PENDAHULUAN
C. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu :
1. Dura mater (luar)
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang
keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan
dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di
bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang
terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai
perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang
berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis
tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan
menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan
darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-
sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningeal terletak antara dura mater dan permukaan
dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala
dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri
meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
D. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang
dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon
(otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak
tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula
oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus
parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus
temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital
bertanggungjawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons
bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran
dan kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik.
Serebellum bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.
E. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. Pleksus koroid adalah jaring-
jaring kapiler berbentuk bungan kol yang menonjol dari piamater ke dalam
dua ventrikel otak. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen
monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV.
CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio
arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam
CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu
penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intrakranial. Angka
rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan
dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.
Ruangan CSS mulai terbentuk pada minggu kelima masa embrio,
terdiri dari system ventrikel, sisterna magna pada dasar otak dan ruang
subaraknoid yang meliputi seluruh susunan saraf pusat (SSP). Hubungan
antara system ventrikel dan ruang subaraknoid adalah melalui foramen
Magendie di median dan foramen Luschka di sebelah lateral ventrikel IV.
Aliran CSS yang normal ialah dari ventrikel lateralis melalui foramen
Monroi ke ventrikel III, dari tempat ini melalui saluran yang sempit
akuaduktus Sylvii ke ventrikel IV dan melalui foramen Luschka dan
Magendie ke dalam ruang subaraknoid melalui sisterna magna. Penutupan
sisterna basalis menyebabkan gangguan kecepatan resorpsi CSS oleh
sistem kapiler (Ngastiyah, 1997).
CSS yang berada di ruang subarakhnoid, merupakan cairan yang bersih
dan tidak berwarna. Merupakan salah satu proteksi untuk melindungi
jaringan otak dan medula spinalis terhadap trauma atau gangguan dari luar.
Pada orang dewasa volume intrakranial kurang lebih 1700 ml, volume otak
sekitar 1400 ml, volume cairan serebrospinal 52-162 ml (rata-rata 104 ml)
dan darah sekitar 150 ml.
F. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
G. Inervasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan
membentuk circulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan
otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup.
Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus
cranialis.
Sistem ventrikel terdiri dari 2 buah ventrikel lateral, ventrikel III dan
ventrikel IV. Ventrikel lateral terdapat di bagian dalam serebrum, masing-
masing ventrikel terdiri dari 5 bagian yaitu kornu anterior, kornu posterior,
kornu inferior, badan dan atrium. Ventrikel III adalah suatu rongga sempit
di garis tengah yang berbentuk corong unilokuler, letaknya di tengah
kepala, ditengah korpus kalosum dan bagian korpus unilokuler ventrikel
lateral, diatas sela tursica, kelenjar hipofisa dan otak tengah dan diantara
hemisfer serebri, thalamus dan dinding hipothalanus. Disebelah
anteropeoterior berhubungan dengan ventrikel IV melalui aquaductus
sylvii. Ventrikel IV merupakan suatu rongga berbentuk kompleks, terletak
di sebelah ventral serebrum dan dorsal dari pons dan medula oblongata.
2.4 Etiologi
Cairan serebrospinal merupakan cairan jernih yang diproduksi dalam
ventrikulus otak oleh pleksus koroideus, cairan ini mengalir dalam ruang
subaraknoid yang membungkus otak dan medulla spinalis untuk
memberikan perlindungan serta nutrisi.
CSS yang dibentuk dalam sistem ventrikel oleh pleksus khoroidalis
kembali ke dalam peredaran darah melalui kapiler dalam piameter dan
araknoid yang meliputi seluruh sistem saraf pusat. Cairan likuir
serebrospinal terdapat dalam suatu sistem, yakni sistem internal dan sistem
eksternal. Pada orang dewasa normal jumlah CSS 90-150 ml, anak umur
8-10 th 100-140 ml, bayi 40-60 ml, neonates 20-30 ml, dan premature
kecil 10-20ml. cairan yang tertimbun dalam ventrikel 500-1500 ml.
(Darsono,2005).
Aliran CSS normal ialah dari ventrikel lateralis melalui foramen
Monroe ke ventrikel III, dari tempat ini melalui saluran yang sempit
akuaduktus sylvii ke ventrikel IV dan melalui foramen Luschka dan
Magendie ke dalam ruang subaraknoid melalui sistem magna.Penutupan
sisterna basalis menyebabkan gangguan kecepatan resorbsi CSS oleh
sistem kapiler.
Pembentukan CSS yang terlalu banyak dengan kecepatan absrorpsi
yang normal akan menyebabkan terjadinya hidrosefalus, namun dalam
klinik sangat jarang terjadi, misalnya terlihat pelebaran ventrikel tanpa
penyumbatan pada adenomata pleksus koroidalis. Penyebab penyumbatan
aliran CSS yang sering terdapat pada bayi dan anak yaitu kelainan bawaan,
infeksi, neoplasma, dan perdarahan.
1. Kelainan bawaan
a. Stenosis Akuaduktus Sylvius merupakan penyebab terbanyak. 60-
90% kasus hidrosefalus terjadi pada bayi dan anak-anak.
Umumnya terlihat sejak lahir atau prograsif dengan cepat pada
bulan-bulan pertama setelah lahir.
b. Spina bifida dan cranium bifida merupakan berhubungan dengan
sindroma Arnord Chairi akibat tertariknya medulla spinalis, dengan
medulla oblongata dan sebelum letaknya lebih rendah dan
menutupi foramen magnum sehingga terjadi penyumbatan sebagian
atau total.
c. Sindrom Dandy Walker – atresiakongenital foramen luschka dan
magendi dengan akibat hidrosefalus obstruktif dengan pelebaran
sistem ventrikel, terutama ventrikel IV yang dapat sedemikian
besarnya hingga merupakan suatu kista yang besar di daerah fosa
posterior.
d. Kista arachnoid dapat terjadi kongenital maupun didapat akibat
trauma sekunder suatu hematoma.
e. Anomali pembuluh darah akibat aneurisma arterio vena yang
mengenai arteria serebralis posterior dengan vena Galeni atau sinus
tranversus dengan akibat obstruksi akuaduktus.
2.5 Epidemiologi
Insiden hidrosefalus kongenital di AS adalah 3 per 1.000 kelahiran hidup
sedangkan insiden untuk hidrosefalus akuisita tidak diketahui secara pasti
karena penyebab penyakit yang berbeda-beda. Pada umumnya, insiden
hidrosefalus adalah sama untuk kedua jenis kelamin, kecuali pada sindrom
Bicker- Adams ditularkan oleh perempuan dan diderita oleh laki-laki.
hidrosefalus dewasa mewakili sekitar 40% dari total kasus hidrosefalus.
2.6 Patofisiologi
Hidrosefalus terjadi karena obstruksi aliran cairan serebrospinal (CSS),
gangguan absorpsi CSS dan produksi CSS yang berlebihan. Banyak faktor
penyebab terjadinya hidrosefalus, termasuk tumor, malformasi vaskuler,
abses , kista intraventrikular, perdarahan ventricular, meningitis, stenosis
aqueduktus, dan traumaserebri. Ada dua jenis hidrosefalus kongenital dan
yang didapat:
1) Hidrosefalus kongenital terjadi pada 0,5 sampai 1 dari 1000
kelahiran hidup.2.
2) 70 % anak dengan hidrosefalus yang tidak diobati memiliki angka
bertahan hidup (survival rate) 5 tahun dan 75 % dari anak-anak ini
memiliki IQ lebih dari 75.
Menurut Jurnal, Pembentukan CSS terutama dibentuk di dalam sistem
ventrikel. kebanyakan cairan tersebut dibentuk oleh pleksus koroidalis di
ventrikel lateral, yaitu kurang lebih sebanyak 80% dari total cairan
serebrospinal. Kecepatan pembentukan CSS lebih kuramg 0,35-0,40
ml/menit atau 500ml/hari, kecepatan pembentukan cairan tersebut sama
pada orang dewasa maupun anak-anak. Dengan jalur aliran yang dimulai
dari ventrikel lateral menuju ke foramen monro kemudian ke ventrikel 3,
selanjutnya mengalir ke akuaduktus sylvii, lalu ke ventrikel 4 dan menuju
ke foramen luska dan magendi, hingga akhirnya ke ruang subaraknoid dan
kanalis spinalis.
Secara teoritis, terdapat tiga penyebab terjadinya hidrosefalus yaitu :
1) Produksi likuor yang berlebihan, kondisi ini merupakan penyebab
paling jarang di kasus hidrosefalus, hamper semua keadanan ini
disebabkan oleh adanya tumor pleksus koroid (papilloma atau
karasinoma), namun ada pula yang terjadi akibat dari
hipervitaminosis vitamin A.
2) Gangguan aliran likuor yang merupakanawal kebanyakan kasus
hidrosefalus. Kondisi ini merupakan akibat dari obstruksi atau
tersumbatnya sirkulasi CSS yang dapat terjadi di ventrikel maupun
vili araknoid. Secara umum terdapat tiga penyebab terjadinya
keadaan patologis yaitu:
a. Malformasi yang menyebabkan penyempitan saluran likuor,
misalnya stenosis akuaduktus sylvii dan malformasi Arnold
cairi.
b. lesi masa yang menyebabkan kompresi intrinsic maupun
eksterinsik saluran likuor, misalnya tumir intraventrikel,
dan penekanan tumor pada ventrikel, kista araknoid dan
hematom.
c. Proses inflamasi dan gangguan lainnya seperti
mukopolisakaridosis, termasuk reaksi ependymal, fibrosis
leptomenigeal dan obliterasi villi araknoid.
2.7 Klasifikasi
Menurut Zulkarnain, 2011Klasifikasi hidrosefalus bergantung pada faktor
yang berkaitan dengannya berdarkan:
1. Gambaran Klinis
Dikenal hidrosefalus manifest dan hidrosefalus tersembunyi.
Hidrosefalus yang tampak jelas dengan tanda-tanda klinis yang khas
disebut hidrosefalus yang manifest. Sementara itu, hidrosefalus
dengan ukuran kepala yang normal disebut sebagai hidrosefalus yang
tersembunyi.
2. Waktu Pembentukan
Dikenal hidrosefalus kongenital dan hidrosefalus akuisita.
Hidrosefalus yang terjadi pada neonates atau yang berkembang
selama intra uterin disebut hidrosefalus kongenital. hidrosefalus yang
terjadi karena cedera kepala selama proses kelahiran disebut
hidrosefalus infantile. Hidrosefalus akuisita adalah hidrosefalus yang
terjadi setelah masa neonates atau disebabkan oleh faktor lain secara
masa neonatus
3. Proses Terbentuknya
Dikenal hidrosefalus akut dan hidrosefalus kronik. hidrosefalus akut
adalah hidrosefalus yang terjadi secara mendadak sebagai akibat
obstruksi atau gangguan absorpsi CSS (berlangsung dalam beberapa
hari). Disebut hidrosefalus kronik apabila perkembangan hidrosefalus
terjadi setelah aliran CSS mengalami obstruksi beberapa minggu
(bulan-tahun). Dan diantar waktu tersebut disebut hidrosefalus
subakut.
4. Sirkulas CSS, dikenal hidrosefalus komunikan dan hidrosefalus non
komunikan
5. Hidrosefalus interna menunjukkan adanya dilatasi ventrikel,
hidrosefalus eksterna menunjukkan adanya pelebaran rongga
subrakhnoid di atas permukaan korteks. hidrosefalus obstruktif
menjabarkan kasus yang mengalami obstruksi pada aliran likuor.
berdasarkan gejala, dibagi menjadi hidrosefalus simptomatik dan
asimptomatik. Hidrosefalus arrested menunjukkan keadaan dimana
faktor-faktor yang menyebabkan dilatasi ventrikel pada saat tersebut
sudah tidak aktif lagi. Hidrosefalus ex vaco adalah sebutan bagi kasus
ventrikulomegali yang diakibatkan atrofi primer yang biasanya
terdapat pada orang tua.
Pada Bayi
Penyebab
Hidrosefalus berkaitan
Pada dewasa dan anak yang sudah besar, tanda dan gejala yang
menunjukkan hidrosefalus yaitu:
a. Penurunan tingkat kesadaran akibat peningkatan tekanan intrakarnial.
b. Ataksia akibat kompresi pada daerah motorik.
c. Ketidakmampuan spinter untuk menahan urine.
d. Gangguan intelektual
Bayi:
Anak:
2.12 Penatalaksanaan
Menurut Mayer, 2003 :
Satu-satunya penanganan pada hidrosefalus adalah dengan koreksi melalui
pembedahan melalui pemasangan :
1. Ventriculoperitoneal shunt (VP shunt)
Untuk mengangkut cairan serebrospinal yang berlebihan dari ventrikel
lateralis ke dalam kavum peritoneal.
2. Venriculoatrial shunt (pemasangan alat ini lebih jarang dilakukan ) ]
Untuk mengalirkan cairan serebrospinal dari dari ventrikulus lateralis otak ke
dalam atrium kanan jantung agar cairan tersebut dapat mengalir sendiri ke dalam
peredaran darah vena.
Perawatan supportif juga harus dilakukan pada kasus ini. Penanganan
hidrocefalus masuk pada katagori ”live saving and live sustaining” yang berarti
penyakit ini memerlukan diagnosis dini yang dilanjutkan dengan tindakan bedah
secepatnya. Keterlambatan akan menyebabkan kecacatan dan kematian sehingga
prinsip pengobatan hidrocefalus harus dipenuhi yakni:
a. Mengurangi produksi cairan serebrospinal dengan merusak pleksus
koroidalis dengan tindakan reseksi atau pembedahan, atau dengan obat
azetasolamid (diamox) yang menghambat pembentukan cairan
serebrospinal.
b. Memperbaiki hubungan antara tempat produksi cairan serebrospinal dengan
tempat absorbsi, yaitu menghubungkan ventrikel dengan subarachnoid
c. Pengeluaran cairan serebrospinal ke dalam organ ekstrakranial, yakni:
Drainase ventrikule-peritoneal (Holter, 1992; Scott, 1995;Anthony JR,
1972)
Drainase Lombo-Peritoneal
Drainase ventrikulo-Pleural (Rasohoff, 1954)
Drainase ventrikule-Uretrostomi (Maston, 1951)
Drainase ke dalam anterium mastoid
d. Mengalirkan cairan serebrospinal ke dalam vena jugularis dan jantung
melalui kateter yang berventil (Holter Valve/katup Holter) yang
memungkinkan pengaliran cairan serebrospinal ke satu arah. Cara ini
merupakan cara yang dianggap terbaik namun, kateter harus diganti sesuai
dengan pertumbuhan anak dan harus diwaspadai terjadinya infeksi
sekunder dan sepsis.
e. Tindakan bedah pemasangan selang pintasan atau drainase dilakukan setelah
diagnosis lengkap dan pasien telah di bius total. Dibuat sayatan kecil di
daerah kepala dan dilakukan pembukaan tulang tengkorak dan selaput otak,
lalu selang pintasan dipasang. Disusul kemudian dibuat sayatan kecil di
daerah perut, dibuka rongga perut lalu ditanam selang pintasan, antara ujung
selang di kepala dan perut dihubungakan dengan selang yang ditanam di
bawah kulit hingga tidak terlihat dari luar.
f. Pengobatan modern atau canggih dilakukan dengan bahan shunt atau
pintasan jenis silicon yang awet, lentur, tidak mudah putus. VRIES (1978)
mengembangkan fiberoptik yang dilengkapi perawatan bedah mikro dengan
sinar laser sehingga pembedahan dapat dipantau melalui televisi.
g. Penanganan Sementara
Terapi konservatif medikamentosa ditujukan untuk membatasi evolusi
hidrosefalus melalui upaya mengurangi sekresi cairan dari pleksus khoroid
atau upaya meningkatkan resorbsinya.
Terapi
Pada dasarnya ada 3 prinsip dalam pengobatan hidrosefalus, yaitu :
Mengurangi produksi CSS
Mempengaruhi hubungan antara tempat produksi CSS dengan
tempat absorbs
Pengeluaran likuor ( CSS ) kedalam organ ekstrakranial.
Penanganan hidrosefalus juga dapat dibagi menjadi :
a. Penanganan sementara
Terapi konservatif medikamentosa ditujukan untuk membatasi
evolusi hidrosefalus melalui upaya mengurangi sekresi cairan dari
pleksus khoroid atau upaya meningkatkan resorbsinya.
b. Penanganan alternatif ( selain shunting )
Misalnya : pengontrolan kasus yang mengalami intoksikasi vitamin
A, reseksi radikal lesi massa yang mengganggu aliran likuor atau
perbaikan suatu malformasi. saat ini cara terbaik untuk malakukan
perforasi dasar ventrikel dasar ventrikel III adalah dengan teknik
bedah endoskopik.
c. Operasi pemasangan “ pintas “ ( shunting )
Operasi pintas bertujuan mambuat saluran baru antara aliran likuor
dengan kavitas drainase. pada anak-anak lokasi drainase yang
terpilih adalah rongga peritoneum. baisanya cairan ceebrospinalis
didrainase dari ventrikel, namun kadang ada hidrosefalus
komunikans ada yang didrain rongga subarakhnoid lumbar. Ada 2
hal yang perlu diperhatikan pada periode pasca operasi, yaitu
pemeliharaan luka kulit terhadap kontaminasi infeksi dan
pemantauan. kelancaran dan fungsi alat shunt yang dipasang.
infeksi pada shunt meningkatkan resiko akan kerusakan intelektual,
lokulasi ventrikel dan bahkan kematian
Penatalaksanaan Bedah
2.13 Komplikasi
Komplikasi hidrosefalus menurut Mayer, 2003 :
1. Retardasi mental
2. Gangguan fungsi motoric
3. Kehilangan penglihatan
4. Herniasi otak
5. Kematian akibat peningkatan tekanan intracranial
6. Infeksi
7. Malnutrisi
8. Infeksi pada shunt (sesudah pembedahan)
9. Septikemia (sesudah pemasangan shunt)
10. Ileus paralitik, adhesi, peritonitis, dan perforasi usus (sesudah
pemasangan shunt)
2.14 Prognosis
Keberhasilan tindakan operatif serta prognosis hidrosefalus ditentukan
ada atau tidaknya anomali yang menyertai, mempunyai prognosis lebih
baik dari hidrosefalus yang bersama dengan malformasi lain (hidrosefalus
komplikata). Prognosis hidrosefalus infatil mengalami perbaikan
bermakna namun tidak dramatis dengan temuan operasi pisau. Jika tidak
dioperasi 50-60% bayi akan meniggal karena hidrosefalus sendiri ataupun
penyakit penyerta. Skitar 40% bayi yang bertahan memiliki kecerdasan
hampir normal. Dengan bedah saraf dan penatalaksanaan medis yang baik,
sekitar 70% diharap dapat melampaui masa bayi, sekitar 40% dengan
intelek normal, dan sektar 60% dengan cacat intelek dan motorik
bermakna. Prognosis bayi hidrosefalus dengan meningomilokel lebih
buruk.
Hidrosefalus yang tidak diterapi akan menimbulkan gejala sisa,
gangguan neurologis serta kecerdasan. Dari kelompok yang tidak diterapi,
50-70% akan meninggal karena penyakitnya sendiri atau akibat infeksi
berulang, atau oleh karena aspirasi pneumonia. Namun bila prosesnya
berhenti (arrested hidrosefalus) sekitar 40% anak akan mencapai
kecerdasan yang normal (Allan H. Ropper, 2005).
Pada kelompok yang dioperasi, angka kematian adalah 7%. Setelah
operasi sekitar 51% kasus mencapai fungsi normal dan sekitar 16%
mengalami retardasi mental ringan. Adalah penting sekali anak
hidrosefalus mendapat tindak lanjut jangka panjang dengan kelompok
multidisipliner. (Darsono, 2005)
A. Pengkajian
b. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum:
Pada keadaan hidrosefalus umumnya mengalami penurunan kesadaran (GCS <15) dan
terjadi perubahan pada tanda-tanda vital.
B1(breathing)
Perubahan pada system pernafasan berhubungan dengan inaktivitas. Pada beberapa
keadaan hasil dari pemeriksaan fisik dari system ini akan didapatka hal-hal sebagai berikut:
Ispeksi umum: apakah didapatkan klien batuk, peningkatan produksi§ sputum, sesak nafas,
penggunaan otot batu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan. Terdapat retraksi
klavikula/dada, mengembangan paru tidak simetris. Ekspansi dada: dinilai penuh/tidak
penuh, dan kesimetrisannya. Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai retraksi dada
dari otot-otot interkostal, substernal pernafasan abdomen dan respirasi paraddoks(retraksi
abdomen saat inspirasi). Pola nafas ini terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu
menggerakkan dinding dada.
Palpasi: taktil primitus biasanya seimbang kanan an kiri
Perkusi: resonan pada seluruh lapang paru.
Auskultasi: bunyi nafas tambahan, seperti nafas berbunyi stridor, ronkhi pada klien dengan
adanya peningkatan produksi secret dan kemampuan batuk yang menurun yang sering
didapatkan pada klien hidrosefalus dengan penurunan tingkat kessadaran.
B2 (Blood)
Frekuensi nadi cepat dan lemah berhubungan dengan homeostasis tubuh dalam upaya
menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer. Nadi brakikardia merupakan tanda dari
perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat merupakan tanda penurunan
hemoglobin dalam darah. Hipotensi menunjukan adanya perubaha perfusi jaringan dan tanda-
tanda awal dari suatu syok. Pada keadaan lain akibat dari trauma kepala akan merangsang
pelepasan antideuretik hormone yang berdampak pada kompensasi tubuh untuk melakukan
retensi atau pengeluaran garam dan air oleh tubulus. Mekanisme ini akan meningkatkan
konsentrasi elektroloit sehingga menimbulkan resiko gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit pada system kardiovaskuler.
B3 (Brain)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap disbanding
pengkajian pada system yang lain. Hidrosefalus menyebabkan berbagai deficit neurologis
terutama disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intracranial akibat adanya peningkatan
CSS dalam sirkulasi ventrikel.
Kepala terlihat lebih besar jika dibandingkan dengan tubuh. Hal ini diidentifikasi
dengan mengukur lingkar kepala suboksipito bregmatikus disbanding dengan lingkar dada
dan angka normal pada usia yang sama. Selain itu pengukuuran berkala lingkar kepala, yaitu
untuk melihat pembesaran kepala yang progresif dan lebih cepat dari normal. Ubun-ubun
besar melebar atau tidak menutup pada waktunya, teraba tegang atau menonjol, dahi tampak
melebar atau kulit kepala tampak menipis, tegang dan mengkilat dengan pelebaran vena kulit
kepala.
Satura tengkorak belum menutup dan teraba melebar. Didapatkan pula cracked pot sign
yaitu bunyi seperti pot kembang yang retak pada perkusi kepala. Bola mata terdorong
kebawah oleh tekanan dan penipisan tulang subraorbita. Sclera tanpak diatas iris sehingga iris
seakan-akan matahari yang akan terbenam atau sunset sign.
B4 (Bledder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah dan karakteristik urine, termasuk berat jenis
urine. Peningkatan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat
menurunya perfungsi pada ginjal. Pada hidrosefalus tahap lanjut klien mungkin mengalami
inkontensia urin karena konfusi, ketidak mampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan
ketidak mampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk menggunakan
system perkemihan karena kerusakan control motorik dan postural. Kadang-kadang control
sfingter urinarius eksternal hilang atau steril. Inkontensia urine yang berlanjut menunjukkan
kerusakan neurologis luas.
B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, serta mual dan
muntah pada fase akut. Mual sampai muntah akibat peningkatan produksi asam lambung
sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi
akibat penurunan peristaltic usus. Adanya kontensia alvi yang berlanjut menunjukkan
kerusakann neurologis luas.
Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan peniaian ada tidaknya lesi pada mulut atau
perubahan pada lidah dapat menunjukkan adanya dehidrasi. Pemeriksaan bising usus untuk
untuk menilai keberadaan dan kualitas bising usus harus dikaji sebelum melakukan palpasi
abdomen. Bising usus menurun atau hilang dapat terjadi pada paralitik ileus dan peritonitis.
Lakukan observasi bising usus selama ± 2 menit. Penurunan motilitas usus dapat terjadi
akibat tertelanya udara yang berasal dari sekitar selang endotrakeal dan nastrakeal.
B6 (Bone)
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan fisik umum, pada bayi disebabkan
pembesaran kepala sehingga menggangu mobilitas fisik secara umum. Kaji warna kulit, suhu,
kelembapan, dan turgon kulit. Adanya perubahan warna kulit; warna kebiruaan menunjukkan
adanya sianosis (ujung kuku, ekstermitas,telingga, hidung, bibir dan membrane mukosa).
Pucat pada wajah dan membrane mukosa dapat berhubungan dengan rendahnya kadar
hemoglobinatau syok. Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukan adanyadamam atau
infeksi. Integritas kulit untuk menilai adanya lesi dan dekubitus. Adanya kesulitan untuk
beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralisis/hemiplegia, mudah lelah
menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
Pemeriksaan diagnostic
CT scan (dengan atau tanpa kontras): mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan,
ventrikuler dan perubahan jaringan otak.
MRI: digunakan sama denga CT scan dengan atau tanpa kontras radioaktif
Rongen kepala: mendeteksi perubahan struktur garis sutura.
Pemeriksaan CSS dan Lumbal pungsi: dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachoid. CSS dengan atau tanpa kuman dengan kultur yaitu protein LCS normal atau
menurun, leukosit meningkat/ tetap, dan glukosa menurun atau tetap
B. Diagnosa keperawatan
1. Resiko tinggi peningkatan tekanan intracranial b.d peningkatan jumlah cairan
serebrospinal.
2. Nyeri yang berhubungan dengan peningkatan tekanan intracranial.
3. Hipertermi berhubungan dengan adanya respon inflamasi karena masuknya bakteri
ditandai dengan suhu tubuh pasien 390 C.
4. Resiko tinggi infeksi b.d port’d’ entere organism sekunder akibat trauma.
5. Resiko tinggi cidera berhubungan dengan kejang
6. Resiko gangguan integritas kulit b.d imobilitas, tidak adekuatnya sirkulasi perifer.
7. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d muntah sekunder akibat
kompresi serebral dan iritabilitas.
8. Perfusi jaringan cerebral tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran darah ke
otak ditandai dengan vena-vena di area cerebral melebar, sutura melebar.
9. Gangguan sensori persepsi visual berhubungan dengan perubahan sensori persepsi
(penekanan cranial 2) ditandai dengan sunset phenomenon.
10. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan menginterpretasi informasi, tidak
mengenal sumber-sumber informasi, ketegangan akibat krisis situasional
C. Intervensi
1. Resiko tinggi peningkatan tekanan intracranial b.d peningkatan jumlah cairan
serebrospinal.
Tujuan: Setelah dilakukan atau diberikan asuhan keperawatan 1 x 24 jam klien tidak
mengalami peningkatan TIK.
Kriteria hasil : Kriteria hasil: Klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan muntah,
GCS 4,5,6 tidak terdapat papil edema, TTV dalam batas normal.
INTERVENSI RASIONAL
1. Observasi ketat tanda-tanda 1. Untuk mengetahui secara dini
peningkatan TIK peningkatan TIK
2. Tentukan skala coma 2. Penurunan keasadaran
3. Hindari pemasangan infus menandakan adanya peningkatan
dikepala TIK
4. Hindari sedasi 3. Mencegah terjadi infeksi sistemik
5. Jangan sekali-kali memijat atau 4. Karena tingkat kesadaran
memopa shunt untuk memeriksa merupakan indikator peningkatan
fungsinya TIK
6. Ajari keluarga mengenai tanda- 5. Dapat mengakibatan sumbatan
tanda peningkatan TIK sehingga terjdi nyeri kepala
karena peningkatan CSS atau
obtruksi pada ujung kateter
diperitonial
6. Keluarga dapat berpatisipasi
dalam perawatan anak dengan
hidrosefalus
berhubungan dengan adanya respon inflamsi karena masuknya bakteri ditandai dengan
suhu tubuh pasien 39¬0 C.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan hipertermi
teratasi
Kriteria hasil : Suhu klien dalam batas normal (36,0-37,50)
INTERVENSI RASIONAL
1. Mandikan klien dengan 1. Meningkatkan kenyamanan klien
menggunakan air hangat 2. Lingkungan yang nyaman akan
2. Ciptakan lingkungan yang mampu meningkatkan perbaikan
nyaman bayi klien status kesehatan klien.
3. Sesuaikan temperatur ruangan 3. Menjaga suhu yang sesuai dalam
dengan kebutuhan klien meningkatkan perbaikan status
4. Berikan kompres hangat kesehatan klien.
4. Menurunkan suhu tubuh klien
sehingga dapat berada dalam
batas normal
4. Resiko tinggi infeksi b.d port’d’ entere organism sekunder akibat trauma, pemasangan
drain/shunt
Tujuan : Setelah dilakukan intervensi selama 3 x 24 jam tidak terdapat tanda-tanda infeksi
Kriteria hasil : TD dalam batas normal, tidak terdapat perdarahan, tidak terdapat kemerahan
INTERVENSI RASIONAL
1. Pantau tanda-tanda 1. Mengetahui penyebab terjadinya
infeksi( letargi, nafsu makan infeksi
menurun, ketidakstabilan, 2. Mencegah timbulnya infeksi
perubahan warna kulit) 3. Asupan nutrisi dapat membantu
2. Lakukan rawat luka menyembuhkan luka
3. Pantau asupan nutrisi 4. Antibiotik dapat mencegah
4. Kolaborasi dalam pemberian timbulnya infeksi
antibiotik
INTERVENSI RASIONAL
1. Observasi ketat tanda-tanda 1. Untuk mengetahui secara dini
peningkatan TIK peningkatan TIK
2. Tentukan skala coma 2. Penurunan keasadaran
3. Hindari pemasangan infus menandakakan adanya
dikepala peningkatan TIK
4. Hindari sedasi 3. Mencegah terjadi infeksi sistemik
5. Jangan sekali-kali memijat atau 4. Karena tingkat kesadaran
memopa shunt untuk memeriksa merupakan indikator peningkatan
fungsinya TIK
6. Ajari keluarga mengenai tanda- 5. Dapat mengakibatan sumbatan
tanda peningkatan TIK sehingga terjadi nyeri kepala
karena peningkatan CSS atau
obtruksi pada ujung kateter
diperitonial
6. Keluarga dapat berpatisipasi
dalam perawatan anak dengan
hidrosefalus
6. Resiko gangguan integritas kulit b.d imobilitas, tidak adekuatnya sirkulasi perifer.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan klien mampu
mempertahankan keutuhan kulit
Kriteria hasil : Tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka
INTERVENSI RASIONAL
1. Ubah posisi setiap 2 jam 1. Menghindari tekanan dan
2. Observasi terhadap eritema, meningkatkan aliran darah
kepucatan, dan palpasi area 2. Hangat dan pelunakan adalah
sekitar terhadap kehangatan dan tanda perusakan jaringan
pelunakan jaringan tiap 3. Mempertahankan keutuhan kulit
mengubah posisi 4. Mencegah resiko infeksi
3. Jaga kebersihan kulit seminimal nosokomial
mungkin hindari trauma 5. Mencegah resiko infeksi
terhadap panas terhadap kulit nosokomial
4. Instruksikan pengunjung untuk
mencuci tangan saat memasuki
dan meninggalkan ruangan klien
5. Cuci tangan sebelum dan
sesudah setelah melakukan
perawatan kepada klien
7. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d muntah sekunder akibat
kompresi serebral dan iritabilitas.
Tujuan : Setelah dilaksakan asuhan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi dengan baik
Kriteria hasil : tidak terjadi penurunan berat badan sebesar 10% dari berat awal, tidak adanya
mual-muntah
INTERVENSI RASIONAL
1. Pertahankan kebersihan mulut 1. Mulut yang tidak bersih dapat
dengan baik sebelum dan mempengaruhi rasa makanan dan
sesudah mengunyah makana meninbulkan mual
2. Tawarkan makanan porsi kecil 2. Makan dalam porsi kecil tetapi
tetapi sering untuk mengurangi sering dapat mengurangi beban
perasaan tegang pada lambung saluran pencernaan. Saluran
3. Atur agar mendapatkan nutrien pencernaan ini dapat mengalami
yang berprotein/ kalori yang gangguan akibat hidrocefalus
disajikan pada saat individu 3. Agar asupan nutrisi dan kalori
ingin makan klien adeakuat
4. Timbang berat badan pasien saat 4. Menimbang berat badan saat baru
ia bangun dari tidur dan setelah bangun dan setelah berkemih
berkemih pertama. untuk mengetahui berat badan
5. Konsultasikan dengan ahli gizi mula-mula sebelum mendapatkan
mengenai kebutuhan kalori nutrient
harian yang realistis dan 5. Konsultasi ini dilakukan agar
adekuat. klien mendapatkan nutrisi sesuai
indikasi dan kebutuhan kalorinya.
8. Perfusi
jaringan cerebral tidak efektif b.d penurunan aliran darah ke otak ditandai dengan vena-
vena di area cerebral melebar, sutura melebar.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan perfusi jaringan
serebral kembali efektif
Kriteria hasil : Tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial
INTERVENSI RASIONAL
1. Observasi pupil atau perubahan 1. Memberikan deteksi awal dan
tanda-tanda vital, penurunan intervensi untuk meminimalkan
tingkat kesadaran dan/atau penekanan intrakranial
fungsi motor 2. Perubahan pada tekanan
2. Baringkan klien (tirah baring) intrakranial akan dapat
total dengan posisi tidur menyebabkan risiko terjadinya
terlentang tanpa bantal. herniasi otak.
3. Monitor tanda-tanda vital, 3. Mengetahui keadaaan umum klien
seperti suhu, dan frekuensi 4. Hemoglobin berperan dalam
pernapasan. pengangkutan oksigen ke jaringan
4. Monitor kadar hemoglobin otak
dalam darah (nilai normal : 9,0-
14,0 g/dL)
9. Gangguan sensori persepsi visual b.d perubahan sensori persepsi (penekanan cranial 2)
ditandai dengan sunset phenomenon.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan gangguan
sensori persepsi visual klien berkurang
Kriteria hasil : Kemampuan penglihatan klien meningkat, Sunset phenomenon berkurang.
INTERVENSI RASIONAL
1. Gunakan siaran TV sebagai 1. Meningkatkan kemampuan
bagian dari rencana program sensorik klien
stimulasi sensorik 2. Kemerahan pada mata
2. Monitor adanya tanda menunjukkan iritasi ringan
kemerahan pada mata klien 3. Menyentuh mata bagian dalam
3. Bantu klien untuk tidak dapat meningkatkan resiko infeksi
menyentuh mata bagian dalam dan iritasi
10. Kurang pengetahuan orang tua b.d penyakit yang di derita oleh anaknya
Tujuan : Meningkatkan pengetahuan orang tua mengenai penyakit yang diderita anaknya
Kriteria hasil : Kecemasan orang tua pada kondisi kesehatan anaknya dapat berkurang , orang
tua mengungkapkan pemahaman tentang penyakit, pengobatan dan perubahan pola hidup
yang dibutuhkan
INTERVENSI RASIONAL
1. Beri kesempatan orang tua untuk 1. Keluarga dapat mengemukakan
mengekspresikan kesedihannya perasaannya sehinnga perasaan
2. Beri kesempatan orang tua untuk orang tua dapat lebih lega
bertanya mengenai kondisi 2. Pengetahuan orang tua bertambah
anaknya mengenai penyakit yang di derita
3. Jelaskan tentang kondisi oleh anaknya sehinnga kecemasan
penderita, prosedur, terapi dan orang tua dapat berkurang
prognosanya. 3. Pengetahuan kelurga bertambah
4. Ulangi penjelasan tersebut bila dan dapat mempersiapkan
perlu dengan contoh bila keluarga dalam merawat klien
keluarga belum mengerti post operasi
4. Keluarga dapat menerima seluruh
informasi agar tidak menimbulkan
salah persepsi.
D. Implem
entasi
Pelaksanaan tindakan keperawatan anak dengan hidrosefalus didasarkan pada rencana
yang telah ditentukan dengan prinsip:
Mempertahankan perfusi jaringan serebral tetap adequate:
• Mencegah terjadinya injuri dan infeksi
• Meminimalkan terjadinya persepsi sensori
• Mengatasi perubahan proses keluarga dan antisipasi berduka
E. Evaluasi
Setelah tindakan keperawatan dilaksanakan evaluasi proses dan hasil mengacu pada
kriteria evaluasi yang telah ditentukan pada masing-masing diagnose keperawatan
sehingga:
• Masalah teratasi atau tujuan tercapai (intervensi di hentikan)
• Masalah teratasi atau tercapai sebagian (intervensi di lanjutkan)
• Masalah tidak teratasi/ tujuan tidak tercapai (perlu dilakukan pengkajian ulang
& intervensi di rubah)
BAB 4
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
1. Hidrosefalus adalah keadaan patologik otak yang mengakibatkan
bertambahnya cairan serebrospinalis (CSS) dengan atau pernah dengan
tekanan intrakranial yang meninggi sehingga terdapat pelebaran ruangan
tempat mengalirnya CSS
2. Penyebab hidrosefalus adalah karena kongenital, infeksi,
neuplasma/tumor, dan perdarahan
3. Klasifikasi hidrosefalus bergantung pada faktor yang berkaitan dengannya,
berdasarkan :
Gambaran klinis, dikenal hidrosefalus manifes (overt hydrocephalus) dan
hidrosefalus tersembunyi (occult hydrocephalus).
Waktu pembentukan, dikenal hidrosefalus kongenital dan hidrosefalus
akuisita.
Proses terbentuknya, dikenal hidrosefalus akut dan hidrosefalus kronik.
Sirkulasi CSS, dikenal hidrosefalus komunikans dan hidrosefalus non
komunikans.
4. Gejala dari hidrosefalus antara lain, pembesaran kepala, gangguan
intelektual, penurunan kesadaran, kulit kepala tipis, muntah proyektil,
Cracked-pot sign, sunset phenomena,dan Cerebral cry.
5. Penanganan hidrosefalus adalah dengan Ventriculoperitoneal shunt (VP
shunt) dan Venriculoatrial shunt
6. Komplikasi yang bisa ditimbulkan dari hidrosefalus adalah : Retardasi
mental; Gangguan fungsi motorik; Kehilangan penglihatan; Herniasi otak;
Kematian akibat peningkatan tekanan intrakranial; Infeksi; Malnutrisi;
Infeksi pada shunt (sesudah pembedahan); Septikemia (sesudah
pemasangan shunt); Ileus paralitik, adhesi, peritonitis, dan perforasi usus
(sesudah pemasangan shunt)
1.2 Saran
1. Kepada orang tua khususnya harus lebih waspada dalam memerhatikan
tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan anak
2. Kami selaku penulis menyarankan kepada para pembaca baik individu,
keluarga maupun masyarakat serta teman-teman, agar kiranya dapat
memerhatikan adanya pembesaran kepala atau hidrosefalus karena bila hak
tersebut dibiarkan bisa berakibat fatal
DAFTAR PUSTAKA
Hidayati, Nurul laily. 2013. Mencengah Kelahiran Bayi Cacat. Yogyakarta: Rapha Publishing
Hidayat, Aziz Alimul A. 2006. Pengantar Ilmu Kperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika
Kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkat rahmat dan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyusun makalah “Asuhan Keperawatan Anak Pada Pasien Hidrosefalus”
dengan baik. Selesainya penyusunan ini berkat bantuan, bimbingan, pengarahan, dorongan dan
bantuan moril maupun material dari berbagai pihak.
Pada kesempatan ini kelompok mengucapkan terimakasih kepada :
1. Parlindungan Purba, SH, MM, selaku Ketua Yayasan Sari Mutiara Indonesia.
2. Dr. Ivan Elisabeth Purba, M.Kes, selaku Rektor Universitas Sari Mutiara Indonesia.
3. Taruli Sinaga SP. M.kM, selaku Dekan Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan Universitas
SariMutiara Indonesia.
4. Ns. Rinco Siregar, S.Kep, MNS, selaku Ketua Program Studi Ners Fakultas Farmasi dan
Ilmu Kesehatan Universitas Sari Mutiara Indonesia.
5. Ns. Marthalena Simamora, M. Kep., selaku Dosen Pengajar yang telah memberikan
bimbingan, arahan dan saran kepada kelompok dalam menyelesaikan makalah ini.
Tim penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari
isi maupun susunannya, untuk itu tim penulis akan membuka diri terhadap kritik dan saran yang
bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi pembaca dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di
bidang keperawatan. Akhir kata tim penulis mengucapkan terimakasih.
Kelompok 4
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK PADA PASIEN HIDROSEFALUS
D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
1. Ruth Oktorina S
2. Salinda Manurung
3. Mei Yanti Malau
Dosen Pengampu :
Ns. Marthalena Simamora, M. Kep.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar isi
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
BAB 2 TINJAUAN TEORITIS
2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidrosefalus
2.2 Pengertian Hidrosefalus
2.3 Jenis-Jenis Hidrosefalus
2.4 Etiologi
2.5 Epidemologi
2.6 Patofisiologi
2.7 Klafikasi
2.8 Tanda dan Gejala
2.9 Penyebab Hidrosefalus
2.10 Manifestasi Klinis
2.11 Pemeriksaan Diagnostik
2.12 Penatalaksanaan
2.14 Komplikasi
2.15 Discharge Planning
BAB 3 Asuhan Keperawatan
3.1 Pengkajian
3.2 Diagnosa Keperawatan
3.3 Intervensi
3.4 Implementasi
3.5 Evaluasi
BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
Daftar Pustaka