Anda di halaman 1dari 16

Patofisiologi

Mekanisme cedera otak merupakan hal yang bersifat kompleks, bervariasi, dan belum sepenuhya dipahami.
Trauma mekanik, iskemia, kerusakan energi seluler, cedera reperfusi eksitotoksin, edema, cedera vaskuler, dan
cedera yang menginduksi apoptosis, merupakan factor-faktor yang berpengaruh pada hampir semua cedera otak
akut (Banasik, 2005).
Berdasarkan aspek fisiologis, cedera kepala berkaitan dengan beberapa hal sebagai
berikut:
a. Tekanan intracranial
Berbagai proses patologi pada otak dapat meningkatkan tekanan intracranial yang
selanjutnya dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap
penderita. Tekanan intracranial yang tinggi dapat menimbulkan konsekwensi yang
mengganggu fungsi otak. TIK Normal kira-kira sebesar 10 mmHg, TIK lebih tinggi
dari 20mmHg dianggap tidak normal. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala,
semakin buruk prognosisnya (American College of Surgeon,1997).
b. Hukum Monroe-Kellie
Konsep utama Volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat dasar dari
tulang tengkorak yang tidak elastik. Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan
jumlah total volume komponen-komponennya yaitu volume jaringan otak (V br),
volume cairan serebrospinal (V csf) dan volume darah (Vbl) (American College of
Surgeon,1997).
Vic = V br+ V csf + V bl
c. Tekanan Perfusi otak
Tekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata-rata (mean arterial
presure) dengan tekanan intrakranial. Apabila nilai TPO kurang dari 70mmHg akan
memberikan prognosa yang buruk bagi penderita(American College of Surgeon,1997).
d. Aliran darah otak (ADO)
ADO normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak permenit. Bila ADO menurun
sampai 20-25ml/100 gr/menit maka aktivitas EEG akan menghilang. Apabila ADO
sebesar 5ml/100 gr/menit maka sel-sel otak akan mengalami kematian dan kerusakan
yang menetap (American College of Surgeon,1997).
Menurut Kasan (2000), mekanisme cedera otak dibagi menjadi:
a. Secara Statis (Static Loading)
Cedera otak timbul secara lambat, lebih lambat dari 200 milisekon. Tekanan pada
kepala terjadi secara lambat namun terus menerus sehingga timbul kerusakan berturut-
turut mulai dari kulit, tengkorak dan jaringan otak. Keadaan seperti ini sangat jarang
terjadi (Kasan, U., 2000).
b. Secara Dinamik (Dynamic Loading)
c. Cedera kepala timbul secara cepat, lebih cepat dari 200 milisekon, berbentuk impulsif
dan / atau impak (Kasan, U., 2000).

1) Impulsif (Impulsif Loading)


Trauma tidak langsung membentur kepala, tetapi terjadi pada waktu kepala
mendadak bergerak atau gerakan kepala berhenti mendadak, contoh : pukulan
pada tengkuk atau punggung akan menimbulkan gerakan fleksi dan ekstensi
dari kepala yang bisa menyebabkan cedera otak (Kasan, U., 2000).
2) Impak (Impact Loading)
Trauma yang langsung membentur kepala dapat menimbulkan 2 bentuk impak:
Kontak / benturan langsung (contact injury)
Trauma yang langsung mengenai kepala dapat menimbulkan kelainan :
- Lokal, seperti fraktur tulang kepala, perdarahan ekstradura dan coup
kontusio
- Jauh (remote effect), seperti fraktur dasar tengkorak dan fraktur di luar
tempat trauma
- Memar otak contra coup dan memar otak intermediate disebabkan oleh
gelombang kejut (shock wave), dimana gelombang atau getaran yang
ditimbulkan oleh pukulan akan diteruskan di dalam jaringan otak (Kasan,
U., 2000).
Inersial (Inertial injury)
Karena perbedaan koefisien (massa) antara jaringan otak dengan tulang,
maka akan terjadi perbedaan gerak dari kedua jaringan (akselerasi dan
deselerasi) yang dapat menyebabkan gegar otak, cedera akson difus (diffuse
axonal injury), perdarahan subdural, memar otak yang berbentuk coup, contra
coup, dan intermediate (Kasan, U., 2000).
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan sekunder.
a. Cedera primer
Merupakan cedera akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun proses akselerasi deselerasi dari
gerakan kepala (Japardi, 2004). Pada tahap ini, kerusakan otak awal terjadi segera
pada saat benturan berupa cedera neural, cedera glial primer, dan respon vaskuler,
dimana hal ini dapat menyebabkan laserasi kulit kepala, fraktur tulang tengkorak,
kontusi, perdarahan pungtat, perdarahan subarachnoid dan cedera aksonal difus
(Banasik, 2005).
b. Cedera sekunder
Merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai
tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, dimana hal ini dapat berkembang dalam
waktu beberapa hari sampai minggu. berupa perdarahan, edema otak, kerusakan
neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi(Japardi, 2004).
Mekanisme kerusakan otak pada cedera otak
Bila terjadi benturan, sebagian tenaga benturan akan diserap atau dikurangi oleh unsur
pelindung kepala yaitu kulit kepala dan tengkorak. Sebagian tenaga benturan dihantarkan ke
tengkorak yang relatif memiliki elastisitas, yakni tengkorak mampu sedikit melekuk ke arah
dalam. Tekanan maksimal terjadi pada saat benturan dan beberapa milidetik kemudian diikuti
dengan getaran-getaran yang berangsur mengecil hingga reda. Pukulan yang lebih kuat akan
menyebabkan terjadinya deformitas tengkorak dengan lekukan yang sesuai dengan arah
datangnya benturan dimana besarnya lekukan sesuai dengan sudut datangnya arah benturan.
Bila lekukan melebihi batas toleransi jaringan tengkorak, tengkorak akan mengalami fraktur.
Fraktur tengkorak dapat berbentuk sebagai garis lurus, impresi / depresi, diastase sutura atau
fraktur multiple disertai fraktur dasar tengkorak (Kasan, U., 2000).
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera
primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya
disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang
disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi
solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari
muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur
permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).
Benturan pada bagian depan (frontal), otak akan bergerak dari arah antero-posterior,
sebaliknya pada pukulan dari belakang (occipital), otak bergerak dari arah postero-anterior
sedangkan pukulan di daerah puncak kepala (vertex), otak bergerak secara vertikal. Gerakan-
gerakan tersebut menyebabkan terjadinya coup dan contra coup (Japardi, 2004).

Gambar 1. Lesi coup dan lesi countercoup.Sumber : Japardi, 2004


Cedera pada otak disebabkan oleh transfer energi pada tengkorak dan struktur di
dalamnya. Perbedaan massa dari jaringan otak dan dari tulang kepala menyebabkan perbedaan
percepatan getaran berupa akselerasi, deselerasi dan rotasi. Cedera akselerasi deselerasi dapat
menyebabkan disrupsi dari jaringan otak (laserasi dan atau kontusi), cedera aksonal difus, atau
keduanya. Pada cedera tumpul, dorongan akselerasi-deselerasi angular menyebabkan
timbulnya strain (gaya) yang terbagi secara merata pada parenkim otak, dimana hal ini
bertanggung jawab pada terjadinya cedera aksonal difus. Tanda fisiologis dari terjadinya
cedera otak difus adalah hilangnya kesadaran (Moulton, 2000).
Bila terjadi benturan, akan timbul gelombang kejut (shock wave) yang akan
diteruskan melalui massa jaringan otak dan tulang. Gelombang tersebut menimbulkan tekanan
pada jaringan, dan bila tekanan cukup besar akan menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan
otak melalui proses pemotongan dan robekan. Kerusakan yang ditimbulkan dapat berupa:
“Intermediate coup”, contra coup, cedera akson yang difus disertai perdarahan intraserebral
(Japardi, 2004; Kasan, U., 2000).
Perbedaan percepatan akan menimbulkan tekanan positif di tempat benturan dan
tekanan negatif di tempat yang berlawanan pada saat terjadi benturan. Kemudian disusul
dengan proses kebalikannya, yakni terjadi tekanan negatif di tempat benturan dan tekanan
positif di tempat yang berlawanan dengan akibat timbulnya kavitasi yang menimbulkan
kerusakan pada jaringan otak (lesi coup dan contra coup) (Kasan, U., 2000).

Primary brain injury

secondary brain injury

Gambar 2. Patofisiologi cedera otak

Sumber : Kasan, U., 2000


Cedera Primer

Cedera primer disebabkan oleh kekuatan eksternal pada kepala yang menimbulkan
kerusakan jaringan di luar toleransi strukturalnya. Cedera primer ini dapat berlanjut pada
kerusakan yang irreversibel akibat disrupsi sel, bergantung pada mekanisme dan keseriusan
dari kejadian tersebut. Trauma kepala dapat mengakibatkan kerusakan pada kulit kepala,
tulang tengkorak dan otak. Laserasi kulit kepala, dapat menyebabkan perdarahan yang
signifikan tetapi pada hampir semua kasus, hemostasis dapat terjadi dengan mudah. Fraktur
dapat dikelompokkan menjadi fraktur linier, depresi, campuran, atau melibatkan dasar
tengkorak. Fraktur tulang tengkorak depresi terjadi saat tabula eksterna dari tengkorak
mengalami depresi atau penurunan di bawah tabula interna dan dapat menyebabkan robeknya
dura atau laserasi otak. Fraktur dasar tengkorak dapat terjadi akibat trauma tumpul yang berat
pada daerah frontal atau occiput, dan didiagnosis dengan penemuan klinik dari adanya
ekimosis periorbital (raccoon eyes), ekimosis pada daerah postaurikuler (Battle’s sign),
hemotimpanum, atau kebocoran cairan cerebrospinal. Pasien dengan fraktur tulang tengkorak
memiliki risiko yang tinggi untuk terjadinya hematom intrakranial yang tertunda, dan harus
diobservasi dalam waktu 12-24 jam setelah cedera awal(Lycette, 2003; Cohen, 2005).

a) Konkusi
Konkusi merupakan kehilangan fungsi neurologik sentral yang sifatnya segera,
terjadi tiba-tiba, dan tanpa disertai sekuel yang diakibatkan oleh trauma
kraniocerebral. Karakteristiknya adalah hilangnya kesadaran, amnesia sementara
(hilangnya memori), konfusi, disorientasi, perubahan visual, disfungsi otonom, sakit
kepala, tinitus, dan iritabilitas dengan derajat yang bervariasi, tanpa adanya
abnormalitas cerebral yang bermakna (tidak disertai adanya kerusakan patologis pada
otak)(Lycette, 2003; Newton, 2006).
b) Kontusi cerebral
Kontusi cerebral merupakan area yang mengalami kerusakan pada parenkim
otak dan dapat menimbulkan defisit neurologis bergantung pada lokasi anatominya.
Kontusi dihubungkan dengan disrupsi dari sawar darah otak dan dapat disertai
penyulit berupa perluasan dari perdarahan yang terjadi, pembentukan edema, atau
kejang. Kontusi yang besar dapat menimbulkan efek massa yang menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi otak. Hal ini mengakibatkan perubahan
pada fungsi perhatian, memori, afek, emosi, dan tingkah laku (Vender, 2002; Lycette,
2003).
Kontusi biasanya bersifat lokal dan dihubungkan dengan adanya perdarahan,
edema, dan nekrosis. Kontusi dapat dibagi menjadi dua kelompok. Kontusi coup lebih
berat pada jaringan otak dibawah lokasi benturan dan biasanya berhubungan dengan
cedera akselerasi. Kontusi countrecoup berlokasi pada permukaan otak yang
berlawanan dengan lokasi trauma dan dihubungkan dengan cedera deselerasi. Kontusi
traumatik juga dihubungkan dengan kejadian hematom intracerebral superfisial.
Edema yang terjadi di sekitar kontusi merupakan jenis vasogenik. Edema vasogenik
umumnya terjadi pada substansi alba, dan merupakan akibat dari adanya destruksi
jaringan dan disrupsi sawar darah otak. Perdarahan yang terjadi pada otak dapat
bersifat fokal atau multifokal. Hematom intracerebral juga dapat terjadi pada lobus
frontal dan temporal, dan kadang muncul sebagai perluasan perdarahan dari kontusi.
Lokasi terjadinya kontusi yang kurang sering ditemukan adalah pada fossa posterior
dan ganglia basalis (Vender, 2002).
c) Hematom intrakranial
Perdarahan intrakranial ini, yang mungkin membutuhkan evakuasi melalui
tindakan operasi, bergantung pada ukuran dan lokasinya. Perdarahan intrakranial
dapat menyebabkan efek massa dimana dapat hal ini dapat menimbulkan peningkatan
tekanan intrakranial dan herniasi otak disertai kompresi struktur otak yang vital
(Vender, 2002).
 Hematom epidural
Sumber perdarahan berasal dari arteri (85%) dan akibat dari cedera pada
vena meningea atau dura sinus (15%). Mayoritas hematom epidural terjadi pada
daerah temporal atau parietal, tetapi juga dapat terjadi pada lobus frontal atau
oksipital. Fossa temporalis merupakan lokasi yang paling sering dari hematom
ekstradural yang disebabkan oleh cedera pada arteri dan vena meningea media.
Lesi ini umumnya diakibatkan oleh fraktur tulang tengkorak dan laserasi
pembuluh darah meningeal, paling sering pada cabang posterior dari arteri
meninga media. Hal ini dapat terjadi setelah terjadinya cedera benturan dengan
kecepatan rendah. Karena dura melekat dengan erat pada tabula interna dari
tulang tengkorak, maka hematom yang terjadi biasanya memiliki konfigurasi
lentiformis homogen. Lobus temporal dapat bergeser ke medial, mempresipitasi
herniasi girus uncal dan hippocampal melalui celah tentorial. Pada area
suboccipital dapat mengakibatkan herniasi dari isi fossa posterior melalui
foramen mágnum (Lycette, 2003; Vender, 2002).
Pada hematom epidural bentuk klasik, pasien yang mengalami
kehilangan kesadaran akibat konkusi awal, secara perlahan dapat pulih dalam
waktu beberapa menit, dan memasuki lucid interval dimana pasien relatif tidak
mengalami gejala (asimtomatik) dengan hasil pemeriksaan neurologik yang
normal. Selama interval ini, akumulasi dari darah arteri pada ruang epidural,
kadang dapat menyebabkan kompresi dan pergesaran otak dari garis tengah.
Proses ini diikuti oleh penurunan level kesadaran dan tanda herniasi pada pupil
dan motorik pasien(Newton, 2006).
 Hematom subdural
Hematom subdural akut dapat berkembang dengan cepat, biasanya timbul
dalam 3 hari pertama setelah cedera. Hematom subdural kronik umumnya
ditemukan pada orang berumur tua dan orang dengan penyalahgunaan alkohol
yang mengalami kondisi atrofi otak dengan konsekuensi penambahan pada
ruang ekstradural, sehingga perkembangannya dapat berlangsung dalam waktu
setelah 3 minggu. Adanya robekan dari vena penghubung (bridging vein) dapat
menyebabkan timbulnya hematom subdural yang bersifat akut maupun subakut.
Hematom subdural ini, berperan seperti massa yang sifatnya makin meluas, dan
dapat menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial, sehingga juga dapat
menyebabkan herniasi. Hematom subdural juga dapat disebabkan oleh robeknya
pembuluh darah kortikal seperti vena penghubung yang berjalan dari korteks
menuju sinus sagital superior. Hal ini umumnya disertai dengan cedera lain
seperi kontusi cerebral, dan memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan
hematom epidural. Karena tidak berhubungan dengan perlekatan dura, maka
perdarahan biasanya meluas secara difus pada permukaan korteks (Lycette,
2003; Boss, 2004).
 Hematom subarachnoid
Perdarahan subarachnoid paling sering disebabkan oleh trauma
kranicerebral. Perdarahan subarachnoid sendiri biasanya tidak menyebabkan
kerusakan neurologik, tetapi hidrocephalus dan vasospasme cerebral, yang
merupakan komplikasi lambat biasanya terlihat beberapa hari atau minggu
setelah terjadinya perdarahan. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa
perdarahan subarachnoid akibat trauma dapat menyebabkan vasospasme
cerebral yang signifikan yang dapat diukur melalui peningkatan kecepatan
aliran pada evaluasi Doppler transkranial. Perdarahan subarachnoid traumatik
cenderung terdistribusi pada konveksitas otak, dan juga dapat terjadi pada basal,
intrasilvial, dan intraventrikular (Lycette, 2003; Vender, 2002).
 Hematom intracerebral
Hematom intracerebral terjadi pada 2-3% orang yang mengalami cedera
kepala, dapat bersifat tunggal atau multipel, dan juga dapat disertai kontusi
otak. Meskipun paling sering terjadi pada lobus frontal atau temporal, hematom
ini juga dapat terjadi pada substansi alba dari bagian dalam hemisfer otak.
Pembuluh darah yang kecil mengalami trauma akibat cedera penetrasi atau
benturan dengan tenaga yang besar. Selanjutnya hematom intracerebral
berperan seperti massa yang makin meluas, dapat meningkatkan tekanan
intrakranial, menimbulkan kompresi jaringan otak, dan menyebabkan koma.
Hematom intracerebral yang tertunda dapat terjadi dalam waktu 3-10 hari
setelah kejadian cedera kepala (Boss, 2004).
 Cedera aksonal difus
Cedera aksonal difus menggambarkan kerusakan otak dimana terjadi
disrupsi dari proyeksi akson neuronal pada substansi alba cerebral, dan
terjadi pada pasien yang mengalami kehilangan kesadaran segera atau
menjadi koma pada saat terjadinya trauma kepala. Akibat adanya
perbedaan gradien akselerasi pada beberapa area di otak selama
terjadintya benturan primer, maka dapat terjadi efek kekuatan yang
tersebar pada perhubungan substansi alba dengan grissea, corpus
callosum, atau batang otak. Akibat dari kekuatan ini adalah robekan difus
dari akson-akson dan pembuluh darah kecil. Cedera aksonal difus
merupakan akibat dari efek kocokan (efek inersia dari input mekanik
pada kepala yang berhubungan dengan level akselerasi dan deselerasi
yang tinggi, efek gerakan kepala). Akselerasi rotasional (gerakan
memutar) merupakan mekanisme primer cedera, yang menimbulan
adanya gaya dan distorsi di dalam otak. Gerakan kepala yang secara
bebas melekat pada leher, memberikan dorongan atau gaya rotasional
untuk menimbulkan dorongan atau gaya yang disebarkan pada jaringan
otak. Cedera aksonal yang paling berat berlokasi lebih perifer dari batang
otak, dan dapat menimbulkan gangguan kognitif dan afektif yang luas.
Kerusakan yang terjadi, dapat mengurangi kemampuan dalam proses dan
respon terhadap informasi, dan mengganggu perhatian (Lycette, 2003;
Vender, 2002; Newton, 2006).
Cedera sekunder
Autoregulasi cerebral dapat mengalami gangguan setelah terjadinya cedera otak
traumatik. Hal ini menyebabkan pasien dengan cedera kepala menjadi rawan terhadap akibat
dari cedera sekunder seperti hipotensi, hipertensi intrakranial, hipoksia, perdarahan
intrakranial, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial, infeksi, dan ketidakseimbangan
elektrolit dan metabolik. Secara klinik, gangguan neurologik yang disebabkan oleh cedera
primer sifatnya maksimal pada onset trauma dan selanjutnya semakin berkurang atau tetap
stabil. Tetapi, adanya cedera sekunder dapat memperburuk status neurologik pasien, dimana
efeknya ditambahkan dengan gangguan neurologi pada cedera primernya. Proses sekunder ini
dapat dimulai pada waktu terjadinya cedera atau beberapa waktu setelahnya, dimana hal ini
dapat memicu lebih buruknya cedera yang sudah terjadi pada otak(Lycette, 2003; Moulton,
2005).
Cedera sekunder secara potensial dapat dicegah dan ditangani. Cedera sekunder
meliputi efek hipotensi, hipoksia, dan herniasi dengan peningkatan tekanan intrakranial akibat
efek massa. Kerusakan otak hipoksik dapat ditimbulkan oleh tingginya tekanan intrakranial
atau vasospasme. Koreksi dari kondisi syok dan hipoksia merupakan manajemen pertama
pada pasien yang mengalami cedera kepala, dan setiap pasien cedera kepala yang dicurigai
memiliki kemampuan ventilasi yang buruk harus segera mendapatkan intubasi (Chin, 2004).
Kejang post trauma dapat dikelompokkan menjadi segera (terjadi dalam waktu 7 hari
setelah trauma), atau lambat (terjadi > 7 hari setelah trauma). Beberapa faktor yang
menempatkan pasien pada risiko tinggi untuk terjadiya kejang post trauma antara lain skor
GCS < 10, kontusi kortikal, fraktur depresi tengkorak, hematom subdural, hematom epidural,
hematom intracerebral, luka penetrasi, dan kejang dalam waktu 24 jam setelah trauma. Edema
otak difus atau lokal merupakan komplikasi yang serius dari cedera kepala dan dapat berlanjut
pada peningkatan tekanan intrakranial. Efek massa dari edema meningkat dalam waktu 72 jam
setelah trauma (Vender, 2002; Chin, 2004).
Akibat intrakranial sekunder (peningkatan tekanan intrakranial)
Trauma otak menyebabkan fragmentasi jaringan dan kontusio, merusak sawar darah
otak (SDO), disertai vasodilatasi dan eksudasi cairan sehingga timbul edema. Edema
menyebabkan peningkatan tekanan pada jaringan dan pada akhirnya meningkatkan TIK, yang
pada gilirannya akan menurunkan aliran darah otak (ADO), iskemia, hipoksia, asidosis
(penurunan pH dan peningkatan PCO2), dan kerusakan SDO lebih lanjut. Siklus ini akan terus
berlanjut hingga terjadi kematian sel dan edema bertambah secara progresif kecuali bila
dilakukan intervensi (Price, 2006).
Hipertensi intrakranial setelah terjadinya trauma kranioserebral dapat disebabkan oleh
hematom intrakranial, edema cerebral, atau hiperemia cerebral. Hukum Monro Kellie
menyatakan bahwa adanya sedikit perubahan pada volume intrakranial dapat secara jelas
menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial karena sifat tulang tengkorak yang rigid (kaku)
dan inelastik. Pada situasi normal, volume intrakranial terdiri dari 80% jaringan otak, 10%
cairan cerebrospinal, dan 10% volume darah intrakranial yang terdapat didalam tulang
tengkorak yang kaku dan tidak dapat meluas. Tiga komponen ini memiliki pengaruh terhadap
tekanan intrakranial yang secara normal tetap terjaga dalam batas 0-15 mmHg sat diukur pada
ventrikel lateral. Adanya peningkatan volume dari salah satu kompartemen atau adanya
penambahan kompartemen baru yang sifatnya patologis (seperti perdarahan intrakranial),
harus dapat dikompensasi oleh pengurangan volume dari kompartemen lainnya.
Mekanisme kompensasi yang merupakan buffer atau penyangga seperti perubahan
volume, meliputi peningkatan absorpsi cairan cererospinal, redistribusi cairan cerebrospinal
dari ruang intrakranial ke ruang subarachnod medula spinalis, dan reduksi volume darah
cerebral. Daya tampung (komplians) cerebral menunjukkan adanya perubahan volume
intrakranial dapat mempengaruhi perubahan tekanan intrakranial. Saat terjadi edema otak,
cerebrum meluas dan cairan mengalami pergeseran tempat dari kompartemen intrakranial.
Sehingga, komplians akan menurun dan tekanan intrakranial meningkat dengan cepat. Saat
uncus ipsilateral dari lobus temporal bagian medial membengkak dan menekan serat saraf
pupilokonstriktor dari nervus oculomotorius perifer maka dapat terjadi dilatasi pupil(Lycette,
2003; Newton, 2006).
Falx cerebri, tentorium cerebelli, dan foramen magnum merupakan struktur yang
relatif kaku (rigid) dan menjadi pemisah daerah otak. Karena banyak proses patologik bersifat
fokal, maka gradien tekanan dapat disebarkan secara merata diantara setiap kompartemen
intrakranial. Adanya peningkatan tekanan intraranial dapat menimbulkan efek yang buruk
melalui adanya gradien tekanan diantara setiap kompartemen otak yang berbeda. Kombinasi
dari pergeseran otak akibat adanya massa fokal, tekanan intrakranial yang tinggi, dan gradien
tekanan diantara pemisah dura dan tulang (falx cerebri, tentorium, dan foramen magnum)
dapat menyebabkan jaringan otak mengalami herniasi dari kompartemen dengan tekanan yang
tinggi ke kompartemen dengan tekanan yang rendah. Jika gradien tekanan ini memiliki besar
yang cukup, maka dapat terjadi pergeseran atau herniasi jaringan otak dan dapat
mengakibatkan kompresi struktur yang vital (Lycette, 2003; Moulton, 2005).
Sebagai contoh, herniasi transtentorial dapat terjadi saat peningkatan tekanan dan
volume supratentorial cukup untuk menggeser uncus dan bagian medial dari lobus temporal
melalui celah tentorial; yang menyebabkan kompresi dan disfungsi dari midbrain dan nervus
okulomotorius. Herniasi transtentorial ditunjukkan oleh adanya pupil yang dilatasi ipsilateral
dan pupil yang terfiksasi atau reaktif. Kompresi medula terjadi saat tekanan intrakranial
meningkat dan tonsilla cerebellar mengalami herniasi melalui foramen magnum. Kondisi ini
yang dikenal sebagai herniasi tonsilar, dapat berakibat fatal karena lokasi pusat respirasi dan
vasomotor yang vital berada pada area di batang otak ini. Selain itu, karena tekanan perfusi
cerebral berhubungan dengan tekanan intrakranial, maka peningkatan tekanan intrakranal
dapat menimbulkan gangguan perfusi cerebral (Lycette, 2003; Moulton, 2005).
Pada otak yang normal, aliran darah ke otak tetap konstan sekitar 50 ml/100 gr
jaringan otak per menit, selama mekanisme autoregulasi cerebral masih intak, dimana terjadi
perubahan diameter dan resistensi dari pembuluh darah cerebral akibat adanya perubahan
tekanan, sehingga aliran darah ke otak yang konstan tetap dipertahankan selama tekanan
perfusi cerebral sekitar 50-150 mmHg. Jika tekanan rata-rata arteri sangat menurun atau
terjadi peningkatan tekanan intrakranial, maka selanjutnya tekanan perfusi cerebral menjadi
sangat rendah untuk dapat dikoreksi oleh mekanisme autoregulasi, sehingga hal ini dapat
menimbulkan iskemi cerebral. Jika tekanan perfusi cerebral berkurang dalam jumlah yang
besar (< 40-50 mmHg) maka dapat terjadi iskemi atau infark cerebral. Sehingga monitoring
tekanan darah sistemik merupakan hal yang penting dilakukan saat terjadi peningkatan
tekanan intrakranial(Lycette, 2003; Moulton, 2005).
Saat hematom intrakranial makin meluas, maka akan menimbulkan kompresi dan
pergeseran dari struktur di sekitarnya. Perluasan ini dapat menimbulkan peningkatan tekanan
intrakranial saat kapasitas penyangga dari isi tengkorak sudah habis. Bukti adanya iskemia
kadang ditemukan pada saat autopsi setelah cedera kepala tumpul. Iskemi fokal dapat terjadi
pada lokasi kontusi atau dapat diakibatkan oleh vasospasme yang diinduksi oleh perdarahan
subarachnoid traumatik. Iskemi global dapat disebabkan oleh hipotensi sistemik atau
menurunnya tekanan perfusi cerebral yang ditimbulkan oleh peningkatan tekanan intrakranial
(Moulton, 2005).
Kematian sel otak yang mengalami cedera dapat berlangsung melalui proses apoptosis
dan nekrosis. Iskemia yang sedang sampai berat menginduksi kematian sel secara nekrosis.
Sedangkan apoptosis akan berlangsung pada daerah yang mengalami iskemia ringan
(Adimarta W, 2009).Cedera otak menyebabkan pelepasan glutamate dari neuron dan sel glia,
meningkatkan konsentrasi glutamat pada CSF, sehingga meningkatkan kalsium intraseluler.
Keadaan ini mengaktivasi phospolipase, protein kinase, protease, NO sintetase dan enzim
lainya yang memacu terbentuknya lipid peroksidase, proteolisis, radikal bebas dan kerusakan
DNA sehingga menyebabkan kematian sel. Sitokin meningkat pada keadaan iskemia serebral.
Pasien dengan GCS < 8 memiliki kadar IL-6 yang lebih tinggi. Pelepasan sitokin setelah TBI
menstimulasi produksi radikal bebas, asam arachidonat dan molekul adhesi yang mengganggu
mikrosirkulasi (Sakabe, 2007).

Gambar 3. Cascade glutamate. AMPA: Alfa Amino-3-hydroxy-5-Methyl-4-isoxazoleproprionate;


NMDA: N-Methyl- D- Aspartate; Ca: Ca intraseluler
Sumber: Sakabe,2007
Iskemia pasca trauma dapat menginisiasi kaskade peristiwa metabolik yang berlanjut
menjadi peningkatan produksi radikal bebas oksigen, asam amino eksitatorik, sitokin, dan
agen inflamasi lainnya. Glutamat dan aspartat merupakan asam amino eksitatorik yang paling
sering terbentuk pada cedera eksitotoksik, dimana pembentukannya dimediasi oleh aktivasi N-
metil-D-aspartat, alfa-amino-3-hidroksi-5-metilisoazol-4-proprionic acid, atau reseptor asam
kainak. Adanya overaktivasi dari reseptor-reseptor ini, dapat menyebabkan influx yang besar
dari kalsium yang terionisasi ke dalam sitosol, dan menyebabkan peningkatan jumlah kalsium
terionisasi intraseluler yang memegang peranan pada terjadinya neurodegenerasi setelah
cedera pada sistem saraf pusat (Cohen, 2005).
Infeksi dapat bersifat lokal (meningitis atau abses otak) atau sistemik. Infeksi lokal
dapat terjadi saat timbul gangguan pada integritas menings yang diakibatkan oleh cedera
penetrasi atau fraktur campuran pada atap dan basis tengkorak. Infeksi sistemik umumnya
melibatkan saluran pernafasan dan genitourinarius. Sepsis sistemik dapat menyebabkan
gangguan neurologis yang dapat semakin membaik dengan resolusi dari infeksi. Hipertermia
yang terjadi kadang dapat menjadi penyulit masalah tekanan intrakranial yang sudah ada
(Moulton, 2005).
Akibat sistemik sekunder
Diantara akibat sistemik sekunder, yang paling signifikan adalah meliputi hipoksia
dan hipotensi. Penelitian klinis prospektif telah menunjukkan bahwa dua kondisi ini memiliki
pengaruh dan hasil keluaran yang jelek pada cedera kepala berat. Hipotensi sistemik yang
terjadi pada saat kedatangan pasien cedera kepala berat di rumah sakit, telah terbukti
berhubungan dengan peningkatan 150% terjadinya kematian. Pada pasien dengan cedera
kepala yang signifikan, hipoksemia dapat disebabkan oleh obstruksi saluran nafas bagian atas,
pneumothorax, hemothorax, edema pulmonal, dan hipoventilasi. Hipoksemia harus dikoreksi
dengan cepat untuk mencegah potensi kerusakan jaringan saraf. Hipotensi dapat menurunkan
perfusi cerebral, yang selanjutnya dapat menimbulkan iskemi dan infark cerebral. Hal ini
berbahaya jika disertai dengan peningkatan tekanan intrakranial (Lycette, 2003; Banasik,
2005; Newton, 2006).
Selain itu, gangguan pada autoregulasi cerebral dapat terjadi setelah cedera otak.
Dengan autoregulasi yang normal, maka aliran darah ke otak tetap konstan meskipun terjadi
fluktuasi dari tekanan arteri rata-rata antara 60 dan 180 mmHg. Autoregulasi dibutuhkan untuk
memberikan pasokan yang tetap stabil dari oksigen dan nutrii ke jaringan otak dan membuang
sampah metabolik. Konstriksi dan dilatasi dari arteriol yang terjadi dengan cepat merupakan
respon dari adanya perubahan tekanan. Dilatasi pembuluh darah cerebral terjadi saat tekanan
darah arteri menurun atau saat metabilisme otak meningkat. Tetapi, jika respon normal ini
terganggu, maka aliran darah ke otak secara langsung akan berhubungan dengan tekanan
darah sistemik. Sehingga jika terjadi hipotensi, maka dapat terjadi penurunan perfusi jaringan
dan iskemi. Penyebab sistemik lainnya dari cedera otak sekunder, yang masih dapat dicegah
antara lain adanya ketidakseimbangan elektrolit, anemia, hipoglikemia, hipertermia, gangguan
pembekuan darah (koagulopati), dan kejang (Lycette, 2003; Banasik, 2005; Newton, 2006)
Gangguan elektrolit sering ditemukan pada pasien dengan cedera kepala sedang dan
berat. Yang paling sering terjadi adalah sindrom sekresi antidiuretik hormon yang tidak sesuai.
Serum sodium dapat menurun secara signifikan, dimana gangguan status neurologi pasien
dapat terjadi pada level dibawah 120-125 mEq/L. Diabetes Insipidus dapat terjadi pada cedera
kepala yang lebih berat, kadang sebagai kejadian preterminal pada pasien dengan gangguan
neurologi rostrocaudal progresif yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial yang
tidak terkontrol (Moulton, 2005).
Cedera kepala yang berat dapat menginduksi kondisi katabolisme dengan ekskresi
nitrogen yang sama dengan pada cedera lainnya. Takikardi yang diinduksi oleh katekolamin,
peningkatan tekanan darah, dan peningkatan curah jantung setiap menit, merupakan kondisi
yang sering terjadi. Iskemi otot jantung juga dapat terjadi akibat cedera kepala tertutup
(Moulton, 2005).

Banasik JL. Acute Disorders of Brain Function. In : Pathophysiology Third Edition. Copstead LC,
Banasik JL. editors. Elsevier Inc. St. Louis. 2005. p. 1095-99.

Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC

Cohen SM, Marion DW. Traumatic Brain Injury. In : Textbook of Critical Care Fifth Edition. Fink
MP, Abraham E, Vincent J, Kochanek PM. editors. Elsevier Inc. Philadelphia. 2005. 377-
81.

Japardi I. Cedera Kepala: Memahami Aspek-aspek Penting dalam PengelolaanPenderita Cedera


Kepala. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer. 2004. p1-154.

Lycette CA, Doberstein C, Rodts GE, McBride DQ. Neurosurgical Critical Care. In : Current
Critical Care Diagnosis & Treatment Second Edition. Bongard FS, Sue DY. editors. The
McGraw-Hill Companies. New York : 2003. p. 730-34.

Moulton RJ, Pitts LH. Head Injury and Intracranial Hypertension. In : Principles of Critical Care
Third Edition. Hall JB, Schmidt GA, Wood LDH. editors. The McGraw-Hill Companies.
New York : 2005. p. 1395-1400.

National Institute for Health and Care Excellence. 2014. Head Injury: Assessment and Early
Management. Nice Clinical Guideline

Anda mungkin juga menyukai