CPR Dan Legal Etik Covid-19
CPR Dan Legal Etik Covid-19
CPR Dan Legal Etik Covid-19
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktik Profesi Ners Stase Keperawatan Gawat
Darurat dan Kritis
Oleh:
Aris Nugraheni
Huda Riyambodo
Khoirul Nur Ihsan
Nurdian Indah Pertiwi
I. Latar Belakang
Coronavirus (CoV) adalah keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit
mulai dari gejala ringan sampai berat. Ada setidaknya dua jenis coronavirus yang
diketahui menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat seperti
Middle East Respiratory Syndrome (MERS-CoV) dan Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS-CoV). Novel coronavirus (2019-nCoV) adalah virus jenis baru yang
belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus corona adalah zoonosis
(ditularkan antara hewan dan manusia). Penelitian menyebutkan bahwa SARS-CoV
ditransmisikan dari kucing luwak (civet cats) ke manusia dan MERS-CoV dari unta ke
manusia. Beberapa coronavirus yang dikenal beredar pada hewan namun belum
terbukti menginfeksi manusia (Kemenkes, 2020).
Manifestasi klinis biasanya muncul dalam 2 hari hingga 14 hari setelah paparan.
Tanda dan gejala umum infeksi coronavirus antara lain gejala gangguan
pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Pada kasus yang berat
dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan
kematian. Pada 31 Desember 2019, WHO China Country Office melaporkan kasus
pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina.
Pada tanggal 7 Januari 2020, Cina mengidentifikasi pneumonia yang tidak
diketahui etiologinya tersebut sebagai jenis barucoronavirus (novel coronavirus,
2019-nCoV). Penambahan jumlah kasus 2019-nCoV berlangsung cukup cepat dan
sudah terjadi penyebaran ke luar wilayah Wuhan dan negara lain. Sampai dengan 26
Januari 2020, secara global 1.320 kasus konfim di 10 negara dg 41 kematian (CFR
3,1%). Rincian China 1297 kasus konfirmasi (termasuk Hongkong, Taiwan, dan
Macau) dengan 41 kematian (39 kematian di Provinsi Hubei, 1 kematian di Provinsi
Hebei, 1 kematian di Provinsi Heilongjiang), Jepang (3 kasus), Thailand (4 kasus),
Korea Selatan (2 kasus), Vietnam (2 kasus), Singapura (3 kasus), USA (2 kasus),
Nepal (1 kasus), Perancis (3 kasus), Australia (3 kasus). Diantara kasus tersebut,
sudah ada beberapa tenaga kesehatan yang dilaporkan terinfeksi. Sampai dengan
24 Januari 2020, WHO melaporkan bahwa penularan dari manusia ke manusia
terbatas (pada kontak keluarga) telah dikonfirmasi di sebagian besar Kota
Wuhan, China dan negara lain (Kemenkes, 2020)
Tanda-tanda dan gejala klinis yang dilaporkan sebagian besar adalah demam,
dengan beberapa kasus mengalami kesulitan bernapas, dan hasil rontgen
menunjukkan infiltrate. pneumonia luas di kedua paru-paru. Menurut hasil
penyelidikan epidemiologi awal, sebagian besar kasus di Wuhan memiliki riwayat
bekerja, menangani, atau pengunjung yang sering berkunjung ke Pasar Grosir
Makanan Laut Huanan. Sampai saat ini, penyebab penularan masih belum diketahui
secara pasti. Rekomendasi standar untuk mencegah penyebaran infeksi dengan
mencuci tangan secara teratur, menerapkan etika batuk dan bersin, memasak daging
dan telur sampai matang. Hindari kontak dekat dengan siapa pun yang menunjukkan
gejala penyakit pernapasan seperti batuk dan bersin (Kemenkes, 2020).
Sampai saat ini, pengetahuan tentang infeksi COVID-19 dalam hubungannya
dengan dilakukannya tindakan CPR dan etik dalam pemberian CPR masih sangat
terbatas. Dari berbagai sumber ada yang mengatakan tetap dilakukan tindakan CPR
dengan memperhatikan banyak hal dan kemungkinan terburuk bila dilakukan CPR.
Namun ada juga sumber yang mengatakan tidak dilakukan CPR. Dari uraian uraian
diatas kita perlu menggali kembali mengenai Tindakan CPR pada kasus infeksi
COVID-19 dan Etik pemberian CPR pada infeksi COVID-19.
III. Tujuan
1. Tujuan Umum :
Untuk mengetahui penatalaksanaan Cardiopulmonary Rescucitation (CPR) dan
legal etis pemberian CPR pada kasus Corona
2. Tujuan Khusus :
a. Mengetahui pengetahuan umum tentang CPR
b. Mengetahui pengetahuan umum tentang COVID-19
c. Mengetahui penatalaksanaan CPR pada kasus positif COVID-19
d. Mengetahui legal etik pemberian CPR pada kasus positif COVID-19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Pengertian RJP
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resusitasi (CPR) adalah
upaya mengembalikan fungsi nafas dan atau sirkulasi yang berhenti oleh berbagai
sebab dan boleh membantu memulihkan kembali kedua - dua fungsi jantung dan paru
ke keadaan normal (Kaliammah, 2016). CPR bertujuan untuk mengembalikan fungsi
nafas dan juga sirkulasi agar oksigen dan darah sampai keseluruh tubuh (Elyana
Fadiah, 2017).
Pengertian Resusitasi Jantung Paru Resusitasi jantung paru adalah suatu
tindakan gawat darurat akibat kegagalan sirkulasi dan pernafasan untuk dikembalikan
ke fungsi optimal guna mencegah kematian biologis. Resusitasi jantung paru (RJP)
atau juga dikenal dengan cardio pulmoner resusitation (CPR), merupakan gabungan
antara pijat jantung dan pernafasan buatan (About Cardiac Arrest, 2017).
Teknik ini diberikan pada korban yang mengalami henti jantung dan nafas, tetapi
masih hidup. Komplikasi dari teknik ini adalah pendarahan hebat. Jika korban
mengalami pendarahan hebat, maka pelaksanaan RJP akan memperbanyak darah
yang keluar sehingga kemungkinan korban meninggal dunia lebih besar. Namun, jika
korban tidak segera diberi RJP, korban juga akan meninggal dunia. RJP harus segera
dilakukan dalam 4-6 menit setelah ditemukan telah terjadi henti nafas dan henti jantung
untuk mencegah kerusakan sel-sel otak dan lain-lain.Jika penderita ditemukan
bernafas namun tidak sadar maka posisikan dalam keadaan mantap agar jalan nafas
tetap bebas dan sekret dapat keluar dengan sendirinya (Elyana Fadiah, 2017).
II. Tujuan
CPR bertujuan untuk mengembalikan fungsi nafas dan juga sirkulasi agar
oksigen dan darah sampai keseluruh tubuh (Cardiopulmonary resuscitation, 2017).
Tujuan Bantuan Hidup Dasar (BHD) adalah oksigenasi darurat yang diberikan
secara efektif pada organ vital seperti otak dan jantung melelui ventilasi buatan dan
sirkulasi buatan sampai pada jantung dapat menyediakan oksigen dengan kekuatan
sendiri secara normal. Hal ini adalah untuk mencegah terjadinya berhentinya sirkulasi
atau berhentinya respirasi yang dapat menyebabkan kematian sel-sel akibat dari
kekurangan oksigen dan memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi melalui
kompresi dada (Chest Compression) dan ventilasi dari korban yang mengalami henti
jantung atau henti nafas (Kaliammah, 2016).
III. Indikasi
1. Henti Jantung
Henti jantung (Cardiac Arrest) adalah sebuah keadaan adanya
gangguan pada fungsi jantung (About Cardiac Arrest, 2017). Kebanyakan
dari penyebab henti jantung diantaranya akibat adanya gangguan pada
kelistrikan jantung, terdapat adanya irama abnormal pada jantung seperti
ventricular takikardi (VT) dan ventricular fibrilasi (VF) (Understand Your
Risk for Cardiac Arrest, 2017 dalam Elyana Fadiah, 2017).
Henti jantung primer (cardiac arrest) adalah ketidaksanggupan curah
jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen keotak dan organ vital lainnya
secara mendadak dan dapat balik normal, jika dilakukan tindakan yang tepat
atau akan menyebabkan kematian atau kerusakan otak menetap kalau
tindakan tidak adekuat. Henti jantung yang terminal akibat usia lanjut atau
penyakit kronis tertentu tidak termasuk henti jantung atau cardiac
arrest.Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau
takikardi tanpa denyut, kemudian disusun oleh ventrikel asistol dan
terakhirnya oleh disosiasi elektro-mekanik. Dua jenis henti jantung yang
berakhir lebih sulit ditanggulangi kerana akibat gangguan pacemaker jantung.
Fibirilasi ventrikel terjadi karena koordinasi aktivitas jantung menghilang.Henti
jantung ditandai oleh denyut nadi besar yang tidak teraba (karotis, femoralis,
radialis) disertai kebiruan (sianosis), pernafasan berhenti atau gasping, tidak
terdapat dilatasi pupil karena bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien
tidak sadar. Pengiriman oxygen ke otak tergantung pada curah jantung, kadar
hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap oxygen dan fungsi pernapasan.
Iskemia melebihi 3-4 menit pada suhu normal akan menyebabkan kortek
serebri rusak menetap, walaupun setelah itu dapat membuat jantung
berdenyut kembali (Kaliammah, 2016).
2. Henti nafas
Henti nafas (Respiratory Arrest) adalah sebuah keadaan dimana
seseorang berhenti bernafas atau bernafas dengan tidak efektf. Hal ini dapat
terjadi bersamaan dengan henti jantung, tetapi tidak selalu. Sistem
pernafasan akan berhenti ketika jantung juga tidak berfungsi dengan baik.
Jika sistem saraf dan juga otot tidak mampu menunjang pernafasan maka
pasien tersebut akan berada pada keadaan henti nafas (Respiratory
Arrest, 2017 dalam Elyana Fadiah, 2017).
Henti nafas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal,
misalnya seranganstroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap/ uap/
gas, obstruksi jalan nafas oleh benda asing, tesengat listrik, tersambar petir,
serangan infrak jantung, radang epiglottis, tercekik (suffocation), trauma dan
lain-lainnya. Henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan
aliran udara pernafasan dari korban dan ini merupakan kasus yang harus
dilakukan tindakan Bantuan Hidup Dasar (BHD). Pada awal henti nafas,
jantung masih berdenyut dan nadinya masih teraba, dimana oksigen masih
dapat masuk ke dalam darah untuk beberapa menit dan jantung masih dapat
mensirkulasikan darah ke otak dan organ-organ vital yang lainnya. Dengan
memberikan bantuan resusitasi, ia dapat membantu menjalankan sirkulasi
lebih baik dan mencegah kegagalan perfusi organ (Kaliammah, 2016).
c. Posisi kompresi dada, dimulai dari melokasi processus xyphoideus dan tarik
garis ke kranial 2 jari diatas processus xyphoideus dan lakukan kompresi
kepada tempat tersebut
d. Kemudain berikan 2 kali nafas buatan dan teruskan kompresi dada sebanyak 30
kali. Ulangi siklus ini sebanyak 5 kali dengan kecepatan kompresi 100 kali
permenit.
e. Kemudian check nadi dan nafas korban apabila tidak ada nafas dan nadi
teruskan RJP sampai bantuan datang, jika terdapat nadi tetapi tidakan nafas
mulai lakukan lakukan pernafasan buatan. Jika terdapat nadi dan nafas korban
adekuat, berarti kondisi membaik, lanjutkan posisi recovery (Kaliammah, 2016).
VI. Komplikasi
1. Distensi lambung
2. Patah tulang kosta
3. Hemo thoraks
4. Rusak jaringan paru
5. Laserasi hati
6. Emboli otak
VII. Pengertian COVID-19
Menurut World Health Organization (WHO) adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh coronavirus.Virus ini ditemukan pertama kali di Wuhan Cina.
Sebagian orang yang terinfeksi COVID-19 akan mengalami penyakit pernafasan ringan
hingga sedang, bahkan menyebabkan sulit bernafas hingga meninggal. Virus ini akan
sembuh dengan sendirinya karena imunitas tubuh.
Coronavirus (CoV) adalah keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit
mulai dari gejala ringan sampai berat. Ada setidaknya dua jenis coronavirus yang
diketahui menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat seperti
Middle East Respiratory Syndrome (MERS-CoV) dan Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS-CoV). Novel coronavirus (2019-nCoV) adalah virus jenis baru yang
belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus corona adalah zoonosis
(ditularkan antara hewan dan manusia). Penelitian menyebutkan bahwa SARS-CoV
ditransmisikan dari kucing luwak (civet cats) ke manusia dan MERS-CoV dari unta ke
manusia. Beberapa coronavirus yang dikenal beredar pada hewan namun belum
terbukti menginfeksi manusia (Kemenkes, 2020).
(suhu lebih dari 38ºC), batuk dan kesulitan bernapas, selain itu dapat disertai dengan
sesak memberat, lemas, nyeri otot, diare dan gejala gangguan napas lainnya. Saat ini
masih belum ada vaksin untuk mencegah infeksi COVID-19. Cara terbaik untuk
mencegah infeksi adalah dengan menghidari terpapar virus penyebab. Lakukan
tindakan-tindakan pencegahan penularan dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Rekomendasi utama untuk tenaga kesehatan yang menangani pasien COVID-
19 khususnya pada tindakan pemberian CPR :
1. Tindakan CPR/RJP pada kasus COVID-19 dilakukan dengan berpacu pada aman
diri, aman pasien, dan aman lingkungan.
2. Pasien dengan dugaan COVID-19 dalam henti jantung harus diberikan kompresi
jantung dan hanya diberikan ventilasi jika berada di ruang gawat darurat dengan
syarat petugas yang melakukan menggunakan APD lengkap. Saran ini didasarkan
pada premis bahwa kompresi jantung beresiko partikel virus dilepaskan ke udara
yang dapat menginfeksi staf.
3. Tidak dianjurkan melakukan tindakan CPR pada pasien COVID-19 jika petugas
tidak memakai APD yang lengkap (Elisabeth, 2020)
4. Tidak diperbolehkannya mengambil tindakan apapun pada pasien dugaan COVID-
19 termasuk CPR sebelum ada anggota tim medis/paramedis yang memakai alat
perlindungan diri lengkap datang.
Department of Health and Social Care, Public Health Wales, Public Health Agency
Northern Ireland, Health Protection Scotland, Public Health England. (2020).
COVID-19: Guidance forinfection prevention and control in healthcare settings.
2020.https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploa
ds/attachment_data/file/876569/Infection_prevention_and_control_guidance_for
_pandemic_coronavirus.pdf. Diakses pada tanggal 1 April 2020.
Mahase E, Zosia Kmietowicz. 2020. Covid-19: Doctors are told not to perform CPR on
patients in cardiac arrest.BMJ 2020;368:m1282 doi: 10.1136/bmj.m1282
(Published 29 March 2020).
Resuscitation Council UK. (2020). COVID-19 resources: healthcare settings.
https://www.resus.org.uk/media/statements/resuscitation-council-uk-statements-
on-covid-19-coronavirus-cpr-and-resuscitation/covid-healthcare-resources.
Diakses pada tanggal 1 April 2020.