PENDAHULUAN
Asam urat di sebut juga penyakit gout yang sering dinamakan sebagai
“penyakit para raja dan raja dari penyakit” karena sering terjadi pada
masyarakat dengan kemampuan sosial ekonomi tinggi. Sebagaimana
diketahui, kelompok masyarakat sosial ekonomi tinggi sering mengkonsumsi
daging (yaitu keluarga kerajaan pada zaman dahulu), akibatnya menimbulkan
rasa sakit yang teramat sangat. Kepercayaan kuno menyatakan bahwa penyakit
ini disebabkan oleh luka yang jatuh tetes demi tetes kedalam sendi
(Damayanti,2012).
Pada umumnya yang terserang asam urat adalah pria yang telah lanjut
usia, sedangkan pada perempuan didapati hingga memasuki menopause.
Perjalanan penyakit biasanya mulai dengan suatu serangan atau seseorang
memiliki riwayat pernah memeriksakan kadar asam uratnya dalam darahnya
lebih dari 7 mg/dl, dan semakin lama semakin tinggi (Tamher at.all., 2009).
Asam urat merupakan jenis reumatik yang sering terjadi di masyarakat,
penyakit ini disebabkan oleh tingginya kadar asam urat di dalam darah.
Serangan asam urat biasanya disertai dengan tanda-tanda radang seperti nyeri,
bengkak, panas, sakit bila digerakkan, dan kulit diatas sendi yang terkena
tampak kemerahan (Dalimartha Setiawan, 2008).
Prevalensi asam urat di Amerika lebih banyak terjadi pada usia 40- 75
tahun. Pada kajian kedua angka kejadian asam urat pada orang dewasa di
Inggris di perkirakan sebesar 1,4%.Dan paling banyak lebih dari 7% pada
pria usia 40-75 tahun (beyond, 2013).
WHO (2011), Dalam pembahasan asam urat mendata penderita gangguan-
gangguan sendi di Indonesia mencapai 81% dari populasi, hanya 24% yang
pergi ke dokter. Sedangkan 71% cenderung langsung mengkonsumsi obat-
obatan pereda nyeri yang dijual bebas. Angka ini menempatkan Indonesia
sebagai negara yang paling tinggi menderita gangguan sendi jika
dibandingkan dengan negara di Asia lainnya seperti, Hongkong, Malaysia,
Singapore, dan Taiwan (Adi, 2010).
Di Indonesia prevalensi penyakit asam urat pada usia 55-64 tahun 45%,
usia 65-74 tahun 51,9%, usia ≥75 tahun 54,8% (riskesdas, 2013). Prevalensi
penyakit asam urat di Indonesia menurut diagnosa tenaga kesehatan 11,9%
dan menurut tanda atau gejala 24,7%. Angka ini menunjukkan bahwa nyeri
akibat asam urat sudah sangat mengganggu aktivitas masyarakat Indonesia
(Riskesdas, 2013).
Hal ini merupakan pengaruh dari gaya hidup yang buruk atau kurang
sehat, sehingga ke depan berdampak pada produktivitas kerja. Kondisi ini
dapat menurunkan kualitas hidup dari masing-masing penderita.
Tingginya kadar asam urat dalam darah juga dapat menyebabkan gout
atritis. Kondisi ini dipicu oleh meningkatnya asupan makanan yang banyak
mengandung purin, dan kurangnya mengkonsumsi air putih, sehingga proses
pembuangannya melalui ginjal menurun (Krisnatuti, 2006). Apabila asupan
makanan dan gaya hidup tidak diubah asam urat dalam darah akan meningkat
yang bisa menimbulkan penumpukan kristal asam urat yang menyebabkan
penyakit asam urat (gout) (Misnadiarly, 2007). Asam urat sering dialami oleh
golongan usia produktif (Krisnatuti, 2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi
penyakit asam urat adalah umur, jenis, kelamin , genetik , obesitas, cedera
sendi, pekerjaan, dan olah raga (Rabes, 2009).Asam urat dapat mengganggu
kenyamanan dalam beraktivitas akibat nyeri sendi, selain itu juga dapat
menyebabkan resiko komplikasi yang tinggi seperti nefropati asam urat akut,
dan hipertensi. Berdasarkan berbagai dampak yang ditimbulkan, penyakit
asam urat memerlukan penanganan yang tepat dan aman, penyakit asam urat
dapat dilakukan secara farmakologis dan non farmakologis.
Terapi dengan obat obatan harus diminimalkan penggunaannya, karena
obat yang terus menerus dapat menyebabkan ketergantungan dan juga
memiliki kontraindikasi, oleh sebab itu terapi tanpa menggunakan obat dapat
dilakukan dengan berbagai cara yaitu, relaksasi, banyak minum air putih,
kompres hangat, diet rendah purin dengan cara mengatur pola makan dan
mengurangi asupan makanan yang banyak mengandung purin yang tinggi
seperti, kacang-kacangan dan jeroan, makanan bersantan, gorengan, emping
mlinjo, menjaga ideal tubuh dan berolah raga.(Krisnatuti, 2006).
Melakukan rendam larutan air garam hangat dapat mengurangi tingkat
nyeri pada bagian yang terkena asam urat. Dengan merendam bagian yang
terkena asam urat, darah akan mengalir lebih lancar dan penggumpalan asam
urat pada persendian juga akan berkurang. Garam mengandung beberapa zat
kimia seperti unsur sodium dan natrium. Unsur sodium penting untuk
mengatur keseimbangan cairan didalam tubuh, selain itu bertugas dalam
transmisi saraf dan kerja otot.
1. Hiperurisemia asimptomatik
Hiperurisemia asimptomatik adalah keadaan hiperurisemia (kadar
asam urat serum tinggi) tanpa adanya manifestasi klinik gout. Fase
ini akan berakhir ketika muncul serangan akut arthritis gout, atau
urolitiasis, dan biasanya setelah 20 tahun keadaan hiperurisemia
asimptomatik (Wortmann, 2009; Edward, 2008).
2. Arthritis gout, meliputi 3 stadium:
a. Artritis gout akut
Serangan pertama terjadi antara umur 40-60 tahun pada
laki-laki, dan setelah 60 tahun pada perempuan. Gejala yang
muncul, yaitu radang sendi, timbul sangat cepat dalam waktu
singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apapun, kemudian bangun
tidur terasa sakit. Keluhan berupa nyeri, bengkak, merah dan
hangat, disertai keluhan sistemik berupa demam, menggigil dan
merasa lelah, disertai lekositosis dan peningkatan laju endap
darah. Faktor pencetus antara lain trauma lokal, diet tinggi
purin, minum alkohol, kelelahan fisik, stress, tindakan operasi,
pemakaian diuretik, pemakaian obat yang meningkatkan atau
menurunkan asam urat (Wortmann, 2009; Edward, 2008;
Tehupeiroy, 2006).
b. Stadium interkritikal
Stadium ini tidak muncul tanda-tanda radang akut,
meskipun pada aspirasi cairan sendi ditemukan kristal urat, yang
menunjukkan proses kerusakan sendi terus berlangsung.
Stadium ini bisa berlangsung beberapa tahun sampai 10 tahun
tanpa serangan akut (Tehupeiroy, 2006).
c. Artritis gout kronik = kronik tofaseus gout
Ditandai dengan adanya tofi dan terdapat di poliartikuler,
dengan predileksi cuping telinga, MTP-1, olekranon, tendon
Achilles dan jari tangan. Tofi tidak menimbulkan nyeri, tapi
mudah terjadi inflamasi di sekitarnya, menyebabkan destruksi
pada sendi dan menimbulkan deformitas. Tofi sering pecah dan
sulit sembuh, hingga terjadi infeksi sekunder. Kecepatan
pembentukan deposit tofus tergantung beratnya dan lamanya
hiperurisemia, dan akan diperberat dengan gangguan fungsi
ginjal dan penggunaan diuretik (Wortmann, 2009; Edward,
2008).
Sayuran
Bayam, buncis, daun/biji melinjo,
kapri, kacang polong, kembang
kol, asparagus, kangkung, dan
jamur maksimum 100 gram/hari.
Kelompok 3 Nasi, ubi, singkong, jagung, roti,
Kandungan purin rendah mie, bihun, tepung beras, cake,
(dapat diabaikan, dapat dimakan kue kering, puding, susu, keju,
setiap hari) telur, lemak dan minyak, gula,
sayuran dan buah (kecuali
sayuran dalam kelompok 2)
Penderita gout
(hiperurisemia + keluhan)
- Tinggi
- Sedang
- Rendah
Dukungan keluarga:
- Dukungan
instrumental
- Dukungan
informasional
- Dukungan emosional
- Dukungan
Keterangan:
3.2 Hipotesis
METODE PENELITIAN
4.2.1 Populasi
c = Xn – X1
Jadi, c = 39 – 0
= 13
0 – 13 = dukungan rendah
14 – 26 = dukungan sedang
27 – 39 = dukungan tinggi
c = Xn – X1
k = banyaknya kelas
= 24
0 – 24 = tidak patuh
25 – 48 = kurang patuh
49 – 72 = patuh
Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita gout yang pernah
berkunjung ke Puskesmas Dadap Kuning, Cerme Gresik
Sampel
Pasien dengan riwayat gout, yang pernah berkunjung ke Puskesmas Dadap
Kuning, Cerme Gresik, yaitu sebanyak 44 orang
Sampling
Teknik dalam pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah sampling jenuh
Pengumpulan data
Kuesioner dukungan keluarga dan kuesioner kepatuhan diet rendah purin
Pengolahan data
Editing, koding, skoring, tabulating, prosesing, cleaning dan interpretasi data
Kesimpulan
4.9 Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Editing
Peneliti memeriksa kuesioner satu persatu untuk mengecek apakah
telah diisi sesuai dengan petunjuk yang ditentukan.
2. Coding
Coding data yaitu peneliti memberi penilaian untuk setiap
pertanyaan yang jawabannya benar sesuai dengan format kesioner.
Memberi identitas pada masing-masing angket kuesioner sesuai
dengan nomor urut responden.
3. Scoring
Skor untuk setiap item dalam penelitian ini menggunakan skala
likert yang terdiri dari 0 sampai 3.
4. Tabulating
Tabulating yaitu menyusun proses perhitungan frekuensi yang
terbilang di dalam masing-masing kategori.
5. Processing
Processing adalah data diproses dengan cara memasukan data tersebut
ke dalam program komputer. Program paket komputer yang digunakan
adalah SPSS.
6. Cleaning
Cleaning merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah
dientri ada kesalahan atau tidak.
a. Mengetahui missing data
Cara mendeteksi adanya missing data adalah dengan melakukan
list (distribusi frekuensi) dari variabel yang ada.
b. Mengetahui variasi data
Dengan mengetahui variasi data akan diketahui apakah data yang
dientri benar atau salah. Cara mendeteksi dengan mengeluarkan
distribusi frekuensi masing-masing variabel.
c. Mengetahui konsistensi data
Cara mendeteksi data adanya ketidak konsistensian data dengan
menghubungkan dua variabel.
1. Analisa Univariat
Analisis univariat berfungsi untuk meringkas kumpulan data hasil
pengukuran sehingga kumpulan data tersebut berubah menjadi informasi
yang berguna. Peringkasan tersebut dapat berupa ukuran statistik, tabel dan
grafik. Setiap variabel yang dinyatakan dengan sebaran frekuensi, baik
secara angka mutlak maupun secara presentase. Presentase pada tabel
distribusi frekuensi dihitung dengan cara kuantitatif kelompok dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
F
P= x 100%
N
Keterangan:
P = jumlah presentase
N = jumlah responden
100% = seluruhnya
50% = setengah
26%-49% = hampir setengah
0% = tidak satupun
2. Analisa bivariat
Langkah uji:
Keterangan:
P= koefisien korelasi spearman rank
n= jumlah sampel
c. Kesimpulan
Bila rho hitung > rho tabel, maka Ha gagal ditolak
Bila rho hitung < rho tabel maka, Ha ditolak
Data yang diperoleh diinterpretasikan sesuai dengan pedoman
interval koefisien dan tingkat hubungan (Sugiyono, 2008).
0-0,05 : Korelasi sangat lemah
>0,25-0,5 : Korelasi cukup
>0,5-0,75 : Korelasi kuat
>0,75-1 : Korelasi sangat kuat
Aggarwal B., Liao M., Allegrante JP., Mosca L. 2010. Low Social Support Level is
Associated with Non-Adherence to Diet at 1 Year in the Family Intervention
Trial for Heart Health (FIT Heart)Journal of Nutrition Education and Behavior.
Volume 42, Number 6.
Berger BA, Krueger KP, Felkey BG. 2004. The pharmacist's role in treatment
adherence. Part 1: Extent of the problem. US Pharm.
Choi HK, Liu S, and Curhan G. 2005. Intake of Purine-Rich Foods, Protein, and
Dairy Products and Relationship to Serum Levels of Uric Acid. American
College of Rheumatology.
Choi HK, et al. 2013. Medical Professional Guide: Gout Diagnosis and Treatment.
Gout and Uric Acid: Education Society.
DiMatteo MR, Miller TA. 2013. Treatment adherence in adolescence. In: O’Donohue
WT, Benuto LT, Tolle LW, editors. Handbook of Adolescent Health Psychology.
New York, NY: Springer.
Edward NL. 2008. Gout: Clinical features. In: Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ,
White PH, Editors. 3thed. New York: Springer.
Ferre MG, Bullo M, Babio N, Gonzalez MA, Estruch R, Covas MI, dkk. 2013.
Mediterranean Diet and Risk of Hyperuricemia in Elderly Participants at High
Cardiovascular Risk. J Gerontol A Biol Sci Med Sc. (Online),
(http://biomedgerontology.oxfordjournals.org), diakses 30 Oktober 2015.
Friedman. 1998. Keperawatan Keluarga: Teori dan Praktek. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Kementrian Kesehatan RI. 2011. Diet Rendah Purin. Direktorat Bina Gizi: Subdit
Bina Gizi Klinik. (Online), (http://gizi.depkes.go.id/wp-
content/uploads/2013/09/Brosur-Diet-Rendah-Purin.pdf), diakses 25 Oktober
2015.
Krueger KP, Berger BA, Felkey B. 2005. Medication adherence and persistence. In:
National Quality Forum. Improving use of prescription medications: a national
action plan. Washington, DC: National Quality Forum.
Lestari, E., Maryanto, S., Paundrianagari, MD. 2013. Hubungan Konsumsi Makanan
Sumber Purin Dengan Kadar Asam Urat Pada Wanita Usia 45-59 Tahun Di Desa
Sanggrahan Kecamatan Kranggan Kabupaten Temanggung.
Miller TA & DiMatteo MR. 2013. importance of family/social support and impact on
adherence to diabetic therapyDiabetes, Metabolic Syndrome and Obesity:
Targets and Therapy.(Online), (http://www.dovepress.com/diabetes-metabolic-
syndrome-and-obesity-targets-and-therapy-journal), diakses 30 september 2015.
Ministry of Health. Data and Statistics: New Zealand Health Survey. (Online),
(http://www.moh.govt.nz/moh.nsf/indexmh/dataandstatistics-survey-nzhealth).
Diakses 13 September 2015.
Nengsi SW., Bahar B., Salam A. 2014. Gambaran Asupan Purin, Penyakit Artritis
Gout, Kualitas Hidup Lanjut Usia Di Kecamatan Tamalanrea. Program Studi
Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat: Universitas Hasanuddin
NIAMS. 2002. Questions and Answers About Gout, Health Topics. National Institute
of Health.
Peixoto MD, et al. 2001. Diet and Medication in the Treatment of Hyperuricemia in
Hypertensive Patients. Diet and medication in the treatment of hyperuricemia.
Arq Bras Cardiol.
Perdana DC. 2014. A 46 Years Old Woman With Gouty Arthritis, High Purin Intake
And Work As A Servant. J Medula Unila, Volume 3 Nomor 1. Faculty of
Medicine: Universitas Lampung.
Reach G. 2011. Treatment Adherence in patients with gout. Joint Bone Spine.
Elsevier Masson France.