsi rokok dan alkohol dapat berakibat terjadi
kelainan kongenital karena zat toksik yang terkandung pada
rokok dan alkohol yang dapat mengganggu pertumbuhan
organ selama masa embrional.
b) Gangguan metabolik (DM). Untuk ibu hamil yang
mempunyai penyakit diabetessangat rentan terjadi kelainan
kongenital, karena dapat menyebabkan gangguan sirkulasi
fetomaternal. Kadar gula dalam darah yang tinggi dapat
berpengaruh padatumbuh kembang organ selama masa
embrional.h
c) Penyinaran radioaktif. Untuk ibu hamil pada trimester
pertama tidak dianjurkan terapi penyinaran radioaktif,
karena radiasi dari terapi tersebut dapat mengganggu
proses tumbuh kembang organ selama masa embrional.
5) Infeksi, khususnya virus (toxoplasma) dan klamidial . Ibu hamil
yang terinfeksi virus (toxoplasma) berpengaruh pada janin
sehingga dapat berpengaruh terjadinya kelainan kongenital
terutama labio palatoschizis.

3. Manifestasi Klinis
a. Tampak ada celah pada tekak (uvula), palato lunak, dan
keras atau foramen incisive
b. Adanya rongga pada hidung
c. Distorsi hidung
d. Teraba ada celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksa
dengan jari
e. Kesulitan dalam menghisap atau makan
f. Distersi nasal sehingga bisa menyebabkan gangguan pernafasan
g. Gangguan komunikasi verbal
Celah bibir dan kebanyakan celah palatum tampak pada saat
lahir dan penampilan kosmetik merupakan keprihatinan yang
timbul segera pada orang tua. Tidak ada kesukaran minum ASI atau
botol pada bayi dengan bibir sumbing yang kurang berat dengan
palatum utuh. Pada sumbing yang luas, dan terutama bila disertai
celah palatum, muncul dua masalah; mengisap mungkin tidak
efektif dan saliva serta susu dapat bocor ke dalam ronggga hidung,
dan mengakibatkan refleks gag atau tersedak ketika bayi bernapas.
Bicara dapat terhambat dan bila berkembang, dapat ada
hipernasalitasa dan artikulasi yang jelek. Sebagai akibat defisiensi
pada fungsi otot palatum mole, fungsi tuba eustachii dapat
terganggu, dan keterlibatan telinga tengah memalui otitis akut
berulang atau otitis media menetap dengan efusi lazim terjadi.
Anak yang mengalami celah palatum sering berkembang
infeksi sinus masalis dan hipertrofi tonsil dan adenoid. Infeksi ini
lazim terdapat bahkan sesudah perbaikan bedah sekalipun, dan
dapat turut menyebabkan sering terkenanya telinga tengah.
Gabungan penampilan kosmetik dan gangguan bicara sering
menciptakan kesukaran psikologis yang serius pada anak yang
lebih tua.

4. Klasifikasi
Klasifikasi menurut struktur-struktur yang terkena menjadi:
a. Palatum primer: meliputi bibir, dasar hidung, alveolus dan
palatum durum dibelahan foramen incivisium.
b. Palatum sekunder: meliputi palatum durum dan molle posterior
terhadap foramen.
Suatu belahan dapat mengenai salah satu atau keduanya,
palatum primer dan palatum sekunder dan dapat unilateral atau
bilateral.
Kadang-kadang terlihat suatu belahan submukosa, dalam
kasus ini mukosanya utuh dengan belahan mengenai tulang dan
jaringan otot palatum.
a. Klasifikasi menurut organ yang terlibat:
1) Celah bibir (labioschizis)
2) Celah di gusi (gnatoschizis)
3) Celah dilangit (Palatoschizis)
4) Celah dapat terjadi lebih dari satu organ misalnya terjadi di
bibir dan langit-langit (labiopalatoschizis)
b. Klasifikasi menurut lengkap atau tidaknya celah yang terbentuk:
Tingkat kelainan bibir sumbing bervariasi, mulai dari yang
ringan hingga yang berat, beberapa jenis bibir sumbing yang
diketahui adalah:
1) Unilateral iincomplete: Jika celah sumbing terjadi hanya di
salah satu bibir dan tidak memanjang ke hidung
2) Unilateral complete: Jika celah sumbing yang terjadi hanya
disalah satu sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung
3) Bilateral complete: Jika celah sumbing terjadi dikedua sisi bibir
dan memanjang hingga ke hidung.

5. Tindakan Pembedahan
Masalah ini melibatkan anak dan orang tua, bersifat kompleks,
bervariasi, dan membutuhkan penanganan yang lama. Penanganan
anak kelainan celah bibir dengan atau tanpa celah palatum dan
kelainan celah palatum memerlukan kerjasama tim, seperti bagian
anak, THT, bedah, gigi, ortopedi, ahli rehabilitasi suara dan
pendengaran, dan beberapa bidang lain seperti bedah saraf, mata,
prostodontik, perawat, dan psikolog.
Prioritas medis utama adalah memberikan makanan dan
nutrisi yang cukup. Bayi dengan bibir sumbing biasanya tidak
mengalami masalah dalam pemberian air susu ibu ataupun minum
dari botol, akan tetapi bayi dengan bibir sumbing dan palatum atau
celah palatum akan bermasalah. Jika sumbing lebar, bayi akan sulit
menyusu, lelah dan menelan banyak udara; dibutuhkan preemie
nipple. Posisi tegak saat minum susu juga mengurangi risiko
regurgitasi. Pada bayi dengan sumbing lebar, penggunaan protesis
palatum membantu pemberian makanan dan minuman.
Selain tatalaksana tersebut, operasi rekonstruksi wajah dapat
dilakukan untuk memperbaiki fungsi organ hidung, gigi, dan mulut,
perkembangan berbicara, serta memperbaiki estetika wajah.
Operasi meliputi perlekatan bibir, rekonstruksi bibir sumbing, dan
rekonstruksi celah palatum.
a. Perlekatan Bibir
Pada bayi dengan bibir sumbing lebar, perlekatan ini
berguna membantu mempersempit celah, sebelum dilakukan
rekonstruksi bibir. Pada umumnya dilakukan dengan taping
menggunakan plester hipoalergik yang dilekatkan antar pipi
melewati celah bibir. Plester ini digunakan 24 jam dan diganti
setiap hari atau jika basah akibat pemberian makan atau minum.
Apabila plester tidak efektif, dapat dilakukan operasi perlekatan
bibir untuk mengubah sumbing sempurna menjadi sumbing
sebagian agar mengurangi tegangan saat dilakukan operasi
rekonstruksi bibir. Operasi perlekatan bibir dapat dilakukan pada
bayi usia 2 sampai 4 minggu. Semakin tua usia bayi maka
operasi perlekatan bibir akan menimbulkan jaringan parut
sampai dewasa, walaupun telah dilakukan rekonstruksi bibir.
b. Perlekatan Bibir Unilateral
Menggunakan Millard rotation, metode ini dimulai dengan
langkah pertama yaitu menentukan area operasi. Kemudian
membuat fl ap segiempat di mukosa vermilion di celah medial
dan lateral, lalu menyatukan kedua mukosa. Penyatuan mukosa
itu dilakukan dengan benang jahit yang dapat diserap di bibir
dalam, setelah itu menjahit dengan benang yang tidak dapat
diserap melewati kartilago septum di sisi tidak bercelah melewati
muskulus orbicularis oris, lalu kembali ke kartilago septum.
Kemudian dengan benang yang dapat diserap, menjahit di
bagian otot bibir medial dan lateral dengan teknik interrupted.
c. Perlekatan Bibir Bilateral
Metode ini sama dengan operasi unilateral, hanya berbeda
penggunaan teknik menjahit dengan teknik horizontal mattress.

d. Rekonstruksi Bibir Sumbing


Jika tidak dilakukan perlekatan bibir sebelumnya,
rekonstruksi ini dilakukan pada bayi usia 8-12 minggu. Di
Amerika, para dokter bedah menggunakan rule of ten untuk
rekonstruksi bibir dengan kiriteria bayi setidaknya usia 10
minggu, berat 10 pon, dan hemoglobin 10 gram/dL.
e. Rekonstruksi bibir sumbing unilateral
Sebelum operasi, operator menentukan dasar ala nasal,
ujung vermilion, bagian tengah vermilion, dan panjang filtrum di
bagian yang sumbing. Melakukan insisi di bagian yang sumbing
dan daerah yang akan direkonstruksi, kemudian menjahit lapis
demi lapis mulai dari muskulus orbikularis oris, lapisan mukosa,
lapisan kulit, dan kartilago di alanasi.

f. Rekonstruksi bibir sumbing bilateral


Prinsip operasi ini sama dengan operasi unilateral. Setelah itu
membuat insisi untuk fi ltrum dan ala nasi dari prolabium,
melonggarkan tegangan muskulus orbikularis oris, dan menjahit
lapis demi lapis mulai dari otot, mukosa, kulit, fi ltrum, dan ala nasi
(Gambar 8).

g. Rekonstruksi Celah Palatum


Rekonstruksi ini bertujuan membantu perkembangan
berbicara, mencegah kemungkinan gangguan pertumbungan
maksilofasial, dan gangguan oklusi. Secara umum, rekonstruksi ini
dilakukan pada bayi usia 8-12 bulan.
h. Rekonstruksi celah palatum unilateral
Operasi ini dimulai dengan menentukan daerah operasi di tepi
celah palatum pada teknik Bardach two-flap. Melakukan insisi celah
di palatum durum 1-2 mm di lateral tepi celah, insisi 1 cm di
posterior tuberositas maksila dan mengarah ke anterior, kemudian
bersatu dengan insisi di medial. Setelah insisi dilakukan, lapisan
submukoperiosteum bilateral dibuka untuk mengidentifi kasi
foramen palatina tempat keluar arteri palatina mayor. Kemudian
tepi posterior palatum durum diidentifi kasi dan memotong serat
otot dan mukosa, dan mukoperiosteum nasal dipisahkan dan
tepinya dijahit satu sama lain. Selanjutnya otot velar dijahit dengan
horizontal mattress dan akhirnya melekatkan mukoperiosteal oral
(Gambar 9).
i. Rekonstruksi celah palatum bilateral
Prosedur ini dapat dilakukan dengan beberapa teknik, seperti
teknik Bardach two-flap (Gambar 10) dengan prosedur sama
dengan unilateral. Kemudian pada teknik Wardill-Kilner/ V-Y
advancement (Gambar 11), membuat flap mukoperiosteal
berbentuk Y oral di ujung palatum sekunder, dan melakukan
prosedur seperti teknik Bardach two-fl ap. Teknik Furlow (Gambar
12) menggunakan prosedur berbeda, yaitu Z-plasti, dengan
membuat fl ap mukosa oral dan flap otot, kemudian dijahit
tumpang tindih dengan membentuk huruf Z.
D. Asuhan Keperawatan Hidrocephalus
1. Pengkajian
a. Anamnesa
1) Pengumpulan data: nama, usia, jenis kelamin, suku/bangsa,
agama, pendidikan, pekerjaan, alamat
2) Riwayat Penyakit atau keluhan utama: Muntah, gelisah, nyeri
kepala, lelah apatis, penglihatan ganda, perubahan pupil,
kontriksi penglihatan perifer.
3) Riwayat Penyakit dahulu
a) Antenatal: Perdarahan ketika hamil
b) Natal: Perdarahan pada saat melahirkan, trauma sewaktu
lahir
c) Postnatal : Infeksi, meningitis, TBC, neoplasma
4) Riwayat penyakit keluarga
5) Pengkajian persiste
a) B1 (Breath): Dispnea, ronchi, peningkatan frekuensi napas
b) B2 (Blood): Pucat, peningkatan systole tekanan darah,
penurunan nadi
c) B3 (Brain): Sakit kepala, gangguan kesadaran, dahi
menonjol dan mengkilat, pembesaran kepala, perubahan
pupil, penglihatan ganda, kontruksi penglihatan perifer,
strabismus (juling), tidak dapat melihat keatas “ sunset eyes
”, kejang
d) B4 (Bladder): Oliguria
e) B5 (Bowel): Mual, muntah, malas makan
f) B6 (Bone): Kelemahan, lelah, peningkatan tonus otot
ekstrimitas
b.Observasi tanda-tanda vital
1) Peningkatan systole tekanan darah
2) Penurunan nadi atau bradikardia
3) Peningkatan frekuensi pernapasan
c. Pemeriksaan Fisik
1) Masa bayi :
Kepala membesar , Fontanel Anterior menonjol, Vena
pada kulit kepala dilatasi dan terlihat jelas pada saat bayi
menangis, terdapat bunyi Cracked-Pot (tanda macewe), mata
melihat kebawah (tanda setting-sun), mudah terstimulasi,
lemah, kemampuan makan kurang, perubahan kesadaran,
opistotonus dan spatik pada ekstremitas bawah.pada bayi
dengan malformasi Arnold-Chiari, bayi mengalami kesulitan
menelan, bunyi nafas stridor, kesulitan bernafas, Apnea,
Aspirasi dan tidak reflek muntah.
2) Masa Kanak-Kanak
Sakit kepala, muntah, papil edema, strabismus, ataxsia
mudah terstimulasi, letargis, apatis, bingung, bicara
inkoheren.
d.Pemeriksaan Diagnostik
1) Lingkar Kepala pada masa bayi
2) Translumiasi kepala bayi, tampak pengumpulan cairan
serebrospinalis yang abnormal
3) Perkusi pada tengkorak bayi menghasilkan "suara khas"
4) Opthalmoscopi menunjukan papil edema
5) CT Scan
6) Foto Kepala menunjukan pelebaran pada fontanel dan sutura
serta erosi tulang intra cranial
7) Ventriculografi (jarang dipakai): Hal-hal yang Abnormal dapat
terlihat di dalam system ventrikular atau sub-arakhnoid.
e. Perkembangan Mental atau Psikososial
1) Tingkat perkembangan
2) Mekanisme koping
3) Pengalaman di rawat di Rumah Sakit
f. Pengetahuan Klien dan Keluarga
1) Hidrosephalus dan rencana pengobatan
2) Tingtkat pengetahuan

2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko tinggi peningktan tekana intracranial b.d peningkatan
jumlah cairan cerebrospinal
b. Nyeri yang berhubunngan dengan peningkatan tekanan
intracranial
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan perubahan mencerna makanan,
peningkatan kebutuhan metabolism.
d. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
meningkatnya volume cairan serebrospinal, meningkatnya
tekanan intra karnial.
e. Kurangnya pengetahuan keluarga sehubungan dengan kurang
informasi dalam keadaan krisis.
f. Resiko tinggi terjadinya kerusakan intregasi kulit sehubungan
dengan penekanan dan ketidakmampuan untuk menggerakan
kepala.

3. Intervensi Keperawatan
a. Resiko tinggi peningkatan tekanan intracranial b.d peningkatan
jumlah cairan serebrospinal.
Tujuan : Setelah dilakukan atau diberikan asuhan keperawatan
2x24 jam klien tidak mengalami peningkatan TIK.
Kriteria hasil : Klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan
muntah, GCS 4, 5, 6 tidak terdapat papiledema, TTV
dalam batas normal.
1) Intervensi
a) Kaji faktor penyebab dari keadaan individu atau penyebab
koma atau penurunan perfusi jaringan dan kemungkinan
penyebab peningkatan TIK.
Rasional : Deteksi dini untuk memperioritaskan
intervensi, mengkaji status neurologi atau tanda-
tanda kegagalan untuk menentukan perawatan
kegawatan atau tindakan pembedahan.

b) Monitor tanda-tanda vital tiap 4 jam


Rasional : Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral
terpelihara dengan baik atau fluktuasi ditandai
dengan tekanan darah sistemik, penurunan dari
autoregulator kebanyakan merupakan tanda
penurunan difusi local vaskularisasi darah serebral.
Adanya peningkatan tekanan darah, bradhikardi,
distritmia, dispnia merupakan tanda terjadinya
peningkatan TIK.
c) Evaluasi pupil
Rasional : Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari
bola mata merupakan tanda dari gangguan
nervus/saraf jika batang otak terkoyak.
d) Monitor temperature dan pengaturan suhu lingkungan
Rasional : Panas merupakan refleks dari hipotalamus.
Peningkatan kebutuhan mertabolisme dan oksegen
akan menunjang peningkatan TIK.
e) Pertahankan kepala atau leher pada posisi yang netral,
usahakan dengan sedikit bantal. Hindari penggunaan bantal
yang tinggi pada kepala
Rasional : Perubahan kepala pada satu sisi dapat
menimbulkan penekanan pada vena jugularis dan
menghambat aliran darah otak (menghambat
drainase pada vena serebral), untuk itu dapat
meningkatkan TIK
f) Berikan periode istirahat antara tindakan perawatan dan
batasi lamanya prosedur.
Rasional : Tindakan yang terus menerus dapat
meningkatkan TIK oleh efek rangsangan komulatif.
g) Kurangi rangsangan ekstra dan berikan rasa nyaman seperti
massase punggung, lingkungan yang tenang, sentuhan yang
ramah dan suasana atau pembicaraan yang tidak gaduh.
Rasional : Memberikan suasana yang tenang (colming
effect) dapat mengurangi respons psikologis dan
memberikan istirahat untuk mempertahan TIK yang
rendah.
h) Cegah atau hindari terjadinya valsava maneuver.
Rasional : Mengurangi tekanan intratorakal dan
intraabdominal sehingga menghindari peningkatan
TIK.
i) Bantu pasien jika batuk, muntah.
Rasional: Aktivitas ini dapat meningkatkan intra thorak atau
tekanan dalam thorak dan tekanan dalam abdomen
dimana aktivitas ini dapat meningkatkan tekanan
TIK.
j) Kaji peningkatan istirahat dan tingkah laku oada opagi hari.
Rasional : Tingkat non verbal ini meningkatkan indikasi
peningkatan TIK atau memberikan refleks nyeri
dimana pasien tidak mampu mengungkapkan
keluhan secara verbal, nyeri yang tidak menurun
dapat meningkatkan Tik
k) Palpasi pada pembesaran atau pelebaran blader,
peertahgankanb drainase urine secara paten jika digunakan
dan juga monitor terdapatnya konstipasi.
Rasioanl : Dapat meningkatkan respon automatik yang
potensial menaikan TIK
l) Berikan penjelasan pada klien (jika sadar) dan orangtua
tentang sebab akibat TIK meningkat.
Rasional : Meningkatkan kerjasama dalam
meningkatkan perawatan klien dan mengurangi
kecemasan.
b. Gangguan rasa nyaman: Nyeri sehubungan dengan
meningkatkanya tekanan intracranial, terpasang shunt.
Data Indikasi : Adanya keluahan nyeri kepala, meringis atau
menangis, gelisah, kepala membesar
Tujuan : Setelah dilaksakan asuhan keperawatan 2x24 jam
diharapkan nyeri kepala klien hilang.
Kriteria hasil : Pasien mengatakan nyeri kepala berkurang atau
hilang (skala nyeri 0), dan tampak rileks, tidak
meringis kesakitan, nadi normal dan RR normal.
1) Intervensi:
a) Kaji pengalaman nyeri pada anak, minta anak menunjukkan
area yang sakit dan menentukan peringkat nyeri dengan
skala nyeri 0-5 (0 = tidak nyeri, 5 = nyeri sekali)
Rasional : Membantu dalam mengevaluasi rasa nyeri.
b) Bantu anak mengatasi nyeri seperti dengan memberikan
pujian kepada anak untuk ketahanan dan memperlihatkan
bahwa nyeri telah ditangani dengan baik.
Rasional : Pujian yang diberikan akan meningkatkan
kepercayaan diri anak untuk mengatasi nyeri dan
kontinuitas anak untuk terus berusaha menangani
nyerinya dengan baik.
c) Pantau dan catat TTV
Rasional : Perubahan TTV dapat menunjukkan trauma
batang otak.
d) Jelaskan kepada orang tua bahwa anak dapat menangis
lebih keras bila mereka ada, tetapi kehadiran mereka itu
penting untuk meningkatkan kepercayaan.
Rasional : Pemahaman orang tua mengenai pentingnya
kehadiran, kapan anak harus didampingi atau tidak,
berperan penting dalam menngkatkan kepercayaan
anak.
e) Gunakan teknik distraksi seperti dengan bercerita tentang
dongeng menggunakan boneka, nafas dalam, dan lain-lain.
Rasional : Teknik ini akan membantu mengalihkan
perhatian anak dari rasa nyeri yang dirasakan.

c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang


berhubungan dengan perubahan mencerna makanan,
peningkatan kebutuhan metabolisme.
Tujuan : Setelah dilaksakan asuhan keperawatan 1x24 jam
diharapkan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh teratasi dengan
Kriteria hasil : Tidak terjadi penurunan berat badan sebesar
10% dari berat awal, tidak adanya mual-muntah.
1) Intervensi:
a) Pertahankan kebersihan mulut dengan baik sebelum dan
sesudah mengunyah makanan.
Rasional : Mulut yang tidak bersih dapat mempengaruhi
rasa makanan dan meninbulkan mual.
b) Tawarkan makanan porsi kecil tetapi sering untuk
mengurangi perasaan tegang pada lambung.
Rasional : Makan dalam porsi kecil tetapi sering dapat
mengurangi beban saluran pencernaan. Saluran
pencernaan ini dapat mengalami gangguan akibat
hidrocephalus.
c) Atur agar mendapatkan nutrien yang berprotein atau kalori
yang disajikan pada saat individu ingin makan.
Rasional : Agar asupan nutrisi dan kalori klien adeakuat.
d) Timbang berat badan pasien saat ia bangun dari tidur dan
setelah berkemih pertama.
Rasional : Menimbang berat badan saat baru bangun
dan setelah berkemih untuk mengetahui berat
badan mula-mula sebelum mendapatkan nutrient
e) Konsultasikan dengan ahli gizi mengenai kebutuhan kalori
harian yang realistis dan adekuat.
Rasional : Konsultasi ini dilakukan agar klien
mendapatkan nutrisi sesuai indikasi dan kebutuhan
kalorinya
f) Makanan atau cairan, jika muntah dapat diberikan cairan
infuse dekstrosa 5% 2-3 hari kemudian diberikan makanan
lunak.

d. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan


meningkatnya volume cairan serebrospinal, meningkatnya
tekanan intra karnial.
Tujuan: Perfusi jaringan serebral adekuat.
1) Intervensi:
Observasi TTV
a) Kaji data dasar neurologi
b) Hindari pemasangan infuse pada vena kepala jika terjadi
pembedahan
c) Tentukan posisi anak:
 tempatkan pada posisi terlentang
 tinggikan kepala
d) Hindari penggunaan obat-obat penenang

e. Resiko tinggi terjadinya kerusakan intregasi kulit sehubungan


dengan penekanan dan ketidakmampuan untuk menggerakan
kepala.
Tujuan: Klien akan menunjukan intregasi kulit yang baik
1) Intervensi:
a) Berikan perawatan kulit
b) Laporkan segera bila terjadi perubahan TTV
c) Monitor daerah sekitar operasi terhadap adanya tanda-tanda
kemerahan atau pembengkakan.

f. Kurangnya pengetahuan keluarga sehubungan dengan kurang


informasi dalam keadaan krisis.
Tujuan: Keluarga klien akan menerima support dengan adekuat
1) Intervensi:
a) Jelaskan tentang penyakit tindakan dan prosedur yang akan
dilakukan.
b) Berikan kesempatan pada orang tua atau anggota keluarga
untuk mengekspresikan perasaan.
c) Berikan dorongan pada orang tua untuk membantu
perawatan anak.

E. Asuhan Keperawatan Atresia Ani


1. Pengkajian
a. Identitas Pasien
Nama, tempat tanggal lahir, umur, jenis kelamin, alamat,
agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, No.RM, tanggal
masuk RS, diagnosis media.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama: Distensi abdomen 
2) Riwayat Kesehatan Sekarang: Muntah, perut kembung dan
membuncit, tidak bisa buang air besar, meconium keluar dari
vagina atau meconium terdapat dalam urin.
3) Riwayat Kesehatan Dahulu: Klien mengalami muntah-muntah
setelah 24-48 jam pertama kelahiran
4) Riwayat Kesehatan Keluarga: Merupakan kelainan kongenital
bukan kelainan atau penyakit menurun sehingga belum
tentu dialami oleh angota keluarga yang lain.
5) Riwayat Kesehatan Lingkungan: Kebersihan lingkungan tidak
mempengaruhikejadian atresia ani.

c. Pola Fungsi Kesehatan


1) Pola persepsi terhadap kesehatan klien belum bisa
mengungkapkan secara verbal atau bahasa tentang apa yang
dirasakan dan apa yang diinginkan.
2) Pola aktivitas kesehatan atau latihan Pasien belum bisa
melakukan aktifitas apapun secara mandiri karena masih bayi.
3) Pola istirahat atau tidur
Diperoleh dari keterangan sang ibu bayi atau kelurga yang
laind.
4) Pola nutrisi metabolic
Klien hanya minum ASI atau susu kaleng.
5) Pola eliminasi
Klien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada mekonium. 
6) Pola kognitif perseptual
Klien belum mampu berkomunikasi, berespon, dan berorientasi
dengan baik pada orang lain.
7) Pola konsep diri
a) Identitas diri: belum bisa dikaji
b) Ideal diri: belum bisa dikaji
c) Gambaran diri: belum bisa dikaji
d) Peran diri: belum bisa dikaji
e) Harga diri: belum bisa dikajih. 
8) Pola seksual reproduksi
Klien masih bayi dan belum menikahi. 
9) Pola nilai dan kepercayaan
Belum bisa dikaji karena klien belum mengerti tentang
kepercayaan 
10) Pola peran hubungan
Belum bisa dikaji karena klien belum mampu berinteraksi
dengan orang lain secara mandiri.
11) Pola koping
Belum bisa dikaji karena klien masih bayi dan belum mampu
berespon terhadapadanya suatu masalah

d. Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia
ani adalah anustampak merah, usus melebar, kadang – kadang
tampak ileus obstruksi, termometeryang dimasukkan melalui
anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi
terdenganhiperperistaltik, tanpa mekonium dalam 24 jam setelah
bayi lahir, tinja dalam urin danvagina.
1) Tanda-tanda vital
 Nadi: 110 X/menit.
 Respirasi: 32 X/menit.
 Suhu axila: 37º Celsius.
2) Kepala
Kepala simetris, tidak ada luka/lesi, kulit kepala bersih,
tidak ada benjolan atau tumor, tidak ada caput succedanium,
tidak ada chepal hematom.
3) Mata
Simetris, tidak konjungtifitis, tidak ada perdarahan
subkonjungtiva, tidak ikterus, tidak nistagamus atau tidak
episnatus, conjungtiva tampak agak pucat.
4) Hidung
Simetris, bersih, tidak ada luka, tidak ada secret, tidak
ada pernafasan cuping hidung, tidak ada pus dan lendir.
5) Mulut
Bibir simetris, tidak macrognatia, micrognatia, tidak
macroglosus, tidakcheilochisis.
6) Telinga
Memiliki 2 telinga yang simetris dan matur tulang
kartilago berbentuksempurna
7) Leher
Tidak ada webbed neck
8) Thorak
Bentuk dada simetris, silindris, tidak pigeon chest, tidak
funnel shest, pernafasan normal.
9) Jantung
Tidak ada mur-mur, frekuensi jantung teratur
10) Abdomen
Simetris, teraba lien, teraba hepar, teraba ginjal, tidak
termasa atau tumor, tidak terdapat perdarahan pada
umbilicus.
11) Getalia
Terdapat lubang uretra, tidak ada epispandia pada penis
tidak ada hipospandia pada penis, tidak ada hernia sorotalis.
12) Anus
Tidak terdapat anus, anus nampak merah, usus melebar,
kadang-kadang tampak ileus obstruksi. Thermometer yang
dimasukan kedalam anus tertahan oleh jaringan. Pada
auskultasi terdengar peristaltik.
13) Ektrimitas
Ekstremitas atas dan bawah simetris, tidak fraktur,
jumlah jari lengkap, telapak tangan maupun kaki dan
kukunya tampak agak pucat.
14) Punggung
Tidak ada penonjolan spina bifida.
15) Pemeriksaan Refleka
a) Suching + 
b) Rooting +
c) Moro +
d) Grip +
e) Plantar +

2. Diagnosis Keperawatan
a. Diagnosis Pre Operasi
1) Konstipasi berhubungan dengan ganglion.
2) Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan menur
unnya intake, muntah.
3) Cemas orang tua berhubungan dengan kurang
pengetahuan tentang penyakit dan prosedur perawatan.
b. Diagnosis Post Operasi  
1) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma sar
af jaringan. 
2) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi.
3) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan. 
4) Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan
di rumah.
3. Intervensi Keperawatan
a.  Diagnosa Pre Operasi

Diagnosis
No
Keperawata Tujuan Intervensi Rasional
.
n
1. Konkonstipa Setelah 1. Lakukan 1. Evaluasi bowel
si b/d dilakukan enema atau meningkatkan
ganglion tindakan irigasi rectal kenyaman pada
keperawatan sesuai order anak
selama 1x24 2. Kaji bising 2. Meyakinkan ber-
jam klien usus dan fungsinya usus
mampu abdomen
mempertahan setiap 4 jam.
kan pola 3. Ukur lingkar 3. Pengukuran
eliminasi BAB abdomen lingkar abdomen
dengan membantu
teratur mendeteksi
dengan terjadinya
kriteria hasil: distensi
Penurunan
distensi
abdomen,
meningkatnya
kenyamanan
2. Resiko Setelah 1. Monitor inta 1. Dapat
kekekurangan dilakukan ke–output mengidentifik
volume cairan tindakan cairan asi status
b/d keperawatan cairan klien
menurunnya selama 1x24 2. Lakukan pe 2. Mencegah
intake, muntah jam klien masangan dehidrasi
mampu infus dan
mempertahan berikan
kan cairan IV 3. Mengetahui
keseimbangan 3. Observasi kehilangan
cairan dengan TTV cairan melalui
kriteria hasil: suhu
Output urin 1- tubuhyang
2 ml/kg/jam, 4. Monitor tinggi
capillary refill status 4. Mengetahui
3-5 detik, hidrasi tanda-tanda
turgor kulit (kelembaba dehidrasi
baik, n membran
membran mukosa,
mukosa nadi
lembab. adekuat).
3. Cemas Setelah 1. Jelaskan dg 1. Agar orangtua
orang dilakukan n istilah mengerti
tua b/d kura tindakan yang kondisi pasien
ng pengeta keperawatan dimengerti
huan selama 1x24 tentangan
tentang  jam anatomi
penyakit Kecemasan dan fisiologi
dan prosed orang tua saluran 
ur  dapat berkura pencernaan
perawatan ng dengan normal. 2. Pengetahuan
kriteria hasil: 2. Gunakan tersebut
pasien tidak alat, media diharapkan
lemas. dan dapat
gambar. membantu
Beri jadwal menurunkan
studi kecemasan
diagnosa 3. Membantu
pada orang mengurangi
tua kecemasan
3. Beri pasien
informasi p
ada
orangtua
tentang
operasi
kolostomi

b. Diagnosis Post Operasi

Diagnosis
No
Keperawata Tujuan Intervensi Rasional
.
n
1. Gangguan Setelah 1. Hindari 1. Mencegah pe
integritas dilakukan kerutan pa rlukaan pada
kulit b/d tindakan da tempat kulit
kolostomi keperawatan tidur
selama 1x24 2. Jaga 2. Menjaga
jam kebersihan ketahanan
diharapkan kulit agar kulit
integritas kulit tetap bersi
dapat h dan
dikontrol kering
dengan 3. Monitor 3. Mengetahui
kriteria hasil: kulit adanya
temperatur da akanadany tanda
lam batas a kerusakan ja
normal, kemerahan ringan kulit
sensasi dalam 4. Menjaga
batas normal, 4. Oleskan kelembaban
elastisitas lotion atau kulit
dalam batas baby
normal oil pada
daerah 5. Menjaga
yang keadekuatan
tertekan nutrisi
5. Monitor guna penye
status mbuhan luka
nutrisi klien
2. Resiresiko Setelah 1. Monitor 1. Mengetahui
infeksi dilakukan tanda tanda infeksi
b/d prosedu tindakan dangejala lebih dini
r pembedah keperawatan infeksisiste
an selama 1 x 24 mik dan 2. Menghindari
jam local kontaminasi
diharapkan 2. Batasi dari
klien bebas pengunjun pengunjung
dari tanda- g 3. Mencegah pe
tanda infeksi -nyebab
KH : bebas 3. Pertahanka infeksi
dari tanda dan n teknik
gejala infeksi cairan
asepsis
pada klien 4. Mengetahui
yang kebersihan
beresiko luka dan
4. Inspeksi tanda infeksi
kondisi 5. Gejala infeksi
luka atau dapat di
insisi deteksi lebih
bedah dini
5. Ajarkan
keluarga
klien 6. Gejala infeksi
tentang dapat segera
tanda dan teratasi
gejala
infeksi
6. Laporkan
kecurigaan
infeksi

F. Asuhan Keperawatan Labiopalatoschizis


1. Pengkajian Keperawatan
a. Lakukan pengkajian fisik
1) Pada labio skizis: distorsi pada hidung, tampak sebagian atau
keduanya, adanya celah pada bibir.
2) Pada platoskizis: tampak ada cela pada tekak atau uvula,
palato lunak, dan keras dan atau foramen incisive, adanya
rongga pada hidung, distorsi hidung, teraba adanya celah atau
terbukanya langit-langit saat diperiksa dengan jari, kesukaran
dalam mengisap atau makan.
b. Inspeksi palatum, baik secara visusal maupun dengan
menempatkan jari secara langsung diatas palatum
c. Observasi perilaku makan
d. Observasi interaksi bayi-keluarga.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola makan bayi b/d abnormalitas anatomik d/d
ketidakmampuan untuk mengoordinasi mengisap, menelan, dan
bernapas, ketidakmampuan untuk memulai mengisap yang
efektif, ketidakmampuan untuk mempertahankan mengisap yang
efektif
b. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b/d
faktor biologis d/d kurang makanan, ketidakmampuan memakan
makanan.
c. Hambatan komunikasi verbal b/d defek anatomis (misl; celah
palatum) d/d kesulitan menggunakan ekspresi wajah dan tubuh.
d. Gangguan citra tubuh b/d penyakit d/d perubahan aktual pada
fungsi, perubahan aktual pada struktur.
e. Risiko aspirasi d/d gangguan menelan.

3. Intervensi Keperawatan

Diagnosis
NOC NIC
Keperawatan
Ketidakefektifan pola Setelah dilakukan Pemberian Makan
makan bayi b/d tindakan keperawatan dengan Botol
abnormalitas selama 3x24 jam, 1. Pegang bayi selama
anatomik d/d diharapkan nyeri pada menyusui dengan botol
ketidakmampuan saat makan berkurang, 2. Posisikan bayi pada
untuk mengoordinasi dengan kriteria hasil: posisi semi fowler pada
mengisap, menelan, 1. Asupan gizi saat bayi menyusu
dan bernapas, 2. Asupan makanan 3. Sendawakan bayi
ketidakmampuan 3. Asupan cairan sering-sering selama
untuk memulai 4. Energi dan setelah menyusu
mengisap yang 5. Rasio berat badan 4. Tempatkan dot di ujung
lidah
efektif, 6. Hidrasi
5. Control intake cairan
ketidakmampuan
untuk
dengan mengatur
mempertahankan
kelembutan dot, ukuran
mengisap yang
lubang dot, dan ukuran
efektif
botol
6. Tingkatkan
kewaspadaan terhadap
bayi dengan
melonggarkan pakaian
bayi, menggosok kaki
dan tangan, atau bicara
pada bayi
7. Dorong untuk
menghisap dengan
menstimulasi reflek
rooting, sesuai
kebutuhan
8. Monitor intake cairan
9. Monitor atau evaluasi
reflex menghisap
selama menyusu

10. Monitor berat badan


bayi sesuai kebutuhan
Ketidakseimbang Setelah dilakukan 1. Monitor kalori dan
an nutrisi kurang tindakan keperawatan asupan makanan
dari kebutuhan selama 3x24 jam, 2. Monitor kecenderungan
tubuh b/d faktor diharapkan nyeri pada saat terjadinya penurunan
biologis d/d makan berkurang, dengan dan kenaikan berat
ketidakmampuan kriteria hasil: badan
memakan 1. Asupan gizi 3. Ciptakan lingkungan
makanan. 2. Asupan makanan yang optimal pada saat
3. Asupan cairan mengkonsumsi makanan
4. Energi 4. Tentukan status gizi
5. Rasio berat badan pasien dan kemampuan
6. Hidrasi untuk memenuhi
kebutuhan gizi
5. Tentukan apa yang
menjadi preferensi
makanan bagi pasien
6. Tentukan jumlah kalori
dan jenis nutrisi yang
dibutuhkan untuk
memenuhi persyaratan
gizi
7. Atur diet yang
diperlukan
8. Lakukan atau bantu
pasien terkait dengan
perawatan mulut
sebelum makan
9. Anjurkan orangtua
terkait dengan
kebutuhan makanan
tertentu berdasarkan
perkembangan usia.
Hambatan Setelah dilakukan 1. Monitor kecepatan
komunikasi tindakan keperawatan bicara, tekanan,
verbal b/d defek selama 3x24 jam, kuantitas, volume
anatomis d/d diharapkan hambatan 2. Monitor proses kognitif,
kesulitan komunikasi berkurang, anatomis dan fisiologi
menggunakan dengan kriteria hasil: terkait dengan
ekspresi wajah 1. Kejelasan berbicara kemampuan bicara
dan tubuh. 2. Menggunakan bahasa 3. Instruksikan pasien dan
tertulis keluarga menggunakan
3. Menggunakan foto dan proses kognitif,
gambar anatomis dan fisiologi
4. Menggunakan bahasa terkait dengan
lisan: vocal kemampuan bicara
5. Menggunakan bahasa 4. Kenali emosi dan
isyarat perilaku fisik sebagai
bentuk komunikasi
5. Jaga lingkungan yang
terstruktur
6. Modifikasi lingkungan
untuk bisa
meminimalkan
kebisingan yang
berlebihan dan
menurunkan distress
emosi
Gangguan citra Setelah dilakukan 1. Gunakan gambaran
tubuh b/d tindakan keperawatan mengenai gambaran
penyakit d/d selama 3x24 jam, diri sebagai mekanisme
perubahan aktual diharapkan citra tubuh evaluasi dari persepsi
pada fungsi, membaik, dengan citra diri anak
perubahan aktual kriteria hasil: 2. Instruksikan anak-anak
pada struktur 1. Gambaran internal diri mengenai fungsi dari
2. Kesesuaian antara berbagai bagian tubuh,
realitas tubuh dengan dengan cara yang tepat
penampilan tubuh 3. Ajarkan untuk melihat
3. Deskripsi bagian pentingnya respon
tubuh yang terkena mereka terhadap
(dampak) perubahan tubuh anak
4. Sikap terhadap dan penyesuaian di
menyentuh bagian masa depan
tubuh yang terkena 4. Bantu orangtua untuk
(dampak) mengidentifikasi
5. Sikap terhadap perasaan sebelum
penggunaan strategi mengintervensi anak
untuk meningkatkan 5. Tentukan persepsi
penampilan pasien dan keluarga
6. Kepuasaan dengan terkait dengan
penampilan tubuh perubahan citra diri dan
7. Sikap terhadap realitas
penggunaan strategi 6. Identifikasi strategi –
untuk meningkatkan strategi penggunaan
fungsi tubuh koping oleh orangtua
dalam berespon
terhadap perubahan
penampilan anak
7. Tentukan bagaimana
anak berespon terhadap
tindakan yang
dilakukan orangtua
8. Fasilitasi kontak
dengan individu yang
mengalami perubahan
yang sama dalam hal
citra tubuh
Risiko aspirasi d/d Setelah dilakukan 1. Monitor tingkat
gangguan menelan tindakan keperawatan kesadaran, reflek
selama 3 x 24 jam, batuk, kemampuan
diharapkan resiko menelan
aspirasi berkurang, 2. Pertahankan
dengan kriteria hasil: kepatenan jalan napas
1. Mempertahankan 3. Monitor kebutuhan
makanan di mulut perawatan terhadap
2. Jumlah menelan sesuai saluran cerna
dengan ukuran atau 4. Jaga kepala tempat
tekstur bolus tidur ditinggikan 30
3. Mempertahankan sampai 45 menit
posisi kepala dan setelah pemberian
batang tubuh netral makan
4. Reflek menelan sesuai 5. Pantau cara makan
dengan waktunya atau bantu jika
5. Penerimaan makanan diperlukan
6. Beri makanan dalam
jumlah sedikit
7. Hindari pemberian
cairan atau penggunaan
zatyang kental

Anda mungkin juga menyukai