Anda di halaman 1dari 22

BUDAYA MALU, BUDAYA SALAH, DAN BUDAYA HUKUM

Mum P. Hutagalung'

Abslrak
This arlicie dues explore on Ihe cillture aspecls Ihm given Iheirs impacI I()
[he law enjorcemenl in Indonesia. lV/any problems in law enforcement on ,he
allthor elaboretlian said on the many aspecis Ihat rooled on cllllUral spheres.
And b\' Ihe anrhropology approaches Ihe author try /0 givinz many analysis
hv .,hame ellllUre. guilt ellllllre, and legal culture itself The (/lahar also
giving p roposition thar socio-cullural values are no/ uninhibited from
allilude, mindser. and cllltlire aspecis that driving and oughl 10 exiSI il1
developing eOllnliy 81i disregarded lowards Ihose aspeels wOllld atfecI on
Ihe fall shari o(physieal developmenr aims, The (/lahar reminds UII Ihe l11an."
de l'eloping ('oUniries jail '.I by abolished cultural aspecis which revealed un
sp!!ndthnfiing's and corruption practic es

Killa kUllci: illllll hukllm dasar, bllda)'a malu, hudaya salah. budaw hllkl!m

I. Pcngantar

Ca ra berpikir. pandangan hidup, dan s ital karakter suatu bangsa


te rcermin dalalll kebudayaan dan hukulllnya, Cara berpikir orang Barar
digalll barkan se bagai abstrak. analilis, sistemat is, sedangkan cara berpikir
orang Indones ia adalah konkret dan riil, I
Pandangan hidup o rang Barat seringkali digambarkan se bagai
ind ividuali stis, liberal dan mererialistis. sedangkan bangsa kita lebih
mengutamakan kepentingan hubungan besar dan hidup dala m alam yang
diliputi suaS31la magis-merhllPY5;is.'J. atau ·'magis-religills,". 3 Suatu contoh

- Pcngajar Tidal... Tl.;'tap pacla Bidang Stud i Hukum Tata N~gara fH U L GL"lar
~1. H LJm.

I L ihat Prof. R. Subckti S.I I. dalam "Perbanding;;m HukU11l Padata·'. (Jabna:

Pradn:il Par::II11ila. 1( 7 6 ). hal. 3.

~ Sub~kli. Ihirl.

i Istilah /II,I.!! is ,d(t:ills. hcrhubllllgan d~nga n pandangan hidup alam Ind nl1c:-ia :- ang

hi nsa n: a dikai lkan dellgan pel1g~nl,-1I1 purrit'ipt'rl!.'uI C()slIIisch . Lihat So~ r.iorlll So.:h:anto
360 Budaya Malu, Budaya Salah. dan Blldava Hllkllnl. HUlagah"'g

ya ng sangat relevan dengan sifat s llatll bangsa dapat kita lihat dalam
ketentuan tentang no ad weer atau "bela diri" dalam K UH P (Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana),
Pasal 49 ayat (I) KUHP be rbllnyi : "Barang s iapa te rpaksa me lakukan
perbuatan 1I1ltuk pembelaall, karena ada serangan keti ka illl yang melu''' an
hukum, terhadap diri sendiri ma upun orang lain : te rhadap kehormatan
kes usilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupul1 orang lain, tidak
dipidana.',4 Hal yang mendapat foku s perhatian dari ketentuan pasa l 49 ayat
( I) KUHP ini adalah pernyataan yang menegaskan bahwa seseorang tidak
dapat dihukum, apabi la ia me lakuka n suatu tindak pidana karena terpa ksa
untuk membela diri tehadap suatu serangan ya ng secara langs ling
mengancam j iwall ya atau orang lain . Ini berani , bahwa apab ila orang yang
diseran g itu masih Illungkin lari dari serangan te se but. maka undang un dang
menghendaki s upaya ia lari saj a, Berlainan dengan Pasal Undang Und ang
Hukum Pidana Jerman, yang membebaskan seseorang dari tuntutan hukum
apabila ia me mbe la diri terh adap s uatu serangan , baik illl terpaksa ata u tidak
terpaksa,
Dari sejarah perundang-undangan diketahui bahwa KUHP Indo nes ia
ada lah warisan dari Werboek van SrrClfi'echr voor Nederlandsch-lndie yang
dibuat o leh Pemerintah Ko lo ni a l Belanda,' Dilihat da ri perspektif budaya
maka budaya Belanda ulllumn ya mencerminkan s ifat dualisme budaya.
Disatu sisi , rakyat Belanda bers ifat burgerlijk dalam arti meny uka i pola
kehidupan sede rhana dan tenteram, akan tetapi di s is i lain_ rakyat Belanda
j uga mewari s i s ifat militer atau " budaya keperwiraan" ra kyat Jerman yang
se bagai bangsa ya ng pernah menj ajah Belanda ,
Hal ikh wal yang hendak di kemukakan dengan d es kripsi dialas adalah
adanya relasi antara budaya dan hukum o leh karena huk um adalah sa lah satu
linsur universal dari setiap kebudayaan_ Fenomena in i ya ng me nyebabkan
pe ndekatan budaya terhadap hukum bukan lagi sualll ha l yang baru te ruta ma
setelah munculnya tokoh-tokoh Alllropologi Hukum yang juga banyak

"Beherapa Permasalahan Hukum Dalam Kerallgka Pem bangunan di Ind onesia", (Jaka rta:
Yayasan Pene-fbi t Universi tas In dones ia. 1976). hal. 83.

4 Lihat. Prof. Moeljatno. S.H .. "A'itab Undong Undang I-JukulJI Pidano ", (Jab.rta:
l3um i A ksara. 1003). hal. 23 .

"Sl.;jak hcrlakun ya UU No. 73 Ta hun 1955 yang menl!lltu kan bl!rlakun ya Ul i No . I


Tahun 1946 tcntall g Peraturan Hukum Pidana dcngan pl.:fubahan dan tamhallllll until\-: ~(,: I11rlJh
In do nesia. maka Hukum Pidana Materij] yang terscbu\ dalam pcrllndan£ -LJn da n ~an rm:njadi
se r~gam bum seluruh tanah Air. Menurut pasal lV UU No. I Tah un 1946 nama rcsm in)<I dar!
"Wct bock vall Strafrccht \loor Nederlandsch- Indie" , diu hah menjadi "\Vdboc:k v:m
Strafr~ch'" yang juga di sc but ""Kitah Undang Undang Huku m Pidana (Kl Jl IP ,." masih tCWp
be'rlaku di sduruh llL1santara"
JI/rna! Hukum dan Pembangllnan Tahun ke-37 NO.3 Juli-September 2007 36!

berasal dari kalangan Ahli hukum seperti: J. J. Bachoven (1815-1887) yaitu


seorang ahli hukum yang telah banyak menyelidiki sistem hukum dari
bangsa-bangsa Yunani dan Romawi klasik 6 Juga seorang tokoh Antropologi
bernama Lewis H. Morgan (1818-1881) yang menyelidiki kebudayaan suku-
suku bangsa Indian pad a mulanya adalah seorang ahli hukum tetapi
kemudian ternama sebagai ahli Antropologi.
Pada pertengahan abad ke-19 sudah mulai muncul para sarjana yang
berupaya untuk meneliti dasar-dasar dari Hukum Eropa. Caranya adalah
dengan membandingkan sistem hukum Eropa dengan sistem hukum
masyarakat sederhana diluar Eropa. Pada masa itu timbul anggapan-
anggapan, bahwa sistem hukum Eropa merupakan suatu sistem hukum yang
sempurna dan yang telah mencapai tingkat tertinggi, apabila dibandingkan
dengan sistem hukum masyarakat sederhana yang baru dianggap tahap awal
perkembangannya.
Hasil dari penelitian tersebut, yang berisikan teo ri- teori tertua
Antropologi, merupakan deskripsi perkembangan hukum maupun
kebudayaan normal manusia, Penelitian-penelitian sejenis berkembang
menjadi cabang ilmu tersendiri yang dikenal sebagai enthnologische
j lirispruden~; tokoh-tokohnya antara lain: A,H.Post, HJ. Summer Maine,
J.F.Mc Lennan, U.Bachoven dan lain-lain yang kebanyakan mempunyai
latar belakang pendidikan dibidang hukum,
Pada abad ke-20 sudah ban yak ahli-ahli yang ternama dibidang ini
antara lain Malinowsk i, Leopold Pospisil, E.A.Hoebel, V.F. Ayoub,
P.Bobannan, Karl N. Llewellyn dan seterusnya, Dalam perkembangannya
sekarang ini tidak hanya Antropolog yang berminat terhadap studi tentang
budaya dan hukum tetapi juga para sosioloog hukum, psikolog hukum dan
juga dari ahli-ahli Filsafat yang berkaitan dengan pandangan hidup, dan cara
berpikir manusia dalam memahami hukum sebagai gejala kebudayaan.

II. Konsepsi Kebudayaan

Pertanyaan yang relevan diajukan untuk uraian konsepsi ini adalah apa
yang anda maksudkan dengan kebudayaan? Adalah hal yang tidak mudah
membuat delinisi kebudayaan 7 Sebab sebuah definisi seringkali disusun
yang akhirnya dilihat dari segi logika dan metode malahan menjadi suatu

I:l Lihat Prof. Dr. Koentjaraningrar. "Tokoh-Tokoh Antropologi", (Jakarta:


P ~nerb itan Univers itas. 1964). hal. , I-IJ.

7 Lihat J.W.M. Baker S.1 .. ··Filsafat Kebudayaan Suatu Penganrar· .. (Yogyakarta:


Kanisius - BPK. 1984).
362 8udaya Malu, 8udaya Salah, dan 8udaya Hukum, Hutagalzmg

fUlllusan yang bersifat fatal dan buruk. 8 dan umumnya masing-masing


sarj ana memberikan definisi yang berbeda beda sesuai parad igma ataupun
perspektif digunakannya.
Akan tetapi untuk memulai suatu ana l isis defini s i tetap diperlukan
agar tidak terperangkap dalam konsepsi yang melukiskan kebudayaan secara
global karena setiap orang yang berbicara mengenai apapun kecuali aktivitas
naluriah adalah atas nama kebudayaan itu sendiri. A,L. Kroeber dan C.
9
Kluckhohn bahkan sudah mengemukakan tak kurang dari 160 rumusan
ilmiah tentang kebudayaan atau definisi kebudayaan akan tetapi akhirnya
kemudian mereka menyatakan:

"The essential core of cullure cons isIs of traditional (i,e,


historically derived and selected) ideas, and especially their
attached values: culture systems may, on the other hand. be
considered as product of action ",

Sementara itu menurut kesimpulan sebagian ahli. banyaknya defin is i


tentang kebudayaan yang diangkat dari berbagai disiplin ilmu oleh kedua ahli
diatas bersumber kepada buah pikiran E, B, Tylor yang berpendapat bahwa Y'

"Culrure or civili~ation in the complex include knowledge,


belief art, morals, law, custom and any other capabilities and
habits acquired by men as a member of society ",

Koentjananingrat secara terpilih berpendapat bah wa kebuda yaan itu


mempunyai paling sedik it tiga wujud sebagai berikut: II
I, Wujud kebudayaan sebagai kumpulan ide-ide. gagasan. nilai-ni lai.
norma-florma, peraturan dan sebaga in ya.
2, Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas ke lakuan
budaya dari manusia dalam masyarakat.

' .I.W.M. Baker. Ibid. , hal. 28.

q A .L. Kroeber & C. Kluckhohn. "Culture. A Cr itical Rh'iell' of COl/cepts and


D(~/i!l1it ion" . da lam D . Mitchel (ed. ). '"A Dictionary of Sociology", ( London - Henl ey:
RouctJ edgc & Keagen Paul. ]977).

lj i E.13 . T y lor . ., Primitive C ulture", ( London : John Murray. second edit ion I R73 ).
vo l. I. hal. I. liharjuga PRISMA II. 1981.

II Kocntjaraningrm, "Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan". (Jakarta :


Gramodia. 1974). hal. 15,
./urnai Hukum dan Pembangrman Tahun ke-37 No.3 '/uli-September 2007 363

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.


Namun demikian, apapun wujudnya akan tetap sulit untuk menyangkal
apabila dikatakan kebudayaan mempunyai kedudukan dan peranan yang
sangat penting dalam kehidupan manusia. Sebab didalam kehidupan sehari-
hari orang tidak mungkin tidak berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan.
Kebudayaan tersebut mencakup kesemuanya yang didapatkan dan dipelajari
oleh manusia sebagai warga masyarakat dad lingkungan alam dan
masyarakat ilu sendiri. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu dari pola-pola
peri kelakuan yang normatif, yang mencakup segala cara-cara atau pola-pola
berpikir, merasakan dan bertindak.
Seseorang yang meneliti kebudayaan tertentu, akan tertarik oleh objek-
obj ek kebudayaan seperti misalnya, rumah-rumah, sandang, pangan,
jembatan, alat-alat komunikasi, cara-cara bercocok tanam, sistem
kemasyarakaran , bahasa, kesucian, religi dan lain sebagainya.
Seorang sosiolog misalnya mau tidak mau harus menaruh perhatian
terhadap pola-pola peri kelakuan, yaitu kelakuan-kelakuan yang timbul
se bagai akibat dari pada adanya inter aksi sosial yang dinamis. 12 Selo
Sumardjan dan Sulaiman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua
hasi l dari karya, rasa, dan cipta masyarakat 1 3
Has il dari karya masyarakat menghasilkan teknologi dan " kebudayaan
kebendaan" atau " kebudayaan materiil" yang diperlukan oleh manusia untuk
memanfaatkan alam sekitarnya, agar kekuatan atau hasilnya dapat
dimanfaatkan untuk keperluan masyarakat.
Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaedah-kaedah
serta nilai-nilai sos ial dan budaya yang diperlukan untuk mengatur masalah-
masa lah kemasyarakatan dalam arti luas, Didalam rasa termasuk semua
unsur-unsur yang merupakan hasil ekspresi dari jiwa manusia yang hidup
se bagai warga masyarakat. Selanjutnya cipta, merupakan kemampuan mental
dan kemampuan berpikir dari orang-orang yang hidup bermasyarakat yang
antara lain menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan baik yang tersusun
dalam teori-teori murni maupun yang telah disusun untuk tujuan praktis
untuk langsung diamalkan dalm kehidupan bermasyarakat.
Hasil rasa dan cipta dinamakan pula "Kebudayaan rohaniah" atau
"kebudayaan immateriil", Akan tetapi semua hasil karya rasa dan cipta

12 Robert L. Sutherland. el. al. "Intraducta/}' Sociology', (Ch icago. Philadelphia.

Nev,' York: 1.B . Lippincott Company. 1961) Sixth. edition. hal. 30-31.

13 Selo So~mardjan dan Soelaiman Sot:mardi (eds), eel. I. "Setangkai Bunga


Sosio logi", (Jakarta: Badan Penerbil FE UI. 1964)" hal. 113,
364 Budaya Malu, Budaya Salah, dan Budaya Hukum , HUlagalzmg

d ikuasai oleh niat dan keinginan dari orang-orang yang menentukannya agar
sesuai dengan kepentingan sebagian terbesar atau seluruh masyarakat.
Dari uraian-uraian tersebut dapat difahami bahwa kebudayaan pada
hakekatnya dan unsur "rasa" khususnya akan menghasilkan kaidah-kaidah
dalam masyarakat yang merupakan struktur normatif at au meminjam istilah
Ralph Linton sebagai "design for living ,,14 Artinya kebudayaan merupakan
sesuatu "blueprint of behavior"" yang memberikan pedoman-pedoman apa
yang harus dilakukan, boleh dilakukan dan apa yang dilarang dilakukan. Hal
ini berarti kebudayaan mencakup sistem dan tujuan-tujuan serta nilai-nilai.
Uraian ini memberikan gambaran jelas tentang relasi antara kebudayaan dan
hukum karena hukum tidak terlepas dari soal-soal nilai-nilai , norma-norma
peri kelakuan man usia.
Mengaitkan kon sepsi kebudayaall dengan cara "penyempitan" alau
"pengkapl ingall" adalah perlu dan wajar daripada membicarakan kebudayaan
secara global dan acak yang pad a nya akan lebih memungkinkan munculnya
kekaburall-kekaburan tertentu. Ignas Kleden "membahas konsep kebudayaan
malahan menu rut kelompok pemakainya, yaitu :(1) eksekutif atau pemerintah
atau politisi. (2) ilmuwan sosial dan (3) budayawan atau sen iman . Pengertian
kebudayaan bagi kelompok pertama adalah warisan budaya" sebagai "issue-
sentral", kelompok kedua lebih cenderung kepada "kehidupan budaya dan
perubahan", sedangkan kelompok ketiga lebih asyik dengan pokok "daya
cipta kebudayaan.16
Dalam uraian lebih lanjut penulis lebih cenderung kepada pengertian
"kehidupan budaya dan perubahan". Pendekatan budaya dalam arti ini
mencakup persepsi tentang dunia, kesadaran, kerja, dan teknologi. Persepsi
tentang dunia termuat dalam pandangan hidup yang berinteraks i dengan cara
hidup yang berpengaruh pada tingkah laku manusia.

A, Budaya Malu (Shame Culture)

Suatu persoalan mendasar yang membelenggu negeri kita adalah


korupsi sebagai gejala sosial sudah membudaya. Oleh karena sudah
membudaya upaya-upaya apapun yang dilakukan Pemerintah dan

14 Ralph Linton. "A Study of Man", (New York: Appleton Century Crafts Inc. 1936).
hal. 397.

I" Robin M. William Jr .. "American Society. A Socia/ogiea/lnterpretation", {Nl!w


York: Alfred A. Knopt. second edition, Revised, I967}, hal. 13.

1b Lihat. Ignas KJedcn. "Kebudayaan: Agenda Suat Daya Cipta·'. Prisma No. I X/I"

( 1985). hal. 73-88.


JI/rna! Hukum dan Pembangunan Tahun ke-37 No.3 Juli-September 2007 365

lembaga-Iembaga yang terkait untuk pemberantasan korupsi dalam


waktu singkat su lit untuk dapat membayangkan dapat berhasil dalam
waktu singkat karena persoalannya sudah menjadi persoalan budaya
dan tidak lagi sekedar persoalan hukum atau penegakan hukum
semata-mata, oleh karena dengan hanya menggunakan pendekatan
juridis normatif atau juridis dogmatis belaka masalah korupsi ini tidak
kunjung usai diurai secara tuntas.
Hari demi hari, waktu ke waktu masalah korupsi ini hanya terus
l11enjadi sekedar wacana bahkan menjadi komoditas politik dari setiap
rezim yang berkuasa di negeri ini. Disatu sisi, perilaku korupsi seolah-
o lah dibenci hanya pada saat diperbincangkan dalam berbagai kajian
ilmiah, dibicarakan dalam sidang-sidang kabinet, diseminarkan
digedung-gedung me wah dengan pendekatan multi perspektif dan
multi parad igma ilmu-ilmu sosial bahkan tidak luput dari pembicaraan
kha layak akar rumput di tingkat kaki lima.
Disisi lain, usai dari itu kita seolah-olah mengangap korupsi
menjadi sesuatu yang wajar. Karena publik sudah terbiasa setiap hari
disuguhi berita, dan tayangan koruptor di berbagai media massa dan
media elektronik. Menerima perilaku korupsi sebagai hal yang wajar
merupakan bukti bahwa budaya publik sudah tidilk lagi sehat dalam
memandang persoalan korupsi, Bahkan sudah dipandang sebagai
simbol dari otoritas berkuasa karena hanya orang yang dianggap
berkuasa atau pejabat publik yang mampu melakukan korupsi,
sehingga libido kekuasaan dipompa secara maksimal dengan cara-cara
yang korup pula seperti "money politics" suap, nepotisme, manipulasi,
menghalalkan segal a cara dan lain sebagainya untuk meraih
kekuasaan. Kekuasaan yang sejatinya "amanah" pun dimanipulasi
untuk sekedar digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok
tertentu bukan kekuasaan yang menolong, mencerahkan dan
membebaskan masyarakat dari segala macam ketertindasan sosia!.
Sosiolog Syed Husen Alatas membuat rincian faktor-faktor yang
l11enyebabkan timbulnya, korupsi, sebagai berikut: 17
I. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam POSISI-POSISI
kunci yang mampu menberikan ilham dan mempengaruhi tingkah
laku dengan cara menjinakkan korupsi; sebagaimana dinyatakan
dalam peribahasa Cina dan Jepang: "Dengan berhembusnya angin
melengkunglah buluh".

17 Syed Husen Alatas, "Sosioiogi Korupsi Sebuah Penjelajahan Dengan Data


Konlempore r". (Jakarta: LP3ES, 1981), hal. 46-47.
366 Budaya Malu. Budaya Salah. dan Budaya Hukum. Hutagalung

2. Kelemahan pengajaran-pengajaran dan elika.


3. Kolonialisme, karena sualu Pemerintahan asing tidaklah
menggugah keseliaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk
membendung korupsi.
4. Kurangnya pendidikan.
5. Kemiskinan
6. Tiadanya sanksi hukuman yang keras.
7. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.
8. Struktur pemerintahan yang kurang mendukung pemberantasan
korupsi.
9. Perubahan radikal, yang terjadi tatkala sislem nilai mengalami
perubahan radikal korupsi muncul sebagai suatu penyakit
transisional.
10. korupsi dalam suatu birokrasi dapat merupakan cerminan dari
keadaan masyarakat keseluruhan.
Kesepuluh faktor penyebab yang memungkinkan munculya
korupsi tesebut dapat disederhanakan kedalam empat faktor yaitu: (I)
faktor pribadi, (2) faktor lingkungan. (3) faktor agama, dan (4) faktor
kebudayaan. Mana dari em pat faktor tersebul yang paling dominan
memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi sulit di sangkal jika
korupsi sudah membudaya maka uraian tentang faktor budaya ini pula
mendapat perhatian yang lebih fokus dan lebih khusus lagi.
Faktor kebudayaan yang dimaksud adalah "kebndayaan main"
atau "bndaya main" (shame culture) dan " kebudayaan kebersalahan
" atau "budaya salah" (guilt culture) dan kebudayaan hukum alau
"budaya hukum" (legal culture). Sebagai ilustrasi tentang kebudayaan
malu maka dapat dikemukakan disini penelitian W. Keeler." yang
mengemukakan bahwa anak-anak di Jawa dan Bali di didik unluk
bermoral "malu" (Jawa = "kagol H: Bali=lek).
Dengan moral malu anak-anak itu dianjurkan untuk membatasi
tingkah lakunya agar ia terhindar dari situasi-situasi konflik yang dapat
membualnya salah tingkah ("kagol") atau j ika ia yakin tidak ada yang
membuatnya kagol maka ia akan melakukan segala sesuatu yang di
inginkannya.
Dalam konsep shame cultul'esel uruhnya ditandai oleh rasa malu
dan disitu tidak dikenal rasa bersalah. Menurut pandangan ini "bud aya
malu" (.I·hame culture) adalah kebudayaan dimana pengertian-

18 W . Keeler. >'Shame and Stage Fright in Java" , 1983. ETHOS 11:3 Society lor
Psychological Antrophology. Fall KOMPAS. 24-12-1986.
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-37 No.3 Juli-September 2007 367

pengertian seperti "hormat", ~~reputasi" "nama baik", '''status'' dan


"gengsi" sangat ditekankan. Bila seseorang melakukan suatu
kejahatan , hal ini tidak dianggap sesuatu yang buruk begitu saja,
me lainkan sesuatu yang harus disembunyikan untuk orang lain.
Malapetaka yang paling besar terjadi adalah bilamana suatu kesalahan
itu diketahui orang lain, sehingga si pelaku menjadi kehilangan muka.
Disini si pelaku akan berusaha sekuat tenaga agar si pelaku jangan
di ce la atau di kutuk oleh orang lain. Bukan perbuatan jahat itu sendiri
yang di anggap penting akan tetapi yang lebih di pentingkan adalah
perbuatan jahat itu tidak akan di ketahui siapapun juga. Bila perbuatan
jahat itu akhirnya di ketahui orang lain maka si pelakunya menjadi
" ~malu".
Dalam shame c ulture, sanksinya datang dari luar yaitu apa yang
dipikirkan atau apa yang di katakan oleh orang lain dan yang pasti
dalam s ha me culture ini tidak dipersoalkan masalah hati nurani.
Dari pengamatan pribadi penulis ada kecenderungan bahwa
temunan Keeler tidak hanya berlaku untuk masyarakat lawn dan Bali
saja akan tetapi berlaku di seluruh tanah air. Tentu saja untuk
mendukung pendapat ini diperlukan penelitian-penelitian lebih lanjut.
Akan tetapi jika asumsi penulis ini dapal dibenarkan maka disinilah
letak faktor kunci sulilnya penegakan hukum di negeri kita sukar untuk
berhasil optimal karena terpenjara oleh budaya malu.
Dapat dimengerti mengapa korupsi semakin marak terjadi di
semua I ini birokrasi dan sudah merambah ke daerah-daerah
sehubungan dengan perkembangan Otonomi Daerah adalah karena
disadari atau tidak fakta menunjukkan Indonesia sedang mengalami
krisis kepemimpinan dan moralitas khususnya moralitas malu, ketika
korupsi sudah dilakukan secara berjamaah. Hal ini menyebabkan
tingkat kepatuhan hukum terdegradasi ke level " identification" karena
warga masyarakat mentaati hukum hanya karen a ingin menyesuaikan
diri dengan kelompok atau otoritas yang berkuasa, bukan karena
tuntutan moral yang mewaj ibkan ketaatan pada norma-norma hukum
karena dianggap sesuai dengan nilai dan norma yang dianutnya,
idealnya ketaatan warga masyarakat pada nilai dan norma sudah
melembaga yang biasa disebut sebagai instilulionalizationSedangkan
ketaatan pada nilai dan norma yang sudah mendarah daging disebut
sebagai internalization dalam arti malu pad a diri sendiri dan kepada
Tuhan Yang Maha Mengetahui yang diyakini selalu mengontrol
dirinya dan segala perbuatannya sehingga tidak melanggar hukum
secara sembunyi -sembunyi.
368 Budaya Malu, Budaya Salah, dan Budaya Hukun!, Huragailing

Dalam tingkat kesadaran moral dan kesadaran hukum yang


ditentukan oleh penilaian publik akan sulit upaya pemberantasan
korupsi kecuali kalau korupsi dianggap sesuatu yang memalukan dan
bukan membanggakan maka ia akan berhenti dari perbuatan-perbuatan
tersebut Oleh karena itu perlu dipikirkan cara lain dalam memandang
korupsi dalam konteks budaya. yakni perlu sosialisasi dan provokasi
yang menumbuhkan rasa malu untuk korupsi. Hal ini tidak lepas dari
nilai-nilai sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat kita.
Namun demikian , realitas sosial kita menunjukkan perilaku
budaya korupsi telah melahirkan budaya baru, yakni culas, main
belakang dan berbohong. Oleh karena itu kendati negeri ini telah
berusia 62 tahun dimerdekakan dari penjajahan masih saja dijajah oleh
bangsa sendiri yang menganut ideologi keserakahan karena mengalami
defisit manusia jujur dan bermoral.
Aneka budaya sempalan baru itu apakah disebut, korupsi, kolusi,
nepotisme dan sejenisnya bahkan kini telah ditiru dan dijadikan ikon
dalam sistem sosial di republik ini . Para guru, peneliti, aktivis LSM,
intelektual bahkan tidak jarang para tokoh agama ikut terperangkap di
dalam budaya baru itu.
Agamawan dan aktivis LSM kita pun tidak kalah unik, mereka
hanya akan bersuara lantang terhadap fenomena kejanggalan sosial di
tengah masyarakat, tatkala menguntungkan suatu kelompok tertentu
dan tak membahayakan aktivitas sosialnya jika tidak ada pamrihnya
lebih cenderung diam atau pasif semata.
Ini berarti ada suatu kepentingan yang dikorupsi. Para agamawan
dan aktivis LSM, hari-hari ini seolah-olah tengah bermesraan dan
bergandeng tangan dengan elite politik lokal contohnya dalam pilkada
di berbagai daerah otonomi. Tak aneh bila belakangan banyak di
antara mereka menjadi pemuka-pemuka partai politik yang berakhir
dengan kekerdilan olah rasa dan olah karsa.
Karena itu benar kata Mochtar Lubis ketika mengatakan dalam
Orasi Budayanya berjudul: "Manusia Indonesia: Sebuah
Pertanggungjawaban ", Jakarta 6 April 1977, mengatakan bahwa:
"Mental manusia Indonesia cenderung hipokrit yang ciri utama suka
berpura-pura, lain di muka lain pula di belakang, lain di kata lain pula
di hati."
Pendeknya manusia Indonesia adalah manusia yang hobi
berbohong dan menggadaikan keyakinan yang sebenarnya. Itulah
sebabnya mengapa budaya korupsi menjadi trend dalam sistem sosial
kita dewasa ini di republik yang kita cintai ini. Karena manusia
Indonesia bisa berpura-pura membenci korupsi, namun hanya
Jurnai Hukum dan Pembangunan Tahun ke-37 No.3 Juli-Sep/ember 2007 369

dilakukan di forum -forum terhormat yang ramai dilihat orang. Namun


ketika sendirian, sepi dan sekaligus ada kesempatan apa pun bisa
dikorupsi.
Pertanyaan kritisnya, mengapa korupsi dibenci tapi tetap saja
marak dilakukan banyak orang di negeri ini? Banyak faktor yang
melingkari diantaranya ialah: Pertama, nihilnya budaya rasa malu
korupsi, padahal malu merupakan terapi psikologis untuk menurunkan
derajat korupsi. Semakin tinggi rasa malu seseorang semakin tinggi
pula tingkat kontrel psikologis untuk takut korupsi.
Dalam hal ini kita dapat belajar dari budaya Jepang yang
mengunggulkan budaya rasa malu sebagai cara mengangkat derajat
bangsa menjadi bangsa yang unggul di atas bangsa-bangsa yang lain.
Menurut laporan News Week pada tahun 2002 yang lalu sedikitnya
30.000 orang Jepang mati dengan jalan bunuh diri dan diduga keras
penyebab tingginya angka itu adalah faktor "malu".
Kedua, lemahnya sanksi moral di tengah masyarakat tehadap
koruptor. Tengoklah realitas di masyarakat para koruptor kakap justru
dipuji dan ditokohkan dalam masyarakat. Bagaimana tidak, karena
koruptor biasanya dermawan ditengah masyarakat, dari donatur
terbesar tempat ibadah, donatur utama panti asuhan, donatur tetap
perayaan sosial di lingkungannya dan lain-lain sebagainya.
Artinya di satu sisi masyarakat membenci korupsi, tapi di sisi
yang lain mereka amat menghargai, menghormati bahkan
membutuhkan koruptor. Tak kalah pentingnya para koruptor di tengah
masyarakat pada umumnya teramat lihai menarik simpati.
. Dalam konteks budaya sesungguhnya masyarakat kita munafik
dan penuh pertimbangan moral dalam memberi sanksi sosia!.
Seandainya masyarakat kita adalah masyarakat yang tidak munafik,
sudah barang pasti tidak akan menerima uluran tangan dan bantuan
dari para koruptor, bahkan mengisolirnya dari pergaulan sosia!. Sanksi
sosial yang tampak sederhana tnl dipastikan akan mampu
mengeleminirkan dan meminimalisir perilaku tindak pidana korupsi.
Untuk menumbuh kembangkan rasa malu korupsi dari segi
budaya dapat di wujudkan dalam bentuk yang sederhana, yakni:
periunya mewujudkan "budaya solidaritas anti korupsi" sebagai
bentuk rasa cinta negara Indonesia (nasionalisme) yaitu perlu
menggelorakan slogan-slogan reflektif anti korupsi misalnya:
"koruptor adalah penjajah", "koruptor adalah teroris", "koruptor tidak
beriman" dan lain-lain.
Sosialisasi gagasan ini penting dilakukan dan diindoktrinasikan
kedalam semua level masyarakat terutama lembaga-Iembaga
370 Budaya Malu, Budaya Salah, dan Budaya Hukum, Hutagalung

pendidikan formal maupun informal dari pendidikan dasar, menengah


dan perguruan tinggi sebagai bagian dari mewujudkan nilai-nilai
nasionalisme di era kekinian.

B. Budaya Salah (Guilt CultuTe)

Di pihak lain, J. Gilligan yang mengadakan penelitian di beberapa


negara Eropa mengatakan bahwa anak-anak di negara Barat dididik
untuk bermoral "bersalah" (guilt). Mereka diajar untuk menilai mana
yang benar dan mana yang salah menurut norma-norma tertentu. Kalau
dalam budaya "malu" seseorang berusaha menghindari konflik dengan
orang lain, dalam budaya "salah" orang menghindari perasaan berdosa
atau bersalah yang datang dari dalam diri sendiri. Karena itulah orang
di negara-negara Barat tidak segan melakukan sesuatu selama ia
menganggapnya benar.'9
Adapun yang dimaksud dengan "budaya kebersalahan" atau
"budaya salah" (guilt culture) adalah suatu bentuk kebudayaan dimana
pengertian-pengertian "dosa" (sin) , kebersalahan (guill). penyesalan
dan sebagainya sangat dipentingkan. Sekalipun suatu kejahatan tidak
akan pernah di ketahui orang lain, namun si pelaku merasa bersalah
juga. la menyesal dan merasa kurang tenang karen a perbuatan itu
sendiri, bukan karena di eela atau di kutuk orang lain, jad i bukan
karen a tanggapan pihak luar.
Dalam guilt culture sanksinya tidak datang dari luar melainkan
dari dalam atau dari batin orang bersangkutan. Dapat dimengerti
bahwa dalam guilt culture semaeam itu maka hati nurani memegang
peranan yang sangat penting.
Para ahli yang mengemukakan perbedaan kedua model budaya ini
berpendapat bahwa kebanyakan kebudayaan adalah shame culture
sedangkan guilt culture hanya sedikit. Menurut hemat mereka,
kebanyakan kebudayaan yang disebut "kebudayaan primitif" (seperti
suku-suku Indian di Amerika)20 dan hampir semua kebudayaan As ia
adalah digolongkan sebagai shame culture. Sedangkan kebudayaan
Barat di Eropa dan Amerika adalah guilt culture.

19 T. Lickona (ed.), "Moral Developmenr and Behavior: Theory Research and


Issue". (New York: Holt Rinehartz Winston. 1 97~). hal. 145-146.

20 Lihat. Margaret Mead dalam "Cooperation and Competilion Among Prim iliVl'
Peoples". (Boston: Beacon Press. 1961). Margaret Mead (190 1-1 978) ada1ah ,"oran g
antropolog Amerika terkenal pernah menyelidiki 13 kebudayaan primitif. Kesimpulannya
hanya 2 diantaranya yang dapat digolongkan sebagai "guilt culture" .
Jurnai Hukum dan Pembangunan Tahun ke-37 No.3 Juli-Sept.mber 2007 371

Mereka pun menjelaskan lebih lanjut bahwa shame culture


bersifat statis dan ketinggalan dibidang ekonomi, tidak memiliki
norma-norma moral yang absolut dan ditandai oleh dominasi
"psikologi massa". Sebaliknya guilt culture (budaya kebersalahan)
khususnya bilamana rasa bersalah dihayati secara individual akan
sanggup untuk mengadakan perubahan secara progressif (termasuk
fen omena seperti industrialisasi), memiliki norma-norma moral yang
absolut dan memperhatikan kesejahteraan serta martabat individu)21
Untuk memperkuat argumentasinya mereka menunjuk kepada
pendapat sosioloog besar, Max Weber (1864-1920) yang mengatakan
bahwa "etika protestan" (dalam arti, nilai-nilai khusus yang menurut
dia menandai agama protestan, seperti misalnya; hidup sederhana,
menghemat, kerja keras, dan sebagainya) merupakan satu faktor yang
penting dalam perkembangan kapitalisme industrial di Eropa Barat dan
Amerika Utara. Fenomena ini dilukiskan oleh Max Weber itu menurut
mereka adalah merupakan suatu contoh yang jelas tentang guilt
culture.
Untuk beberapa waktu perbedaan antara shame culture dan guilt
culture itu diterima begitu saj a, terutama oleh para antropolog
Amerika. Akan tetapi kini keabsahan dan pemahaman seperti itu amat
diragukan. Beberapa antropolog kenamaan mengemukakan beberapa
unsur kritik. Clifford Geertz, antropolog ternama umpamanya
berpendapat bahwa bahan bahasan shame culture dan guilt culture
terlalu dekat satu sama lain untuk dapat dibedakan dengan jelas."
Milton Singer, antropolog dari Universitas Chicago, telah
mertgemukakan kritik yang teliti dan seimbang. Antara lain ia
membantah bahwa untuk rasa malu sanksinya selalu datang dari luar.
Ada juga rasa malu yang tak sadar dan karena itu terbatas pada
keadaan batin seseorang.23
Menurutnya sulit juga untuk diterima bahwa kebudayaan yang
dikategorikan sebagai shame culture telah bersifat statis dan
terbelakang. Sebagai contoh yang membantah anggapan itu kita dapat
menunjuk kepada kebudayaan Jepang.24 Singer sampai pada

21 G. Piers & M. Singer, "Shame and Guilt", (Springfield, Illinois: Ch. C. Thomas,
\953), hal. 45.

22 Clifford Geertz. '"The Interpretation of Culture" , (New York: Basic Books, 1973),
hal. 40 I.

23 G. Piers & M.Singer. Op. Cit .. hal. 52.


372 Budaya Malu, Budaya Salah, dan Budaya Hukunl, HUlagalung

kesimpulan bahwa pada kenyataannya rasa malu dan rasa bersalah


terdapat dalam kebanyakan kebudayaan dan bahwa sejauh rasa malu
dan rasa bersalah itu lebih besar dalam suatu kebudayaan hal itu tidak
berarti sejauh itu juga kebudayaan terse but lebih terbelakang atau lebih
. 25
maJu.
Bagi para filsuf, kesimpulan para ahli Antropologi Budaya itu
mempunyai relevansi juga, karena hal itu menunjukkan bahwa hati
nurani memainkan peranan dalam hampir semua kebudayaan. Tetapi
tidak ada shame culture dan guilt culture yang berbentuk murni dalam
arti semata-mata shame culture atau semata-mata guill cullure maka
tidak ada keberatan untuk mengakui bahwa suatu kebudayaan lebih
condong atau gandrung kepada shame culture dan kebudayaan lain
lebih terarah kepada guilt culture.
Dan dalam hubungan ini dapat di akui juga bahwa hati nurani
memainkan peran yang lebih besar dalam suatu kebudayaan dari pada
kebudayaan lain.

C. Budaya Hukum

Apabila masih ada dikalangan sarjana hukum yang mengingkari


keterkaitan antara hukum dan budaya sudah pasti mereka dapat
digolongkan kedalam kategori ahli hukum dogmatis normalif alau
pandangan juridis normatif. Hukum tidak pernah bersifat otonom
sebagaimana diinginkan Hans Kelsen dalam teori hukum murni (Pure
theory of Law 26 sebagai terjemahan dari Reine Rechtslehre karena
sejatinya tidak ada hukum yang murni dan yang diinginkan Hans
Kelsen hanya satu teori yang murni tentang hukum bukan Teori
Hukum Murni.
Realitas hukum menunjukkan adanya keterkaitan antara hukum
dengan variabel-variabel diluar dirinya, terutama variabel budaya.
Untuk dapat memahami fenomena ini kita harus bertitik tolak dari
dasar berpikir bahwa institusi hukum itu senantiasa tertanam dalam
suatu struktur sosial dan budaya tertentu. maka disitu akan banyak
muncul variable-variabel lain yang mempengaruhi keotonoman
hukum, seperti ekonomi, politik, sosial budaya dan seterusnya.

" Ibid.. hal. 46-47.

" Ibid .. hal. 78-79.

26 Kelsen. Hans. "'Pure Theory of Law", (Berkeley: University California Press .


1978).
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-37 No.3 Juli-September 2007 373

Ada lah mustahil jika perilaku dan praktek hukum suatu bangsa
hanya dimasuk-masukkan dalam pasal-pasal undang-undang begitu
saja, karena hal itu terkait erat dengan budaya hukum bangsa yang
bersangkutan. Itu sebabnya Konggres kebudayaan tahun 1991 pernah
merekomendasikan perlunya pendekatan budaya dalam
penyelenggaraan hukum.
Apabila suatu masyarakat kita perhatikan, maka akan nampak
walaupun sifat-si fat individu berbeda-beda, namun para warga
keseluruhannya akan memberikan reaksi yang sarna terhadap gejala-
gejala tertentu. Hal-hal yang merupakan milik bersama itu dalam
Antropologi budaya dinamakan kebudayaan."
Bertolak dari pengertian demikian maka apa yang dinamakan
blldaya hukllm merupakan salah satu bagian dari kebudayaan manusia
yang demikian luas. Budaya hukum adalah tanggapan umum yang
sarna dari masyarakat tertentu terhadap gejala-gejala hukum.
Tanggapan itu merupakan kesatuan pandangan terhadap nilai-nilai dan
perilaku hukum. Jadi suatu budaya hukum menunjukkan tentang pola
perilaku individu sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan
tanggapan (o rientasi) yang sama terhadap kehidupan hukum yang
dihayati masyarakat yang bersangkutan 2 8
Blidaya hukum bukan merupakan budaya pribadi, melainkan
budaya menyeluruh dari masyarakat tertentu sebagai suatu kesatuan
sikap dan perilaku. Oleh karenanya diskursus budaya hukum tidak
mllngkin terlepas dari keadaan masyarakat, sistem dan susunan
masyarakat yang mengandung budaya hukum itu.
Adapun maksud pembahasan budaya hukum adalah agar dapat
mengenal ciri-ciri (atribut) yang asasi dari budaya hukum itu sendiri
yang berguna untuk penelitian lebih lanjut terhadap proses yang
berlanjut maupun yang berubah atau yang seirama dengan
perkembangan masyarakat dikarenakan sifat kontrol sosial itu tidak
selamanya tetap. Perubahan-perubahan budaya hukum ini juga tidak
berlakll hanya dikalangan masyarakat yang modern semata akan tetapi
juga dikalangan masyarakat sederhana atau masyarakat pedesaan
walaupun terjadinya perubahan itu tidak sarna cepat lambatnya
tergantung keadaan, waktu dan tempatnya.

~7 Lihat T.O. Ihromi. "Pokok Pokok At1tropologi Budaya". (Jakarta: Grarnedia


1980). hal. 13.

2IJ Lihat Prof. H. Hilman Hadikusuma. "Anrropologi Hukum Indonesia". (Bandung:


Alu mni. 1986). hal. 51.
374 Budaya Malu, Budaya Salah, dan Budaya Hukum, Hutagalung

Dikarenakan pemahaman (persepsi) budaya hukum itu pada


kenyataannya sering tampak berkaitan dengan peradaban dan
teknologi tidak ada salahnya jika budaya hukum itu dapat juga di sebut
peradaban hukum. Budaya hukum itu dapat merupakan tanggapan
yang bersifat penerimaan atau penolakan terhadap suatu peristiwa
hukum.
Oleh karena sistem hukum itu merupakan hubun gan yang kait
mengkait diantara manusia, masyarakat, kekuasaan. dan aturan-aturan
maka titik perhatian antropologi hukum untuk hal ini adalah pada
perilaku manusia yang telibat dalam suatu peristiwa hukum.
Kaitan antara perilaku hukum manusia dengan budaya hukumnya
terletak pada tanggapannya terhadap hukum yang ideologis dan hukum
yang praktis dari sudut pan dang yang ekletis. Antara keduanya akan
bertemu dalam peristiwa hukum yang terjadi. Oleh karen any a dengan
melakukan studi kasus diharapkan dapat menemukan jawaban
sejauhmana orang perorang itu setuju atau tidak setuju terhadap cara
penyelesaian mengenai sesuatu perselisihan hukum .
Tercapainya kesepakatan dalam penyelesaian suatu perselisihan
hukum tidak terlepas dari pola orientasi hukum yang umum dalam
masyarakat yang merupakan percerminan dari budaya hukum, yaitu
percerminan nilai-nilai budaya mengenai hukum dan keadilan yang
dirasakan oleh masyarakat yang dikehendaki dan dibenarkan oleh
masyarakat yang bersangkutan. Memang tidak pernah ada kebenaran
yang mutlak karena kebenaran yang mutlak hanya monopoli dari
Tuhan Yang Maha Pencipta, namun dari pandangan hidup masyarakat
yang itu dapat digambarkan budaya hukumnya.
Dikarenakan pandangan hidup masyarakat Indonesia adalah
Pancasila maka budaya hukum masyarakat Indonesia adalah hukum
Pancasila yang tetap mengakui adanya "bhineka tunggal ika". Artinya
berbeda dalam kesatuan dan kesatuan yang ada dalam aneka
perbedaan. Dari sini budaya hukum Indonesia ada yang berupa budaya
hukum nasional dan ada yang budaya hukum lokal.
Dengan budaya hukum itu maka sistem hukum akan diperkaya
dengan suatu komponen yang tidak berupa peraturan formal maupun
institusi-institusi melainkan sesuatu yang lebih bersifat spiritual. Oleh
karen a itu upaya memahami hukum suatu bangsa secara lengkap tidak
hanya dilakukan melalu i pengamatan terhadap sistem formalnya akan
tetapi melainkan sampai kepada budaya hukumnya. Budaya hukum itu
semacam kekuatan yang menggerakkan bekerjanya hukum. Kendati
bangsa-bangsa bisa saja menggunakan hukum yang sam a akan tetapi
JI/rna! HlIkum dan Pembangunan Tahun ke-37 No. 3 Juli-September 2007 375

perbedaan budaya hukum bangsa-bangsa itu akan menentukan


29
bagaimana dalam kenyataannya hukum itu bekerja
Budaya hukum itu berupa nilai-nilai, tradisi dan lain-lain kekuatan
spiritual yang menentukan bagaimana hukum itu dijalankan dalam
masyarakat. Suatu bangsa bisa menggunakan sistem hukum tertentu
akan tetapi apakah didalam kenyataannya digunakan atau tidak
digunakan adalah soal lain dan hal ini berkaitan dengan budaya
hukumnya.
Distorsi-distorsi dalam penegakan hukum terjadi pada saat suatu
bangsa meresepsi sistem hukum bangsa lain yang didukung oleh
budaya hukum tertentu dijadikan standar yang menentukan, padahal
set iap bangsa mempunyai budaya hukumnya sendiri-sendiri .
Ketika s istem hukum Kapitalisme yang didukung oleh budaya
hukum yang liberal individualistis di resepsi dalam masyarakat kita
tanpa mempertimbangkan budaya hukumnya pasti akan menemui
kegagalan-kegaga lan dalam penerapannya. Dapat saja negara kita
mereseps! sistem hukum negara yang bereiri kapitalis dan
individua listik akan tetapi didalam penerapannya para aktor-aktor
yang terlibat harus mampu memainkan peran aktor sebagai seorang
vang terikat dengan budaya hukum Paneasila yang bereiri ko lektif-
kommunal tidak individual semata-mata apalagi liberal.
Secara garis besar, kita dapat mengambil contoh tipe masyarakat
yang bersifat individual dan yang kolektif kommunal pada saat
berbicara mengenai budaya hukum. Kedua masyarakat tersebut diatas
memiliki karakteristik, nilai-nilai dan tradisinya sendiri yang menjadi
bahan pembentukan budaya hukumnya. Amerika Serikat yang
individual dan Jepang yang kommunal untuk mewakili keduanya.
Memang diakui bahwa budaya hukum Amerika yang berwatak
individual, liberal cukup mendominasi dunia, akan tetapi Jepang selalu
berusaha untuk mempertahankan budayanya yang berwatak kommunal
ditengah-tengah an!s globalisasi sekarang ini.
Kalau budaya hukum Amerika berciri guilt culture akan tetapi
Jepang tetap mempertahankan shame culture. Akan tetapi tidak dapat
diartikan jika tetap memelihara budaya "Kommunal", shame culture
Jepang dianggap tert inggal dari peradaban baik dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu seringkali disebutkan
bahwa Jepang sebagai suatu bangsa yang su lit dimengerti (enigma).
Pernyataan tersebut sebetulnya didasari oleh suatu anggapan bahwa

:9 Lihar Prof. Satj ipto Rahardjo. "lImu Hukum. Pencarian. P~ l1lb~basan dan
Pencerahan". (Surakarta: Uni versitas Muhamll1ad i~ah. 2004 ). hal. 76-80.
3 76 Budaya Malu, Budaya Salah. dan B7Idaya Hukum. flu/a ga/ung

sega la sesuatu harus diukur berdasarkan perspektif Amerika seperti


anggapan Francis Fukuyama.
Jepang yang sedikit banyak berhasil mempertahankan ketegaran
budayanya seringkali menampilkan The Japanesetwisl dalam
menj alankan hukum modern . Mereka dengan kokoh memba ngun s uatu
struktur dimana ada kemampuan memisahkan antara "yang diluar"
(oulward looking) dan "di dalam" (inward looking). Da lam s istem
hukum Jepa ng pemi sahan itu diproyeksikan dalam bentuk lelemae dan
honne. 3f1
Jepang menenma hukum modern dalam POStS) lelemae
(penerimaan di luar atau formal) , sedangkan praktek sesungguhnya
akan dijalankan menurut honne (didalam, nurani dan tradisi). Maka
dalam hal ini penerimaan terhadap hukum modern lebih bersifat
legitimatif, sedangkan prakteknya dijalankan (etap secant kommunal.
kolektif, konsensua!.
Dalam hal ini, ukuran-ukurannya juga menjadi berbeda. mi sa lnya
Jepang t idak melihat proses hukum sebagai sesuatu yang individual.
rasional melainkan mengaitkannya pada ukuran honne atau
"moralitas". Sebagai akibatnya jika seorang pejabat dituduh korupsi
dan mulai diproses secara hukum maka di Jepang pejabat itu harus
mundur dari jabatan publik yang didudukinya. Tuntutan honne berupa
rasa ma lu dan kehormatan jauh lebih kuat daripada me lihat proses
hukum sebagai suatu proses forma!'
Apabila di Amerika seorang pelaku (aktor) dalam hukul1l
berkapasitas ind ividu, maka di Jepang seorang pelaku seperti itu sela lu
di lihat dalam konteks sosia!. la adalah seorang "sos ia l" bukan
"seorang individu semata".

III. Penutup

Hukul1l se bagai kaedah sosial , tidak mungkin dapat dilepaskan dari


nilai (values) yang berlaku disuat u masyarakat. Bahkan dapat dikatakan
bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlak u
didalam masyarakat.
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum ya ng
hidup (living law) dalam masyarakat yang berarti hukum yang merupakan
pencerm inan dari nilai -nilai dalam masyarakat itu.

JO Ibid.
.fumal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-J7 No. J Juli-September 2007 377

Didalam suatu masyarakat yang mengalami proses peralihan


(lransi/ion) dari suatu masyarakat yang sederhana yang bereiri tertutup. statis
dan terbelakang menuju ke suatu masyarakat yang modern yang bereiri
dinamis. terbuka dan maju maka nilai-nilai masyarakat itupun sedang
mengalam i proses perubahan pula.
Dalam konteks perubahan itu maka dalam proses pembangunan
ataupun reformas i yang terpenting bukanlah sekedar mengejar pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan yang berorientasi fisik material semata yang
ditandai dengan banyaknya gedung tinggi, kondominimum, monorail,
jembatan layang ataupun jalan dibawah tanah serta infra struktur lainnya atau
perkembangan teknologi transportasi seperti kapal laut, pesawat. juga
teknologi informasi yang canggih akan tetapi yang paling pokok dan
terpenting adalah pembangunan mallLlsia sebagai allggota masyarakat selta
nilai-nilai dan budaya yang mereka anut.
N ilai-nilai sosial budaya itu tidak lepas dari sikap (altitude), pola pikir.
budaya yang mendorong dan seharusnya dimiliki oleh masyarakat yang
sedang membangun dan merefonnasi diri itu, Mengabaikan aspek ini maka
pe mbangunan at au pembaharuan fisik material semata tidak ban yak berarti
bahkan akan menemui kegagalan seperti yang sudah dibuktikan oleh
pemborosan-pemborosan yang terjadi di banyak negara berkembang yang
31
mengabaikan aspek budaya ini
Para elit masyarakat termasuk apa yang dinamakan intelektual sebagai
golongan yang mempelopori pembaharuan seringkali tidak dapat
mempraktekkan nilai-nilai atau sifat-sifat yang mereka anjurkan sebagai sifat
yang diperlakukan dalam masyarakat modern, misalnya: (I) Kejujuran
fh onesry): (2) efisiensi (efficient): (3) bertepat waktu (punctuality): (4)
keteraturan (orderliness): (6) rasional dalam berpikir dan dalam mengambil
ke putusan: (7) kemampuan untuk menangguhkan konsumsi (perspektif masa
de pan)."
Dalam kaitannya dengan nilai-nilai budaya itu kita dapat saja
mengambi I segi -segi positif dari budaya Barat khususnya budaya hukum
A merika yang bereiri kapitalis liberal itu akan tetapi dalam
me mpraktekkannya tetap menyaringnya dengan budaya hukum itu sendiri
yang lebih bersifat kommunal yang bereiri kekeluargaan dan kegotong
royo ngan sebagai ciri yang menonjol dari budaya hukum Paneasi!a.

:l l Lihat Prof. Mochtar Kusumaatmadja. "Konsl!p Konst:p Hukum dalam


Pc mbangunan". (Bandung: Alumni. 2006). hal. 10 - 12.

" Ibid .. hal. 12 .


378 Budaya Malu, Budaya Salah, dan Budaya Hukum. Hwagalung

Dalal11 penel11uan hukul11 dan pel11bentllkan hllklll11-hukul11 baru kita


tidak 11111ngkin l11enutup diri dari globalisasi akan tetapi dalam penerapan
hukul11 kita hanls lebi h l11el11pertil11bangkan budaya hllklll11 kita send iri .
Semoga jadi bahan renllngan buat para pel11benlUk illlkul11 dan penegak
hukul11 di negeri kita .
Jurnai Hukum dan Pembangunan Tahun ke-37 No.3 Juli-September 2007 379

Daftar Pustaka

Alatas, Syed Husen. Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelasan dengan Data


Kontemporer, Jakarta: LP3ES, 1981.
Baker, J.W.M., S.1. Filsafat Kebudayaan Suatu Pengantar. Yogyakarta -
Jakarta: Kanisius - BPK, 1,984.
Bertens, K. Etika, Jakarta: Gramedia, 2001.
Clifford, Geertz. The Interpretation of Culture, New York: Basic Books.
1973.
Hadikusuma, H. Hilman. Antropologi Hukum Indonesia. Bandung, Alumni,
1986.
Ihromi, T.O. Pokok Pokok Antropologi Budaya, Jakarta: Gramedia, 1980.
Keeler, W. "Shame and Stage Fright in Java". ETHOS, 11-3. "Society for
Psycological Antropology", KOMPAS 24-12-1986.
Kelsen, Hans. Pure Theory of Law. Berkeley: University California Press,
1978.
Kleden, Ignas. "Kebudayaan: Agenda Buat Daya Cipta", PRISMA No. I Th.
XIV (1985)
_ _ _ _ , Sikap lImiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta: LP3ES, 1988.
Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta:
Gramedia, 1974.
_ _ _ _ . Tokoh Tokoh Antropologi. Jakarta: Penerbitan Universitas. 1964.
Kroeber, A.L. & Kluckhohn, C. Culture, A Critical of Concepts and
Definition. dalam Mitchell, D. (Ed.), A Dictionary of Sociology,
London and Henley: Routledge and Keagen Panl, 1977.
Kusumaatmadja, Mochtar. Konsep Konsep Hukum dalam Pembangunan,
Bandung: Alumni, 2006.
Lickona, T. (ed.). Moral Development and Behavior. Theory, Research and
Issue, New York: Holt Rinehartz Winston, 1976.
Linton, Ralph. A Study of Man. New York: Apleton Century Crafts Inc.,
1936.
Mead, Margareth. Cooperation and Competition Among Primitive Peoples,
Boston: Beacon Press. 1961.
380 Budaya Malu. Budaya Salah, dan Budaya Hukum. HItlago/ung

Moeljatno. Kitab Undang Undang Hukul11 Pidana. Jakarta : BUl11i Aksara.


2003.
Piers. G. & Singer. M. Shame and Guilt. Illinois. Springfield: Ch. C.
Thomas. 1953 .
Rahardjo. Satjipto. I1l11u Hukum. Pencarian, Pel11bebasan dan Pencerah an.
Surakarta: Univers itas Muhammadiyah. 2004.
_ _ _~, "Sisi Sisi Lain dari Hukum di Indonesia". Jakarta .. Kompas, 2003.
Soekanto. Soerj ono. Beberapa Permasalahan Hukum da lam Kerangka
Pembangunan di Indonesia. Jakarta : Yayasan Penerbit Univeritas
Indonesia. 1976.
Soemardjan. Selo & Soemardi Soelaiman (eds). Setangka i Bunga Sosiologi.
Jakarta: Penerbit FE UI. 1964.
Subekti , R. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita. 1996.
Sutherland, Robert . L. (ed), introductory Sociology. C hicago - Philadelphia
- New York : J. B. Lippincon Company. 1961.
Tylor. E.B . Primitive Culture. London : John Murray, 1873. da lam Prisma II .
1981.
Weber. Max. The Protestant Ethic and The Spirit o/Capitalis m, New York:
Charles Scribners Sons, 1958.
William. M. Robin . Jr. American Society A Socialogical interpretation.
New York : Alfred A. KnopL 1967.

Anda mungkin juga menyukai