NBI : 1511700203
Jawaban :
· Berkomunikasi dengan korban dengan baik, sapa mereka dan buat kesan pertama yang
positif.
· Tataplah wajah dan mata lawan bicara dengan lembut untuk memperlihatkan perhatian
secara tulus.
· Memberikan kebebasan kepada korban untuk menampilkan diri sebagai orang yang tidak
sempurna.
· Serta mengulang kembali apa yang diungkap oleh korban, agar terkesan serius.
Menurut Prof. Koentjoro, modal menjadi Psikolog atau ilmuwan psikologi yang baik dan dapat
mengatasi kebencanaan meliputi SMEPPPA
Empati
Peka à Mampu membaca symbol dan tanda (rasa dan bahasa). Pada saat ini pendidikan
umumnya hanya berupa tuntutan tanpa tersentuh rasa.
Peduli
Tidak sedikit korban bencana alam merasa putus asa dan terpuruk, misalnya yang dialami oleh
korban Gempa Yogyakarta pada tahun 2006. Mereka kehilangan tempat tinggal, keluarga, harta
benda dan berbagai hal yang dimilikinya. Mereka seakan-akan berdiri di tanah yang tidak bisa
dipijak, hampa dan penuh kekosongan. Banyak dari mereka yang tidak tahu harus berbuat apa.
Oleh karena itu, PFA ini dilakukan agar mengurangi risiko terdampak bencana pada aspek
psikologis. Sebab, kondisi psikologis para korban juga dapat mempengaruhi cepat lambatnya
proses healing pasca bencana.
2. Meningkatkan Self-Healing
PFA dapat membantu seseorang untuk dapat menyembuhkan dirinya sendiri dari dalam. Self-
healing ini dilakukan dengan memberi dorongan kepada korban untuk bisa memahami keadaan
yang telah terjadi. Setelah memahami keadaan yang terjadi, korban bencana juga dibantu untuk
menerima peristiwa yang telah terjadi.
3. Membangun Harapan
Harapan adalah perasaan yang sangat penting bagi para korban terdampak bencana. Satu-satunya
tongkat yang membantunya untuk bangkit adalah memiliki harapan untuk tetap melanjutkan
kehidupan, apapun keadaannya. Di sinilah pentingnya PFA dalam membangun harapan bagi para
korban. Memberikan pelukan yang hangat untuk setiap tangisan yang mereka curahkan.
Menemani para korban agar sembuh dari luka-luka yang menyakitkan atas peristiwa traumatis
yang dilaluinya.
Terus juga mengklarifikasi info/isu yang simpang siur. Kadang orang abis kena bencana
kan panik. Ntar dikait-kaitkan sama kejadian tertentu.
Psikolog cocok di bagian ini, karena biasa menghadapi orang-orang yang lagi panik dan
kebingungan.
Sebagian daerah dan agama punya ritual khusus dalam mengurus jenazah. Bentuk
bantuan psikologis di bagian ini yaaa memberikan kesempatan untuk prosesi adat.
Sebagian relawan yang beragama/suku yang sama akan ikut dalam prosesnya. Itu
ngebantuu banget.
d. Mendengarkan kekhawatiran keluarga korban
Bencana gak hanya berdampak pada mereka yang ada di lokasi, namun juga orang-
orang di luarnya. Biasanya kerabat dari para korban, orang asli sana tapi kebetulan lagi
keluar kota, dan lain sebagainya. Meskipun mereka nggak merasakan langsung, putusnya
komunikasi dengan para korban pasti bikin mereka bingung apa yang harus dilakuin. Itu
pasti bikin mereka khawatir juga. Belum lagi kabar rumah dan harta benda mereka di
sana yang simpang siur. Di sini, psikolog yang nggak berada di lokasi bencana bisa
membantu juga. Psikolog ada yang dateng ke pusat informasi terkait bencana, terus
memberikan penenangan pada para korban tak langsung tersebut.
Dulu, waktu peristiwa Air Asia tenggelam di perairan Laut Jawa, para psikolog dari
Himpsi Jatim ikut ngasi bantuan penenangan pada para kerabat penumpang. Mereka
mendatangi information center di Bandara Juanda terus menenangkan para kerabat yang
masih panik dan histeris. Para psikolog ini mendengarkan kekhawatiran para kerabat
penumpang pesawat, ngasi air minum, terus (kalo kerabat korban itu ngebolehin)
mengelus pundak mereka, dan membimbing mereka untuk berdoa. Walaupun sekilas
kayaknya kok nggak penting, tapi ini adalah upaya pencegahan kekhawatiran
berkembang jadi panik, yang bisa jadi histeria. Mencegah kepanikan ini bisa
mempercepat proses recover mental dari para kerabat korban, jadi mengurangi
kemungkinan trauma juga.
Para korban pasti nggak biasa lah ya tidur di tenda pengungsian. Mereka mungkin biasa
tidur di kasur empuk, dengan space pribadi yang luas. Sekarang mereka harus tidur sama-
sama orang yang mungkin nggak mereka kenal. Tenda pengungsian pun mungkin nggak
senyaman rumah mereka. Berhubung lingkungan ini baru, penyesuaian diri ini bisa bikin
stres juga. Nah, di sinilah tugas lain dari psikolog; membantu korban menyesuaikan diri
di lingkungan baru. Penyesuaian ini bisa berupa mencarikan korban posisi tempat
istirahat yang pas, bisa juga mencarikan “tetangga” pengungsi dari tempat asal yang
berdekatan. Pengungsi juga mungkin punya kebutuhan tertentu karena trauma, atau
karena punya kondisi kejiwaan yang sudah ada sebelum bencana. Psikolog juga bisa
dimintai pertimbangan untuk penanganan semacam ini.
Meskipun sama-sama mengalami bencana, tapi reaksi para korban bisa beda-beda. Ada
yang menangis histeris, ada yang stres berlebih, ada yang cuma diem mati rasa. Dampak
besar biasanya dirasakan pada mereka yang berada di dekat lokasi terparah, menyaksikan
kejadian tertentu yang memilukan, atau masih belum ketemu sama keluarganya. Dampak
psikologis yang terjadi adalah kepanikan, histeria, dan stres. Ada yang jadi agresif dan
mengganggu ketertiban, misalnya menyerobot antrean makanan. Kalau reaksi korban ini
berlebih, kepanikan bisa menular dan menyebar. Psikolog, kalo memang ada di lokasi
bencana, bisa memberikan penenangan cepat, atau kalau memang memungkinkan,
dipisahkan dari korban lainnya untuk sementara.
Kalo kondisi lokasi bencana udah mulai stabil, instansi terkait akan mendata kondisi
kesehatan lanjutan dari para penyintas. Kondisi kesehatan ini nggak hanya fisik tapi
juga psikis.
Dari sini nanti bisa keliatan mana yang mengalami depresi, trauma dengan disorientasi, dan
gangguan lainnya. Pendataan ini adalah koordinasi antara Dinas Kesehatan dengan ikatan
psikologis dan psikiater yang berada di lapangan.
Kalo kondisi pengungsian udah stabil dan pengungsi udah beradaptasi, maka saatnya
melakukan trauma healing. Di sini para psikolog dan relawan bisa mulai melakukan
proses penanganan atas trauma yang bisa muncul dari para korban bencana ini. Proses
penanganan ini macem-macem; kalo untuk anak kecil biasanya diajak main, diajak
cerita, atau aktivitas ringan yang menyenangkan lainnya. Kalo untuk orang dewasa
biasanya konseling dan terapi.
Maka di sini psikolog dan psikiater berperan. Psikolog, bila situasi di sana
memungkinkan, bisa melakukan konseling baik berkelompok maupun individu.
Psikiater juga bisa ngasih terapi psikofarmaka alias ngasi obat-obatan.
Nah bisa aja para survivor yang sehat menganggap orang-orang ini aneh atau gila.
Mungkin malah dikucilkan atau diketawain.
Di sini psikolog dan relawan bisa membantu mengedukasi para warga buat memaklumi
dan menerima para penyintas ini. Misalnya menghindari menakut-nakuti mereka, atau
nggak mengucapkan/melakukan sesuatu yang membuat mereka teringat sama bencana
lagi. Sebagian dari penyintas ada juga yang masih mengisolasi diri dan berubah total
setelah bencana.
Sebagian gangguan psikologis pascabencana justru baru muncul lama setelah kejadian.
PTSD, bisa aja muncul dalam hitungan tahun. Atau ada penyintas yang mungkin butuh
terapi lanjutan dalam jangka waktu lama. Nah, psikolog bisa memberikan bantuan berupa
informasi terkait ketersediaan psikolog atau psikiater dan alamat mereka. Kalo misalnya
para korban bencana diungsikan ke kota lain, korban-korban ini juga bisa dikasi alamat
psikolog atau rumah sakit jiwa yang bisa dihubungi. Terus psikolog di kota ini juga perlu
dikomunikasikan terkait keberadaan para penyintas. Tapi perlu diingat bahwa walaupun
psikolog bisa berperan vital dalam proses recover psikologis penyintas, psikolog tetep
gak boleh bergerak sembarangan. Koordinasi sama dinas dan instansi terkait selalu
diutamain, jadi kalo mau apa-apa ya selalu kasi tau mereka.
3. Gangguan psikologis apa saja yang muncul setelah bencana ?
1. Gangguan Depresi
Kehilangan anggota keluarga dan harta benda sangat mungkin menyebabkan seseorang
mengalami depresi. depresi adalah perasaan sedih mendalam dan hilangnya minat ngapa-
ngapain dalam waktu lama. Pada kasus parah mengakibatkan munculnya niat bunuh diri.
Suasana hati (mood) yang depresif: perasaan sedih, menderita, mudah tersinggung
atau gelisah
Kehilangan minat ngapa-ngapain
Berkurangnya tenaga, gampang capek, mager
Gerakan lamban
Merasa bersalah dan nggak berguna
Pesismis terhadap masa depan
Muncul keinginan bunuh diri
Gangguan tidur
Berkurangnya nafsu makan
2. Gangguan Kecemasan
Cemas itu wajar, apalagi kalo bencana baru aja terjadi. Kalo gangguan kecemasan akan
terjadi dalam waktu lama. Gangguan kecemasan sendiri adalah kecemasan berlebih
terhadap kejadian yang belum tentu terjadi, dan respon berlebih terhadap kejadian yang ada
saat ini. Gangguan kecemasan sendiri bentuknya bisa macem-macem. Ada fobia, gangguan
panik, gangguan kecemasan sosial, atau kecemasan berpisah. Ada orang yang gangguan
kecemasannya sampe deg-degan dan gemetar. Itu kalo gangguan panik. Pada orang yang
mengalami gangguan kecemasan berpisah, dia takut sendirian. Maunya sama seseorang
yang dia sayang terus.
3. Gangguan Stres Pascatrauma (PTSD)
PTSD adalah gangguan stres yang muncul akibat trauma. Trauma ini bisa karena bencana,
kejadian menyakitkan, atau perang. Tapi bisa juga karena seseorang yang disayangi
mendadak meninggal. Yang unik, PTSD nggak muncul dengan segera. PTSD baru muncul
setelah tiga bulan kejadian berlalu. Yang hitungan tahun juga ada. Post-traumatic Stress
Disorder (PTSD) merupakan salah satu jenis gangguan yang paling banyak dialami oleh
korban bencana. PTSD adalah kondisi mental ketika seseorang mengalami serangan panik
yang dipicu oleh trauma pengalaman masa lalu. Mengerikannya bencana alam yang
dialami dapat menjadi salah satu hal yang mungkin membekas di pikiran para korban.
Itulah sebabnya banyak korban bencana alam yang rentan akan gangguan jiwa yang satu
ini. Meski dapat terjadi pada setiap orang, baik pria maupun wanita, dewasa maupun anak-
anak, menurut penelitian, PTSD lebih banyak dialami oleh para wanita. Sebab, wanita
umumnya lebih sensitif terhadap perubahan daripada pria, sehingga mereka akan
mengalami emosi yang lebih intens. Selain wanita, PTSD juga rentan terjadi pada anak-
anak. Jika tidak ditangani dengan baik, akan terbawa hingga usia dewasa.
Untuk gejala gangguan stres pascatrauma yang sering dialami korban bencana, antara lain:
5. Gangguan Penyesuaian
6. Gangguan Somatoform
Misalnya sakit kepala atau kejang-kejang, padahal sebelumnya nggak ada riwayat kejang-
kejang. Gejala sakit fisik ini nggak menentu. Ganti-ganti, tapi penyebabnya satu: pikiran.
Jadi psikosomatis ini bisa muncul dalam berbagai keluhan, tapi saat diperiksa secara fisik
ya sehat-sehat aja.
Gangguan konversi: mendadak buta, tuli, atau lumpuh. Diperiksa pun secara fisik
sehat.
Hypokondriasis: Percaya kalo gejala yang dialami adalah sakit serius. Misalnya
bentol digigit nyamuk dikira kanker.
Gangguan Somatisasi: Mudah capek, mens nggak teratur, sakit kepala.
7. Gangguan Psikotik
Gangguan psikotik adalah gangguan kejiwaan yang menyebabkan pikiran dan persepsi jadi
nggak normal. Orang dengan gangguan psikotik kehilangan pijakan terhadap kenyataan.
Jadi yaaa selalu berhalusinasi dan delusi. Seolah-olah dia ngeliat ada sesosok tua di tengah
laut, atau dia bilang “dibisikin” kalo dalam waktu dekat ada bencana yang lebih besar.
Suasana hati (mood) yang depresif: perasaan sedih, menderita, mudah tersinggung atau gelisah
Gerakan lamban
Merasa bersalah dan nggak berguna
Gangguan tidur
Selamat mengerjakan