PENDAHULUAN DM TIPE II
I. KONSEP TEORI
A. ANATOMI FISIOLOGI
Pankreas adalah organ aksesoris pada sistem pencernaan yang memiliki dua
fungsi utama: menghasilkan enzim pencernaan atau fungsi eksokrin serta
menghasilkan beberapa hormon atau fungsi endokrin. Pankreas terletak pada
kuadran kiri atas abdomen atau perut dan bagian kaput/kepalanya menempel
pada organ duodenum.
1
Di dalam Pancreas kumpulan sel yang berbentuk seperti pulau pada peta, karena itu
acapkali disebut pulau-pulau Langerhans,
Dinamakan Langerhans atas penemunya, Paul Langerhans pada tahun 1869. Setiap
pulau berisikan sel beta yang berfungsi mengeluarkan hormon insulin Hormon
insulin memegang peran penting dalam mengatur kadar glukosa darah.
Tiap pankreas mengandung lebih kurang 100.000 pulau Langerhans dan tiap pulau
berisi 100 sel betha
Disamping sel beta ada juga sel alfa yang memproduksi glukagon
2
Hormon Glukagon berfungsi sebaliknya dari insulin yaitu mengingkatkan kadar
glukosa darah. -->Suatu saat ketika tubuh membutuhkan tambahan energi, glikogen
yang tersimpan di dalam hati akan diubah oleh glukagon menjadi glukosa yang dapat
digunakan sebagai energi tambahan.
Di Pulau Langerhans juga terdapat sel delta yang mengeluarkan somatostatin. Jadi
ada 3 hormon yang dihasilkan oleh pankreas adalah:
1. Insulin , yang berfungsi menurunkan kadar gula dalam darah
2. Glukagon , yang berfungsi menaikkan kadar gula dalam darah
3. Somatostatin , yang berfungsi menghalangi pelepasan kedua hormon lainnya
(insulin dan glukagon).
Pankreas pada bagian Asssini melepaskan enzim pencernaan ke dalam
duodenum dan melepaskan hormon ke dalam darah. Enzim-enzim pencernaan
dihasilkan oleh sel-sel asini dan mengalir melalui berbagai saluran ke dalam duktus
pankreatikus. Duktus pankreatikus akan bergabung dengan saluran empedu pada
sfingter Oddi, dimana keduanya akan masuk ke dalam duodenum. Getah yang
dikeluarkan dari bagian Assini berupa getah eksokrin yaitu enzim TLA yang
memecah lemak, karbohidrat, protein. Enzim proteolitik memecah protein ke dalam
bentuk yang dapat digunakan oleh tubuh dan dilepaskan dalam bentuk inaktif . Enzim
ini hanya akan aktif jika telah mencapai saluran pencernaan.Getah pancreas kemudian
bergabung dengan getah empedu dari kantong empedu dan membentuk sebuah ruang
kecil yang mengarah ke dalam duodenumPankreas juga melepaskan sejumlah besar
sodium bikarbonat , yang berfungsi melindungi duodenum dengan cara menetralkan
asam lambung. Kelenjar pancreas juga mengeluarkan Natrium bikarbonat ( NaHCO3)
yang menetralisir asam lambung seperti memasuki duodenum menjadi netral. Karena
Pancreas selain sebagai kelenjar Eksokrin juga sebagai kelenjar endokrin maka Sel-sel
pankreas dikelilingi oleh banyak pembuluh darah di mana mereka mengeluarkan
hormon (glukagon dan insulin) ke dalam darah. Insulin mengatur penggunaan glukosa
ke semua jaringan tubuh kecuali otak. Jika pankreas gagal menghasilkan insulin atau
mengeluarkan dalam jumlah yang rendah, hasilnya adalah penyakit serius yang
disebut diabetes mellitus. Saluran panjang ditengah pancreas itu kemudian mengarah
ke dalam duodenum untuk memberikan Enzim TLA untuk mencerna protein, lemak
dan karbohidrat. Jika saluran terkemuka dari pankreas diblokir dalam beberapa cara,
cairan pencernaan membangun di pankreas dan mungkin akan menjadi aktif sehingga
mereka mencerna pankreas itu sendiri! Kondisi ini dikenal sebagai pankreatitis akut.
3
B. DEFENISI
Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit kronis progresif yang ditandai dengan
ketidakmampuan tubuh untuk melakukan metabolism karbohidrat, lemak, dan
protein mengarah ke hiperglikemia /kadar glucose darah tinggi (Joyce M Black &
Jane Hokanson Hawks dalam KMB edisi 8, 2014).
Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat
kekurangan insulin baik absolut maupun relatif . Diabetes Melitus adalah suatu
kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya
peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun
relatif (Noer, 2003 dalam www.trinoval.web.id)
C. ETIOLOGI
Secara pasti penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui, factor genetic
diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI) penyakitnya mempunyai
pola familiar yang kuat. DMTTI ditandai dengan kelainan dalam sekresi insulin
maupun dalam kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel
sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-
reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselluler yang
meningkatkan transport glukosa menembus membran sel. Pada pasien dengan
DMTTI terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Hal ini dapat
disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsif insulin pada
membran sel. Akibatnya terjadi penggabungan abnormal antara komplek reseptor
insulin dengan system transport glukosa. Kadar glukosa normal dapat
dipertahankan dalam waktu yang cukup lama dan meningkatkan sekresi insulin,
4
tetapi pada akhirnya sekresi insulin yang beredar tidak lagi memadai untuk
mempertahankan euglikemia (Price, 1995 cit Indriastuti 2008). Diabetes Melitus
tipe II disebut juga Diabetes Melitus tidak tergantung insulin (DMTTI) atau Non
Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) yang merupakan suatu kelompok
heterogen bentuk-bentuk Diabetes yang lebih ringan, terutama dijumpai pada orang
dewasa, tetapi terkadang dapat timbul pada masa kanak-kanak.
Faktor risiko yang berhubungan dengan proses terjadinya DM tipe II, diantaranya
adalah:
1) Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 40 th atau
lebih) Sekitar 90% dari kasus diabetes yang didapati adalah diabetes tipe 2.
Pada awalnya, tipe 2 muncul seiring dengan bertambahnya usia dimana
keadaan fisik mulai menurun.
2) Obesitas
Obesitas berkaitan dengan resistensi kegagalan toleransi glukosa yang
menyebabkan diabetes tipe 2. Hala ini jelas dikarenakan persediaan
cadangan glukosa dalam tubuh mencapai level yang tinggi. Selain itu
kadar kolesterol dalam darah serta kerja jantung yang harus ekstra keras
memompa darah keseluruh tubuh menjadi pemicu obesitas. Pengurangan
berat badan sering kali dikaitkan dengan perbaikan dalam sensivitas
insulin dan pemulihan toleransi glukosa.
3) Riwayat keluarga
Indeks untuk diabetes tipe 2 pada kembar monozigot hamper 100%.
Resiko berkembangnya diabetes tipe 3 pada sausara kandubg mendekati
40% dan 33% untuk anak cucunya. Jika orang tua menderita diabetes tipe
2, rasio diabetes dan nondiabetes pada anak adalah 1:1 dan sekitar 90%
pasti membawa carer diabetes tipe 2.( Martinus,2005)
4) Kelompok etnik
Prevalensi DM tipe 2 secara mencolok lebih tinggi pada America pribumi,
Amerika- Afrika dan Amerika hispanik dan juga pada orang yang lebih tua
dan Obesitas.
D. Klasifikasi
Dokumen konsesus tahun 1997 oleh American Diabetes Association’s Expert
Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Melitus, menjabarkan 4
kategori utama diabetes, yaitu: (Corwin, 2009)
1. Tipe I: Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM)/ Diabetes Melitus
tergantung insulin (DMTI).
Lima persen sampai sepuluh persen penderita diabetik adalah tipe I. Sel-
sel beta dari pankreas yang normalnya menghasilkan insulin
5
dihancurkan oleh proses autoimun. Diperlukan suntikan insulin untuk
mengontrol kadar gula darah. Awitannya mendadak biasanya terjadi
sebelum usia 30 tahun.
2. Tipe II: Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)/ Diabetes
Mellitus tak tergantung insulin (DMTTI).
Sembilan puluh persen sampai 95% penderita diabetik adalah tipe II.
Kondisi ini diakibatkan oleh penurunan sensitivitas terhadap insulin
(resisten insulin) atau akibat penurunan jumlah pembentukan insulin.
Pengobatan pertama adalah dengan diit dan olah raga, jika kenaikan
kadar glukosa darah menetap, suplemen dengan preparat hipoglikemik
(suntikan insulin dibutuhkan, jika preparat oral tidak dapat mengontrol
hiperglikemia). Terjadi paling sering pada mereka yang berusia lebih
dari 30 tahun dan pada mereka yang obesitas.
3. DM tipe lain
Karena kelainan genetik, penyakit pankreas (trauma pankreatik), obat,
infeksi, antibodi, sindroma penyakit lain, dan penyakit dengan
karakteristik gangguan endokrin.
4. Diabetes Kehamilan: Gestasional Diabetes Melitus (GDM)
Diabetes yang terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak
mengidap diabetes.
6
d. Berat badan menurun, lemas, lekas lelah, tenaga kurang. Hal ini disebabkan
kehabisan glikogen yang telah dilebur jadi glukosa, maka tubuh berusama
mendapat peleburan zat dari bahagian tubuh yang lain yaitu lemak dan protein.
e. Mata kabur
Hal ini disebabkan oleh gangguan lintas polibi (glukosa – sarbitol fruktasi) yang
disebabkan karena insufisiensi insulin. Akibat terdapat penimbunan sarbitol dari
lensa, sehingga menyebabkan pembentukan katarak.
F. EPIDEMIOLOGI
Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit menahun yang ditandai dengan
kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal. Apabila dibiarkan tidak terkendali,
diabetus mellitus dapat menimbulkan komplikasi yang berakibat fatal, misalnya
terjadi penyakit jantung koroner, gagal ginjal, kebutaan dan lain-lain.
Secara epidemiologi, diperkirakan bahwa pada tahun 2030 prevalensi Diabetes
Melitus (DM) di Indonesia mencapai 21,3 juta orang (Diabetes Care, 2004).
Sedangkan hasil Riset kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diperoleh bahwa
proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah
perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7%. Dan daerah pedesaan, DM
menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8%. Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI Prof.
dr. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K), MARS, DTM&H saat membuka Seminar
dalam rangka memperingati Hari Diabetes Sedunia 2009, 5 November 2009 di
Jakarta.
Secara umum, hampir 80 % prevalensi diabetes melitus adalah DM tipe 2. Ini
berarti gaya hidup/life style yang tidak sehat menjadi pemicu utama meningkatnya
prevalensi DM. Bila dicermati, penduduk dengan obes mempunyai risiko terkena
DM lebih besar dari penduduk yang tidak obes. Tujuan program pengendalian DM
di Indonesia adalah terselenggaranya pengendalian faktor risiko untuk menurunkan
angka kesakitan, kecacatan dan kematian yang disebabkan DM. Pengendalian DM
lebih diprioritaskan pada pencegahan dini melalui upaya pencegahan faktor risiko
DM yaitu upaya promotif dan preventif dengan tidak mengabaikan upaya kuratif dan
rehabilitatif, Oleh karena itu, program Pengendalian Diabetes Melitus dilaksanakan
dengan prioritas upaya preventif dan promotif, dengan tidak mengabaikan upaya
kuratif. Serta dilaksanakan secara terintegrasi dan menyeluruh antara Pemerintah,
Masyarakat dan Swasta (LP, LS, Profesi, LSM, PerguruanTinggi). Sedangkan dalam
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1575 tahun 2005, telah dibentuk Direktorat
Pengendalian Penyakit Tidak Menular yang mempunyai tugas pokok memandirikan
7
masyarakat untuk hidup sehat melalui pengendalian faktor risiko penyakit tidak
menular, khususnya penyakit DM yang mempunyai faktor risiko bersama. Dan
Kendalikan Diabetes sangatlah penting dilaksanakan sedini mungkin, untuk
menghindari biaya pengobatan yang sangat mahal. Bahkan semenjak anak-anak dan
remaja, gaya hidup sehat dengan mengkonsumsi banyak sayur dan buah,
membiasakan olah raga dan tidak merokok merupakan kebiasaan yang baik dalam
pencegahan Diabetes Melitus. Oleh karena itu, peran para pendidik baik formal
maupun informal, edukator DM dan para kader sangat memegang peranan penting
untuk menurunkan angka kesakitan DM.
G. PATOFISIOLOGI
Diabetes melitus tipe 2 merupakan suatu kelainan yang heterogenik dengan
karakter utama hiperglikemik kronik. Meskipun pola pewarisannya belum jelas,
faktor genetik dikatakan memiliki peranan yang penting dalam munculnya diabetes
melitus tipe 2 ini. Faktor genetik ini akan berinteraksi dengan faktor-faktor
lingkungan seperti gaya hidup, diet, rendahnya aktifitas fisik, obesitas, dan tingginya
kadar asam lemak bebas.
Patofisiologi diabetes melitus tipe 2 terdiri atas tiga mekanisme, yaitu;
1. Resistensi terhadap insulin
Resistensi terhadap insulin terjadi disebabkan oleh penurunan kemampuan
hormon insulin untuk bekerja secara efektif pada jaringan-jaringan target
perifer (terutama pada otot dan hati), ini sangat menyolok pada diabetes
melitus tipe 2. Resistensi terhadap insulin ini merupakan hal yang relatif.
Untuk mencapai kadar glukosa darah yang normal dibutuhkan kadar insulin
plasma yang lebih tinggi. Pada orang dengan diabetes melitus tipe 2, terjadi
penurunan pada penggunaan maksimum insulin, yaitu lebih rendah 30 - 60 %
daripada orang normal. Resistensi terhadap kerja insulin menyebabkan
terjadinya gangguan penggunaan insulin oleh jaringan-jaringan yang sensitif
dan meningkatkan pengeluaran glukosa hati. Kedua efek ini memberikan
kontribusi terjadinya hiperglikemi pada diabetes. Peningkatan pengeluaran
glukosa hati digambarkan dengan peningkatan FPG (Fasting Plasma Glukose)
atau kadar gula puasa (BSN). Pada otot terjadi gangguan pada penggunaan
glukosa secara non oksidatif (pembentukan glikogen) daripada metabolisme
glukosa secara oksidatif melalui glikolisis. Penggunaan glukosa pada jaringan
yang independen terhadap insulin tidak menurun pada diabetes melitus tipe 2.
Mekanisme molekular terjadinya resistensi insulin telah diketahui.
Level kadar reseptor insulin dan aktifitas tirosin kinase pada jaringan otot
menurun, hal ini merupakan defek sekunder pada hiperinsulinemia bukan
defek primer. Oleh karena itu, defek pada post reseptor diduga mempunyai
peranan yang dominan terhadap terjadinya resistensi insulin. Polimorfik dari
8
IRS-1 (Insulin Receptor Substrat) mungkin berhubungan dengan intoleransi
glukosa. Polimorfik dari bermacam-macam molekul post reseptor diduga
berkombinasi dalam menyebabkan keadaan resistensi insulin.
Sekarang ini, patogenesis terjadinya resistensi insulin terfokus pada
defek PI-3 kinase (Phosphatidyl Inocytol) yang menyebabkan terjadinya
reduktasi translokasi dari GLUT-4 (Glukose Transporter) ke membran plasma
untuk mengangkut insulin. Hal ini menyebabkan insulin tidak dapat diangkut
masuk ke dalam sel dan tidak dapat digunakan untuk metabolisme sel,
sehingga kadar insulin di dalam darah terus meningkat dan akhirnya
menyebabkan terjadinya hiperglikemi. Ada teori lain mengenai terjadinya
resistesi insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2. Teori ini mengatakan
bahwa obesitas dapat mengakibatkan terjadinya resistensi insulin melalui
beberapa cara, yaitu; peningkatan asam lemak bebas yg mengganggu
penggunaan glukosa pada jaringan otot, merangsang produksi dan gangguan
fungsi sel β pankreas.
9
yang juga terjadi pada diabetes melitus tipe 2 adalah gangguan sekresi insulin
basal. Normalnya sejumlah insulin basal disekresikan secara kontinyu dengan
kecepatan 0,5 U/jam, pola berdenyut dengan periodisitas 12-15 menit (pulsasi)
dan 120 menit (osilasi). Insulin basal ini dibutuhkan untuk meregulasi kadar
glukosa darah puasa dan menekan produksi hati. Puncak-puncak sekresi yang
berpola ini tidak ditemukan pada penderita DM tipe 2 yang menunjukan
hilangnya sifat sekresi insulin yang berdenyut.
10
PATWAY DIABETES MELITUS
11
H. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah, tidak
dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam menegakkan
diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara
pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang dianjurkan
adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan glukosa
darah plasma vena. Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa
darah cara reagen kering yang umumnya sederhana dan mudah dipakai.
Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat
dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan sesuai
dengan cara standar yang dianjurkan. Untuk memantau kadar glukosa darah
dapat dipakai bahan darah kapiler. Ada perbedaan antara uji diagnostic DM dan
pemeriksaan penyaring. Uji diagnostic DM dilakukan untuk mereka yang
12
menunjukan gejala atau tanda DM. Sedangkan pemeriksaan penyaring
bertujuan untuk mengidenfikasi mereka yang tidak bergejala tetapi memilliki
resiko DM.
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan salah satu
faktor risiko untuk DM, yaitu :
1. kelompok usia dewasa tua ( > 45 tahun )
2. kegemukan {BB (kg) > 120% BB idaman atau IMT > 27 (kg/m2)
3. tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg)
4. riwayat keluarga DM
5. riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi > 4000 gram
6. riwayat DM pada kehamilan
7. dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau Trigliserida > 250 mg/dl
8. pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau GDPT (Glukosa
Darah Puasa Terganggu)
Pemeriksaan penyaring yang dapat dilakukan:
1. Glukosa darah sewaktu
2. Kadar Glukosa darah puasa
3. Tes Toleransi Glukosa
Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM (mg/dl)
13
Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah
mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl
I. Penatalaksanaan
Non medis
Tujuan utama terapi diabetes adalah mencoba menormalkan
aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk
mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropatik.
Tujuan teraupetik pada setiap jenis diabetes adalah mencapai
kadar glukosa darah normal tanpa terjadinya hipoglikemia dan
gangguan serius pada pola aktivitas klien.
Ada lima komponen dalam penatalaksanaan diabetes:
1. Diet
2. Latihan
3. Pemantauan
4. Terapi
5. Pendidikan (keperawatan medical bedah, brunner and suddarth, 2002:
1226)
14
Kemudian hitung jumlah kalori yang dibutuhkan. Ada beberapa cara untuk
menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan seorang pasien DM.
1) Menghitung kebutuhan basal dengan cara mengalihkan berat badan
ideal dengan 30 untuk laki-laki dan 25 untuk wanita. Kebutuhan kalori
sebenarnya harus ditambah lagi sesuai dengan kegiatan sehari-hari (lihat
table 2
15
c) Pasien gemuk =1300-1500 kkal
b. Latihan Jasmani
Dianjurkan latihan jasmani teratur, 3-4 kali tiap minggu selama kurang
lebih 0,5 jam yang sifatnya sesuai CRIPE (continous, Rhtmical, Interval,
Progresiv, endurance training). Latihan dilakukan terus menerus tanpa
berhenti, otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara teratur, selang seling
antara gerak cepat dan lambat, berangsur angsur dari sedikit ke latihan yang
lebih berat secara bertahap dan bertahan dalam waktu tertentu. Latihan yang
dapat dijadikan pilihan adlah jalan kaki, jogging, lari, renang, bersepeda, dan
mendayung.
Sedapat mungkin mencapai zona sasaran atau zona latihan, yaitu 75%-
85% denyut nadi maksimal.Denyut nadi maksimal dapat dihitung dengan
menggunakan formula berikut:
16
Totazamid ( 100 mg ; 250 mg; 500 mg )
Tolbutamid (250 mg, 500 mg )
d. Biguanid
Biguanid menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak sampai dibawah
normal. Preparat yang ada dan normal adalah metformin. Obat ini dianjurkan
untuk pasien gemuk(IMT>30) sebagai obat tunggal. Pada pasien dengan
berat lebih (IMT 27-30), dapat dikombinasi dengan obat golongan
sulfonylurea.
Metformin 500 mg
17
P : Pain Respons : kesadaran menurun, tdk berespon thd suara,
berespon thd rangsangan nyeri.
U : Unresponsive : kesadaran menurun, tdk berespon thd suara, tdk
bersespon thd nyeri.
b. PENGKAJIAN SEKUNDER
Pemeriksaan sekunder dilakukan setelah memberikan pertolongan
atau penenganan pada pemeriksaan primer.
Pemeriksaan sekunder meliputi :
1) AMPLE : alergi, medication, past illness, last meal, event
2) Pemeriksaan seluruh tubuh : Head to toe
3) Pemeriksaan penunjang : lebih detail, evaluasi ulang
4) Pemeriksaan Diagnostik
a) Tes toleransi Glukosa (TTG) memanjang (lebih besar dari
200mg/dl). Biasanya, tes ini dianjurkan untuk pasien yang
menunjukkan kadar glukosa meningkat dibawah kondisi stress.
b) Gula darah puasa normal atau diatas normal.
c) Essei hemoglobin glikolisat diatas rentang normal.
d) Urinalisis positif terhadap glukosa dan keton.
e) Kolesterol dan kadar trigliserida serum dapat meningkat
menandakan ketidakadekuatan kontrol glikemik dan peningkatan
propensitas pada terjadinya aterosklerosis.
5) Anamnese
a) Keluhan Utama
Cemas, lemah, anoreksia, mual, muntah, nyeri abdomen, nafas
pasien mungkin berbau aseton pernapasan kussmaul, poliuri,
polidipsi, penglihatan yang kabur, kelemahan dan sakit kepala.
b) Riwayat kesehatan sekarang
Berisi tentang kapan terjadinya penyakit (Coma Hipoglikemik,
KAD/ HONK), penyebab terjadinya penyakit (Coma Hipoglikemik,
KAD/ HONK) serta upaya yang telah dilakukan oleh penderita
untuk mengatasinya.
c) Riwayat kesehatan dahulu
Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit – penyakit lain yang
ada kaitannya dengan defisiensi insulin misalnya penyakit
pankreas. Adanya riwayat penyakit jantung, obesitas, maupun
arterosklerosis, tindakan medis yang pernah di dapat maupun obat-
obatan yang biasa digunakan oleh penderita.
18
d) Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat atau adanya faktor resiko, riwayat keluarga tentang
penyakit, obesitas, riwayat pankreatitis kronik, riwayat melahirkan
anak lebih dari 4 kg, riwayat glukosuria selama stress (kehamilan,
pembedahan, trauma, infeksi, penyakit) atau terapi obat
(glukokortikosteroid, diuretik tiasid, kontrasepsi oral).
e) Riwayat psikososial
Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang
dialami penderita sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan
keluarga terhadap penyakit penderita.
Kaji terhadap manifestasi Diabetes Mellitus: poliuria, polidipsia,
polifagia, penurunan berat badan, pruritus vulvular, kelelahan,
gangguan penglihatan, peka rangsang, dan kram otot. Temuan ini
menunjukkan gangguan elektrolit dan terjadinya komplikasi
aterosklerosis.
Kaji pemahaman pasien tentang kondisi, tindakan, pemeriksaan
diagnostik dan tindakan perawatan diri untuk mencegah komplikasi.
Rencana Keperawatan
19
dengan indikator : terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri klien
a. Mengenal faktor- sebelumnya.
faktor penyebab 4. Kontrol lingkungan yang
b. Mengenal onset mempengaruhi nyeri seperti suhu
nyeri ruangan, pencahayaan,
c. Tindakan kebisingan.
pertolongan non 5. Kurangi ontro presipitasi nyeri.
farmakologi 6. Pilih dan lakukan penanganan
d. Menggunakan nyeri (farmakologis/non
analgetik farmakologis)..
e. Melaporkan gejala- 7. Ajarkan teknik non farmakologis
gejala nyeri kepada (relaksasi, distraksi dll) untuk
tim kesehatan. mengetasi nyeri..
f. Nyeri terkontrol 8. Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri.
2. Menunjukkan tingkat 9. Evaluasi tindakan pengurang
nyeri, dengan indikator: nyeri/ontrol nyeri.
10. Kolaborasi dengan dokter bila
a. Melaporkan nyeri ada komplain tentang pemberian
b. Frekuensi nyeri analgetik tidak berhasil.
c. Lamanya episode 11. Monitor penerimaan klien
nyeri tentang manajemen nyeri.
d. Ekspresi nyeri;
wajah Administrasi analgetik :
e. Perubahan respirasi
1. Cek program pemberian
rate analogetik; jenis, dosis, dan
f. Perubahan tekanan frekuensi.
darah 2. Cek riwayat alergi..
g. Kehilangan nafsu 3. Tentukan analgetik pilihan, rute
makan pemberian dan dosis optimal.
4. Monitor TTV sebelum dan
.
sesudah pemberian analgetik.
5. Berikan analgetik tepat waktu
terutama saat nyeri muncul.
6. Evaluasi efektifitas analgetik,
tanda dan gejala efek samping.
2 Ketidakseimban Nutritional Status : Food Nutrition Management
gan nutrisi and Fluid Intake 1. Monitor intake makanan dan
kurang dari minuman yang dikonsumsi
20
kebutuhan tubuh klien setiap hari
b.d. a. Intake makanan 2. Tentukan berapa jumlah kalori
ketidakmampua peroral yang dan tipe zat gizi yang
n menggunakan adekuat dibutuhkan dengan
glukose b. Intake NGT berkolaborasi dengan ahli gizi
adekuat 3. Dorong peningkatan intake
c. Intake cairan kalori, zat besi, protein dan
peroral adekuat vitamin C
d. Intake cairan yang 4. Beri makanan lewat oral, bila
adekuat memungkinkan
e. Intake TPN 5. Kaji kebutuhan klien akan
adekuat pemasangan NGT
6. Lepas NGT bila klien sudah
bisa makan lewat oral
3 Ketidakseimban Nutritional Status : Weight Management
gan nutrisi lebih Nutrient Intake 1. Diskusikan dengan pasien
dari kebutuhan tentang kebiasaan dan budaya
tubuh b.d. a. Kalori serta faktor hereditas yang
kelebihan intake b. Protein mempengaruhi berat badan.
nutrisi c. Lemak 2. Diskusikan resiko kelebihan
d. Karbohidrat berat badan.
e. vitamin 3. Kaji berat badan ideal klien.
f. Mineral 4. Kaji persentase normal lemak
g. Zat besi tubuh klien.
h. Kalsium 5. Beri motivasi kepada klien untuk
menurunkan berat badan.
6. Timbang berat badan setiap hari.
7. Buat rencana untuk menurunkan
berat badan klien.
8. Buat rencana olahraga untuk
klien.
9. Ajari klien untuk diet sesuai
dengan kebutuhan nutrisinya.
4 Defisit Volume NOC: NIC :
Cairan b.d 1. Fluid balance Fluid management
Kehilangan 2. Hydration 1. Timbang popok/pembalut jika
volume cairan 3. Nutritional Status : diperlukan
secara aktif, Food and Fluid Intake 2. Pertahankan catatan intake dan
Kegagalan Kriteria Hasil : output yang akurat
mekanisme 3. Monitor status hidrasi (
21
pengaturan kelembaban membran mukosa,
a. Mempertahankan nadi adekuat, tekanan darah
urine output sesuai ortostatik ), jika diperlukan
dengan usia dan 4. Monitor vital sign
BB, BJ urine 5. Monitor masukan makanan /
normal, HT normal cairan dan hitung intake kalori
b. Tekanan darah, harian
nadi, suhu tubuh 6. Kolaborasikan pemberian cairan
dalam batas normal IV
c. Tidak ada tanda 7. Monitor status nutrisi
tanda dehidrasi, 8. Berikan cairan IV pada suhu
Elastisitas turgor ruangan
kulit baik, 9. Dorong masukan oral
membran mukosa 10. Berikan penggantian nesogatrik
lembab, tidak ada sesuai output
rasa haus yang 11. Dorong keluarga untuk
berlebihan membantu pasien makan
12. Tawarkan snack ( jus buah, buah
segar )
13. Kolaborasi dokter jika tanda
cairan berlebih muncul meburuk
14. Atur kemungkinan tranfusi
15. Persiapan untuk tranfusi
22
sesuai protokol
5. K/P kolaborasi dengan ahli gizi
untuk dietnya.
Managemen Hiperglikemia
1. Monitor GDR sesuai indikasi
2. Monitor tanda dan gejala
diabetik ketoasidosis ; gula darah
> 300 mg/dl, pernafasan bau
aseton, sakit kepala, pernafasan
kusmaul, anoreksia, mual dan
muntah, tachikardi, TD rendah,
polyuria, polidypsia,poliphagia,
keletihan, pandangan kabur atau
kadar Na,K,Po4 menurun.
3. Monitor v/s :TD dan nadi sesuai
indikasi
4. Berikan insulin sesuai order
5. Pertahankan akses IV
6. Berikan IV fluids sesuai
kebutuhan
7. Konsultasi dengan dokter jika
tanda dan gejala Hiperglikemia
menetap atau memburuk
8. Dampingi/ Bantu ambulasi jika
terjadi hipotensi
9. Batasi latihan ketika gula darah
>250 mg/dl khususnya adanya
keton pada urine
10. Pantau jantung dan sirkulasi (
frekuensi & irama, warna kulit,
waktu pengisian kapiler, nadi
perifer dan kalium
11. Anjurkan banyak minum
12. Monitor status cairan I/O sesuai
kebutuhan
23
jaringan. 2. Tissue Prefusion : (Manajemen sensasi perifer)
cerebral 1. Monitor adanya daerah tertentu
yang hanya peka terhadap
Kriteria Hasil : panas/dingin/tajam/tumpul
1. mendemonstrasikan 2. Monitor adanya paretese
status sirkulasi 3. Instruksikan keluarga untuk
mengobservasi kulit jika ada lsi
a. Tekanan systole atau laserasi
dandiastole dalam 4. Gunakan sarun tangan untuk
rentang yang proteksi
diharapkan 5. Batasi gerakan pada kepala,
b. Tidak ada leher dan punggung
ortostatikhipertensi 6. Monitor kemampuan BAB
c. Tidak ada tanda 7. Kolaborasi pemberian analgetik
tanda peningkatan 8. Monitor adanya tromboplebitis
tekanan 9. Diskusikan menganai penyebab
intrakranial (tidak perubahan sensasi
lebih dari 15
mmHg)
2. mendemonstrasikan
kemampuan kognitif
yang ditandai dengan:
a. berkomunikasi
dengan jelas dan
sesuai dengan
kemampuan
b. menunjukkan
perhatian,
konsentrasi dan
orientasi
c. memproses
informasi
d. membuat
keputusan dengan
benar
24
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC.
Johnson, M., et all. 2017. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River
Suyono, S., Soegondo, S., Waspadji, S., Sukardji, K., Ilyas, E.I., Basuki, E., Soewondo, P.,
dkk. 2011. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu, Edisi Kedua. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI
Lynda Juall Carpenito. (2001) Handbook Of Nursing Diagnosis. Edisi 8. Alih bahasa :
Anugerah, P Jakarta : EGC
25