Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gout merupakan salah satu gangguan metabolik yang disebabkan karena peningkatan
kadar asam urat hiperurisemia. Asam urat merupakan hasil akhir dari metabolisme
purin yang merupakan salah satu komponen asam nukleat yang terdapat dalam inti sel
tubuh. Hiperurisemia terjadi karena pembentukan asam urat yang berlebihan atau
karena penurunan pengeluaran asam urat melalui ginjal (Sari,2015)

Gout merupakan hasil dari produksi oleh tubuh, sehingga keberadaannya dapat
normal didalam darah dan urin. Akan tetapi dari sisa metabolisme protein makanan
yang mengandung purin juga dapat meningkat apabila seseorang terlalu banyak
mengonsumsi makanan yang mengandung purin tinggi seperti daging, kerang, dan
jeroan (Misnadiarly,2016)

Menurut World Healt Organization (WHO) memperkirakan sekitar 335 juta orang di
dunia mengidap penyakit rematik. Jumlah ini sesuai dengan adanya peningkatan
manusia berusia lanjut. Masalah muskuloskaletal merupakan masalah kronis paling
lazim terjadi pada lansia, dengan sekitar 49% lansia mengalami beberapa bentuk
artritis (Fowles, 1990 dalam Maas dkk, 2011). Screening yang dilakukan oleh general
health maintenance association di Okinawa, jepang terhadap 9.914 individu (6.163
pria dan 3.751 wanita usia 18-89 tahun) dan didapatkan prevalensi hiperurisemia
secara keseluruhan sebesar 28,5% dengan prevalensi hiperurisemia pada pria sebesar
34,5% dan pada wanita sebesar 11,65 (Kazufumi, 2014).

Menurut Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS, 2013) kementerian kesehatan RI,


Prevalensi penyakit sendi berdasarkan diagnosa nakes di indonesia 11,9% dan
berdasarkan diagnosa atau gejala 24,7%. Survey yang diadakan oleh Nasional Health
and Nutrition Examination Survey (NHANES) di Asian prevalensi penderita gout
arthritis usia diatas 20 tahun sebesar 24%, kemudian usia 45-59 tahun sebesar 30%,
dan usia lebih dari 60 tahun sebesar 24% (Tambotto dkk, 2016).

Status gizi merupakan keadaan tubuh yang merupakan hasil akhir dari keseimbangan
antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh. Salah satu cara untuk mengukur status
gizi orang dewasa yaitu dengan mengukur indeks masa tubuh (IMT). Orang dengan

1
status gizi lebih, kadar leptin dalam tubuh akan meningkat. Peningkatan kadar leptin
seiring dengan meningkatnya kadar asam urat dalam darah. Tingginya kadar leptin
pada orang yang status gizi lebih dapat menyebabkan retensi leptin. Jika retensi leptin
diginjal, maka akan terjadi retensi urin. Retensi urin inilah yang menyebabkan tinggi
kadar asam urat urat pada orang yang memiliki status gizi lebih (Antari, 2017).

Hasil observasi dan wawancara secara langsung oleh peneliti di Puskesmas Sarulla
pada tanggal 9-11 Mei 2019, pada 30 orang penderita asam urat, 60 % penderita asam
urat mengeluh nyeri pada persendian, skala nyeri yang dirasakan oleh penderita asam
urat adalah rata-rata 7-9 (nyeri berat), mereka biasanya menggunakan balsam atau
minyak gosok untuk menurunkan nyerinya, kecuali pada penderita asam urat yang
sudah terjadi pembengkakan, mereka biasanya langsung memeriksakan diri ke
puskesmas dan diberi obat analgetik.

Rasa nyeri sendi secara mendadak di pagi hari merupakan gejala penyakit gout yang
paling sering terjadi, Sendi membengkak, Lunak serta kemerahan (Smeltzer, 2008).
Dari gejala tersebut perlu Diatasi Nyeri pada Artritis gout Dengan pemberian Terapi
non Farmakologi Yaitu Kompres Hangat Rebuasan Jahe.

Tanaman jahe merupakan tanaman rimpang yang memiliki kandungan senyawa


gingerol dan shogaol yang bersifat pedas. Gingerol merupakan senyawa yang bersifat
pedas yang terkandung di dalam jahe segar, sedangkan shogaol merupakan senyawa
yang bersifat pedas yang terkandung di dalam jahe kering. Senyawa gingerol dan
shogaol memberikan efek farmakologis dan fisiologis seperti antioksidan, anti
peradangan yang dapat menghambat senyawa siklooksigenase-2 sehingga dapat
mengurangi peradangan nyeri pada penderita gout arthritis.

Berdasarkan latar belakang diatas Maka Peneliti Tertarik Untuk Melakukan Penelitian
Dengan Judul Pengaruh Pemberian Kompres Hangat Rebusan Jahe Terhadap Skala
Nyeri Pada Pasien Artritis Gout.

2
1.2 Rumusan Masalah
1. apakah ada pengaruh kompres hangat rebusan jahe terhadap skala nyeri ?

1.3 Tujuan.
A. Tujuan umum
1. Untuk mengidentifikasi pengaruh kompres hangat rebusan jahe terhadap skala
nyeri.

B.tujuan khusus
1. Mengidentifikasi skala nyeri sebelum memberikan kompres hangat rebusan
jahe.
2. Mengidentifikasi perbedaan skala nyeri sebelum dan sesudah diberikan
kompres hangat rebusan jahe.

1.4 Mamfaat Penelitian.


1. Bagi Pasien
Kompres hangat rebusan jahe Dapat diterapkan sehari-hari yang dapat
menurunkan skala nyeri Astritis Gout.
2. Bagi Tempat peneliti
Kompres hangat rebusan jahe dapat menjadi SOP.
3. Bagi Perawat.
Kompres hangat Rebusan Jahe Dapat menjadi Evidence Based (intervensi
keperawatan)
4. Bagi peneliti selanjutnya
Penelitian ini dapat di gunakan sebagai pertimbangan bahan pustaka untuk
dikembangkan ke peneliti selanjutnya dengan memperbanyak sampel
penelitian, memperluas ruang lingkup penelitian. sehingga nantinya bisa
mendapatkan hasil yang lebih baik.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Arthritis Gout

2.1.1 Defenisi Arthritis Gout

Asam urat merupakan substansi hasil pemecahan purin atau produk sisa dalam tubuh
yang merupakan hasil dari katabolisme purin yang dibantu oleh enzim guanase dan
xantin oksidase. Asam urat ini dibawa ke ginjal melalui aliran darah untuk
dikeluarkan bersama urin, jika terjadi gangguan eliminasi asam urat melalui ginjal
yang disebabkan menurunya sekresi asam urat ke dalam tubuli ginjal, sehingga akan
terjadi peningkatan kadar asam urat dalam darah (Joyce,2014).

Gout arthritis adalah penyakit sendi yang disebabkan oleh tingginya kadar asam urat
dalam darah. Kadar asam urat yang tinggi di dalam darah melebihi batas normal
menyebabkan penumpukan asam urat didalam persendian dan organ tubuh lainnya
dengan nilai kadar asam urat pada perempuan adalah 2,4-6 mg/dl sedangkan pada
laki-laki adalah 3,5-7,2 mg/dl (Noviyanti,2015)

Gout arthritis merupakan penyakit yang ditandai dengan nyeri yang terjadi berulang-
ulang yang disebabkan adanya endapan kristal monosodium urat yang tertumpuk
didalam sendi sebagai akibat tingginya kadar asam urat di dalam darah
(Muttaqin,2008).

2.1.2 Faktor-faktor resiko pada Gout arthritis menurut Khanna et al (2012) adalah:

Penyakit gout terbagi menjadi 2 jenis, yaitu gout primer dan gout sekunder. Gount
primer adalah penyakit gout dimana mengalami peningkatan asam urat dan penurunan
eksresi tubular asam urat. Pada penyakit gout primer, 99% penyebabnya belum
diketahui (idiopatik). Diduga berkaitan dengan kombinasi faktor genetik dan
faktorhormonal yang menyebabkan gangguan metabolisme yang dapat
mengakibatkan meningkatnya produksi asam urat atau bisa juga diakibatkan karena
berkurangnya pengeluaran asam urat dari tubuh.

4
Sedangkan got sekunder terjadi karena konsumsi obat atau toksin, makanan dengan
kadar purin yang tinggi, penyakit darah (penyakit sumsum tulang,polisitemia, kadar
trigliserida yang tinggi yang dapat menurunkan eksresi asam urat dan mencetusnya
serangan akut.

Gejala arthritis gout disebabkan oleh reaksi inflamasi terhadap pembentukan kristal
monosodium urat monohidrat. Karena itu dilihat dari penyebabnya, penyakit ini
termasuk golongan kelainan metabolik. Kelainan ini berhubungan dengan gangguan
kinetik asam urat yaitu hiperurisemia. Hiperurisemia pada penyakit ini terjadi karena :

1) Pembentukan asam urat yang berlebihan;


a. gout primer metabolik, disebabkan sintesis langsung yang bertambah.
b. gout sekunder metabolik, disebabkan pembentukan asam urat berlebihan
karena lain seperti leukemia.

2) Kurangnya pengeluaran asam urat melalui ginjal;


a. gout primer renal, terjadi karena gangguang eksresi asam urat di tubuli distal
ginjal yang sehat.
b. Gout sekunder renal, disebabkan oleh kerusakan ginjal, misalnya pada
glomerulonefritis kronik atau gagal ginjal kronik.

3) Umur

Meskipun kejadian hiperurisemia bisa terjadi pada semua tingkat usia namun
kejadian ini meningkat pada laki-laki dewasa berusia ≥ 30 tahun dan perempuan
setelah menopouse atau berusia ≥40 tahun, karena pada usia ini perempuan
mengalami gangguan produksi hormon estrogen.

4) Jenis kelamin

Laki-laki memiliki resiko lebih besar terkena penyakit asam urat dari pada
perempuan terutama saat usianya diatas 30 tahun karena perempuan banyak
memproduksi hormon estrogen dan asam urat akan dikeluarkan pada saat
menstruasi. Pada wanita, bisanya penyakit ini beresiko menyerang setelah
menopouse.

5
5) Riwayat keluarga

Menurut seneca, orang-orang dengan riwayat genetik/keturunan yang mempunyai


hiperurisemia mempunyai risiko 1-2 kali lipat dibanding pada penderita yang tidak
memiliki riwayat genetik/ keturunan. Kadar asam urat dipembanding oleh beberapa
gen.

6) Nutrisi

Purin adalah salah satu senyawa basa organik yang menyusun asam nukleat atau
asam inti dari sel dan termasuk dalam kelompok asam amino, unsur pembentuk
protein. Makanan dengan kadar purin tinggi (150–180 mg/100 gram) antara lain
jeroan, daging baik daging sapi, babi, kambing atau makanan dari hasil laut (sea
food), kacang-kacangan,bayam, jamur, kembang kol, sarden, kerang, minuman
beralkohol. Purin merupakan senyawa yang di rombak menjadi asam urat dalam
tubuh. Sejak dahulu masyarakat percaya bahwa konsumsi makanan tinggi purin
dapat menimbulkan penyakit asam urat. Dengan demikian pada penderita radang
sendi/ tanpa mengetahui penyebabnya, selalu berupaya menghindari makanan tinggi
purin. Saat mengkonsumsi makanan mengandung tinggi purin, mereka meminum
obat atau ramuan tradisional penurun asam urat (Ragab et al , 2017).

7) Obesitas

Obesitas dan kegemukan dapat dinilai paling mudah dengan berat dan tinggi badan.
Salah satunya adalah menghubungkan berat badan dengan rentang tinggi badan rata-
rata dan umur. Obesitas tubuh bagian atas (obesitas abdominal) berhubungan lebih
besar dengan intoleransi glukosa atau penyakit diabetes mellitus,hiperinsulinemia,
hipertrigliseridemia, hipertensi, dan gout dibanding obesitas bawah. Tingginya kadar
leptin pada orang yang mengalami obesitas dapat menyebabkan resistensi leptin.
Leptin adalah asam amino yang disekresi oleh jaringan adiposa, yang berfungsi
mengatur nafsu makan dan berperan pada perangsangan saraf simpatis,
meningkatkan sensitifitas insulin, natriuresis, diuresis dan angiogenesis. Jika
resistensi leptin terjadi di ginjal, maka akaterjadi gangguan diuresis berupa retensi
urin. Retensi urin inilah yang dapat menyebabkan gangguan pengeluaran asam urat

6
melalui urin, sehingga kadar asam urat dalam darah orang yang obesitas tinggi
(Ragab et al, 2017).

8) Stres

Stress yaknni keadaan dimana badan memberikan respon berlebih kepada keadaan
lingkungan baik yang bersifat fisik maupun psikis,maka dengan cara automatis dapat
meningkatkan sistem metabolisme badan yang berakibat terhadap meningkatnya
asam lambung dan kadar asam urat dalam darah (Ragab et al, 2017).

9) Konsumsi alkohol

Konsumsi alkohol menyebabkan serangan gout karena alkohol meningkatkan


produksi asam urat. Kadar laktat darah meningkat sebagai akibat produk sampingan
dari metabolisme normal alkohol. Asam laktat menghambat ekskresi asam urat oleh
ginjal sehingga terjadi peningkatan kadarnya dalam serum (Ragab et al, 2017).

10) Obat-obatan

Penggunaan Obat-obatan diuretika (furosemid dan hidroklorotiazida), obat


sititoksik, pirazinamid, levodopa, aspirin dosis rendah, obat kanker, vitamin B12
dapat meningkatkan absorbsi asam urat di ginjal sebaliknya dapat menurunkan
ekskresi asam urat urin (El Ridi & Tallima, 2017)

2.1.3 Patofisiologi Asam Urat

Adanya gangguan metabolisme purin dalam tubuh, intake bahan yang


mengandung asam urat tinggi dan sistem eksresi asam urat yang tidak adekuat akan
menghasilkan akumulasi asam urat yang berlebihan di dalam plasma darah (hiperuricemia),
sehingga mengakibatkan kristal asam urat menumpuk dalam tubuh. Penimbunan ini
menimbulkan iritasi lokal dan menimbulkan responinflamasi. Hiperuricemia merupakan
hasil:

- Meningkatnya produksi asam urat akibat metabolisme purin abnormal

- Menurunnya eksresi asam urat

- Kombinasi keduanya

7
Saat asam urat menjadi bertumpuk dalam darah dan cairan tubuh lain, maka asam urat
tersebut akan mengkristal dan akan membentuk garam – garam disebut tofi. Adanya Kristal
memicu respon inflamasi akut dan netrofil melepaskan lisosomnya. Lisosom tidak hanya
merusak jaringan, tapi juga menyebabkan inflamasi. urat yang berakumulasi atau menumuk
di jaringan konectif diseluruh tubuh, penumpukan ini

-Banyak faktor yang berperan dalam mekanisme serangan gout. Salah satunya yang telah
diketahui peranannya adalah konsentrasi asam urat dalam darah. Mekanisme serangan gout
akan berlangsung melalui beberapa fase secara berurutan, sebagai berikut : Presipitasi
Kristal monosodium urat. Dapat terjadi dalam jaringan bila konsentrasi dalam plasma lebih
dari 9 mg/dl. Prseipitasi ini terjadi di rawan, sonovium, janringan para – artikuler misalnya
bursa, tendon dan selaputnya. Kristal urat yang bermuatan negatif akan dibungkus (coate)
oleh berbagai macam protein. Pembungkusan dengan IgG akan merangsang netrofil untuk
berespon terhadap pembentukan kristal.

-Respon leukosit polimorfonukuler (PMN). Pembentukan kristal menghasilkan faktor


kemotaksis yang menimbulkan respon leukosit PMN dan selanjutnya akan terjadi
fagositosis kristal oleh leukosit.

2.1.4 Manifiestasi Klinis

Menurut Noviyanti (2015) manifestasi klinis yang ditimbulkan pada penyakit asam
urat antara lain adalah sebagai berikut:

1. Gout arthritis akut


Radang sendi timbul sangat cepat dalam waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada
gejala apaapa. Pada saat bangun pagi terasa sakit yang hebat dan tidak dapat
berjalan. Biasanya bersifat monoartikuler dengan keluhan utama berupa nyeri,
bengkak, terasa hangat, merah dengan gejala sistemik berupa demam,
menggigil dan merasa lelah. Lokasi yang paling sering pada MTP-1 yang
biasanya disebut podagra. Apabila proses penyakit berlanjut, dapat terkena
sendi lain yaitu pergelangan tangan/kaki, lutut, dan siku.
2. Gout interkritikal
Stadium ini merupakan kelanjutan stadium akut dimana terjadi periode
interkritik asimptomatik. Walaupun secara klinik tidak dapat ditemukan tanda-
tanda radang akut, namun pada aspirasi sendi ditemukan kristal urat. Hal ini

8
menunjukkan bahwa proses peradangan masih terus berlanjut, walaupun tanpa
keluhan.
3. Gout arthritis kronis
Artritis gout menahun biasanya disertai tofi yang banyak dan poliartikular.
Tofi ini sering pecah dan sulit sembuh dengan obat, kadangkadang dapat
timbul infeksi sekunder. Lokasi tofi yang paling sering pada aurikula, MTP-1,
olekranon, tendon achilles dan distal digiti. Tofi sendiri tidak menimbulkan
nyeri, tapi mudah terjadi inflamasi disekitarnya, dan menyebabkan destruksi
yang progresif pada sendi serta dapat menimbulkan deformitas. Pada stadium
ini kadang-kadang disertai batu saluran kemih sampai penyakit ginjal
menahun.

2.1.5 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan asam urat secara umum menurut Noviyanti (2015),dapat diatasi


dengan menggunakan terapi farmakologi dan terapi nonfarmakologi.

1. Farmakologi
Pengobatan modern ini biasa diperoleh dengan mengunakan resep dokter. Obat-
obatannya antara lain:
a. Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), yang berfungsi untuk mengatasi
nyeri sendi akibat proses peradangan.
b. Kortikosteroid, yang berfungsi sebagai obat anti radang dan menekan reaksi
imun.
c. Imunosupresif, yang berfungsi untuk menekan reaksi imun. Obat ini jarang
digunakan karena efek sampingnya cukup berat yaitu dapat menimbulkan
penyakit kanker dan bersifat racun bagi ginjal dan hati.
d. Suplemen antioksidan yang diperoleh dari asupan vitamin dan mineral yang
berkhasiat untuk mengobati asam urat. Asupan vitamin danmineral dapat
diperoleh dengan mengkonsumsi buah atau sayuran segar atau orange, seperti
wortel
e. Alopurinol: Obat yang paling umum digunakan untuk menghambat produkasi
asam uraty dengan menghambat xanthine oksidase, mencegah peningkatan
kadar asam urat.

9
2. Nonfarmakologi
a. Pola hidup sehat: makan makanan yang mengandung rendah purin,
olahraga

b. Pengobatan Tradisional (Herbal)

Tanaman obat yang digunakan untuk penyakit asam urat berfungsi sebagai
anti radang, penghilang rasa sakit (analgesic). Membersihkan darah dari zat
toksik, peluruh kemih (diuretic) sehingga memperbanyak urin, dan menurunkan
asam urat.

2.2 Jahe (zingiber officinale Rosc)

2.2.1 Klasifikasi

Jahe (Zingiber officinale rosc) termasuk dalam ordo Zingiberales, famili


Zingiberaceae, dan genus Zingiber. Kedudukan tanaman jahe dalam sistematika
(taksonomi) tumbuhan adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Ordo : Zingiberales

Famili : Zingiberaceae

Genus : Zingiber

Spesies : Zingiber Officinale Rosc

10
Gambar 2.3.1 Jahe (Zingiber Officinale Rosc) Sumber: (Cahyo, 2013)

2.2.2 Ekologi

Jahe (Zingiber officinale Rosc) berasal dari Asia Tropik, yang tersebar dari India
sampai Cina. Oleh karena itu, kedua bangsa itu disebut-sebut sebagai bangsa yang
pertama kali memanfaatkan jahe, terutama sebagai bahan minuman, bumbu masakan,
dan obat-obatan tradisional. Belum diketahui secara pasti sejak kapan mereka mulai
memanfaatkan jahe, tetapi mereka sudah mengenal dan memahami bahwa minuman
jahe cukup memberikan keuntungan bagi hidupnya (Cahyo, 2013).

2.3.3 Morfologi

Tanaman jahe merupakan terna tahunan, berbatang semu dengan tinggi antara 30
cm - 75 cm. Berdaun sempit memanjang menyerupai pita, dengan panjang 15 cm – 23
cm, lebar lebih kurang 2,5 cm, tersusun teratur dua baris berseling. Tanaman jahe
hidup merumpun, beranak-pinak, menghasilkan rimpang dan berbunga. Berdasarkan
ukuran dan warna rimpangnya, jahe dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu: jahe besar
(jahe gajah) yang ditandai dengan ukuran rimpang yang besar, berwarna muda atau
kuning, berserat halus dan sedikit beraroma maupun berasa kurang tajam; jahe putih
kecil (jahe emprit) yang ditandai dengan ukuran rimpang yang termasuk kategori
sedang, dengan bentuk agak pipih, berwarna putih, berserat lembut, dan beraroma
serta berasa tajam; jahe merah yang ditandai dengan ukuran rimpang yang kecil,
berwarna merah jingga, berserat kasar, beraroma serta berasa sangat tajam (Cahyo,
2013).

2.2.4 Kandungan Kimia

Kandungan yang ada di dalam jahe (Zingiber Officinale Rosc) menurut Adel &
Prakash (2010) antara lain:

Komponen Nilai Nomponen Nilai


Kelembapan 15.02 ± 0.04 Ash (g) 3.85 ± 0.61 (4.53)
Protein (g) 5.087 ± 0.09(5.98) Calcium (mg) 88.4 ± 0.97
(104.02)

11
Lemak (g) 3.72 ± 0.03 (4.37) Phosporous (mg) 174±1.2 (204.75)
Serat tidak larut 23.5 ± 0.06 Zinc (mg) 0.92 ± 0 (1.08)
(%) (27.65)
Serat yang larut (%) 25.5 ± 0.04 (30.0) Copper (mg) 0.545 ± 0.002
(0.641)
Karbohidrat (g 38.35 ± 0.1 Copper (mg) 0.545 ± 0.002
(0.641)
Vitamin C (mg) 38.35 ± 0.1 Manganese (mg) 9.13 ± 001 (10.74)
Total karotenoids 79 ± 0.2 (9296) Chromium (µg) 70 ± 0 (83.37)
(mg)
Tabel 2.3.4 Kandungan jahe per 100 g (Adel & Prakash, 2010)

Komponen Kandungan
6-Shogaol 1.41
6-Gingerol 5.59
8-Gingerol 0.34
10-Gingerol 0.18
Curcumin 2.32
Total Gingerol 6.11
Tabel 2.4.4. kandungan jahe per 100 g (Yeh et al., 2014).

Dalam bubuk jahe kering, shogaol produk dehidrasi gingerol, merupakan


penyusun utama yang menonjol sampai biosintesis 3-5. Oleoresin, yang diisolasi
dengan ekstraksi aseton dan etanol, mengandung 4-7,5% bubuk kering, zat tajam
yaitu gingerol, shogaol, zingerone dan paradol. Oleoresin juga telah ditemukan
mengandung zingiberol, komponen utama aroma berkontribusi serta zingiberene,
gingediol, diarylheptanoid, vitamin dan fitosterol (Bayati, 2014).

1. Volatile oil (minyak menguap)

Biasa disebut minyak atsiri merupakan komponen pemberi aroma yang khas pada
jahe, umumnya larut dalam pelarut organik dan tidak larut dalam air. Minyak atsiri
merupakan salah satu dari dua komponen utama minyak jahe. Jahe kering
mengandung minyak atsiri 1-3%, sedangkan jahe segar yang tidak dikuliti kandungan
minyak atsiri lebih banyak dari jahe kering. Bagian tepi dari umbi atau di bawah kulit
pada jaringan epidermis jahe mengandung lebih banyak minyak atsiri dari bagian
tengah demikian pula dengan baunya. Kandungan minyak atsiri juga ditentukan umur
panen dan jenis jahe. Pada umur panen muda, kandungan minyak atsirinya tinggi.
Sedangkan pada umur tua, kandungan nyapun makin menyusut walau baunya
semakin menyengat. (Grzanna et al, 2005).

12
2. Non-volatile oil (minyak tidak menguap)

Biasa disebut oleoresin salah satu senyawa kandungan jahe yang sering diambil,
dan komponen pemberi rasa pedas dan pahit. Sifat pedas tergantung dari umur panen,
semakin tua umurnya semakin terasa pedas dan pahit. Oleoresin merupakan minyak
berwarna coklat tua dan mengandung minyak atsiri 15-35% yang diekstraksi dari
bubuk jahe. Senyawa yang terdapat pada minyak yang tidak menguap yaitu Gingerol,
shogaol, gingediol, gingediasetat, gingerdion, gingerenon.(Grzanna et al., 2005).

2.2.5 Manfaat jahe

Jahe memiliki kandungan minyak yang tidak menguap yaitu yang disebut olerosin
(gingerol dan shogaol), Gingerol, shogaol, dan zat struktural lainnya yang terkait
dengan jahe menghambat sintesis prostaglandin dan leukotrien melalui penekanan 5-
lipoxygenase atau prostaglandin synthetase. Selain itu, mereka juga dapat
menghambat sintesis sitokin pro-inflamasi seperti IL-1, TNF-α, dan IL-8.
Menunjukkan bahwa dalam makrofag, Shogaol dapat menurunkan ekspresi gen iNOS
dan COX-2 inflamasi. Jung et al. menunjukkan bahwa ekstrak fraksi heksan rimpang
jahe menghambat produksi NO, PGE, TNF-alpha, dan IL-1beta yang berlebihan
(Shokri et al, 2013 ).

Gingerol dan shogaol yang memberikan rasa panas dan pedas, bekerja langsung ke
pusat saraf langsung dimana menyebabkan pengeluaran endorphin, yang dapat
mengakibatkan terjadinya vasodilatasi sehingga dapat meningkatkan aliran darah ke
bagian sendi dan dapat menghambat sintesis prostaglandin yang bekerja sebagai
mediator nyeri (Black, Herring, Hurley, & O’Connor, 2010).

2.3 Hasil penelitian terkait

Bagaimana kompres hangat Rebusan jahe dalam menurunkan skala nyeri.

2.4 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Rebusan Jahe Skala Nyeri

13
Variabel comfounding

1. Balsam

2. Minyak gosok

3. Obat analgetik

obat analgetik

2.5 Hipotesa penelitian

1. Hipotesa A
Ada pengaruh kompres hangat rebusan jahe dengan penurunan skala nyeri.

2. tidak Ada pengaruh kompres hangat rebusan jahe dengan penurunan skala nyeri.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

14
Penelitian ini menggunakan desain Quasy Experiment dengan rancangan Pretest-
Posttest without control, perlakuan dilakukan untuk membandingkan hasil
sebelum dilakukan intervensi dan sesudah dilakukan intervensi.
X1 P X2

3.2 Populasi Dan Sampel


3.2.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah sebanyak 30 orang pasien Asam urat di
Puskesmas Sarulla pada tanggal 9-11 Mei 2019.
3.2.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 16 orang pasien Asam Urat di
puskesmas Sarulla dengan teknik pengambilan sampel Sampling kuota.
Peneliti menggunakan teknik menentukan sampel dan populasi yang
mempunyai ciri-ciri tertentu sampai kuota yang diinginkan.
Dengan kriteria :
1. Pasien bersedia menjadi sampel.
2. Pasien tidak sedang tidak mengonsumsi obat-obatan untuk meredakan
nyeri asam urat.
3. Pasien asam urat dengan skala nyeri 4-6 (sedang)

3.3 Instrumen Penelitian


SOP (standart operasional), digunakan oleh peneliti untuk pemberian kompres hangat
jahe merah pada lansia. Kamera digunakan untuk mendokumentasikan masing-
masing responden yang bersedia mengikuti penelitian dengan mengisi lembar
informed consent yang sudah disediakan oleh peneliti, serta lembar observasi

15
menggunakan Numeric Rating Scale dengan skor 0 (tidak nyeri) sampai skor 10
(nyeri tak dapat diungkapkan). Skala nyeri yang terdapat pada pada NRS terbagi
menjadi 5 skala, yaitu tidak ada nyeri (0) nyeri ringan (1-3), nyeri sedang (4-6), nyeri
berat (7-9) dan nyeri sangat berat (10) (Potter & Perry, 2009).
Menurut Arikuntoro (2006), validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat-
tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Suatu instrumen dikatakan
valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan.
Instrumen pengukuran skala nyeri NRS (Numeric Rating Scales) telah dilakukan
uji validitas dan reliabititas sebelumnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Li,
Liu & Herr dalam Swarihadiyanti (2014), penelitian ini membandingkan empat skala
nyeri yaitu NRS, Face Pain Scale Revised (FPS-R), VRS pada klien pasca bedah
menunjukan bahwa keempat skala nyeri menunjukan validitas dan reabilitas yang
baik. Pada validitasnya skala nyeri NRS menunjukan r=0,90. Sedangkan Angka uji
reliabilitas NRS berdasarkan penelitian yang dilakukan Li, Liu & Herr dalam
Swarihadiyanti (2014), bahwa skala nyeri NRS menunjukan reliabilitas lebih dari
0,95.

3.4 Tempat Dan Waktu


3.4.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Puskesmas Sarulla

3.4.2 Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilakukan di bulan januari 2020

3.5 Defenisi Operasional

Tabel 3.1
Defenisi Operasional Penulisan
Variabel Defenisi Alat ukur Hasil ukur Skala ukur

16
Operasional
Variabel Pemberian Termometer air
Independen : kompres hangat dan Stopwatch
Kompres hangat jahe sesuai dengan
rebusan jahe SOP yang berlaku.

Variabel Respon tubuh Lembar Penurunan Rasio


Independen : responden terkait Observasi, Skala nyeri
Skala Nyeri dengan skala nyeri dengan yang dirasakan
sendi yang menggunakan
dirasakan, dengan Numeric Rating
pengukuran Scale dengan
menggunakan Rentang angka
skala nyeri pada 0(tidak nyeri)
lansia 1-3(ringan) 4-6
(sedang) 7-10
(sangat nyeri)

3.6 Prosedur Penelitian

3.6.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subyek dan proses
pengumpulan karakteristik yang diperlukan dalam suatu penelitian (Nursalam,
2013).Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengumpulan data antara lain
sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan
a.Mengambil surat pengantar ijin survei awal dari kampus Universitas Sari
Mutiara yang ditujukan pada Kepala Puskesmas Sarulla
b. Penyusunan proposal penelitian, dilakukan pada bulan juni 2019.
c. Melakukan studi pendahuluan di Puskesmas Sarulla Pahae jae
d.Mempersiapkan surat izin penelitian yang akan disampaikan kepada
pihak Puskesmas Sarulla Pahae jae dan kepala desa setempat.

17
e.Mempersiapkan lembar observasi, lembar wawancara dan informed
consent yang berisi sejumlah pertanyaan yang digunakan untuk
memperoleh informasi dari responden.
f.Mempersiapkan alat, bahan. Antara lain : Jahe merah 150 gram, air panas
bersuhu 40oC, handuk kecil/washlap,termometer, tensimeter,
timbangan, alat pemarut, baskom, handscon, stopwatch/jam tangan, dan
lembar observasi.

2. Tahap Pelaksanaan
a. Penelitian dilakukan dirumah ketua kader puskesmas sarulla
b. intervensi dilakukan pada jam 09.00 WIB – 12.00 WIB kepada 24
responden.
c. Dalam penelitian ini, pada hari pertama sampai hari ketiga peneliti
dibantu oleh 4 orang asisten Sebelum penelitian, terlebih dahulu di
briefing terkait dengan SOP kompres hangat jahe merah.
d. Untuk menjaga kesegaran jahe merah, peneliti dan 4 asisten memarut
jahe merah di tempat penelitian (sebelum responden datang) pada jam
08.00 – 08.30.
e. Pada hari pertama intervensi, dilakukan pengukuran tekanan darah pada
masing masing responden dan diukur tingkat nyeri yang dirasakan dengan
menggunakan Numeric Rating Scale, dengan angka 0 (tidak nyeri) - 10
(nyeri hebat).
f. Peneliti dan 4 asisten lainnya melakukan intervensi pada responden
yang datang pada saat jam itu (dalam rentang jam 09.00 WIB – 12.00
WIB).
g. Intervensi dilakukan dalam jangka waktu 20 menit pada masing masing
responden dengan menggunakan jam hp dan beberapa jam tangan dari
peneliti dan asisten.
h. Ketika kompres hangat jahe sudah diletakkan diarea yang nyeri kepada
responden, peneliti dan 4 asisten lainnya beranjak ke responden yang
lainnya. (dengan tetap memperhatikan suhu air dan waktu pemberian
sebagai salah satu indikator).

18
i. Intensitas nyeri sendi diukur dengan menggunakan Numeric Rating
Scale dan dilakukan 3 kali pengukuran pada hari pertama sebelum
intervensi, hari kedua, dan hari ketiga intervensi.
k. Data dikumpulkan/dicatat dan dicek kembali.

3. Tahap Pengolahan Data


a. Editing
Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang
diperoleh atau yang dikumpulkan. Editing data dapat dilakukan pada tahap
pengumpulan data atau setelah data terkumpul (Hidayat, 2009). Jumlah
sampel yang dijadikan sebagai sampel akhir adalah sebanyak 24 sampel.
b. Coding
Coding adalah kegiatan pemberian kode terhadp data yang terdiri atas
beberapa kategori (Hidayat, 2009). Code yang diberikan berupa inisial
untuk membedakan sampel kelompok intervensi sebelum dan sesudah
intervensi.

c. Entri Data
Entri data merupakan kegiatan memasukkan data, kemudian membuat
distribusi frequensi sederhana atau bisa juga dengan membuat tabel
kontingensi (Hidayat, 2009). Peneliti melakukan entri data dengan
memasukkan nama inisial responden, usia, jenis kelamin, pekerjaan, skala
nyeri sebelum kompres hangat jahe merah dan skala nyeri sesudah
kompres hangat jahe .

3.7 Etika Penelitian


Etika penelitian merupakan salah stau aspek penting dalam proses melakukan
penelitian, rangkaian aturan yang telah ada berpotensi untuk menjunjung tinggi nilai
privasi responden sebagai sumber data dan informasi hingga memunculkan hasil
penelitian yang akurat. Peneliti di bidang kedokteran yang menggunakan manusia
sebagai sampel harus memberikan informed consent sebelum responden diberikan
intervensi dalam penelitian, serta peneliti harus menjaga segala keamanan identitas
dan privasi responden walaupun penelitian telah berakhir (Sastroasmoro, 2014).

19
Etika penelitian untuk menggambarkan aspek etika apa saja yang digunakan dalam
penelitian ini, antara lain:
1. Informed Consent (Lembar persetujuan)
Lembar persetujuan akan diberikan pada subjek yang diteliti. Peneliti menjelaskan
maksud dan tujuan penelitian yang akan dilakukan terhadap responden,
memberikan informasi terkait hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan selama
proses penelitian, dan hal apa saja yang dapat mempengaruhi hasil penelitian atau
bahkan membahayakan responden selama pemberian intervensi. Jika calon
responden menolak untuk diteliti maka peneliti tidak diperkenankan untuk
memaksadan tetap menghormati hak-hak calon responden.

2. Anonimity (Tanpa nama)


Untuk menjaga privasi responden maka peneliti sebaiknya tidak mencantumkan
nama responden pada lembar pengumpulan data, cukup dengan memberi nomor
kode pada masing-masing lembar tersebut.

3. Confidentiality (Kerahasiaan)
Kerahasiaan dalam penelitian yaitu merahasiakan informasi terkait kondisi
responden dan dijamin oleh peneliti, karena hanya data kelompok saja yang
disajikan atau dilaporkan sebagai hasil riset dan data informasi responden secara
lengkap di simpan dalam perangkat khusus yang telah disediakan oleh peneliti.

3.8 Analisa Data


Analisa data dilakukan karena berkaitan dengan uji hipotesis. Beberapa buku
menyebutkan analisis univariat adalah analisis untuk deskripsi data seperti rerata,
median, mode, proporsi, dan seterusnya, sedangkan analisis bivariat adalah analisis
yang digunakan untuk menyatakan analisis terhadap 2 variabel yakni satu variabel
bebas dan satu variabel tergantung. Namun lebih banyak pakar yang menyebutkan
bahwa analisis univariat dan analisis bivariat adalah sinonim karena saling
melengkapi dalam proses analisis data (Sastroasmoro, 2014)

1. Analisis Univariat
Pada penelitian ini intensitas nyeri yang dirasakan dapat dipengaruhi oleh
berbagai macam faktor, antara lain: Pengalaman nyeri masa lalu yang pernah

20
dirasakan, pola aktifitas, tingkat kecemasan, usia, jenis kelamin, nilai agama,
lingkungan dan dukungan orang terdekat (Potter & Perry, 2005).
2. Analisis Bivariat
Pada penelitian ini analisis bivariat digunakan untuk menguji variabel dependent
dan variabel independent. Dimana variabel dependent pada peneltian ini adalah
kompres hangat jahe, sedangkan variabel independent nya adalah skala nyeri.
Setelah data terkumpul langkah selanjutnya adalah mengolah dan menganalisa
data, dimana pada penelitian ini menggunakan uji T-test Dependen.
P
X1 X1

DAFTAR PUSTAKA

Noviyanti. (2015). Hidup Sehat Tanpa Asam Urat. Yogyakarta : Notebook.

21
Nursalam. (2013). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan : Pendekatan Praktis Edisi 3.
Jakarta : Salemba Medika

Widi, R., Kertia, N., & Deddy Nur Wachid, R. (2012). Hubungan Dukungan Sosial Terhadap
Derajat Nyeri pada Penderita Artritis Gout Fase Akut. Jurnal Berita Kedokteran Masyarakat
(BKM), 27(1), 51.

Wijaya

Depkes. (2013). Riset Kesehatan Daerah. Depkes RI: Jakarta. Depkes. (2013). Buletin

Efendi, Ferry & Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan Praktik
Dalam Keperawatan. Penerbit Salemba Medika: Jakarta

Handriani. (2011). Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah (Edisi 8). (Vol 3). EGC: Jakarta.
Hensen, Putra TR. (2007). Hubungan Konsumsi Purin Dengan Hiperurisemia Pada Suku Bali
Di Daerah Pariwisata Pedesaan. Journal Penyakit Dalam. Edisi 8, p.1-7.

Hidayat, A. Aziz Alimul. (2007.2012). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis.
Ed. 01. Salemba Medika: Jakarta. Junadi, I. (2012).

Rematik dan asam urat. PT.Bhuana Ilmu Populer: Jakarta Kelana Dharma Kusuma. (2011).
Metodologi Penelitian Keperawatan. Selemba Medika: Jakarta. Kertia, dr. Nyoman. (2009).
Asam Urat. PT. Bentang Pustaka: Yogyakarta. Kozier & Erb’s. (2008).

Fundamental Of Nursing: Consept, Process And Practice, Ed. Pearson Edukacion, Inc: New
Jersey. Lanny, Sustrani, et al,. (2007).

Buku VitaHealth Asam Urat. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Maryam. K (2008).

Mengenal Usia Lanjut. Salemba Medika, Jakarta. Maryam, R. Siti, et al,. (2008).

Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Salemba Medika: Jakarta. Messwati, D.E. (2006).
Asam urat. Agromedia pustaka: Jakarta. Misnadiarly. (2007).

Asam Urat – Hiperurisemia - Arthritis Gout, 2012: 9 – 92. Pustaka Obor Populer: Jakarta.
Monks & Knoers. (2005).

Terapi asam urat. Jakarta : PT. Notoatmodjo, Soekidjo. (2011).

Metodologi Penelitian Kesehatan. Ed. 3. PT. Rineka Cipta: Jakarta . Notoatmodjo, Soekidjo.
(2010).

Promosi Kesehatan Teori & Aplikasi. Rineka Cipta: Jakarta. Nugroho, H. Wahjudi. (2012).
Keperawatan Gerontik & Geriatrik Edisi 3. EGC : Jakarta. Nuraini. (2011).

Aneka manfaat buah dan sayuran. Yogyakarta : Andi. Paimin F dkk,. (2006).

Budidaya, Pengolahan, Perdagangan Jahe. EGC : Jakarta. Pedoman Penyusunan Rencana


Aksi Percepatan Pencapaian Tujuan MDGs Di Daerah (RAD MDGs). Kementerian

22
Perencanaan Pembangunan Nasional/ BPPN TAHUN (2015). Potter, Paricia A. Dan Perry
Griffin Anne.

(2005). Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan Praktik Edisi 4 Volume 1. Alih
Bahasa Komalasari, dkk. EGC: Jakarta. Potter, Paricia A. Dan Perry Griffin Anne. (2009).
Fundamental Of Nursing Nursing Konsep, Prose, Dan Praktik. EGC: Jakarta. Price, S. A., &
Wilson, L. M.

(2006). Patofisiologi konsep klinis proses - proses penyakit (6 ed. Vol. 2). Buku Kedokteran
EGC: Jakarta. Price. A, S et al.( 2006).

Patofisiologi. EGC: Jakarta Priyo, H. Sutanto. (2007). Analisis Data Kesehatan Fakultas
Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Jakarta. Profil Kesehatan Puskesmas
Cengkalsewu.

(2014). Pati dikutip 25 Januari 2015 Riwidikdo, Handoko. (2009). Statistik Kesehatan. Mitra
Cendekia Press: Yogjakarta. Sandjaya, H. (2012). Buku Sakti Pencegah dan Penangkal Asam
Urat. Mantra Books: Yogyakarta.

American Academy Of Pain Managment. 2009. Dalam: Priscilla. 2015. Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah. Vol. 1. Edisi 5. Jakarta: EGC

23

Anda mungkin juga menyukai