Anda di halaman 1dari 15

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN GOUT ATRITIS

PUSKESMAS MAUROLE

OLEH :

NAMA : MARIA MARIANA, A.Md.,Kep


NIP : 19790402 200604 2 006
2

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peroses keperawatan merupakan suatu rangkaian pemecahan masalah yang berurutan meliputi :
pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi keperawatan, dan evaluasi yang saling berkaitan dan
dinamis. Proses keperawatan diarahkan untuk membantu pasien dalam mencapai tingkat kesehatan
dan pemeliharaan kesehatan yang optimal sesuai dengan kebutuhan yang dilaksanakan berdasarkan
praktek keperawatan (Undang-Undang keperawatan No. 38, tahun 2014).
Penyakit Asam Urat atau dalam dunia medis disebut penyakit Gout Arthritis adalah penyakit
sendi yang diakibatkan oleh gangguan metabolisme purin yang ditandai dengan tingginya kadar
asam urat dalam darah. Kadar asam urat yang tinggi dalam darah melebihi batas normal dapat
menyebabkan penumpukan asam urat di dalam persendian dan organ tubuh lainnya. Penumpukan
asam urat ini yang membuat sendi sakit, nyeri, dan meradang. Apabila kadar asam urat dalam darah
terus meningkat menyebabkan penderita penyakit ini tidak bisa berjalan, penumpukan kristal asam
urat berupa tofi pada sendi dan jaringan sekitarnya, persendian terasa sangat sakit jika berjalan dan
dapat mengalami kerusakan pada sendi bahkan sampai menimbulkan kecacatan sendi dan
mengganggu aktifitas penderitanya (Susanto, 2013).
Menurut WHO (2015) di dunia prevalensi penyakit asam urat mengalami kenaikan jumlah
penderita hingga dua kali lipat antara tahun 1990-2010. Pada orang dewasa di Amerika Serikat
penyakit gout mengalami peningkatan dan mempengaruhi 8.3 juta (4%) orang Amerika. Penyakit

asam urat diperkirakan terjadi pada 840 orang dari setiap 100.000 orang. Angka kejadian Gout
Arthritis pada tahun 2016 yang dilaporkan oleh, World Health Organization (WHO) adalah
mencapai 20% dari penduduk dunia adalah mereka yang berusia 55 tahun, prevalensi penyakit Gout
Arthritis adalah 24,7% prevalensi yang didiagnosa oleh tenaga kesehatan lebih tinggi perempuan
13,4% dibanding laki-laki 10,3%.
Berdasarkan hasil Riskesdas (2018) menunjukkan bahwa penyakit sendi di Indonesia yang
diagnosis dokter sebesar 7,3% dari seluruh Indonesia daerah dengan diagnosis penyakit asam urat
tertinggi yaitu Aceh 13,3%, diikuti Bengkulu 12% dan Papua 11%. Sedangkan Provinsi Nusa
Tenggara Timur 5,13%.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan (Dinkes) kabupaten Sikka setiap tahunnya masih juga
didapatkan pasien dengan penyakit atritis gout. Selain itu terdapat penderita atritis gout yang
mengalami hambatan atau masalah pemenuhan kebutuhan mobilitas fisik. Dari hasil wawancara
pada saat melakukan praktek komunitas di RT 017/RW 004, Kelurahan Kota Baru, Kecamatan
Alok Timur, Kabupaten Sikka, terhadap delapan orang penderita atritis gout, dua diantaranya
mengalami masalah hambatan mobilitas fisik. Pada wawancara tersebut klien juga mengatakan
dalam kebiasaan kehidupan sehari-hari mereka seringkali mengkonsumsi berbagai macam
penyedap rasa, seringkali juga mengkonsumsi makanan instan seperti mie instan, daging seperti
daging babi dan juga makanan laut seperti ikan teri, tuna, siput dan makanan laut lainnya. Klien
3

juga mengatakan mereka mengetahui kalau mereka menderita penyakit asam urat sejak 5 – 10
tahun yang lalu ketika mereka berobat ke puskesmas, namun walau demikian mereka dikarenakank
kesibukannya jarang untuk datang memeriksakan kesehatannya lagi di fasilatas kesehatan terdekat
dan tidak lagi meminum obat asam urat.
Faktor risiko yang menyebabkan orang terserang penyakit asam urat adalah usia, asupan
senyawa purin berlebihan, konsumsi alkohol berlebih, kegemukan (obesitas), kurangnya aktivitas
fisik, hipertensi dan penyakit jantung, obat-obatan tertentu (terutama diuretika) dan gangguan
fungsi ginjal. Peningkatan kadar asam urat dalam darah, selain menyebabkan gout, menurut suatu
penelitian merupakan salah satu prediktor kuat terhadap kematian karena kerusakan kardiovaskuler.
Hal ini dipengaruhi oleh kurangnya kesadaran masyarakat yang kurang memperhatikan
kesehatannya seperti masih banyaknya masyarakat yang mengkonsumsi makanan tanpa
memperhatikan kandungan dari makanan tersebut. Faktor aktivitas yang berlebihan juga dapat
memperburuk dan mendukung adanya komplikasi penyakit asam urat tersebut. Aktivitas yang
dilakukan seseorang berkaitan dengan kadar asam urat yang terdapat dalam darah. Aktifitas fisik
seperti olahraga atau gerakan fisik akan menurunkan ekskresi asam urat dan meningkatkan
produksi asam laktat dalam tubuh. Semakin berat aktivitas fisik yang dilakukan dan berlangsung
jangka panjang maka semakin banyak asam laktat yang diproduksi. (Aliana, Suhadi, & Sety, 2018)
Berdasarkan data diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti “Asuhan Keperawatan Pada
Pasien Atritis Gout Dalam Pemenuhan Kebutuhan Mobilitas Fisik Di Puskesmas Welamosa

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah pada kasus ini adalah bagaimana
Asuhan Keperawatan Pada Pasien Atritis Gout Dalam Pemenuhan Kebutuhan Mobilitas Fisik Di

C. Tujuan Studi Kasus


Tujuan penyusunan proposal ini yaitu menjelaskan Asuhan Keperawatan pada pasien Atritis
Gout Dalam Pemenuhan Kebutuhan Mobilitas Fisik Puskesmas Welamosa
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Gout Arthritis


1. Definisi Gout Arthritis
Artritis gout merupakan bentuk artritis inflamatorik yang terjadi pada individu dengan kadar
asam urat darah yang tinggi. Asam urat ini dapat membentuk kristal dengan bentuk, seperti
jarum di sendi. Akibatnya, kondisi ini dapat menyebabkan serangan gout yang sangat nyeri,
disertai kemerahan, bengkak, dan hangat di area tersebut. (Susanto, 2013).
2. Etiologi Gout Arthritis
Penyebab utama terjadinya gout adalah karena adanya deposit/ penimbunan kristal asam urat
pada sendi. Penimbunan asam urat sering terjadi pada penyakit dengan metabolisme asam urat
abnormal dan kelainan metabolik dalam pembentukan purin dan ekskresi asam urat yang
kurang dari ginjal.
Faktor pencetus terjadinya endapan kristal asam urat adalah:
a. Diet tinggi purin
b. Penurunan filtrasiglomerulus.
c. Pemberian obat direutik.
d. Minum alkohol.
e. Obat-obatan yang dapat menghambat eksresi asam urat oleh ginjal. (Susanto, 2013).
3. Patofisiologi Gout Arthritis
Peningkatan kadar asam urat serum dapat disebabkan oleh pembentukan berlebihan atau
penurunan ekskresi asam urat ataupun keduanya. Asam urat adalah produk akhir metabolisme
purin. Secara normal metabolisme purin menjadi asam urat dapat diterangkan sebagai berikut :
sintesis purin melibatkan dua jalur, yaitu jalur de novo dan jalur penghematan (salvage
pathway).
a. Jalur de novo melibatkan sintesis purin dan kemudian asam urat melalui prekusor non purin.
Substrat awalnya adalah ribose-5-fosfat yang diubah melalui serangkaian zat antara menjadi
nukleotida purin ( asam inosinat , asam guanilat, asam adenilat ).
Jalur ini dikendalikan oleh serangkaianmekanisme yang kompleks, dan terdapat beberapa
enzim yang mempercepat reaksi yaitu 5-fosforibosilfirofosfat (PRPP) sintetase dan amido-
fosforibosiltransferase (amido-PRT).
Terdapat suatu mekanisme inhibis umpan balik oleh nukleotida purin yang terbentuk , yang
fungsinya untuk mencegah pembentukan yang berlebihan.
b. Jalur penghematan adalah jalur pembentukan nukleotida purin melalui basa purin bebasnya,
pemecahan asam nukleat, atau asupan makanan. Jalur ini tidak melalui zat-zat perantara
seperti pada jalur de novo. Basa purin bebas (adenin, guanin, hipoxantin) berkondensassi
dengan PRPP untuk membentuk prekursor nukleotida purin dari asam urat, reaksi ini
5

dikatalisis oleh dua enzim : Hipoxantin Guanin Fosforibosiltransferase (HGPRT) dan


Adenine Fosforibosiltransferase (APRT). Asam urat terbentuk dari hasil metabolisme purin
akan difiltrasi secara bebas oleh glomerulus dan diresorpsi di tubulus proksimal ginjal.
Sebagian kecil asam urat yang diresorpsi kemudian di eksresikan di nefrondistal dan
dikeluarkan melalui urin.
Pada penyakit gout, terdapat gangguan keseimbangan metabolisme (pembentukan dan ekskresi)
dari asam urat tersebut, meliputi:
1) Penurunan ekskresi asam urat secara idiopatik.
2) Penurunan ekskresi asam urat sekunder, misalnya karena gagal ginjal.
3) Peningkatan produksi asam urat, misalnya disebabkan oleh tumor (yang meningkatkan
cellular turnover).
4) Peningkatan asupan makanan yang mengandung purin.
5) Peningkatan produksi atau hambatan ekskresi. (Susanto, 2013).
6

4. Mainfestasi klinis
a. Stadium I
adalah hiperurasemia asimtomatik. Nilai normal asam urat serum pada laki-laki adalah
5,1±1,0 mg/dl dan pada perempuan adalah 4,0 ± 1,0 mg/dl.
b. Stadium II
Adalah arthritic gout akut. Pada tahap ini terjadi awitan mendadak pembengkakan dan nyeri
yang luar biasa, biasnya pada sendi ibu jari kaki dan sendi metatarsofalangeal. Tahap ini
biasanya mendorong pasien untuk mencari pengobatan segera, sendi-sendi lain dapat
terserang, termasuk sendi jari tangan dan siku, serangan gout akut biasnya akan pulih tanpa
pengobatan, tetapi dapat memakan waktu 10-14 hari.
c. Stadium III
Adalah serangan gout akut (gout interitis) adalah tahap interikritis. Tidak terdapat gejala-
gejala pada masa ini, yang dapat berlangsung dari beberapa sampai tahun. Kebanyakan
orang mengalami serangan gout berulang dalam waktu kurang dari 1 tahun jika tidak
diobati.
d. Stadium IV
Adalah gout kronik, dengan timbunan asam urat yang terus bertambah dalam beberapa
tahun jika pengobatan tidak dimulai. Peradangan kronik akibatnya Kristal-kristalasam urat
mengakibatkan nyeri, sakit, dan kaku juga pembesaran dan penonjolan sendi yang bengkak,
tofi terbentuk pada masa gout kronik akibat insolubitas relatif asam urat. Awitan dan ukuran
tofi secara proprosional mungkin berkaitan dengan kadar asam urat serum. Bursa olekranon,
tendon achiles, permukaan ekstensor lengan bawah, bursa infrapatelar, dan heliks telinga
adalah tempat-tempatyang serinf dihingggapi tofi. Pada masa ini tofi aka menghilang
dengan terapi yang tepat. Gout dapat merusak ginjal, sehingga ekskresi asam urat akan
bertambah buruk. Kristal-kristal asam urat dapat terbentuk dalam interstititum medulla,
papilla, dan pyramid, sehingga timbul proteinuria dan hipertensi ringan. Batu ginjal asam
urat juga dapat terbentuk sebagai sekunder dari gout. ( Rotschild, 2013 ).
5. Tanda dan Gejala
a. Nyeri pada tulang sendi
b. Kemerahan dan Bengkak pada tulang sendi
c. Tofi pada ibu jari, mata kaki dan pinna telinga
Peningkatan suhu tubuh. ( Rotschild, 2013 ).
6. Pemeriksaan penunjang
a. Kadar asam urat serum meningkat.
b. Laju sedimentasi eritrosit (LSE) meningkat.
c. Kadar asam urat urine dapat normal atau meningkat.
Analisis cairan synovial dari sendi terinflamasi atau tofi menunjukkan Kristal urat
mosodium yang membuat diagnosis. ( Rotschild, 2013 ).
7

B. Konsep Dasar Mobilitas Fisik


1. Pengertian gangguan mobilitas fisik
Gangguan mobilitas fisik merupakan keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih
ekstremitas secara mandiri. Perubahan dalam tingkat mobilitas fisik dapat mengakibatkan
terjadinya pembatasan gerak dalam bentuk tirah baring, hambatan dalam melakukan aktifitas
( PPNI, 2016 ).
2. Etiologi gangguan mobilitas fisik
Penyebab dari gangguan mobilitas fisik yaitu, penurunan kekuatan otot, kekakuan sendi,
gangguan musculoskeletal, nyeri dan salah satu yang terkait dengan gangguan mobilitas fisik
yaitu osteoarthritis yang merupakan peradangan pada sendi yang menyebabkan nyeri pada sendi
( PPNI, 2016 ).
3. Gejala dan tanda gangguan mobilitas fisik
Gejala dan tanda dari gangguan mobilitas fisik terdiri dari dua yaitu :
a. Gejala dan tanda mayor
Gejala dan tanda mayor secara subjektif yaitu mengeluh sulit menggerakan ekstremitas dan
secara objektif yaitu kekuatan otot menurun.
b. Gejala dan tanda minor
Gejala dan tanda minor secara subjektif yaitu nyeri saat bergerak, enggan melakukan
pergerakan, merasa cemas saat bergerak dan secara objektif yaitu sendi kaku, gerakan tidak
terkoordinasi, gerakan terbatas dan fisik lemah. (PPNI, 2016).
4. Patofisiologi gangguan mobilitas fisik
Gangguan fisik yang disebabkan oleh gout arthritiskarena terjadinya menumpuknya zat purin
pada sendi yang menyebabkan terjadinya kekakuan pada daerah sendi yang terdapat
penumpukan zat purin yang dapat menyebabkan peradangan pada daerah persendian dan
berakibat terjadinya nyeri pada saat bergerak dan menyebabkan terhambatnya aktiftas sehari-
hari dan hal inilah yang menyebabkan terjadinya gangguan mobilitas fisik pada gout arthritis.
(PPNI, 2016).
5. Penanganan gangguan mobilitas fisik
Penanganan terhadap gangguan mobilitas fisik yaitu dapat diberikan kompres air hangat
yang memiliki tujuan memperlancar sirkulasi darah, mengurangi rasa sakit, memberi rasa
nyaman dan tenang sehingga dapat mengurangi terjadinya nyeri pada saat melakukan mobilitas
fisik
Untuk membantu pasien dalam melakukan mobilitas fisik, kita megajarkan Teknik Range Of
Motion ( ROM ).
a. Pengertian ROM
Range Of Motion (ROM) adalah latihan menggerakkan bagian tubuh untuk memelihara
fleksibilitas dan kemampuan gerak sendi. Latihan ROM adalah latihan yang dilakukan
8

untuk mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan


menggerakan persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan massa otot dan
tonus otot (Potter & Perry, 2005).
b. Tujuan ROM
ROM memiliki banyak tujuan diantaranya yaitu memelihara fleksibilitas dan
kemampuan gerak sendi, mengurangi rasa nyeri, mengembalikan kemampuan klien
menggerakkan otot melancarkan peredaran darah. (PPNI, 2016).
c. Jenis ROM
1) Latihan ROM aktif
Latihan dengan meminta klien menggunakan otot untuk melakukan gerak mandiri.
2) Latihan ROM aktif dengan pendampingan (active-assisted) Latihan gerak mandiri
dengan dibantu atau didampingi oleh perawat atau tenaga kesehatan lain.
3) Latihan ROM pasif :
Latihan ROM yang dilakukan oleh perawat atau tenaga kesehatan lain kepada klien
yang tidak mampu atau memiliki keterbatasan pergerakan. (PPNI, 2016).
d. Waktu pelaksanaan ROM
1) Idealnya sekali dalam sehari.
2) Latihan masing-masing dilakukan +-10 hitungan.
3) Mulai latihan pelan dan bertahap.
4) Usahakan sampai gerakan penuh, tapi jangan memaksakan gerakan klien, tetap
sesuaikan dengan batas toleransi gerakan pasien.
5) Perhatikan respon pasien, Hentikan bila terasa respon nyeri dan segera
konsultasikan ke tenaga kesehatan. (PPNI, 2016).
e. Cara melakukan gerkan ROM
1) ROM pada bagian jari-jari (Fleksi dan Ekstensi)
a) Pegang jari-jari tangan pasien dengan satu tangan sementara tangan lain
memegang pergelangan.
b) Bengkokkan (tekuk/fleksikan) jari-jari ke bawah.
c) Luruskan jari-jari (ekstensikan) kemudian dorong ke belakang
(hiperekstensikan).
d) Gerakkan ke samping kiri kanan (Abduksi-adduksikan).
e) Kembalikan ke posisi awal.
2) ROM pada pergelangan kaki (Fleksi dan Ekstensi)
a) Letakkan satu tangan pada telapak kaki pasien dan satu tangan yang lain di atas
b) Pergelangan kaki, jaga kaki lurus dan rileks.
c) Tekuk pergelangan kaki, arahkan jari-jari kaki ke arah dada atau ke bagian atas
tubuh pasien.
d) Kembalikan ke posisi awal.
9

e) Tekuk pergelangan kaki menjauhi dada pasien. Jari dan telapak kaki diarahkan
ke bawah.
3) ROM pada pergelangan kaki (Infersi dan Efersi)
a) Pegang separuh bagian atas kaki pasien dengan tangan kita (pelaksana) dan
pegang pergelangan kaki pasien dengan tangan satunya.
b) Putar kaki dengan arah ke dalam sehingga telapak kaki menghadap ke kaki
lainnya.
c) Kembalikan ke posisi semula.
d) Putar kaki keluar sehingga bagian telapak kaki menjauhi kaki yang lain.
e) Kembalikan ke posisi awal.
4) ROM pada bagian paha (Rotasi)
a) Letakkan satu tangan perawat pada pergelangan kaki pasien dan satu tangan
yang lain di atas lutut pasien.
b) Putar kaki ke arah pasien.
c) Putar kaki ke arah pelaksana.
d) Kembalikan ke posisi semula.
5) ROM pada paha (Abduksi dan Adduksi)
a) Letakkan satu tangan perawat di bawah lutut pasien dan satu tangan pada tumit.
b) Angkat kaki pasien kurang lebih 8 cm dari tempat tidur dan pertahankan posisi
tetap lurus. Gerakan kaki menjauhi badan pasien atau ke samping ke arah
perawat.
c) Gerakkan kaki mendekati dan menjauhi badan pasien.
d) Kembalikan ke posisi semula.
e) Cuci tangan setelah prosedur dilakukan.
6) ROM pada bagian lutut (Fleksi dan Ekstensi)
a) Letakkan satu tangan di bawah lutut pasien dan pegang tumit pasien dengan
tangan yang lain.
b) Angkat kaki, tekuk pada lutut dan pangkal paha.
c) Lanjutkan menekuk lutut ke arah dada pasien sejauh mungkin dan semampu
pasien.
d) Turunkan dan luruskan lutut dengan tetap mengangkat kaki ke atas.
e) Kembalikan ke posisi semula.
f) Cuci tangan setelah prosedur dilakukan. (PPNI, 2016).

C. Asuhan Keperawatan Pasien Gout Atritis Dalam Pemenuhan Kebutuhan Mobilitas Fisik.
1. Pengkajian
Tahap awal proses keperawatan adalah pengkajian yang merupakan proses kolaborasi
yang melibatkan perawat, pasien dan tim kesehatan lainnya. Pengkajian dilakukan dengan
10

wawancara dan pemeriksaan fisik. Dalam pengkajian dibutuhkan kecermatan agar data yang
terkumpul akurat sehingga dapat dianalisis untuk mengetahui masalah dan tindakan
keperawatan (Mitayani, 2014).
Data pengkajian yang perlu dikaji adalah :
a. Biodata pasien ( Nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan, pendidikan, alamat )
b. Riwayat perjalanan penyakit
Keluhan utama :
1) Nyeri pada sendi biasanya muncul pada waktu malam ataupun dini hari
2) Kekakuan pada sendi menyebabkan terbatasnya pergerakan
3) Sendi yang paling sering terkena adalah pergelangan kaki, jempol kaki, lutut, siku,
pergelangan tangan dan jari-jari tangan.
c. Riwayat penyakit sebelumnya
d. Riwayat pengobatan sebelumnya : kapan pasien mendapatkan pengobatan sehubungan
dengan sakitnya ini.
e. Riwayat sosial ekonomi
1) Riwayat pekerjaan ( jenis perjaan, waktu dan tempat bekerja, jumlah penghasilan.
2) Apek psikososial
3) Faktor pendukung
a) Riwayat lingkungan
b) Pola hidup ( nutrisi, kebiasaan merokok, komsumsi alcohol, pola istirahat dan
tidur, kebersihan diri ).
c) Tingkat pengetahuan/pendidikan pasien tentang penyakit dan pengobatan.
f. Pola kegiatan sehari-hari ( pola Gordon ) terdiri dari :
 Pola Persepsi dan Manajemen Kesehatan,
Menggambarkan tentang pemahaman pasien tentang pola kesehatan dan kesejahteraan
dan bagaimana penanganannya
 Pola Nutrisi Metabolic,
Menjelaskan tentang pola konsumsi makanan dan minuman yang berkaitan dengan
kebutuhan metabolik dan pola-pola yang menunjukkan pemasukan nutrient lokal
 Pola Eliminasi,
Menggambarkan tentang pola ekskretori (bowel, bladder, dan kulit).
 Pola Aktifitas dan Latihan,
Menjelaskan tentang pola latihan, kegiatan, santai, dan rekreasi
 Pola Tidur/Istirahat,
Menguraikan tentang pola-pola tidur, istirahat, dan relaksasi
 Pola Kognitif Perseptual,
Menjelaskan tentang pola persepsi-sensory dan kognitif
 Pola Persepsi/Konsep Diri,
11

Menjelaskan tentang pola konsep dan persepsi diri (contohnya kenyamanan tubuh,
gambaran diri, dan suasana perasaan).
 Pola Peran Hubungan,
Menggambarkan pola peran kekerabatan dan hubungan
 Pola Seksual/Reproduksi,
Menjelaskan tentang pola-pola kepuasan dan ketidakpuasan dalam seksualitas,
menggambarkan pola reproduksi.
 Pola Koping Toleransi dan Stress
Menjelaskan tentang pola koping yang umum dan keefiktifan pola dalam arti
toleransinya terhadap stress
 Pola Nilai Kepercayaan.
Menggambarkan pola-pola nilai-nilai, keyakinan-keyakinan (termasuk spiritual), atau
sasaran yang mengarahkan pada memilih atau memutuskan.
g. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien atristis gout dapat ditemukan tanda radang yaitu
pembengkakan, hangat dan nyeri pada sendi monoartikuler dan pada beberapa kasus dapat
terjadi pada beberapa sendi. Pada atritis kronis biasanya ditemukan tofus di telinga, jari
tangan dan jari kaki.
h. Pemeriksaan diagnostik
1) Pemeriksaan asam urat di dalam darah untuk mengukur kadar asam urat dan kreatinin
dalam darah
2) Pemeriksaan urin untuk memeriksa kadar asam urat dalam urin
3) Test cairan sendi, untuk mengidentifikasi Kristal asam urat pada sendi dengan
mengambil sampel cairan pada sendi
i. Therapy
1) Obat anti inflamasi non steroid (OAINS)
2) Obat kortikosteroid
3) Inhibitor xanthine oksidase
4) Probenesid
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah putusan klinis tentang respon individu, keluarga, komunitas
terhadap masalah yang dihadapi secara aktual dan potensial (Poter & Perry, 2014)
Menurut NANDA (2015) diagnosa keperawatan gout arthritis diantaranya:
1) Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi
2) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kekakuan pada sendi
3) Defisit pengetahuan berhubungan dengan ketidaktahuan tentang proses penyakit
4) Resiko cedera berhubungan dengan kekakuan pada sendi
12

Dan yang menjadi fokus penelitian yaitu gangguan mobilitas fisik Gangguan mobilitas
fisik merupakan keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas secara
mandiri (PPNI, 2016).
3. Intervensi keperawatan
Intervensi atau perencanaan yaitu suatu kegiatan dalam asuhan keperawatan yang meliputi,
berfokus pada pusat tujuan pasien, menetapkan hasil yang ingin diperoleh dan memilih
intervensi untuk mencapai tujuan tersebut. (PPNI, 2016).
Gangguan mobilitas fisik
Defenisi ;
keterbatasan dalam gerak fisik dari satu atau lebih ekstermitas secara mandiri ( Pokja SDKI
DPP PPNI, 2017 ).
Nursing Outcomes Classification ( NOC )
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan mampu melakukan
aktifitas secara bertahap yang dibuktikan degan klien mampu melakukan ROM aktif
Kriteria hasil ;
a. Klien meningkat dalam aktivitas fisik
b. Mengerti tujuan dalam peningkatan mobilitas
c. Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah
d. Memperagakan pennggunaan alat
e. Bantu untuk mobilisasi
f. Nursing Interventios Classficaton ( NIC )
g. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
h. Ajarkan rom aktif dan pasif
i. Bantu klien dalam menggunakan alat bantu ( tongkat, kursi roda )
j. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLS (Activity Daily Living Syndrome)
secara mandiri sesuai kemampuan. (NANDA NIC NOC, 2017).
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan salah satu bagian dari asuhan keperawatan yang merupakan
tindakan kegiatan yang bertujuan untuk mengatasi masalah yang dikeluhkan oleh pasien,
biasanya implementasi mengikuti perencanaan yang sudah ditetapkan agar dapat tercapainya
tujuan dan hasil yang diperkirakan tetapi banyak terdapat dilingkungan kesehatan biasanya
implementasi dilakukan setelah melakukan pengkajian. (PPNI, 2016).
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan proses asuhan keperawatan yang dapat menentukan apakah
intervensi yang dilakukan oleh perawat sudah dapat meningkatkan kondisi pasien menjadi lebih
baik (Potter & Perry,2014). Evaluasi dibagi atas dua bentuk yaitu evaluasi formatif dan evaluasi
sumatif.
a. Evaluasi formatif
13

Evaluasi formatif adalah evaluasi yang berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan hasil
dari proses tindakan keperawatan, evaluasi ini yaitu dilakukan setelah perawat melakukan
tindakan yang berfungsi untuk mengetahui keoptimalan pemberian asuhan keperawatan.
Adapaun perumusan evaluasi ini terdiri dari empat komponen yaitu lebih dikenal Dengan
istilah SOAP, yakni subjektif yang berisi data tentang keluhan pasien, objektif yang berisi
data tentang hasil pemeriksaan, analisa data yang berisi tentang perbandingan data dengan
teori dan perencanaan yang berisi tentang tindakan keperawatan selanjutnya.
b. Evaluasi sumatif
Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan diakhir atau setelah semua aktivitas proses
keperawatan dilakukan, evaluasi ini bertujuan untuk menilai dan memonitor kualiatas dari
asuhan keperawatan yang dilakukan, respon ini biasanya dilakukan dengan wawancara
menanyakan respon klien terhadap pelayanan yang diberikan.
Ada tiga kemungkinan yang dicapai dalam evaluasi sumatif ini yaitu :
1) Tujuan tercapai jika klien menunjukan perubahan sesuai dengan standar yang
diharapkan
2) Tujuan tercapai sebagian jika klien masih dalam proses mencapai tujuan dan klien
menunjukan perubahan sebagian dalam kriteria yang diharapkan
3) Tujuan tidak tercapai jika hanya menunjukan sedikit perubahan dan tidak ada kemajuan
sama sekali serta berkemungkinan timbulnya masalah baru. (PPNI, 2016)
14

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil studi kasus pada kedua subjek studi kasus ini tentang
Gout Atritis, setelah melakukan teknik ROM Pasif aktif diharapkan terjadi peningkatan
mobilitas fisik dan hasil yang diperoleh dari kedua responden selama kurang lebih 2 jam
didapatkan hasil peningkatan dalam aktifitas fisik dan saat diminta untuk mengulangi gerakan
ROM yang sudah diajarkan klien mampu melakukannya secara mandiri.
3.2. Saran
Untuk memperbaiki dan menigkatkan mutu pelayanan keperawatan maka saran peneliti antara
lain diharapakan setelah melakukan latihan gerakan ROM pasif aktif dapat menabah
pengetahuan tentang gout atritis sehingga mempermudah dalam melakukan mobilitas fisik.
3.3. Manfaat Praktis
a. Pasien
Diharapkan klien dapat melakukan latihan gerakan ROM pasif aktif secara mandiri.
b. Institusi Kesehatan (Puskesmas)
Adanya aktifitas gerakan ROM pasif aktif yang diselenggarakan oleh PUSKESMAS secara
rutin tiap bulan untuk pasien Gout Atritis.
15

DAFTAR PUSTAKA

Aliana, Suhadi, & Sety (2018). Faktor dan penyebab terjadinya gout atritis.

Arifin,(2014). Pengertian observasi pengumpulan data.

As'adi, Muhammad. (2010) Waspadai Asam Urat. Yogyakarta: Diva Press

Edraswara, (2012). Penegertian definisi operasional.

Mitayani, (2014). Format pengkajian atritis gout.

Nanda Internasional. (2015). Diagnosis Keperawatan. (T. H. Herdman & S. Kamitsuru,


Eds.) (10th ed.). Jakarta: EGC.

Notoatmodjo, S. (2012). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT Rineka


Cipta.
Nurul Hidayah, (2019). Karya Tulis Ilmiah Asuhan Keperawatan pada Lansia Dengan Gout
Atritis. Samarinda.
Nursalam. (2016). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Edisi 4 (4th ed.). Jakarta:
Salemba Medika.

Ode, S. La. (2012). Asuhan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Nuha Medika. Potter, P., &
Perry, A. (2010). Fundamental Of Nursing: Consep, Prosess and Practice. Edisi 7. Vol.
3 (7th ed.). Jakarta: EGC.

PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia Edisi I Cetakan Ke-3 (Revisi).
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Indonesia.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Edisi I Cetakan Ke-2. Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Indonesia.
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2014). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Volume 2. (H. Hartanto, Ed.) (6th ed.). Jakarta: EGC.

Purwant, (2015). Pengertian Metode pengumpulan data.

Riskesdas, (2018). Riset Kesehatan Dasar.

Rotschild, (2013 ). Manifestasi klinis pasien gout atritis

Soekanto, (2011). ASam Urat. Jakarta : Penebar Plus

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth ( Edisi 8 Volume 1) (12th ed.). Jakarta: EGC.

Susanto (2013). Gangguan mobilitas fisik pada pasien gout atritis.

World Health Organization. (2016). WHO methods and data sources for global burden of
disease estimates. Who (Vol. 1). Retrieved from
http://www.who.int/gho/mortalit y_burden_disease/en/index. html

Anda mungkin juga menyukai