Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA

PASIEN DENGAN ST ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION = STEMI


DI RUANG CVCU DI RS SAIFUL ANWAR MALANG

OLEH :

NURDIAN INDAH PERTIWI

NIM 19650103

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO

2020
LAPORAN PENDAHULUAN
ST ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION = STEMI

A. DEFINISI
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di
Negara maju. Laju mortalitas awal 30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum
pasien mencapai Rumah sakit. Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam 2
dekade terakhir, sekita 1 diantara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal
dalam tahun pertama setelah IMA (Sudoyo, 2006).
IMA dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarction = STEMI) merupakan
bagian dari spectrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tak stabil,
IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST. STEMI umumnya terjadi jika aliran
darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik
yang sudah ada sebelumnya (Sudoyo, 2006).

B. ETIOLOGI
STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri
vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi
lipid.

C. PATOFISIOLOGI
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner
derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena
berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner
terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor
seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur,
rupture atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga
terjadi thrombus mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri koroner.
Penelitian histology menunjukkan plak koroner cendeeung mengalami rupture jika
mempunyai vibrous cap yang tipis dan intinya kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI
gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi alasan
pada STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik.
Selanjutnya  pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin,
serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan
tromboksan A2 (vasokonstriktor local yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu
perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIB/IIIA. Setelah mengalami konversi fungsinya,
reseptor, mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang
larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fdibrinogen, dimana keduanya
adalah molekul multivalent yang dapat mengikat dua platelet yang berbeda secara simultan,
menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue faktor pada sel endotel yang rusak.
Faktor VII dan X diaktivasi mengakibatkan konversi protombin menjadi thrombin, yang
kemudian menkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit)
kemudian akan mengalami oklusi oleh trombosit dan fibrin.
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner
yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas congenital, spasme koroner dan berbagai
penyakit inflamasi sistemik.

D. PATHWAY

Aterosklerosis, thrombosis, kontraksi arteri koronaria

Penurunan aliran darah kejantung

Kekurangan oksigen dan nutrisi

Iskemik pada jaringan miokard

Nekrosi
s

Suplay dan kebutuhan oksigen kejantung tidak seimbang

Suplay oksigen ke Miokard menurun

Metabolism
anaerob
Resiko
penurunan
Gangguan Timbunan asam Nyeri Seluler hipoksia
curah
pertukaran laktat meningkat
jantung
gas

Integritas membrane sel berubah

Kontraktilitas turun

COP turun Kegagalann pompa


jantung

Gangguan perfusi
jaringan Gagal jantung

Resiko kelebihan volume


cairan ekstravaskuler

E. MANIFESTASI KLINIS
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesa secara
cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri
dada yang berasal dari jantung dibedakan apakah nyerinnya berasal dari koroner atau bukan.
Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor
risiko antara lain hipertensi, diabetes militus, dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit
jantung koroner pada keluarga.
Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat dan tepat
apakah pasien menderita IMA atau tidak. Diagnosis yang terlambat atau yang salah dalam
jangka panjang dapat menyebabkan konsekuensi yang berat.
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA. Gejala ini merupakan
petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA. Sifat nyeri dada angina sebagai berikut:
Lokasi: substernal, retrosternal, dan prekordial.
Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti
ditusuk, rasa diperas, dan diplintir.
Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/interskapula, perut, dan juga ke lengan kanan.
Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan.
Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, cemas dan lemas.
Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru,
diseksi aorta akut, kostokondritis dan gangguan gastrointestinal, Nyeri dada tidak selalu
ditemukan pada STEMI. STEMI tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes militus dan
usia lanjut.
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas
pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak
keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai
manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardi dan atau hipotensi). Tanda fisis lain pada
disfungsi fentrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama
dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late
sistlik apical yang bersifat sementara karena disfungsi apparatus katup mitral dan pericardial
friction rub. Peningkatan suhu sampai 38°C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca
STEMI.
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang
khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST ≥2mm, minimal pada 2 sandapan prekordial
yang berdampingan atau  ≥1mm pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung,
terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan
terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam
tatalaksana IMA, prinsip utama Penatalaksanaan adalah time is muscle.
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada
atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit
sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG di IGD merupakan senter dalam menentukan
keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat
mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi perfusi. JIka pemeriksan
EKG awal tidak diagnostic untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat
kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12
sandapan secara continue harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi
segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk
mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evlolusi
menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya infark miokard gelombang Q. Sebagian kecil
menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi thrombus tidak total,
obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan
elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pectoris tak stabil atau non
STEMI. Pada bagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q
disebut infark non Q. Sebelumnya istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG
menunjukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan infark miokard miokard non
transmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan gelombang T,
namun ternyata tidak selalu ada korelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi infark
(mural/transmural) sehingga terminology IMA gelombang Q dan non Q menggantikan IMA
mural/nontransmural.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana pasien
STEMI namun tidak boleh menghambat implementasi terapi repefusi.
1. Petanda (Biomarker) Kerusakan Jantung
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinin Kinase (CK)MB dan cardiac specific
troponin (cTn)T atau cTn1 dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda
optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini
juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi
reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker.
Pengingkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis
jantung (infark miokard).
CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
10-24 jam dan kembali normal dala 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi
elektrik dapat meningkatkan CKMB.
cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dab cTn I. Enzim mini meningkat setelah 2 jam bila ada infark
miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-
14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
2. Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:
Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8
jam.
Creatinin Kinase (CK): Meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
Lactic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24 jam bila ada infark miokard, mencapai
puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
Garis horizontal menunjukkan upper reference limit (URL) biomarker jantung pada
laboratorium kimia klinis. URL adalah nilai mempresentasikan 99th percentile kelompok
control tanpa STEMI.
Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leikositosis polimorfonuklear yang dapat
terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat
mencapai 12.000-15.000/u1.

G. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST saat ini mengacu pada data-data dari evidence
based berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus berkembnag ataupun
konsesus dari para ahli sesuai pedoman (guideline).
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada,
penilaian dan implementasi strategi perfusi yang mungkin dilakukan, pemberian
antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi
IMA. Terdapat beberapa pedoman (guidelie) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu
dari ACC/AHA tahun 2004 dan ESC tahun 2003. Walaupun demikian perlu disesuaikan
dengan kondisi sarana/fasilitas di tempat masing-masing senter dan kemampuan ahli yang
ada (khususnya di bidang kardiologi Intervensi).
 Tatalaksana Awal
1. Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum
yaitu: komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian
besar  kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel
mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari
separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana prahospital pada
pasien yang dicurigai STEMI antara lain:
 Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi.
Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta staf medis
dokter dan perawat yang terlatih.
 Melakukan terapi perfusi.
Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya bukan selama
transportasi ke Rumah Sakit, namun karena lama waktu mulai onset nyeri dada sampai
keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini bisa di tanggulangi dengan cara
edukasi kepada masyarakat oleh tenaga professional kesehatan mengenai pentingnya
tatalaksana dini.
Pemberian fibrinolitik pra hospital hanya bisa dikerjakan jika ada paramedic di
ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasi EKG dan tatalaksana STEMI dan
kendali komando medis online yang bertanggung jawab pada pemberian terapi. Di Indonesia
saat ini pemberian trombolitik pra hospital ini belum bisa dilakukan.
Panel A: Pasien dibawa oleh EMS setelah memanggil 9-1-1: Reperfusi pada pasien
STEMI dapat dilakukan dengan terapi farmakologis (fibrinolisis) atau pendekatan kateter
(PCI primer). Implementasi strategi ini bervariasi tergantung cara transportasi pasien dan
kemampuan penerimaan rumah sakit. Sasaran adalah waktu iskemia total 120 menit. Waktu
transport ke rumah sakit bervariasi dari kasus ke kasus lainnya, tetapi sasaran waktu iskemik
total adalah 120 menit. Terdapat 3 kemungkinan:
JIka EMS mempunyai kemampuan memberikan fibrinolitik dan pasien memennuhi
syarat tetapi, fibrinolisis pra rumah sakit dapat dimulai dalam  30 menit sejak EMS tiba.
Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien dibawa
ke rumah sakit yang tak tersedia sarana PCI, hospital door-needle time harus dalam 30 menit
untuk pasien yang mempunyai indikasi fibrinolitik.
Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien
dibawa ke rumah sakit dengan sarana PCI, hospital-door-to-balloon time harus dalam waktu
90 menit.

2. Tatalaksana di Ruang Emergensi


Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup:
mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat
terapi perfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan
menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
 Tatalaksana Umum
Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%.
Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam
pertama.
Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat
diberikan sampai 3 dosis dengan Intervensi 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG
juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan
meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang
terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan
NGT intravena. NGT intravena juga diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau
edema paru.
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90mmHg atau
pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP
meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang
menggunakan phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena
dapat memicu efek hipotensi nitrat.
Mengurangi/menghilangkan nyeri dada
Mengurangi atau menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena nyeri dikaitkan
dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban
jantung.
Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesic pilihan dalam
tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat
diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu
diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui
penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung
dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai pada
kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat
menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat
tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan
pemberian atropine 0,5 mgIV.
Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada
spectrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang
dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal dengan
dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis
75-162 mg.
Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain
nitrat mungkin efektif. Regimen yang bias adiberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5
menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60 menit, tekanan darah
sistolik >100 mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronchi tidak lebih dari 10 cm dari
diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral
dengan dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6
jam dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memeperpendek  lamaoklusi koroner, meminimlakan derajat
disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi  kemungkinan pasien STEMI
berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventricular yang maligna.
Sasaran terapi perfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau medical contact-
to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door-
to-ballon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.

H. PROGNOSIS
               Kelangsungan hidup kedua pasien STEMI dan NSTEMI selama enam bulan setelah
serangan jantung hampir tidak berbeda. Hasil jangka panjang yang ditingkatkan dengan
kepatuhan hati-hati terhadap terapi medis lanjutan, dan ini penting bahwa semua pasien yang
menderita serangan jantung secara teratur dan terus malakukan terapi jangka panjang dengan
obat-obatan seperti:
ASPIRIN®
clopidrogel
statin (cholesterol lowering) drugs
beta blockers (obat-obat yang memperlambat denyut jantung dan melindungi otot
jantung)
ACE inhibitors (obat yang meningkatkan fungsi miokard dan aliran darah)
Kerusakan pada otot jantung tidak selalu bermanifestasi sebagai rasa sakit dada yang
khas, biasanya berhubungan dengan serangan jantung. Bahkan jika penampilan karakteristik
EKG ST elevasi tidak dilihat, serangan jantung mengakibatkan kerusakan otot jantung,
sehingga cara terbaik untuk menangani serangan jantung adalah untuk mencegah mereka.
Tabel 2.7.1: Risk Score untuk Infark Miokard dengan Elevasi ST (STEMI)
 Faktor Risiko (Bobot)
Skor Risiko/Mortalitas 30 hari(%)
1. Usia 65-74 tahun (2 poin)
0 (0,8)
2. Usia > 75 tahun (3 poin)
1 (1,6)
3. Diabetes mellitus/hipertensi atau angina (1 poin)
2 (2,2)
4. Tekanan darah sistolik < 100 mmHg (3 poin)
3 (4,4)
5. Frekuensi jantung > 100 mmHg (2 poin)
4 (7,3)
6. Klasifikasi Killip II-IV (2 poin)
5 (12,4)
7. Berat < 67 kg (1 poin)
6 (16,1)
8. Elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin)
7 (23,4)
9. Waktu ke perfusi > 4 jam (1 poin)
8 (26,8)
10. Skor risiko = total poin ( 0-14 )
>8 (35,9)
ANALISA DATA

Analisa Data Problem/Masalah Etiologi/Penyebab


DS: Nyeri Akut Vaskularisasi Terganggu
 Pasien mengeluh nyeri daerah ulu hati
menyebar ke dada, pundak dan
punggung Aliran Darah Ke Arteri Koronari Terganggu
 Klien datang dengan keluhan nyeri
jam 09.00 sebelum masuk rumah sakit
 Pasien mengatakan nyeri ulu hati Iskemia
DO :
 Kesadaran umum : Baik
 Kesadaran : Composmentis Asam Laktat
 GCS : 456
 Tanda-tanda vital :
- TD : 153/94 mmHg Nyeri Akut
- N : 70x/m
- RR : 38x/m
- SPO2 : 98%
- S : 36,1OC

DS : Penurunan Curah Jantung Kontraktilitas Jantung Menurun


 Klien mengeluh lemah
 Klien mengatakan nafasnya sesak
Gagal Jantung
DO :
 Menurunnya nadi perifer
 Dyspnea Penurunan Co
 Nyeri dada
 Kesadaran umum : Baik
 Kesadaran : Composmentis
 GCS : 456
 Tanda-tanda vital :
- TD : 153/94 mmHg
- N : 70x/m
- RR : 38x/m
- SPO2 : 98%
- S : 36,1OC

DS:  Ketidakefektifan Pola Nafas Perubahan Perfusi Jaringan


 Pasien mengeluh sesak
 Pasien mengatakan sudah bernafas
DO: O2 Dalam Darah Menurun
 Inspirasi mengi
 Takipnea
 Terpasang mask Non- rebreathing Kongesti Pulmonalis
8 L x/m
 Kesadaran umum : Lemah
 Kesadaran : Composmentis Sesak Nafas
 GCS : 456
 Tanda-tanda vital :
- TD : 153/94 mmHg Ketidakefektifan Pola Nafas
- N : 70x/m
- RR : 38x/m
- SPO2 : 98%
- S : 36,1OC
DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNCUL

1. Nyeri Akut Berhubungan Dengan Iskemia Jaringan Miokardium


2. Penurunan Curah Jantung Berhubungan Dengan Penurunan Konstriksi Fungsi Ventrikel, Degenerasi Otot Jantung
3. Ketidakefektifan Pola Nafas Berhubungan Dengan Gangguan Perfusi Jaringan
RENCANA KEPERAWATAN

N DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI RASIONAL


O HASIL (NIC)
(NOC)
1 Nyeri Akut Berhubungan NOC : NIC Pain Management
Dengan Iskemia Jaringan   Pain Level, Pain Management
Miokardium   Pain control, 1.       Lakukan pengkajian nyeri 1. Memastikan derajat nyeri yang
  Comfort level secara komprehensif ( lokasi, dirasakan
Kriteria Hasil : karakteristik, durasi, frekuensi,kualitas
  Mampu mengontrol nyeri dan faktor pesipitasi)
(tahu penyebab nyeri, mampu 2.       Observasi reaksi non verbal dari 2. Dapat menghilangkan nyeri,
menggunakan tehnik ketidaknyamanan menurunkan respon inflamasi
nonfarmakologi untuk 3.       Gunakan teknik komunikasi
mengurangi nyeri, mencari terapeutik untuk mengetahui 3. Untuk meningkatkan
bantuan) pengalaman nyeri klien kenyamanan
  Melaporkan bahwa nyeri 4.       Evaluasi pengalaman nyeri masa 4. Diberikan untuk gejala yang
berkurang dengan lalu lebih berat
menggunakan manajemen 5.       Kontrol lingkungan yang dapat 5. Meningkatkan waktu istirahat
nyeri mempengaruhi nyeri seperti suhu
  Mampu mengenali nyeri ruangan, pencahayaan, kebisingan 6. Memaksimalkan ketersediaan
(skala, intensitas, frekuensi 6.       Ajarkan tentang teknik oksigen untuk menurunkan
dan tanda nyeri) pernafasan / relaksasi beban kerja jantung dan
  Menyatakan rasa nyaman 7.       Berikan analgetik untuk menurunkan ketidaknyamanan
setelah nyeri berkurang menguranggi nyeri karena iskemia
  Tanda vital dalam rentang 8.       Evaluasi keefektifan kontrol
normal nyeri 7. Meminimalisir rasa nyeri
9.       Anjurkan klien untuk
beristirahat 8. Memaksimalkan ransangan rasa
10.    Kolaborasi dengan dokter jika nyeri
keluhan dan tindakan nyeri tidak
berhasil 9. Memastikan pasien dapat
istirahat dengan cukup
Analgetic Administration
1.    Cek instruksi dokter tentang jenis 10. Memaksimalkan ancaman
obat, dosis dan frekuensi komplikasi yang terjadi
2.    Cek riwayat alergi
3.    Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgetik pertama Analgetic Administration
kali 1. Meminimalisir kesalahan
4.    Berikan analgetik tepat waktu yang dapat terjadi
terutama saat nyeri hebat 2. Memastikan obat masuk
5.    Evaluasi efektifitas analgetik, ketubuh dengan aman
tanda dan gejala (efak samping) 3. Mengurangi resiko
komplikasi
4. Memastikan pasien minum
obat dengan teratur
5. Memastikan obat aman di
konsumsi
2 Penurunan Curah NOC : NIC
Jantung Berhubungan          Cardiac Pump Cardiac Care Cardiac Care
Dengan Penurunan effectiveness 1.    Evaluasi adanya nyeri dada 1. Mengetahui lokasi dan
Konstriksi Fungsi          Circulation Status (intensitas, lokasi, durasi) derajat nyeri.
Ventrikel, Degenerasi          Vital Sign Status 2.    Catat adanya disritmia jantung 2. Pada iskemia miokardium
Otot Jantung Kriteria Hasil: 3.    Catat adanya tanda dan gejala nyeri dapat memburuk
  Tanda Vital dalam penurunan cardiac output dengan inspirasi dalam,
rentang normal (Tekanan 4.    Monitor status kardiovaskuler gerakan atau berbaring dan
darah, Nadi, respirasi) 5.    Monitor status pernafasan yang hilang dengan duduk tegak
  Dapat mentoleransi menandakan gagal jantung atau membungkuk
aktivitas, tidak ada kelelahan 6.    Monitor abdomen sebagai 3. Memastikan gejala yang
  Tidak ada edema paru, indikator penurunan perfusi timbul
perifer, dan tidak ada asites 7.    Monitor balance cairan 4. Memastikan tidak terjadi
  Tidak ada penurunan 8.    Monitor adanya perubahan gagal jantung
kesadaran tekanan darah
9.    Monitor respon klien terhadap 5. Memastikan pola nafas
efek pengobatan anti aritmia dalam batas normal
10. Atur periode latihan dan istirahat
untuk menghindari kelelahan 6. memastikan keadaan
11. Monitor toleransi aktivitas pasien abdomen tidak mengalami
12. Monitor adanya dispneu, fatigue, edema
takipneu, dan ortopneu
13. Anjurkan pasien untuk 7. menentukan jumlah cairan
menurunkan stress yang masuk dan keluar

Vital Sign Monitoring 8. memastikan tidak ada


1.    Monitor TD, Nadi, Suhu, dan RR peningkatan tekanan darah
2.    Catat adanya fluktuasi tekanan
darah 9. memastikan pasien tidak
3.    Monitor vital sign saat pasien mengalami komplikasi
berbaring, duduk dan berdiri
4.    Auskultasi TD pada kedua lengan 10. memastikan pasien dapat
dan bandingkan istirahat
5.    Monitor TD, Nadi, RR, sebelum,
selama, dan setelah aktivitas 11. memastikan pasien dapat
6.    Monitor kualitas dari nadi menggerakan anggoa
7. Monitor jumlah dan irama jantung tubuhnya
8. Monitor bunyi jantung
9. Monitor suara paru 12. memastikan pasien tidak
10. Monitor pola pernafasan abnormal mengalami sesak nafas
11. Monitor suhu, warna dan
kelembaban kulit 13. memastikan pasien tidak
tegang

Vital Sign Monitoring


1. menetukan hasil tanda –
tanda vital aman
2. memastikan tidak ada
peningkatan tekanan darah
3. memaksimalkan keadaan
umum pasien
4. memastikan tidak terjadi
edema
5. memastikan ekspirasi dan
inspirasi nafas normal
6. memastikan pasien tidak
mengalami takikardi
7. memastikan irama jantung
normal
8. meastikan bunyi jantung
normal
9. memastikan tidak ada suara
nafas tambahan
10. memastikan pola nafas
normal
11. menentukan keadaan umum
pasien

3 Ketidakefektifan pola NOC : NIC


nafas berhubungan  Respiratory status : Airway Management : Airway Management
dengan gangguan perfusi Ventilation 1.    Buka jalan nafas, gunakan teknik 1. Memaksimalkan ventilasi
jaringan   Respiratory status : chin lift atau jaw thrust bila perlu
Airway patency 2.    Posisikan pasien untuk 2. Mengoptimalkan pernapasan
  Vital sign Status memaksimalkan ventilasi
Kriteria Hasil : 3.    Identifikasi pasien perlunya 3. Melakukan tindakan
 Mendemonstrasikan batuk pemasangan alat jalan nafas buatan selanjutnya
efektif dan suara nafas yang 4.    Pasang mayo bila perlu 4. Mengoptimalkan jalan napas
bersih, tidak ada sianosis dan 5.    Lakukan fisioterapi dada 5. Mengencerkan sputum yang
dyspneu (mampu 6.    Keluarkan secret dengan batuk mengental
mengeluarkan sputum, atau suction 6. Mengetahui adanya
mampu bernafas dengan 7.    Auskultasi suara nafas, catat keabnormalan pada pernapasan
mudah, tidak ada pursed lips) adanya suara tambahan untuk mengoptimalkan
 Menunjukkan jalan nafas 8.    Lakukan suction pada mayo tindakan
yang paten (klien tidak 9.    Berikan bronkodilator bila perlu 7. Mendengarkan bunyi
merasa tercekik, irama nafas, 10. Berikan pelembab udara pernapasan
frekuensi pernafasan dalam 11. Atur intake untuk cairan 8. Mengoptimalkan pengobatan
rentang normal, tidak ada mengoptimalkan keseimbangan yang diberikan
suara nafas abnormal) 12. Monitor espirasi dan status O2 9. Alat untuk menurunkan spasme
 Tanda Tanda vital dalam bronchus dengan mobilisasi
rentang normal (tekanan Respiratory Monitoring sekret
darah, nadi, pernafasan) 1.    Monitor rata-rata kedalaman,
irama dan usaha espirasi 10. Manifestasi distress pernafasan
2.    Catat pergerakan dada, amati tergantung pada indikasi
kesimetrisan, penggunaan otot derajat keterlibatan paru dan
tambahan, retraksi otot supraclavicular status kesehatan umum
dan intercostal 11. Mempermudahkan ekspansi
3.    Monitor suara nafas seperti maksimum paru-paru/jalan
dengkur nafas lebih kecil
4.    Monitor pola nafas : bradipnea,
takipnea, kusmaul, hiperventilasi, 12. Posisi yang nyaman
cheyne stokes, biot meningkatkan masuknya suplai
5.    Catat lokasi trakea O2 ke dalam tubuh
6.    Monitor kelelahan otot diafragma
(gerakan paradoksis)
7.    Auskultasi suara nafas, catat area Respiratory Monitoring
penurunan / tidak adanya ventilasi atau 1. Untuk mempertahan kan
suara tambahan keseimbangan O2 dalam tubuh
8.    Tentukan kebutuhan suction 2. Kongesti alveolar
dengan mengauskultasi crakles dan mengakibatkan batuk
ronkhi pada jalan nafas utama sering/iritasi
9.    Auskultasi suara paru setelah 3. Dapat meningkatkan/
tindakan untuk mengetahui hasil banyaknya sputum dimana
gangguan ventilasi dan
ditambah ketidaknyamanan
upaya bernafas.
4. Untuk mempertahankan
keseimbangan O2 dalam tubuh

5. Untuk mengetahui pernafasan


dan perkembangannya

6. Mengetahui kecepatan aliran


darah
7. Perubahan (seperti takipnea,
dispnea, penggunaan otot
aksesoris) dapat
mengindikasikn berlanjutnya
keterlibatan/ pengaruh
pernafasan yang membutuhkan
upaya intervensi
8. Memaksimalkan ekspansi paru,
menurunkan kerja pernafasan
dan menurunkan resiko
aspirasi
9. Meningkatkan ekspansi pada
semua segmen paru dan
mobilisasi sekresi

Anda mungkin juga menyukai