Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA KASUS INFARK MIOKARD NON STELEVASI (NSTEMI)


DIRUANGAN INTENSIVE CARDIOLOGI CARE UNIT (ICCU)
RSUD I. A. MOEIS

Disusun Oleh :
Anggun Paramita
NIM : P07220419079

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2021
LAPORAN PENDAHULUAN
NSTEMI

A. PENGERTIAN NSTEMI

Sindrom koroner akut adalah suatu kumpulan gejala klinis iskemia


miokard yang terjadi akibat kurangnya aliran darah ke miokardium
berupa nyeri dada, perubahan segmen ST pada Electrocardiogram (EKG),
dan perubahan biomarker jantung (Kumar & Cannon, 2009)
Infark Miokard Akut diklasifikasikan berdasarkan hasil EKG
menjadi Infark Miokard Akut ST-elevasi (STEMI) dan Infark Miokard
non STelevasi (NSTEMI). Pada Infark Miokard Akut ST-elevasi
(STEMI) terjadi oklusi total arteri koroner sehingga menyebabkan daerah
infark yang lebih luas meliputi seluruh miokardium, yang pada
pemeriksaan EKG ditemukan adanya elevasi segmen ST, sedangkan pada
Infark Miokard non ST-elevasi (NSTEMI) terjadi oklusi yang tidak
menyeluruh dan tidak melibatkan seluruh miokardium, sehingga pada
pemeriksaaan EKG tidak ditemukan adanya elevasi segmen ST (Alwi,
2009).

Pada NSTEMI kerusakan pada plak lebih berat dan menimbulkan


oklusi yang persisten dan berlangsung sampai lebih dari 1 jam. Pada
kurang lebih ¼ pasien NSTEMI, terjadi oklusi thrombus yang
berlangsung lebih dari 1 jam, tetapi distal dari penyumbatan terdapat
koleteral. Trombolisis spontan, resolusi vasokonstriksi dan koleteral
memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya STEMI
(BINFAR, 2006).
Selama infark miokard akut, gambaran EKG berubah melalui tiga
stadium (Thaler, 2007):
1. Gelombang T meninggi (T hiperakut) yang diikuti inversi
gelombang T.
2. Elevasi segmen ST
3. Munculnya gelombang Q baru

B. ETIOLOGI

Terdapat dua faktor risiko yang dapat menyebabkan penyakit


arteri koroner serta memicu stemi yaitu faktor risiko yang dapat
dimodifikasi (modifiable) dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
(nonmodifiable). Faktor risiko modifiable dapat dikontrol dengan
mengubah gaya hidup dan kebiasaan pribadi, sedangkan faktor risiko
yang nonmodifiable merupakan konsekuensi genetic yang tidak dapat
dikontrol (Smeltzer, 2002).

Menurut Muttaqin (2009) ada lima faktor risiko yang dapat diubah
(modifiable) yaitu merokok, tekanan darah tinggi, hiperglikemia,
kolesterol darah tinggi, dan pola tingkah laku.

a. Merokok

Merokok dapat memperparah dari penyakit koroner diantaranya


karbondioksida yang terdapat pada asap rokok akan lebih mudah
mengikat hemoglobin dari pada oksigen, sehingga oksigen yang disuplai
ke jantung menjadi berkurang. Asam nikotinat pada tembakau memicu
pelepasan katekolamin yang menyebabkan konstriksi arteri dan membuat
aliran darah dan oksigen jaringan menjadi terganggu. Merokok dapat
meningkatkan adhesi trombosit yang akan dapat mengakibatkan
kemungkinan peningkatan pembentukan thrombus.

b. Tekanan darah tinggi

Tekanan darah tinggi merupakan juga faktor risiko yang dapat


menyebabkan penyakit arteri koroner. Tekanan darah yang tinggi akan
dapat meningkatkan gradien tekanan yang harus dilawan oleh ventrikel
kiri saat memompa darah. Tekanan tinggi yang terus menerus
menyebabkan suplai kebutuhan oksigen jantung meningkat.

c. Kolesterol darah tinggi

Tingginya kolesterol dengan kejadian penyakit arteri koroner


memiliki hubungan yang erat. Lemak yang tidak larut dalam air terikat
dengan lipoprotein yang larut dengan air yang memungkinkannya dapat
diangkut dalam system peredaran darah. Tiga komponen metabolisme
lemak, kolesterol total, lipoprotein densitas rendah (low density
lipoprotein) dan lipoprotein densitas tinggi (high density lipoprotein).
Peningkatan kolestreol low density lipoprotein (LDL) dihubungkan
dengan meningkatnya risiko koronaria dan mempercepat proses
arterosklerosis. Sedangkan kadar kolesterol high density lipoprotein
(HDL) yang tinggi berperan sebagai faktor pelindung terhadap penyakit
arteri koronaria dengan cara mengangkut LDL ke hati, mengalami
biodegradasi dan kemudian diekskresi (Price, 1995).

d. Hiperglikemia

Pada penderita diabetes mellitus cenderung memiliki prevalensi


aterosklerosis yang lebih tinggi, hiperglikemia menyebabkan peningkatan
agregasi trombosit yang dapat menyebabkan pembentukan thrombus.
e. Pola perilaku

Pola hidup yang kurang aktivitas serta stressor psikososial juga


ikut berperan dalam menimbulkan masalah pada jantung. Rosenman dan
Friedman telah mempopulerkan hubungan antara apa yang dikenal
sebagai pola tingkah laku tipe A dengan cepatnya proses aterogenesis.
Hal yang termasuk dalam kepribadian tipe A adalah mereka yang
memperlihatkan persaingan yang kuat, ambisius, agresif, dan merasa
diburu waktu. Stres menyebabkan pelepasan katekolamin, tetapi masih
dipertanyakan apakah stres memang bersifat aterogenik atau hanya
mempercepat serangan.

C. PATOFISIOLOGI

Lima proses patofisiologi yang berperan terhadap perkembangan


UA/NSTEMI (Sudoyo et al., 2014):
1. Ruptur plak atau erosi plak dengan tumpukan thrombus non
oklusif (penyebab ini yang berperan dalam terjadinya
NSTEMI).
2. Obstruksi dinamis yang disebabkan oleh:

a. Spasme arteri koroner epikardium, seperti pada variant


Prinzmetal angina;

b. Resistensi pembuluh darah koroner

c. Vasokontriktor lokal seperti tromboksan A2, yang


dilepaskan dari trombosit
d. Disfungsi dari endotel koroner; dan

e. Stimulus adrenergik termasuk dingin dan kokain


3. Penyempitan hebat lumen arteri koroner yang disebabkan
oleh pembentukan arterosklerotik yang progresif atau
restenosis pasca-PCI.
4. Inflamasi
5. Angina pectoris tidak stabil sekunder, yang menyebabkan
peningkatan kebutuhan oksigen atau penurunan suplai
oksigen (misalnya dalam keadaan takikardi, demam, hipotensi
atau anemia).
Factor pencetus:
-hiperkolesterolemia
-DM
D. PATHWAY -Merokok
Kelainan metabolisme (lemak, koagulasi darah, dan -Hipertensi
keadaan biofisika/biokimia dinding arteri). -Usia lanjut
- Kegemukan

aterosklerosis

Kebutuhan O2 Akumulasi/ penimbunan


atheroma/plak di intime arteri
Metabolisme anaerob
Mengganggu absoresi nutrient dan oksigen
Rupture plaque
Produksi as. laktat
Pembuluh darah nekrotik
Pembentukan trombus
Merangsang nosiseptor Penurunan perfusi
Penurunan aliran darah koroner Tumbuh jaringan parut jaringan

Angina pektoris Iskemia Aliran darah tersumbat Kebutuhan O2

Nyeri Akut NSTEMI Kompensasi RR

Kontraksi miokard Takipnea/dispnea


Cardiac Outpud
TD naik
Pola Napas Tidak
Penurunan Curah Efektif
Kemampuan tubuh menyediakan Jantung
Intoleransi Aktivitas
energi menurun
E. MANIFESTASI KLINIS
a. Anamnesis
Adanya nyeri dada yang lamanya lebih dari 30 menit di daerah
prekordial,retrosternal dan menjalar ke lengan kiri,lengan kanan dan ke
belakang interskapuler. Rasa nyeri seperti dicekam,diremas-
remas,tertindih benda padat,tertusuk pisau atau seperti terbakar.Kadang-
kadang rasa nyeri tidak ada dan penderita hanya mengeluh
lemah,banyak keringat, pusing, palpitasi, dan perasaan akan mati.
b. Pemeriksaan fisik
Penderita nampak sakit,muka pucat,kulit basah dan
dingin.Tekanan darah bisa tinggi,normal atau rendah.Dapat ditemui
bunyi jantung kedua yang pecah paradoksal,irama gallop. Kadang-
kadang ditemukan pulsasi diskinetik yang tampak atau teraba di dinding
dada pada IMA inferior.
c. EKG
Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal
miokard infark akut, EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri
koroner menunjukkan elevasi segmen ST. Kemudian gambaran EKG
berupa elevasi segmen ST akan berkembang menjadi gelombang Q.
Sebagian kecil berkembang menjadi gelombang non-Q. Pada STEMI
inferior, ST elevasi dapat dilihat pada lead II, III, dan aVF.
d. Pemeriksaan laboratorium
Pada nekrosis miokard, protein intraseluler akan masuk dalam
ruang interstitial dan masuk ke sirkulasi sistemik melalui mikrovaskuler
lokal dan aliran limfatik. Oleh sebab itu, nekrosis miokard dapat
dideteksi dari pemeriksaan protein dalam darah yang disebabkan
kerusakan sel. Proteinprotein tersebut antara lain aspartate
aminotransferase (AST), lactate dehydrogenase, creatine kinase
isoenzyme MB (CK-MB), mioglobin, carbonic anhydrase III (CA III),
myosin light chain (MLC) dan cardiac troponin I dan T (cTnI dan
cTnT). Peningkatan kadar serum protein-protein ini mengkonfirmasi
adanya infark miokard.

F. KOMPLIKASI
1. Aritmia
Beberapa bentuk aritmia mungkin timbul pada IMA. Hal ini
disebabkan perubahan-perubahan listrik jantung sebagai akibat ischemia
pada tempat infark atau pada daerah perbatasan yang mengelilingi,
kerusakan sistem konduksi, lemah jantung kongestif atau keseimbangan
elektrolit yang terganggu.
2. Gagal jantung (Pump Failure)
Pada IMA, pump failure maupun gagal jantung kongestif dapat
timbul sebagai akibat kerusakan ventrikel kiri, ventrikel kanan atau
keduanya dengan atau tanpa aritmia. Penuran cardiac output pada pump
failure akibat IMA tersebut menyebabkan perfusi perifer berkurang.
Peningkatan resistensi perifer sebagai kompensasi menyebabkan beban
kerja jantung bertambah. Bentuk yang paling ekstrim pada gagal jantung
ini ialah syok kardiogenik.
3. Emboli / Tromboemboli
Emboli paru pada IMA adanya gagal jantung dengan kongesti
vena, disertai tirah baring yang berkepanjangan merupakan faktor
predisposisi trombosis pada vena-vena tungkai bawah yang mungkin
lepas dan terjadi emboli paru dan mengakibatkan kemunduran
hemodinamik (DVT). Embolisasi sitemik akibat trombus pada ventrikel
kiri tepatnya pada permukaan daerah infark atau trombus dalam
aneurisma ventrikel kiri.
4. Ruptura
Komplikasi ruptura miokard mungkin terjadi pada IMA dan
menyebabkan kemunduran hemidinamik. Ruptura biasanya pada batas
antara zona infark dan normal. Ruptura yang komplit (pada free wall)
menyebabkan perdarahan cepat ke dalam kavum pericard sehingga
terjadi tamponade jantung dengan gejala klinis yang cepat timbulnya.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Jenis
No Nilai Normal Manfaat
Pemeriksaan
1. EKG Detak jantung normal erekam aktivitas listrik dari
adalah 60 – 100 per menit. jantung, dan pada batas
Gelombang (tinggi dan tertentu, mengidentifikasi
rendah) harusnya sama jika ada peredaran atau
rata atau konsisten. aliran darah yang tidak
Penyimpangan apapun normal
dapat menjadi indikasi
potensi masalah jantung.
2. Radiologis thorax 1.Paru-paru terlihat Untuk menemukan masalah
normal dalam ukuran dan dalam dada:
bentuk, serta jaringan paru 1.Masalah paru-paru.
terlihat normal. Tidak ada Rontgen dada bisa
pertumbuhan atau massa mendeteksi kanker, infeksi,
lainnya dapat dilihat atau pengumpulan udara di
dalam paru-paru. Ruang ruang sekitar paru-paru
pleura (ruang yang (pneumothorax).
mengelilingi paru-paru) 2. Uuran dan bentuk
juga terlihat normal. jantung. Perubahan dalam
2.Jantung terlihat normal ukuran dan bentuk jantung
dalam ukuran dan bentuk, bisa mengindikasikan gagal
serta jaringan jantung jantung, cairan di sekitar
terlihat normal. Pembuluh jantung (efusi perikardial)
darah dari dan yang atau masalah katup jantung.
mengarah ke jantung juga 3. Deposit kalsium. Rontgen
normal baik dalam ukuran, dada bisa mendeteksi
bentuk, dan tampilan. adanya kalsium dalam
Tulang termasuk tulang jantung atau pembuluh
belakang dan rusuk darah. Hal tersebut
terlihat normal. mengindikasikan adanya
3.Diafragma terlihat kerusakan dalam rongga
normal dalam bentuk dan jantung, arteri koroner, otot
letak. Tidak terlihat jantung, atau kantung
adanya penumpukan pelindung yang
cairan atau udara yang mengelilingi jantung.
abnormal, dan tidak ada
benda asing yang terlihat.
3 Laboratorium
Serum elektrolit Natrium : 135-145 mEq/L Memantau keseimbangan
Kalium : 3,5-5,3 mEq/L cairan didalam tubuh/fungsi
Klorida : 95-105 mEq/L fiologis yg stabil
Ion bikarbonat : 22-26
mEq/L
Enzim jantung dan CPK : CPK –MB (isoenzim yang
iso enzim Wanita : 40–150 U/L; ditemukan pada otot jantung)
Pria : 38–174 U/L meningkat antara 4-6 jam,
rujukan normal dari CK-MB memuncak dalam 12 – 24 jam,
adalah 0-3 mikrogram per kembali normal dalam 36-48
liter jam : LDH (dehidrogenase
laktat) meningkat dalam 12-24
LDH : 80 – 240 U/L jam, memuncak dalam 24-48
jam, dan memakan waktu lama
AST: 8-33 IU/L. untuk kembali normal. AST
( aspartat amonitransfarase)
meningkat (kurang nyata /
khusus) terjadi dalam 6-12
jam, memuncak dalam 24 jam,
kembali normal dalam 3-4
hari.
Anion Gap; (Na + 11 – 17 mEq/l Mengetahui adanya gangguan
K – (Cl +HCO3) metabolic (asidosis/alkalosis)
Hematokrit (Ht) Laki-laki 40 – 54% Mengukur jumlah sel darah
Wanita 37 – 47% merah
Anak-anak 34 – 47%
Eritrosit Pria: 4.5 – 5.9 (4.5 – 5.5) Mengetahui adanya kelainan
(juta/ul) sel darah merah
Wanita: 4 – 5 (juta/ul)
Hemoglobin (Hb) Pria : 13.5 – 17.5 (13 – 16) Indeks kapasitas pembawa
(g/dl) oksigen darah (indikator
Wanita : 12 – 15 (g/dl) anemia)
Osmolalitas serum 275 – 295 mOsm/kg air Indokator konsentrasi serum (↑
= hemokonsetrasi &
2 Na + Glukosa dehidrasi;↓hemodilusi)
darah + BUN
Analisis Gas darah pH : 7,35-7,45 Untuk pengukuran yang tepat
arteri (AGD) Po2 : 80 -100 mmHg dari kadar oksigen dan karbon
Pco2 : 35-45 mmHg dioksida dalam tubuh
O2 : 94-100%
Pemeriksaan urine Laki-laki: 390-1090 Mengetahui jumlah partikel
- Osmolalitas urine mOsm/kg air terlarut dalam urin
Wanita: 300-1090 mOsm/kg
- pH air
Bayi: 213 mOsm/kg air
6 (4.6 – 8)

H. PENATALAKSANAAN
a. Pengkajian
Pengkajian keperawatan merupakan salah satu aspek penting
perawatan pasien stemi. Adapun pengkajian yang harus dilakukan
adalah sebagai berikut: tingkat kesadaran orientasi pasien terhadap
tempat, waktu dan orang dipantau dengan ketat. Perubahan
penginderaan berarti jantung tidak mampu memompa darah yang
cukup untuk oksigenasi otak. Bila pasien mendapatkan obat yang
mempengaruhi fungsi pembekuan darah, maka pengawasan terhadap
adanya tanda-tanda perdarahan otak merupakan hal penting yang harus
dilakukan (Smeltzer & Bare, 2008).
b. Nyeri dada
Nyeri dada bisa menjalar ke bagian lengan kiri, ke leher, rahang
bawah, gigi, punggung/interskapula, perut dan dapat juga ke lengan
kanan. Nyeri juga dapat di jumpai pada daerah epigastrium dan
menstimulasi gangguan pada saluran percernaan seperti mual, muntah,.
Rasa tidak nyaman didada dapat menyebabkan sulit bernafas, keringat
dingin, cemas dan lemas. Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada
pasien stemi terutama pada pasien yang lanjut usia ataupun menderita
diabetes mellitus (Underhill, 2005, Ignatavicius, 2005).
c. Frekuensi dan irama jantung
Frekuensi dan irama jantung perlu dipantau secara terus menerus.
Adanya disritmia dapat merupakan petunjuk ketidakseimbangan suplai
dengan kebutuhan oksigen jantung dan di pantau terhadap perlunya
diberikan terapi antidisritmia. Bila terjadi disritma tanpa nyeri dada,
maka parameter klinis lain selain oksigenasi yang adekuat harus di
cari, seperti kadar kalium serum terakhir (Smeltzer & Bare, 2008).
d. Bunyi jantung
Bunyi jantung harus diauskultasi secara terus-menerus, karena bunyi
jantung abnormal dapat timbul. Deteksi dini S3 yang diikuti
penatalaksanaan medis yang agresif dapat mencegah edema paru yang
mengancam jiwa. Adanya bunyi murmur yang sebelumnya tidak ada
menunjukkan perubahan fungsi otot miokard sedangkan friction rub
menunjukkan adanya perikarditis (Lily, 2008 )
e. Tekanan Darah
Tekanan darah di ukur dan di monitor untuk menentukan respon
terhadap nyeri dan keberhasilan terapi khususnya vasodilator.
f. Denyut nadi perifer
Denyut nadi perifer dievaluasi secara teratur. Perbedaan frekuensi nadi
perifer dengan frekuensi denyut jantung menegaskan adanya disritmia
seperti atrial fibrilasi. Denyut nadi perifer paling sering di evaluasi
untuk menentukan kecukupan aliran darah ke ekstremitas (Black &
Hawk, 2005).
g. Status volume cairan
Pengukuran intake dan output cairan penting dilakukan. Cairan yang
seimbang dan cenderung negatif akan lebih baik untuk menghindari
kelebihan cairan dan kemungkinan gagal jantung. Berkurangnya
haluran urine (oliguria) yang disertai hipotensi merupakan tanda awal
shock kardiogenik.
h. Pemberian Oksigen
Hipoksemia dapat terjadi akibat dari abnormalitas ventilasi dan perfusi
akibat gangguan ventrikel kiri. Oksigen harus diberikan pada pasien
dengan saturasi oksigen arteri < 90%. Pada semua pasien STEMI tanpa
komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama. Pemberian
oksigen harus diberikan bersama dengan terapi medis untuk
mengurangi nyeri secara maksimal (Antman et al, 2004).
i. Nitrogliserin
Nitogliserin (NTG) sublingual dapat diberikan dengan dosis 0,4 mg
dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. NTG
selain untuk mengurangi nyeri dada juga untuk menurunkan kebutuhan
oksigen miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan
suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang
terkena infark atau pembuluh kolateral. NTG harus dihindari pada
pasien dengan tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau pasien yang
dicurigai mengalami infark ventrikel kanan (Antman, 2004; Opie &
Gersh, 2005).
j. Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik
pilihan dalam tata laksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan
dengan dosis 2 - 4 mg dapat tingkatkan 2 - 8 mg IV serta dapat di
ulang dengan interval 5 - 15 menit. Efek samping yang perlu
diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriol
melalui penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena yang akan
mengurangi curah jantung dan tekanan arteri (Antman, 2004, Opie &
Gersh, 2005).
k. Aspirin
Aspirin merupakan tata laksana dasar pada pasien yang dicurigai
STEMI. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan
dengan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin
bukal dengan dosis 162 mg - 325 mg di ruang emergensi dengan daily
dose 75 162 mg.
l. Beta blocker
Beta‐blocker mulai diberikan segera setelah keadaan pasien stabil. Jika
tidak ada kontraindikasi, pasien diberi beta‐blocker kardioselektif
misalnya metoprolol atau atenolol. Heart rate dan tekanan darah harus
terus rutin di.monitor setelah keluar dari rumah sakit. Kontraindikasi
terapi beta‐blocker adalah: hipotensi dengan tekanan darah sistolik
<100 mmHg, bradikardi <50 denyut/menit, adanya heart block,
riwayat penyakit saluran nafas yang reversible, Beta‐blocker harus
dititrasi sampai dosis maksimum yang dapat ditoleransi. (Antman,
2004; Black & Hawk, 2005; Libby, 2008)
m. ACE Inhibitor
ACE inhibitor mulai diberikan dalam 24‐48 jam pasca‐MI pada pasien
yang telah stabil, dengan atau tanpa gejala gagal jantung. ACE
inhibitor menurunkan afterload ventrikel kiri karena inhibisi. sistem
renin‐angiotensin, menurunkan dilasi ventrikel. ACE inhibitor harus
dimulai dengan dosis rendah dan dititrasi naik sampai dosis tertinggi
yang dapat ditoleransi. Kontraindikasinya hipotensi, gangguan ginjal,
stenosis arteri ginjal bilateral, dan alergi ACE inhibitor. Elektrolit
serum, fungsi ginjal dan tekanan darah harus dicek sebelum mulai
terapi dan setelah 2 minggu (Opie & Gersh, 2005; Libby, 2008).
n. Terapi penurunan kadar lipid
Manfaat HMG Co‐A reductase inhibitor (statin) selain berfungsi
sebagai penurun kolesterol juga mempunyai efek pleiotropic yang
dapat berperan sebagai anti inflamasi, anti trombolitik. Target
penurunan LDL < 100 mg/dl, sedangkan pada pasien dengan risiko
tinggi, DM, penyakit jantung koroner, target penurunan LDL
kolesterol adalah < 70 mg/dl (Opie & Gersh, 2005;Sukandar et al,
2008; Libby, 2008)
o. Anti koagulan
LMWH lebih banyak digunakan daripada unfractionated heparin
karena untuk membatasi perluasan thrombosis koroner. Studi
ESSENCE menunjukkan enoxaparin 1mg/kg 2 kali/hari lebih baik
daripada unfractinated heparin. Biaya enoxaparin lebih tinggi, tetapi
mempunyai aktivitas anti‐faktor Xa lebih besar, tidak memerlukan
monitor terus menerus, dan dapat diberikan dengan mudah sehingga
menjadi pilihan terapi yang cukup popular. Enoxaparin diberikan terus
sampai pasien bebas dari angina atau paling sedikit selama 24 jam,
durasi terapi yang dianjurkan adalah 2‐8 hari (Sukandar et al, 2008;
Libby, 2008).
p. Terapi reperfusi
Terapi reperfusi dilakukan dengan percutaneus coronary intervention
(PCI) primer ataupun dengan terapi fibrinolisi.
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Nyeri akut b.d agan cedera biologis (iskemia jaringan sekunder
terhadap oklusi arteri coroner)
b. Penurunan curah jantung b.d perubahan frekuensi, irama, konduksi
elektri, penurunan preload/peningkatan tahanan vaskuler sistemik, otot
infark, kerusakan structural.
c. Pola napas tidak efektif b.d pengembangan paru tidak optimal,
kelebihan cairan di dalam paru akibat sekunder dari edema paru akut
d. Intoleransi aktifitas b.d kelemahan umum, ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen.
J. INTERVENSI KEPERAWATAN

No. DIAGNOSA KEPERAWATAN LUARAN KEPERAWATAN INTERVENSI KEPERAWATAN


1. Nyeri Akut b.d agan cedera Setelah dilakukan intervensi keperawatan Manajemen Nyeri 1.03119
biologis (iskemia jaringan Selama 3× 24 jam di harapkan nyeri akut 1.1 Identifiksi skala nyeri
sekunder terhadap oklusi arteri menurun dengan kriteria hasil : 1.2 fasilitasi istiraht dan tidur

coroner) (D.0077 ) Tingkat Nyeri (L.08066) 1.3 kolaborasi pemberian anlgetik, jika perlu
1. Keluhan nyeri menurun
2. Meringis menurun
3. Kesulitan tdur menurun
2. Penurunan curah jantung b.d Setelah dilakukan intervensi keperawatan Perwatan jantung 1.02075
perubahan frekuensi, irama, Selama 3× 24 jam di harapkan penurunan 1.1 Identifikasi tanda atau gejala primer
konduksi elektri, penurunan curah jantung meningkat dengan kriteria penurunan curah jantung (meliputi dispnea,

preload/peningkatan tahanan hasil : Paroxsymal nocturnal dyspnea)

vaskuler sistemik, otot infark, Curah jantung ( L. 02008 ) 1.2 Identifikasi tanda atau gejala sekunder

kerusakan structural. 1. Kekuatan nadi perifer meningkat penurunan curah jantung (meliputi batuk, kulit

( D.0008 ) 2. Takikardi menurun pucat)


3. Gambaran EKG aritmia menurun 1.3 Monitor intake dan output cairan
4. Dispnea Menurun 1.4 Berikan oksigen untuk mempertahankan
5.Paroxsymal nocturnal dyspnea saturasi oksigen >94%
Menurun. 1.5 kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu
3. Pola napas tidak efektif b.d Setelah dilakukan intervensi keperawatan Manajemen jalan napas ( 1.01011 )
pengembangan paru tidak Selama 3× 24 jam di harapkan Pola napas 1.1 monitor napas
optimal, kelebihan cairan di tidak efektif membaik dengan 1.2 monitor bunyi napas
dalam paru akibat sekunder kriteria hasil : 1.3 monitor sputum

dari edema paru akut pola napas ( L. 01004 ) 1.4 posisikan semi fowler

( D.0005 ) 1.dispnea menurun 1.5 berikan oksigen


2.penggunaan otot bantu napas menurun
3.frekuensi napas membaik
4. Intoleransi aktifitas b.d Setelah dilakukan intervensi keperawatan Manajemen Energi 1.05178
kelemahan umum, ketidak Selama 3× 24 jam di harapkan toleransi 1.1 Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
seimbangan antara suplai dan aktifitas meningkat dengan mengakibatkan kelelahan

kebutuhan oksigen. kriteria hasil : 1.2 Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama

( D.0056) toleransi aktifitas ( L.05047 ) melakukan aktivitas


1. Frekuensi nadi meningkat 1.3 Anjurkan tirah baring
2. Saturasi oksigen meningkat 1.4 Anjurkan melakukan aktivitas secara
3. Keluhan lelah menurun bertahap
4.Dispnea setelah beraktivitas menurun
5. Frekuensi napas membaik
6. EKG iskemia membaik
Sumber : buku SDKI 2017,SIKI 2018,SLKI 2019
K. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Setiadi, 2012).
L. EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi merupakan langkah proses keperawatan yang
memungkinkan perawat untuk menentukan apakah intervensi keperawatan
telah berhasil meningkatkan kondisi klien (Potter&Perry, 2009).
DAFTAR PUSTAKA

PPNI. (2016). Standar Luaran Keperawatan Indonesia :Definisi dan


Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2017). Standar Diagnosis keperawatan Indonesia definisi dan
IndikatorEdisi I Cetakan III(Revisi). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Tindakan Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI.
Alwi, I., 2009. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST . In: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Internapublishing,pp. 1741-56
Antman, E.M., Braunwald, E., 2005. ST-Segment Elevation Myocardial
Infarction. In: Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald,
E., Hauser, S.L., Jameson, J. L., eds. Harrison’s Principles of
Internal Medicine. 16 th ed. USA: McGraw-Hill 1449-1450.
Aru W, Sudoyo. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi V.
Jakarta : Interna Publishing.

Anda mungkin juga menyukai