Anda di halaman 1dari 13

Quis Psikologi Kebencanaan

Nama : Wilhelmina Nafis Naru

NBI : 1511700203

1. Apa yang bisa dilakukan seorang psikolog/calon psikolog dalam menangani


bencana yang terjadi ?

Jawaban :

Langkah sederhana yang biasa dilakukan adalah sebagai berikut :

·         Berkomunikasi dengan korban dengan baik, sapa mereka dan buat kesan pertama yang
positif.

·         Ciptakan suasana hangat dalam berkomunikasi.

·         Tataplah wajah dan mata lawan bicara dengan lembut untuk memperlihatkan perhatian
secara tulus.

·         Mendengarkan setiap perkataan mereka dengan seksama, diselingi menganggukkan kepala


dan tidak menyela pembicaraan.

·         Menghindari memberikan penilaian, kritik, nasehat.

·         Memberikan kebebasan kepada korban untuk menampilkan diri sebagai orang yang tidak
sempurna.

·         Serta mengulang kembali apa yang diungkap oleh korban, agar terkesan serius.

Menurut Prof. Koentjoro, modal menjadi Psikolog atau ilmuwan psikologi yang baik dan dapat
mengatasi kebencanaan meliputi SMEPPPA

Senyum à sebagai symbol penerimaan sosial (self-acceptance)


Mendengarkan à pada uimumnya orang lebih ingin bercerita karena dengan bercerita mereka
merasa lebih diakui/dimengerti dan sebagai media katarsis.

Empati

Peka à Mampu membaca symbol dan tanda (rasa dan bahasa). Pada saat ini pendidikan
umumnya hanya berupa tuntutan tanpa tersentuh rasa.

Peduli

Pandai Memuji dan Memilih Kata Bijak à lebih baik daripada hukuman

Action à lakukan dan terapkan

 Mengurangi Risiko Gangguan Mental

Tidak sedikit korban bencana alam merasa putus asa dan terpuruk, misalnya yang dialami oleh
korban Gempa Yogyakarta pada tahun 2006. Mereka kehilangan tempat tinggal, keluarga, harta
benda dan berbagai hal yang dimilikinya. Mereka seakan-akan berdiri di tanah yang tidak bisa
dipijak, hampa dan penuh kekosongan. Banyak dari mereka yang tidak tahu harus berbuat apa.
Oleh karena itu, PFA ini dilakukan agar mengurangi risiko terdampak bencana pada aspek
psikologis. Sebab, kondisi psikologis para korban juga dapat mempengaruhi cepat lambatnya
proses healing pasca bencana.

2. Meningkatkan Self-Healing

PFA dapat membantu seseorang untuk dapat menyembuhkan dirinya sendiri dari dalam. Self-
healing ini dilakukan dengan memberi dorongan kepada korban untuk bisa memahami keadaan
yang telah terjadi. Setelah memahami keadaan yang terjadi, korban bencana juga dibantu untuk
menerima peristiwa yang telah terjadi.

3. Membangun Harapan

Harapan adalah perasaan yang sangat penting bagi para korban terdampak bencana. Satu-satunya
tongkat yang membantunya untuk bangkit adalah memiliki harapan untuk tetap melanjutkan
kehidupan, apapun keadaannya. Di sinilah pentingnya PFA dalam membangun harapan bagi para
korban. Memberikan pelukan yang hangat untuk setiap tangisan yang mereka curahkan.
Menemani para korban agar sembuh dari luka-luka yang menyakitkan atas peristiwa traumatis
yang dilaluinya.

2. Apa saja bantuan psikologis yang bisa dilakukan , Jelaskan !


a. Menginformasikan bantuan

Seandainya seorang relawan berada di tengah-tengah para korban bencana, maka


pertolongan psikologis pertama pasca bencana adalah memberikan kejelasan informasi.

Ini berupa mengarahkan korban bencana ke lokasi pembagian bantuan, memberi


informasi tempat makan dan tempat mengungsi, serta membantu pendataan orang-orang
hilang.

Terus juga mengklarifikasi info/isu yang simpang siur. Kadang orang abis kena bencana
kan panik. Ntar dikait-kaitkan sama kejadian tertentu.

Psikolog cocok di bagian ini, karena biasa menghadapi orang-orang yang lagi panik dan
kebingungan.

b. Membantu mencarikan keluarga

Bencana bisa memisahkan seseorang dengan keluarganya. Apalagi selama seminggu


pertama, kepanikan dan kebingungan pasti bener-bener terasa. Relawan dan tenaga ahli
psikologi bisa bantu mencarikan anggota keluarga yang hilang. Kalo mereka masih
linglung dan terbata-bata, proses membantu ini dilakukan dengan ekstra sabar.

c. Memberi ruang dan waktu untuk upacara pengurusan jenazah

Sebagian daerah dan agama punya ritual khusus dalam mengurus jenazah. Bentuk
bantuan psikologis di bagian ini yaaa memberikan kesempatan untuk prosesi adat.
Sebagian relawan yang beragama/suku yang sama akan ikut dalam prosesnya. Itu
ngebantuu banget.
d. Mendengarkan kekhawatiran keluarga korban

Bencana gak hanya berdampak pada mereka yang ada di lokasi, namun juga orang-
orang di luarnya. Biasanya kerabat dari para korban, orang asli sana tapi kebetulan lagi
keluar kota, dan lain sebagainya. Meskipun mereka nggak merasakan langsung, putusnya
komunikasi dengan para korban pasti bikin mereka bingung apa yang harus dilakuin. Itu
pasti bikin mereka khawatir juga. Belum lagi kabar rumah dan harta benda mereka di
sana yang simpang siur. Di sini, psikolog yang nggak berada di lokasi bencana bisa
membantu juga. Psikolog ada yang dateng ke pusat informasi terkait bencana, terus
memberikan penenangan pada para korban tak langsung tersebut.

Dulu, waktu peristiwa Air Asia tenggelam di perairan Laut Jawa, para psikolog dari
Himpsi Jatim ikut ngasi bantuan penenangan pada para kerabat penumpang. Mereka
mendatangi information center di Bandara Juanda terus menenangkan para kerabat yang
masih panik dan histeris. Para psikolog ini mendengarkan kekhawatiran para kerabat
penumpang pesawat, ngasi air minum, terus (kalo kerabat korban itu ngebolehin)
mengelus pundak mereka, dan membimbing mereka untuk berdoa. Walaupun sekilas
kayaknya kok nggak penting, tapi ini adalah upaya pencegahan kekhawatiran
berkembang jadi panik, yang bisa jadi histeria. Mencegah kepanikan ini bisa
mempercepat proses recover mental dari para kerabat korban, jadi mengurangi
kemungkinan trauma juga.

e. Membantu penyintas menyesuaikan diri dengan lingkungan baru

Para korban pasti nggak biasa lah ya tidur di tenda pengungsian. Mereka mungkin biasa
tidur di kasur empuk, dengan space pribadi yang luas. Sekarang mereka harus tidur sama-
sama orang yang mungkin nggak mereka kenal. Tenda pengungsian pun mungkin nggak
senyaman rumah mereka. Berhubung lingkungan ini baru, penyesuaian diri ini bisa bikin
stres juga. Nah, di sinilah tugas lain dari psikolog; membantu korban menyesuaikan diri
di lingkungan baru. Penyesuaian ini bisa berupa mencarikan korban posisi tempat
istirahat yang pas, bisa juga mencarikan “tetangga” pengungsi dari tempat asal yang
berdekatan. Pengungsi juga mungkin punya kebutuhan tertentu karena trauma, atau
karena punya kondisi kejiwaan yang sudah ada sebelum bencana. Psikolog juga bisa
dimintai pertimbangan untuk penanganan semacam ini.

f. Memberikan dukungan psikososial pada para penyintas

Para korban bencana merasakan ketidakberdayaan setelah semua miliknya habis.


Padahal, setelah bencana berlalu, hidup harus jalan terus. Di sini psikolog bisa mulai
memberikan bantuan dukungan psikososial. Biasanya psikolog akan membantu
membimbing korban beradaptasi dengan kondisi baru, membantu komunikasi dengan
teman atau keluarga yang terpisah, dan mengubah mindset menjadi lebih optimis. Terus
psikolog juga bisa meyakinkan para korban, bahwa masih ada kesempatan untuk kembali
menata hidup dan menjalaninya.

g. . Menemukan korban yang berpotensi mengalami histeria dan stres berlebih

Meskipun sama-sama mengalami bencana, tapi reaksi para korban bisa beda-beda. Ada
yang menangis histeris, ada yang stres berlebih, ada yang cuma diem mati rasa. Dampak
besar biasanya dirasakan pada mereka yang berada di dekat lokasi terparah, menyaksikan
kejadian tertentu yang memilukan, atau masih belum ketemu sama keluarganya. Dampak
psikologis yang terjadi adalah kepanikan, histeria, dan stres. Ada yang jadi agresif dan
mengganggu ketertiban, misalnya menyerobot antrean makanan. Kalau reaksi korban ini
berlebih, kepanikan bisa menular dan menyebar. Psikolog, kalo memang ada di lokasi
bencana, bisa memberikan penenangan cepat, atau kalau memang memungkinkan,
dipisahkan dari korban lainnya untuk sementara.

h. Mendata kondisi psikis para penyintas

Kalo kondisi lokasi bencana udah mulai stabil, instansi terkait akan mendata kondisi
kesehatan lanjutan dari para penyintas. Kondisi kesehatan ini nggak hanya fisik tapi
juga psikis.

Ada tiga kondisi psikologis yang muncul pada penyintas bencana:


Respon normal, nggak butuh intervensi khusus

Respon distress sesaat, butuh penanganan pertama psikologis

Respon disfungsi berat, butuh bantuan ahli kejiwaan.

Dari sini nanti bisa keliatan mana yang mengalami depresi, trauma dengan disorientasi, dan
gangguan lainnya. Pendataan ini adalah koordinasi antara Dinas Kesehatan  dengan ikatan
psikologis dan psikiater yang berada di lapangan.

i. Menghibur anak dan trauma healing

Kalo kondisi pengungsian udah stabil dan pengungsi udah beradaptasi, maka saatnya
melakukan trauma healing. Di sini para psikolog dan relawan bisa mulai melakukan
proses penanganan atas trauma yang bisa muncul dari para korban bencana ini. Proses
penanganan ini macem-macem; kalo untuk anak kecil biasanya diajak main, diajak
cerita, atau aktivitas ringan yang menyenangkan lainnya. Kalo untuk orang dewasa
biasanya konseling dan terapi.

j. . Melakukan intervensi dan merujuk ke rumah sakit

Kalo ada yang mengalami gangguan psikologis berat gimana?

Maka di sini psikolog dan psikiater berperan. Psikolog, bila situasi di sana
memungkinkan, bisa melakukan konseling baik berkelompok maupun individu.
Psikiater juga bisa ngasih terapi psikofarmaka alias ngasi obat-obatan.

Seandainya fasilitas dan tenaganya nggak memungkinkan, penyintas dibawa ke rumah


sakit terdekat.

k. Mengedukasi Masyarakat untuk Menerima dan Memaklumi Mereka yang Terdampak


Parah. Misalnya bencana udah lama berlalu. Bantuan mulai berkurang dan orang-orang
mulai melanjutkan hidup. Meskipun sebagian orang mulai bisa tersenyum lagi, ada
sebagian orang yang psikisnya terdampak lebih parah. Ada yang mengalami depresi,
ada yang PTSD, atau traumanya berlebihan.
Bisa aja mereka takut ngeliat gunung, takut ngeliat air gerak, dan semacemnya. Ada
juga yang sifatnya jadi berubah. Mungkin jadi pemarah, ada yang nggak mau ngomong,
ada yang sering linglung, macem-macem.

Nah bisa aja para survivor yang sehat menganggap orang-orang ini aneh atau gila.
Mungkin malah dikucilkan atau diketawain.

Di sini psikolog dan relawan bisa membantu mengedukasi para warga buat memaklumi
dan menerima para penyintas ini. Misalnya menghindari menakut-nakuti mereka, atau
nggak mengucapkan/melakukan sesuatu yang membuat mereka teringat sama bencana
lagi. Sebagian dari penyintas ada juga yang masih mengisolasi diri dan berubah total
setelah bencana.

l. Memberikan Informasi Tentang Dukungan Psikologis Jangka Panjang

Sebagian gangguan psikologis pascabencana justru baru muncul lama setelah kejadian.
PTSD, bisa aja muncul dalam hitungan tahun. Atau ada penyintas yang mungkin butuh
terapi lanjutan dalam jangka waktu lama. Nah, psikolog bisa memberikan bantuan berupa
informasi terkait ketersediaan psikolog atau psikiater dan alamat mereka. Kalo misalnya
para korban bencana diungsikan ke kota lain, korban-korban ini juga bisa dikasi alamat
psikolog atau rumah sakit jiwa yang bisa dihubungi. Terus psikolog di kota ini juga perlu
dikomunikasikan terkait keberadaan para penyintas. Tapi perlu diingat bahwa walaupun
psikolog bisa berperan vital dalam proses recover psikologis penyintas, psikolog tetep
gak boleh bergerak sembarangan. Koordinasi sama dinas dan instansi terkait selalu
diutamain, jadi kalo mau apa-apa ya selalu kasi tau mereka.

 
3. Gangguan psikologis apa saja yang muncul setelah bencana ?

1. Gangguan Depresi

Kehilangan anggota keluarga dan harta benda sangat mungkin menyebabkan seseorang
mengalami depresi. depresi adalah perasaan sedih mendalam dan hilangnya minat ngapa-
ngapain dalam waktu lama. Pada kasus parah mengakibatkan munculnya niat bunuh diri.

Beberapa gejala depresi lainnya adalah:

 Suasana hati (mood) yang depresif: perasaan sedih, menderita, mudah tersinggung
atau gelisah
 Kehilangan minat ngapa-ngapain
 Berkurangnya tenaga, gampang capek, mager
 Gerakan lamban
 Merasa bersalah dan nggak berguna
 Pesismis terhadap masa depan
 Muncul keinginan bunuh diri
 Gangguan tidur
 Berkurangnya nafsu makan

2. Gangguan Kecemasan

Cemas itu wajar, apalagi kalo bencana baru aja terjadi. Kalo gangguan kecemasan akan
terjadi dalam waktu lama. Gangguan kecemasan sendiri adalah kecemasan berlebih
terhadap kejadian yang belum tentu terjadi, dan respon berlebih terhadap kejadian yang ada
saat ini. Gangguan kecemasan sendiri bentuknya bisa macem-macem. Ada fobia, gangguan
panik, gangguan kecemasan sosial, atau kecemasan berpisah. Ada orang yang gangguan
kecemasannya sampe deg-degan dan gemetar. Itu kalo gangguan panik. Pada orang yang
mengalami gangguan kecemasan berpisah, dia takut sendirian. Maunya sama seseorang
yang dia sayang terus.

 
3. Gangguan Stres Pascatrauma (PTSD)

PTSD adalah gangguan stres yang muncul akibat trauma. Trauma ini bisa karena bencana,
kejadian menyakitkan, atau perang. Tapi bisa juga karena seseorang yang disayangi
mendadak meninggal. Yang unik, PTSD nggak muncul dengan segera. PTSD baru muncul
setelah tiga bulan kejadian berlalu. Yang hitungan tahun juga ada. Post-traumatic Stress
Disorder (PTSD) merupakan salah satu jenis gangguan yang paling banyak dialami oleh
korban bencana. PTSD adalah kondisi mental ketika seseorang mengalami serangan panik
yang dipicu oleh trauma pengalaman masa lalu. Mengerikannya bencana alam yang
dialami dapat menjadi salah satu hal yang mungkin membekas di pikiran para korban.
Itulah sebabnya banyak korban bencana alam yang rentan akan gangguan jiwa yang satu
ini. Meski dapat terjadi pada setiap orang, baik pria maupun wanita, dewasa maupun anak-
anak, menurut penelitian, PTSD lebih banyak dialami oleh para wanita. Sebab, wanita
umumnya lebih sensitif terhadap perubahan daripada pria, sehingga mereka akan
mengalami emosi yang lebih intens. Selain wanita, PTSD juga rentan terjadi pada anak-
anak. Jika tidak ditangani dengan baik, akan terbawa hingga usia dewasa.

Gangguan stress pasca trauma (PTSD) merupakan reaksi maladaptif yang


berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis yang dapat diderita berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun. Kondisi demikian akan menurunkan kualitas hidup bagi penderitanya
dalam jangka waktu yang lama. Smith, Segal dan Segal (2008) menjelaskan bahwa PTSD merupakan
gangguan yang terbentuk dari
peritiwa traumatik yang mengancam keselamatan dan membuat penderitanya tidak berdaya. PTSD sering
dialami oleh tentara-tentara di medan perang, korban perkosaaan,korban kecelakaan, dan orang-orang yang
kehilangan rumah, teman, lingkungan hidup akibat dari bencana alam atau musibah lainnya seperti
kebakaran,
dan kerusakan akibat terorisme. Gejala-gejala yang dialami oleh penderita PTSD ( meliputi: 1). merasakan
kembali peritiwa traumatik dalam bentuk pikiran atau ingatan tidak menyenangkan tentang kejadian,
mengalami mimpi buruk, dan mengalami perasaan menderita yang kuat saat mengingat kejadian traumatik,
2). menunjukkan gejala menghindar, terdiri atas usaha-usaha yang kuat untuk menghindari pikiran, perasaan
atau pembicaraan mengenai kejadian traumatik, menghindari tempat-tempat yang mengingatkan akan
trauma,
kehilangan ketertarikan atas aktivitas-aktivitas positif, mengalami mati rasa emosional dan sulit untuk
merasakan kesenangan atau kebahagiaan, dan 3) gejala Hyperarousal yang ditandai dengan kesulitan tidur,
gelisah, sulit berkonsentrasi, mudah marah dan mengalami kebingungan (Koentara, 2014, online). Beberapa
terapi dapat diberikan untuk mengatasi PTSD ini antara lain terapi perilaku, terapi cognitive
behavioral (CBT), hipnoterapi, manajemen stress,

Untuk gejala gangguan stres pascatrauma yang sering dialami korban bencana, antara lain:

 Potongan peristiwa muncul di pikiran


 Menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan bencana, kayak benda atau kata-kata
tertentu
 Slow response
 Berkurangnya minat beraktivitas
 Gangguan tidur
 Susah konsentrasi
 Diagnosis ini hanya ditegakkan bila gejala di atas dirasakan lebih dari satu bulan.

4. Campuran Kecemasan dan Depresi

Buku Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Akibat Bencana menuliskan bahwa


masyarakat yang tertimpa bencana punya kemungkinan mengalami kecemasan dan depresi
sekaligus. Kadangkala gangguan ansietas dan depresi dapat terjadi pada waktu yang sama
memberikan tanda dan gejala dari kedua gangguan tersebut.

5. Gangguan Penyesuaian

Gangguan penyesuaian adalah reaksi dari ketidakmampuan beradaptasi terhadap bencana.


Gangguan ini juga muncul setelah kehidupan berubah drastis pascabencana, misalnya
kehilangan seluruh keluarga, hartanya habis, dan lain-lain. Gangguan ini terjadi selama 3
bulan dari waktu bencana. Pada sebagian orang gejalanya berangsur menghilang seiring
mampunya beradaptasi, tapi ada juga yang menetap.

Tanda dari gangguan beradaptasi, antara lain:

 Sedih yang mendalam


 Menangis terus menerus
 Kehilangan harapan hidup
 Kecemasan yang dibarengi sesak nafas atau tersengal-sengal
 Nggak kooperatif seperti: merusak, menyerobot antrian, berkendara ugal-ugalan,
ribut dengan orang lain
 Susah diajak untuk ikut bekerja
 Menarik diri, nggak mau diajak ngobrol. Tapi ini tidak khusus pada semua orang. 

6. Gangguan Somatoform

Gangguan somatoform adalah jenis gangguan fisik tapi disebabkan pikiran/kejiwaan.

Misalnya sakit kepala atau kejang-kejang, padahal sebelumnya nggak ada riwayat kejang-
kejang. Gejala sakit fisik ini nggak menentu. Ganti-ganti, tapi penyebabnya satu: pikiran.
Jadi psikosomatis ini bisa muncul dalam berbagai keluhan, tapi saat diperiksa secara fisik
ya sehat-sehat aja.

Gangguan somatoform termasuk:

 Gangguan konversi: mendadak buta, tuli, atau lumpuh. Diperiksa pun secara fisik
sehat.
 Hypokondriasis: Percaya kalo gejala yang dialami adalah sakit serius. Misalnya
bentol digigit nyamuk dikira kanker.
 Gangguan Somatisasi: Mudah capek, mens nggak teratur, sakit kepala.

7. Gangguan Psikotik

Gangguan psikotik adalah gangguan kejiwaan yang menyebabkan pikiran dan persepsi jadi
nggak normal. Orang dengan gangguan psikotik kehilangan pijakan terhadap kenyataan.
Jadi yaaa selalu berhalusinasi dan delusi. Seolah-olah dia ngeliat ada sesosok tua di tengah
laut, atau dia bilang “dibisikin” kalo dalam waktu dekat ada bencana yang lebih besar.

Gejala lain pada psikotik akut, antara lain:

 Halusinasi (sensasi atau bayangan yang salah, misalnya mendengar suara-suara


atau melihat orang yang gak ada)
 Waham (ide atau keyakinan ngawur yang dipertahankan)
 Gangguan proses pikir: ngomong ngelantur dan menghubungkan sesuatu sebagai
tanda gaib
 Menarik diri dari lingkungan sosial, selalu curiga.

8. Gangguan Prenatal/Prakelahiran (UPDATE)

Sebuah penelitian terbaru dalam Biological Psychology menemukan bahwa depresi


prakelahiran pada ibu hamil dapat semakin besar ketika ibu tersebut mengalami bencana.
Terus juga depresi prenatal/prakelahiran ini bisa mempengaruhi kemampuan fight-or-flight
anak, saat anak tersebut lahir dan tumbuh besar. Perlu diingat bahwa fight-or-flight
response adalah sebuah respon yang dimiliki seseorang saat menghadapi bahaya.
Kemampuan respon fight-or-flight rendah menyebabkan resiko depresi dan attention-
deficit hyperactivity disorder (ADHD) jadi lebih besar.” Meski dampak ini nggak bisa
langsung terlihat, tapi sebaiknya ibu-ibu hamil yang menjadi penyintas bencana perlu
mendapatkan perlakuan dan penenangan khusus, dan kondisi mentalnya terus diawasi, jadi
memperkecil kemungkinan mengalami depresi prenatal. Untuk penanganan gangguan-
gangguan tadi bergantung sama kesiapan tenaga ahli di lokasi. Kalo psikiater ada di lokasi
sih dikasi obat-obatan. Kalo dirasa kesulitan menangani, bisa dipindah ke rumah sakit
terdekat.

 gangguan tidur, depresi, gampang marah, dan hipersensitif.

4. Sebutkan gejala depresi pasca bencana

Beberapa gejala depresi lainnya adalah:

Suasana hati (mood) yang depresif: perasaan sedih, menderita, mudah tersinggung atau gelisah

Kehilangan minat ngapa-ngapain

Berkurangnya tenaga, gampang capek, mager

Gerakan lamban
Merasa bersalah dan nggak berguna

Pesismis terhadap masa depan

Muncul keinginan bunuh diri

Gangguan tidur

Berkurangnya nafsu makan

Selamat mengerjakan

Anda mungkin juga menyukai