A. Tinjauan Pustaka
1. Definisi
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di
Negara maju. Laju mortalitas awal 30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi
sebelum pasien mencapai Rumah sakit. Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30%
dalam 2 dekade terakhir, sekita 1 diantara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan
awal, meninggal dalam tahun pertama setelah IMA (Sudoyo, 2010).
IMA dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarction = STEMI) merupakan
bagian dari spectrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tak
stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST. STEMI umumnya terjadi jika
aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak
aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya (Sudoyo, 2010).
Infark miocard akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang
menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah terjadi
sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh darah
disekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat aliran darah atau
alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot
jantung,dikatakan mengalami infark (Guyton & Hall, 2011).
2. Etiologi
STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri
vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi dan
akumulasi lipid.
3. Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis
arteri koroner derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu
STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika
trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini
dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur,
rupture atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga
terjadi thrombus mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri koroner.
Penelitian histology menunjukkan plak koroner cendeeung mengalami rupture jika
mempunyai vibrous cap yang tipis dan intinya kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI
gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi
alasan pada STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin,
serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan
melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor local yang poten). Selain itu aktivasi
trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIB/IIIA. Setelah
mengalami konversi fungsinya, reseptor, mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam
amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan
fdibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalent yang dapat mengikat dua
platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue faktor pada sel endotel yang rusak.
Faktor VII dan X diaktivasi mengakibatkan konversi protombin menjadi thrombin, yang
kemudian menkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit)
kemudian akan mengalami oklusi oleh trombosit dan fibrin.
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner
yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas congenital, spasme koroner dan
berbagai penyakit inflamasi sistemik.
4. WOC
Nekrosi
s
Penurunan
Metabolism curah
Seluler hipoksia
anaerob jantung
Gangguan
Timbunan asam
pertukaran Nyeri
laktat meningkat Integritas membrane sel berubah
gas
Intoleransi aktifitas
COP turun Kegagalann pompa
jantung
Gangguan perfusi
jaringan Gagal jantung
6. Pemeriksaan Diagnostik
Nilai pemeriksaan laboratorium untuk mengkonfirmasi diagnosis STEMI dapat
dibagi menjadi 4, yaitu: ECG, serum cardiac biomarker, cardiac imaging, dan indeks
nonspesifik nekrosis jaringan dan inflamasi.
a. Electrocardiograf (ECG)
Adanya elevasi segmen ST pada sadapan tertentu
1) Lead II, III, aVF : Infark inferior
2) Lead V1-V3 : Infark anteroseptal
3) Lead V2-V4 : Infark anterior
4) Lead 1, aV L, V5-V6 : Infark anterolateral
5) Lead I, aVL : Infark high lateral
6) Lead I, aVL, V1-V6 : Infark anterolateral luas
7) Lead II, III, aVF, V5-V6 : Infark inferolateral
8) Adanya Q valve patologis pada sadapan tertentu
b. Serum Cardiac Biomarker
Beberapa protein tertentu, yang disebut biomarker kardiak, dilepas dari otot jantung
yang mengalami nekrosis setelah STEMI. Kecepatan pelepasan protein spesifik ini
berbeda-beda, tergantung pada lokasi intraseluler, berat molekul, dan aliran darah dan
limfatik local. Biomarker kardiak dapat dideteksi pada darah perifer ketika kapasitas
limfatik kardiak untuk membersihkan bagian interstisium dari zona infark berlebihan
sehingga ikut beredar bersama sirkulasi.
1) cTnT dan cTnI
Cardiac-specific troponin T (cTnT) dan cardiac-specific troponin I (cTnI) memiliki
sekuens asam amino yang berbeda dari protein ini yang ada dalam otot skeletal.
Perbedaan tersebut memungkinkan dilakukannya quantitative assay untuk cTnT dan
cTnI dengan antibody monoclonal yang sangat spesifik. Karena cTnT dan cTnI
secara normal tidak terdeteksi dalam darah individu normal tetapi meningkat setelah
STEMI menjadi >20 kali lebih tinggi dari nilai normal, pengukuran cTnT dan cTnI
dapat dijadikan sebagai pemeriksaan diagnostic. Kadar cTnT dan cTnI mungkin
tetap meningkat selama 7-10 hari setelah STEMI.
2) CKMB
Creatinine phosphokinase (CK) meningkat dalam 4-8 jam dan umumnya kembali
normal setelah 48-72 jam. Pengukuran penurunan total CK pada STEMI memiliki
spesifisitas yang rendah, karena CK juga mungkin meningkat pada penyakit otot
skeletal, termasuk infark intramuscular. Pengukuran isoenzim MB dari CK dinilai
lebih spesifik untuk STEMI karena isoenzim MB tidak terdapat dalam jumlah yang
signifikan pada jaringan ekstrakardiak. Namun pada miokarditis, pembedahan
kardiak mungkin didapatkan peningkatan kadar isoenzim MB dalam serum.
3) Cardiac Imaging
a) echocardiography
Abnormalitas pergerakan dinding pada two-dimentional echocardiography hampir
selalu ditemukan pada pasien STEMI. Walaupun STEMI akut tidak dapat dibedakan
dari scar miokardial sebelumnya atau dari iskemia berat akut dengan
echocardiography, prosedur ini masih digunakan karena keamanannya. Ketika tidak
terdapat ECG untuk metode diagnostic STEMI, deteksi awal aka nada atau tidaknya
abnormalitas pergerakan dinding dengan echocardiography dapat digunakan untuk
mengambil keputusan, seperti apakah pasien harus mendapatkan terapi reperfusi.
Estimasi echocardiographic untuk fungsi ventrikel kiri sangat berguna dalam segi
prognosis, deteksi penurunan fungsi ventrikel kiri menunjukkan indikasi terapi
dengan inhibitor RAAS. Echocardiography juga dapat mengidentifikasi infark pada
ventrikel kanan, aneurisma ventrikuler, efusi pericardial, dan thrombus pada
ventrikel kiri. Selain itu, Doppler echocardiography juga dapat mendeteksi dan
kuantifikasi VSD dan regurgitasi mitral, dua komplikasi STEMI.
b) High resolution MRI
Infark miokard dapat dideteksi secara akurat dengan high resolution cardiac MRI.
c) Angiografi
Tes diagnostik invasif dengan memasukan katerterisasi jantung yang memungkinkan
visualisasi langsung terhadap arteri koroner besar dan pengukuran langsung terhadap
ventrikel kiri.
4) Indeks Nonspesifik Nekrosis Jaringan dan Inflamasi
Reaksi nonspesifik terhadap injuri myocardial berhubungan dengan leukositosis
polimorfonuklear, yang muncul dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap
selama 3-7 hari. Hitung sel darah putih seringkali mencapai 12.000-15.000/L.
Kecepatan sedimentasi eritrosit meningkat secara lebih lambat dibandingkan dengan
hitung sel darah putih, memuncak selama minggu pertama dan kadang tetap
meningkat selama 1 atau 2 minggu.
7. Penatalaksanaan
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST saat ini mengacu pada data-data dari evidence
based berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus berkembnag ataupun
konsesus dari para ahli sesuai pedoman (guideline).
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada,
penilaian dan implementasi strategi perfusi yang mungkin dilakukan, pemberian
antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana
komplikasi IMA. Terdapat beberapa pedoman (guidelie) dalam tatalaksana IMA dengan
elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2004 dan ESC tahun 2003. Walaupun demikian
perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di tempat masing-masing senter dan
kemampuan ahli yang ada (khususnya di bidang kardiologi Intervensi).
Tatalaksana Awal
1. Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum
yaitu: komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian
besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel
mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih
dari separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana
prahospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain:
Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi.
Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta staf
medis dokter dan perawat yang terlatih.
Melakukan terapi perfusi.
Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya bukan selama
transportasi ke Rumah Sakit, namun karena lama waktu mulai onset nyeri dada sampai
keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini bisa di tanggulangi dengan cara
edukasi kepada masyarakat oleh tenaga professional kesehatan mengenai pentingnya
tatalaksana dini.
Pemberian fibrinolitik pra hospital hanya bisa dikerjakan jika ada paramedic di
ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasi EKG dan tatalaksana STEMI dan
kendali komando medis online yang bertanggung jawab pada pemberian terapi. Di
Indonesia saat ini pemberian trombolitik pra hospital ini belum bisa dilakukan.
2. Tatalaksana di Ruang Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup:
mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan
kandidat terapi perfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di
rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
Tatalaksana Umum
Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%.
Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam
pertama.
Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat
diberikan sampai 3 dosis dengan Intervensi 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG
juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan
meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang
terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan
NGT intravena. NGT intravena juga diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau
edema paru.
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90mmHg atau
pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP
meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang
menggunakan phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena
dapat memicu efek hipotensi nitrat.
Mengurangi/menghilangkan nyeri dada
Mengurangi atau menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena nyeri dikaitkan
dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban
jantung.
Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesic pilihan dalam
tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat
diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu
diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui
penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung
dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai pada
kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat
menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat
tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan
pemberian atropine 0,5 mgIV.
Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada
spectrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang
dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal dengan
dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis
75-162 mg.
Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain
nitrat mungkin efektif. Regimen yang bias adiberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5
menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60 menit, tekanan darah
sistolik >100 mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronchi tidak lebih dari 10 cm dari
diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral
dengan dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6
jam dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memeperpendek lamaoklusi koroner, meminimlakan derajat
disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI
berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventricular yang maligna.
Sasaran terapi perfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau medical contact-
to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door-
to-ballon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.
8. Prognosis
Kelangsungan hidup kedua pasien STEMI dan NSTEMI selama enam bulan setelah
serangan jantung hampir tidak berbeda. Hasil jangka panjang yang ditingkatkan dengan
kepatuhan hati-hati terhadap terapi medis lanjutan, dan ini penting bahwa semua pasien
yang menderita serangan jantung secara teratur dan terus malakukan terapi jangka panjang
dengan obat-obatan seperti:
ASPIRIN®
clopidrogel
statin (cholesterol lowering) drugs
beta blockers (obat-obat yang memperlambat denyut jantung dan melindungi otot
jantung)
ACE inhibitors (obat yang meningkatkan fungsi miokard dan aliran darah)
Kerusakan pada otot jantung tidak selalu bermanifestasi sebagai rasa sakit dada yang
khas, biasanya berhubungan dengan serangan jantung. Bahkan jika penampilan
karakteristik EKG ST elevasi tidak dilihat, serangan jantung mengakibatkan kerusakan
otot jantung, sehingga cara terbaik untuk menangani serangan jantung adalah untuk
mencegah mereka.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan miokardium.
b. Penurunan curah jantung berhubungan dengan hipoksia jaringan
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
3. Rencana Asuhan Keperawatan
NO Diagnosa Keperawatan Tujuan Keperawatan Intervensi
Edukasi
- Anjurkan beraktivitas fisik sesuai
toleransi
- Anjurkan beraktivitas fisik secara
bertahap
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian antiaritmia,
jika perlu
3 Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan Manajemen Energi (I.05178)
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 Observasi
4. Implementasi keperawatan
Implementasi keperawatan adalah perilaku atau aktivitas spesifik yang dilakukan
perawat untuk mengimplementasikan intervensi keperawatan (PPNI, 2018).
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari rangkaian proses keperawatan
yang berguna untuk mengetahui apakah tujuan dari tindakan keperawatan yang telah
dilakukan tercapai atau perlu pendekatan lain. Evaluasi keperawatan mengukur
keberhasilan dari rencana dan pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan dalam
memenuhi kebutuhan pasian. Penilaian adalah tahap yang menentukan apakah tujuan
tercapai. (Dinarti, 2017)
a. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan miokardium.
Dengan kriteria Hasil :
- nyeri menurun (5)
- meringis menurun (5)
- gelisah meurun (5)
b. Penurunan curah jantung berhubungan dengan hipoksia jaringan
Dengan kriteria hasil :
- Kelelahan menurun (5)
- Dispneu menurun (5)
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
Dengan kriteria Hasil
- Keluhan lelah menurun (5)
- Kemudahan dalam melakukan aktivitas sehari– hari meningkat (5)
DAFTAR PUSTAKA