COVID-19 (CORONA)
Aris Nugraheni
Huda Riyambodo
Khoirul Nur Ihsan
Nurdian Indah Pertiwi
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMADIYAH
PONOROGO
2020
PENDAHULUA
N
Coronavirus (CoV) adalah keluarga besar virus yang menyebabkan
penyakit mulai dari gejala ringan sampai berat. Ada setidaknya dua jenis
coronavirus yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat
menimbulkan gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome
(MERS-CoV) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS-CoV).
Menurut World Health Organization (WHO) adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh coronavirus.Virus ini ditemukan pertama kali di Wuhan
Cina. Sebagian orang yang terinfeksi COVID-19 akan mengalami penyakit
pernafasan ringan hingga sedang, bahkan menyebabkan sulit bernafas
hingga meninggal. Virus ini akan sembuh dengan sendirinya karena
imunitas tubuh. Biasanya muncul dalam 2 hari hingga 14 hari setelah
paparan. Tanda dan gejala umum infeksi coronavirus antara lain gejala
gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Pada
kasus yang berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan
akut, gagal ginjal, dan bahkan kematian.
26 Januari 2020, secara global 1.320 kasus konfim di 10 negara dg
41 kematian (CFR 3,1%). Rincian China 1297 kasus konfirmasi
(termasuk Hongkong, Taiwan, dan Macau) dengan 41 kematian (39
kematian di Provinsi Hubei, 1 kematian di Provinsi Hebei, 1
kematian di Provinsi Heilongjiang), Jepang (3 kasus), Thailand (4
kasus), Korea Selatan (2 kasus), Vietnam (2 kasus), Singapura (3
kasus), USA (2 kasus), Nepal (1 kasus), Perancis (3 kasus),
Australia (3 kasus). Diantara kasus tersebut, sudah ada beberapa
tenaga kesehatan yang dilaporkan terinfeksi. Sampai dengan 24
Januari 2020, WHO melaporkan bahwa penularan dari manusia ke
manusia terbatas (pada kontak keluarga) telah dikonfirmasi di
sebagian besar Kota Wuhan, China dan negara lain (Kemenkes,
2020)
Bagaimanakah penatalaksanaan Cardiopulmonary Rescucitation
(CPR) dan legal etis pemberian CPR pada kasus Corona ?
PENGERTIAN RJP/CPR
1. Distensi lambung
2. Patah tulang kosta
3. Hemo thoraks
4. Rusak jaringan paru
5. Laserasi hati
6. Emboli otak
Rekomendasi Umum Terkait COVID-19
Mengenai Tindakan CPR
Penularan COVID-19 menyebar dengan cara mirip seperti flu, mengikuti pola penyebaran
droplet dan kontak. Gejala klinis pertama yang muncul, yaitu demam (suhu lebih dari 38ºC),
batuk dan kesulitan bernapas, selain itu dapat disertai dengan sesak memberat, lemas, nyeri
otot, diare dan gejala gangguan napas lainnya. Saat ini masih belum ada vaksin untuk
mencegah infeksi COVID-19. Cara terbaik untuk mencegah infeksi adalah dengan
menghidari terpapar virus penyebab. Lakukan tindakan-tindakan pencegahan penularan dalam
praktik kehidupan sehari-hari.
Rekomendasi utama untuk tenaga kesehatan yang menangani pasien COVID-19 khususnya
pada tindakan pemberian CPR :
1. Tindakan CPR/RJP pada kasus COVID-19 dilakukan dengan berpacu pada aman diri, aman
pasien, dan aman lingkungan.
2. Pasien dengan dugaan COVID-19 dalam henti jantung harus diberikan kompresi jantung dan
hanya diberikan ventilasi jika berada di ruang gawat darurat dengan syarat petugas yang
melakukan menggunakan APD lengkap. Saran ini didasarkan pada premis bahwa kompresi
jantung beresiko partikel virus dilepaskan ke udara yang dapat menginfeksi staf.
3. Tidak dianjurkan melakukan tindakan CPR pada pasien COVID-19 jika petugas tidak
memakai APD yang lengkap (Elisabeth, 2020)
4. Tidak diperbolehkannya mengambil tindakan apapun pada pasien dugaan COVID-19
termasuk CPR sebelum ada anggota tim medis/paramedis yang memakai alat perlindungan
diri lengkap datang.
Rekomendasi Umum Terkait COVID-19
Mengenai Legal Etik Tindakan CPR
Pandemi COVID-19 ini menimbulkan tantangan yang belum pernah terjadi sebelumya
mengenai sistem perawatan kesehatan. Menurut kode etik profesi, tenaga medis bertindak
berdasarkan hati nurani dan kemanusiaan. Implikasi dari standar normatif ini bertujuan
untuk memprioritaskan situasi yang diluar pemikiran karena pandemik COVID-19 belum
cukup diklarifikasi. Ketidakpastian ini mengarah pada beban emosional dan moral bagi
tenaga medis.
Elizabeth Mahase dan Zosia Kmietowicz dalam jurnalnya menerangkan ada 2 alasan yang
harus dipertimbangkan mengenai kebijakan atau untuk tidak melaksanakan atau
menghindari tindakan CPR, yakni :
1. Tindakan standar atau prosedur dalam pemberian CPR akan memberikan tambahan beban
psikologis bagi keluarga pasien, ditunjang dengan keadaan yang memungkinkan
menimbulkan potensi bahaya bagi petugas kesehatan bila dalam pelaksanaan CPR tidak
tepat.
2. Kebutuhan CPR dalam kondisi tertentu akan membebani sumber daya yang ada, baik dari
sumber daya manusia maupun peralatan pedukung, mengingat satu tim dalam pelaksanaan
CPR membutuhkan beberapa anggota tenaga kesehatan, ditunjang dengan pernyataan bahwa
angka harapan hidup pada pasien COVID-19 yang mengalami henti jantung sangat kecil.
Dari hal ini Elizabeth Mahase (2020) menerangkan bahwa kondisi pandemi COVID-19 ini
meningkatkan pentingnya menerapkan perintah Do Not Rescucitation (DNR) pada pasien
positif COVID-19.
Elizabeth menambahkan pelaksanaan pesan DNR ini dapat terjadi dalam 3 situasi :
1. Pasien atau pembuat keputusan dari anggota keluarga dapat memahami dan
mengkomunikasikan dengan anggota keluarga lain bahwa pasien dalam kondisi seperti ini
tidak menginginkan dilakukan RJP/CPR, atau jika dalam kondisi sadar, pasien akan lebih
memilih tindakan lain untuk penanganan, dan bisa saja memerintahkan dokter maupun
paramedis untuk berhenti melakukan perawatan.
2. Pasien atau pembuat keputusan dapat mengikuti rekomendasi dari dokter untuk melupakan
atau menghindari tindakan CPR, dalam hal ini peran dokter maupun petugas medis lain
dituntut untuk memberikan penjelasan mengenai resiko maupun hasilnya, dalam akhir
penjelasan petugas medis diwajibkan untuk memberikan informed consent atau persetujuan
dengan pihak keluarga sebagai penguat atau legalitas hukum dalam setiap keputusan yang
diambil.
3. Dalam situasi pandemi ekstrim seperti ini yang memungkinkan CPR tidak akan efektif dalam
menangani henti jantung pasien positif COVID-19, dokter maupun petugas kesehatan lain
secara sepihak memutuskan untuk menulis perintah DNR pada pasien COVID-19. Hal ini
didahului dengan penjelasan atau edukasi yang dilakukan kepada anggota keluarga dengan
tata cara dan norma yang baik sekaligus dapat diterima, penjelasan ini menekankan bahwa
anggota keluarga dituntut untuk memberikan izin kepada dokter dalam mengambil kebijakan
ataupun tanggung jawab apapun itu keputusannya.
Pernyataan lain dari Nick Crombie dalam Elizabeth Mahase (2020)
menjelaskan bahwa setiap pasien COVID-19 yang membutuhkan
penanganan RJP ini tidak hanya berpotensi menginfeksi Dokter
maupun tenaga medis lain, tetapi juga keluarga tenaga medis
dirumah, dalam situasi seperti ini petugas kesehatan sebagai garda
terdepan dituntut untuk masuk dalam pola fikir bahwa keselamatan
diri sendiri merupakan prioritas utama, karena hal ini kedepannya tidak
hanya berpengaruh terhadap kondisi kesehatan individu petugas
kesehatan itu sendiri.