Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit asam urat yang dalam istilah medis dikenal dengan gout,
merupakan penyakit akibat penumpukan asam urat, baik karena produksi yang
meningkat atau ginjal tidak mampu mengeluarkannya sehingga kristal asam
urat menumpuk di persendian. Produksi yang meningkat disebabkan oleh
mengkonsumsi makanan dengan kadar purin tinggi. Selain itu, karena obat-
obatan, obesitas, hipertensi, hiperlipidemia, dan diabetes melitus
(Wahyuningsih, 2013).

Asam urat di sebut juga penyakit gout yang sering dinamakan sebagai
“penyakit para raja dan raja dari penyakit” karena sering terjadi pada
masyarakat dengan kemampuan sosial ekonomi tinggi. Sebagaimana
diketahui, kelompok masyarakat sosial ekonomi tinggi sering mengkonsumsi
daging (yaitu keluarga kerajaan pada zaman dahulu), akibatnya menimbulkan
rasa sakit yang teramat sangat. Kepercayaan kuno menyatakan bahwa penyakit
ini disebabkan oleh luka yang jatuh tetes demi tetes kedalam sendi
(Damayanti,2012).
Pada umumnya yang terserang asam urat adalah pria yang telah lanjut
usia, sedangkan pada perempuan didapati hingga memasuki menopause.
Perjalanan penyakit biasanya mulai dengan suatu serangan atau seseorang
memiliki riwayat pernah memeriksakan kadar asam uratnya dalam darahnya
lebih dari 7 mg/dl, dan semakin lama semakin tinggi (Tamher at.all., 2009).
Asam urat merupakan jenis reumatik yang sering terjadi di masyarakat,
penyakit ini disebabkan oleh tingginya kadar asam urat di dalam darah.
Serangan asam urat biasanya disertai dengan tanda-tanda radang seperti nyeri,
bengkak, panas, sakit bila digerakkan, dan kulit diatas sendi yang terkena
tampak kemerahan (Dalimartha Setiawan, 2008).
Prevalensi asam urat di Amerika lebih banyak terjadi pada usia 40- 75
tahun. Pada kajian kedua angka kejadian asam urat pada orang dewasa di
Inggris di perkirakan sebesar 1,4%.Dan paling banyak lebih dari 7% pada
pria usia 40-75 tahun (beyond, 2013).
WHO (2011), Dalam pembahasan asam urat mendata penderita gangguan-
gangguan sendi di Indonesia mencapai 81% dari populasi, hanya 24% yang
pergi ke dokter. Sedangkan 71% cenderung langsung mengkonsumsi obat-
obatan pereda nyeri yang dijual bebas. Angka ini menempatkan Indonesia
sebagai negara yang paling tinggi menderita gangguan sendi jika
dibandingkan dengan negara di Asia lainnya seperti, Hongkong, Malaysia,
Singapore, dan Taiwan (Adi, 2010).
Di Indonesia prevalensi penyakit asam urat pada usia 55-64 tahun 45%,
usia 65-74 tahun 51,9%, usia ≥75 tahun 54,8% (riskesdas, 2013). Prevalensi
penyakit asam urat di Indonesia menurut diagnosa tenaga kesehatan 11,9%
dan menurut tanda atau gejala 24,7%. Angka ini menunjukkan bahwa nyeri
akibat asam urat sudah sangat mengganggu aktivitas masyarakat Indonesia
(Riskesdas, 2013).

Hal ini merupakan pengaruh dari gaya hidup yang buruk atau kurang
sehat, sehingga ke depan berdampak pada produktivitas kerja. Kondisi ini
dapat menurunkan kualitas hidup dari masing-masing penderita.
Tingginya kadar asam urat dalam darah juga dapat menyebabkan gout
atritis. Kondisi ini dipicu oleh meningkatnya asupan makanan yang banyak
mengandung purin, dan kurangnya mengkonsumsi air putih, sehingga proses
pembuangannya melalui ginjal menurun (Krisnatuti, 2006). Apabila asupan
makanan dan gaya hidup tidak diubah asam urat dalam darah akan meningkat
yang bisa menimbulkan penumpukan kristal asam urat yang menyebabkan
penyakit asam urat (gout) (Misnadiarly, 2007). Asam urat sering dialami oleh
golongan usia produktif (Krisnatuti, 2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi
penyakit asam urat adalah umur, jenis, kelamin , genetik , obesitas, cedera
sendi, pekerjaan, dan olah raga (Rabes, 2009).Asam urat dapat mengganggu
kenyamanan dalam beraktivitas akibat nyeri sendi, selain itu juga dapat
menyebabkan resiko komplikasi yang tinggi seperti nefropati asam urat akut,
dan hipertensi. Berdasarkan berbagai dampak yang ditimbulkan, penyakit
asam urat memerlukan penanganan yang tepat dan aman, penyakit asam urat
dapat dilakukan secara farmakologis dan non farmakologis.
Terapi dengan obat obatan harus diminimalkan penggunaannya, karena
obat yang terus menerus dapat menyebabkan ketergantungan dan juga
memiliki kontraindikasi, oleh sebab itu terapi tanpa menggunakan obat dapat
dilakukan dengan berbagai cara yaitu, relaksasi, banyak minum air putih,
kompres hangat, diet rendah purin dengan cara mengatur pola makan dan
mengurangi asupan makanan yang banyak mengandung purin yang tinggi
seperti, kacang-kacangan dan jeroan, makanan bersantan, gorengan, emping
mlinjo, menjaga ideal tubuh dan berolah raga.(Krisnatuti, 2006).
Melakukan rendam larutan air garam hangat dapat mengurangi tingkat
nyeri pada bagian yang terkena asam urat. Dengan merendam bagian yang
terkena asam urat, darah akan mengalir lebih lancar dan penggumpalan asam
urat pada persendian juga akan berkurang. Garam mengandung beberapa zat
kimia seperti unsur sodium dan natrium. Unsur sodium penting untuk
mengatur keseimbangan cairan didalam tubuh, selain itu bertugas dalam
transmisi saraf dan kerja otot.

1.2 Rumusan Masalah


Apakah ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan diet
rendah purin pada penderita gout di Puskesmas Dadap Kuning, Cerme Gresik?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan
diet rendah purin pada penderita gout di Puskesmas Dadap Kuning,
Cerme Gresik.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi dukungan keluarga instrumental pada penderita
gout di Puskesmas Dadap Kuning, Cerme Gresik.
2. Mengidentifikasi dukungan keluarga informasional pada penderita
gout di Puskesmas Dadap Kuning, Cerme Gresik.
3. Mengidentifikasi dukungan keluarga penilaian pada penderita gout
di Puskesmas Dadap Kuning, Cerme Gresik.
4. Mengidentifikasi dukungan keluarga emosional pada penderita
gout di Puskesmas Dadap Kuning, Cerme Gresik.
5. Mengidentifikasi kepatuhan diet rendah purin pada penderita gout
di Puskesmas Dadap Kuning, Cerme Gresik.
6. Mengetahui hubungan dukungan keluarga terhadap diet rendah
purin pada penderita gout di Puskesmas Dadap Kuning, Cerme
Gresik.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah pustaka mengenai
hubungan dukungan keluarga terhadap tingkat kepatuhan
melaksanakan diet rendah purin pada penderita gout.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Bagi peneliti
Menambah pengetahuan tentang pentingnya dukungan keluarga
dalam menjalankan diet rendah purin pada penderita gout.
2. Bagi pasien
Bahan pertimbangan dan masukan bagi penderita gout agar
mengetahui dampak yang diakibatkan jika tidak patuh dalam
menjalankan diet rendah purin sehingga akan memenuhi aturan-
aturan diet tersebut.
3. Bagi keluarga
Bahan pertimbangan dan masukan bagi keluarga akan
pentingnya mematuhi diet rendah purin sehingga dapat menjadi
masukan bagi keluarganya untuk memberi dukungan terhadap
kepatuhan diet.
4. Bagi tempat penelitian
Sebagai masukan bagi tenaga kesehatan atau perawat dalam
melaksanakan asuhan keperawatan kepada penderita gout yang
tidak patuh dalam menjalankan diet rendah purin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Gout

2.1.1 Definisi Gout


Gout menggambarkan sekumpulan penyakit termasuk
hiperurisemia, serangan akut pada sendi yang berkaitan dengan adanya
monosodium urat dalam leukosit yang ditemukan pada cairan sendi
sinovial, endapan kristal monosodium urat dalam jarigan (tofi),
penyakit ginjal interstisial, nefrolitiasis asam urat. Kondisi
hiperurisemia dapat hanya berupa peningkatan kadar asam urat dalam
serum, tetapi asimtomatik. Risiko gout terjadi jika konsentrasi urat
supersaturasi yaitu lebih besar dari 7,0mg/dL (Hawkins & Rahn, 2005).

2.2.2 Etiologi Gout

Hiperurisemia terjadi akibat ekskresi asam urat oleh ginjal yang


tidak adekuat atau produksi asam urat yang berlebihan (hasil dari
pemecahan makanan atau purin endogen). Penyebab berkurangnya
ekskresi asam tidak diketahui, tetapi ada faktor yang berperan seperti
obesitas, hipertensi, hiperlipidemia, menurunnya fungsi ginjal,
konsumsi alkohol dan obat-obatan tertentu. Obat-obatan yang
menyebabkan hiperurisemia dan gout seperti, diuretik loop dan tiazid,
yang menghalangi ekskresi asam urat pada distal tubular. Pada usia
premenopause berkurangnya estrogen dapat meningkatkan asam urat
karena fungsi estrogen adalah untuk mendorong ekskresi asam urat.
Tahap selanjutnya asam urat tersebut akan membentuk endapan kristal
asam urat di sendi dan tendon. Kelarutan asam urat berkurang pada
cuaca yang dingin dan pH yang rendah. Hal ini yang menyebabkan
mengapa pada cuaca dingin lebih terasa nyeri (Setter & Sonnet, 2005).

2.2.3 Manifestasi klinik

Gout adalah diagnosis klinis, sedangkan hiperurisemia adalah


kondisi biokimia. Untuk menegakkan diagnosis yang tepat, dilakukan
aspirasi cairan sinovial dari sendi yang inflamasi dan kristal
monosodium urat diidentifikasi melalui mikroskop polarisasi. Namun,
dokter dan tenaga kesehatan sangat jarang menggunakan cara tersebut
karena membutuhkan alat dan latihan khusus. Banyak dokter
mendiagnosa pasien didasarkan pada gejala klasik. Panduan diagnosis
klinis dari American College of Rheumatology termasuk adanya nyeri
sendi secara tiba-tiba, merah, dan bengkak. Tanda lain adalah
hiperurisemia (Choi et al., 2013).

1. Hiperurisemia asimptomatik
Hiperurisemia asimptomatik adalah keadaan hiperurisemia (kadar
asam urat serum tinggi) tanpa adanya manifestasi klinik gout. Fase
ini akan berakhir ketika muncul serangan akut arthritis gout, atau
urolitiasis, dan biasanya setelah 20 tahun keadaan hiperurisemia
asimptomatik (Wortmann, 2009; Edward, 2008).
2. Arthritis gout, meliputi 3 stadium:
a. Artritis gout akut
Serangan pertama terjadi antara umur 40-60 tahun pada
laki-laki, dan setelah 60 tahun pada perempuan. Gejala yang
muncul, yaitu radang sendi, timbul sangat cepat dalam waktu
singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apapun, kemudian bangun
tidur terasa sakit. Keluhan berupa nyeri, bengkak, merah dan
hangat, disertai keluhan sistemik berupa demam, menggigil dan
merasa lelah, disertai lekositosis dan peningkatan laju endap
darah. Faktor pencetus antara lain trauma lokal, diet tinggi
purin, minum alkohol, kelelahan fisik, stress, tindakan operasi,
pemakaian diuretik, pemakaian obat yang meningkatkan atau
menurunkan asam urat (Wortmann, 2009; Edward, 2008;
Tehupeiroy, 2006).
b. Stadium interkritikal
Stadium ini tidak muncul tanda-tanda radang akut,
meskipun pada aspirasi cairan sendi ditemukan kristal urat, yang
menunjukkan proses kerusakan sendi terus berlangsung.
Stadium ini bisa berlangsung beberapa tahun sampai 10 tahun
tanpa serangan akut (Tehupeiroy, 2006).
c. Artritis gout kronik = kronik tofaseus gout
Ditandai dengan adanya tofi dan terdapat di poliartikuler,
dengan predileksi cuping telinga, MTP-1, olekranon, tendon
Achilles dan jari tangan. Tofi tidak menimbulkan nyeri, tapi
mudah terjadi inflamasi di sekitarnya, menyebabkan destruksi
pada sendi dan menimbulkan deformitas. Tofi sering pecah dan
sulit sembuh, hingga terjadi infeksi sekunder. Kecepatan
pembentukan deposit tofus tergantung beratnya dan lamanya
hiperurisemia, dan akan diperberat dengan gangguan fungsi
ginjal dan penggunaan diuretik (Wortmann, 2009; Edward,
2008).

2.2.4 Penatalaksanaan Gout


A. Modifikasi gaya hidup
1. Penurunan berat badan (bagi yang obesitas).
2. Menghindari makanan yang mengandung purin tinggi (hati,
ginjal, lidah), dan minuman tertentu (tinggi fruktosa).
3. Mengurangi konsumsi alkohol (bagi peminum alkohol), alkohol
meningkatkan produksi urat dan menurunkan ekskresi urat dan
dapat mengganggu ketaatan pasien.
4. Meningkatkan asupan cairan.
5. Mengganti obat-obatan yang dapat menyebabkan gout (misal:
diuretik tiazid).
6. Terapi es pada tempat yang sakit.
B. Obat
1. Kolkhisin
Untuk mengurangi nyeri dan mengurangi bengkak pada
gout akut, dosis yang digunakan adalah 2 tablet (1,2 mg)
diberikan segera, 1 jam kemudian diberikan 1 tablet (0,6 mg).
Dilanjutkan 1 tablet dua atau tiga kali sehari selama satu
minggu. Obat ini harus diminum setelah makan, karena risiko
untuk terjadi gangguan lambung. Efek samping yang mungkin
terjadi adalah diare, mual atau muntah dan nyeri lambung.
Kolkhisin harus digunakan hati-hati pada orang dengan
gangguan ginjal.
2. Glukokortikosteroid (Methylprednisolone (Medrol),
Prednisone (Deltasone), Triamcinolone (Kenalog).
Kenalog 60 mg diikuti dengan steroid dosis rendah atau
prednison secara oral diberikan 30 mg sampai 0 mg sampai 10
hari. Untuk mencegah serangan gout diberikan 1 atau 2 tablet
(0,6 mg) per hari, maksimum 1,2 mg perhari. Efek samping
antara lain: retensi sodium dan cairan, kenaikan berat badan,
tekanan darah tinggi, kehilangan potasium, buruknya kontrol
gula darah, dan sakit kepala. Hati-hati penggunaan pada pasien
diabetes.
3. Nonsteriodal antiinflammatory drugs (NSAIDs) (Celecoxib
(Celebrex), Ibuprofen (Advil), Indomethacin (Indocin),
Naproxen (Aleve, Naprosyn)).
Dosis tinggi diberikan selama tiga hari pertama, diikuti
dengan dosis sedang selama 7 hari. Untuk mencegah serangan
gout dosis rendah digunakan selama 6 bulan pertama untuk
terapi penurunan urat. Efek samping yang terjadi seperti mual,
perut tidak nyaman, retensi sodium dan cairan, dispepsia, ulser
lambung, dan sakit kepala. Khususnya pada pasien tua, obat
mungkin berinteraksi dengan tekanan darah dan obat jantung.
Hati-hati penggunaan pada pasien dengan riwayat ulser
lambung, penyakit ginjal dan orang tua.
4. Allopurinol (Lopurin, Zyloprim)
Terapi jangka panjang untuk menurunkan asam urat, dosis
yang digunakan adalah 100-800 mg per hari. Dosis dimulai
dengan 100 mg setiap 2 sampai 4 minggu untuk mencapai level
asam urat dibawah 6,0 mg/Dl. Penggunaan pada pasien gagal
ginjal harus dimulai dengan dosis 50 mg per hari. Efek samping
berupa kemerahan, gatal, mual.
5. Febuxostat (Uloric)
Dosis awal 40 mg per hari kemudian ditingkatkan sampai
80 mg per hari selama 2 minggu jika serum urat tidak turun
dibawah 6,0 mg/Dl. Efek samping berupa peningkatan enzim
hati, mual, nyeri sendi dan kemerahan.
6. Pegloticase (Krystexxa)
Dosis 8 mg diberikan via intravena setiap 2 minggu.
Digunakan untuk gout kronis dan hiperuricemia yang sulit
dikontrol. Efek samping berupa demam, mual dan hipotensi.
7. Probenecid and colchicine (Col-Benemid, Col-Probenecid,
Proben C).
1 tablet (mengandung 500 mg probenecid dan 0,5 mg
kolkhisin) 2 kali per hari. Efek samping berupa diare, sakit
kepala, tidak nafsu makan, mual muntah, nyeri lambung dan
kemerahan. Pada pasien dengan riwayat batu ginjal obat ini
tidak dianjurkan (Choi et al., 2013).
2.2 Diet Gout
Tujuan dari diet penderita asam urat yaitu untuk mencapai dan
mempertahankan status gizi optimal serta menurunkan kadar asam urat dalam
darah dan urin. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Energi diberikan sesuai kebutuhan tubuh pasien. Apabila pasien
mengalami kegemukan diberikan diet rendah energi, yaitu asupan
energi sehari dikurangi secara bertahap sebanyak 500-1000 kkal dari
kebutuhan energi normal.
2. Protein diberikan sekitar 1 g/kgBB/hari atau 10-15% dari kebutuhan
energi total dan menghindari bahan makanan sumber protein yang
mempunyai kandungan purin >150mg/100 gram.
Tabel 2.1 Pengelompokan bahan makanan menurut kadar purin dan
anjuran makan

Kelompok Contoh bahan makanan

Kelompok 1 Otak, hati, jantung, ginjal, usus,


Kandungan purin tinggi babat, jeroan, ekstrak daging atau
(150-800 mg purin/100 g bahan kaldu, bouillon, bebek, ikan
makanan) sarden, makarel, remis.
Sebaiknya dihindari

Kelompok 2 Sumber protein hewani


Kandungan purin sedang Maksimal 50-75 gram/hari (1-11/2
(900-1000 mg purin/ 100 g bahan potong) daging, ayam, ikan
makanan) tongkol, tenggiri, bandeng,
Dibatasi kerang, udang.

Sumber protein nabati


Tempe, tahu maksimum 50
gram/hari. Kacang-kacangan
(kacang hijau, kacang tanah,
kedelai maksimum 25 gram/hari.

Sayuran
Bayam, buncis, daun/biji melinjo,
kapri, kacang polong, kembang
kol, asparagus, kangkung, dan
jamur maksimum 100 gram/hari.
Kelompok 3 Nasi, ubi, singkong, jagung, roti,
Kandungan purin rendah mie, bihun, tepung beras, cake,
(dapat diabaikan, dapat dimakan kue kering, puding, susu, keju,
setiap hari) telur, lemak dan minyak, gula,
sayuran dan buah (kecuali
sayuran dalam kelompok 2)

3. Lemak diberikan 10-20% dari kebutuhan energi total. Lemak


berlebihan dapat menghambat pengeluaran asam urat melalui urin.
4. Karbohidrat diberikan 65-75% dari kebutuhan energi total. Dianjurkan
untuk menggunakan sumber karbohidrat kompleks.
5. Vitamin dan mineral diberikan cukup sesuai kebutuhan.
6. Cairan dianjurkan 2-2 ½ liter perhari, dengan tujuan untuk mencegah
pembentukan batu ginjal (Wahyuningsih, 2013; Kemenkes RI, 2011).

2.3 Konsep Kepatuhan


2.3.1 Definisi Kepatuhan
Kepatuhan merupakan perilaku seseorang dalam mengambil obat,
mengikuti diet, atau merubah gaya hidup yang sesuai dengan anjuran
medis. Pelayanan kesehatan telah memberi informasi tentang
pengaruh obat-obatan, untuk meningkatkan kepatuhan. Namun
informasi tersebut tidak dapat meningkatkan kepatuhan jika pasien
tidak dimotivasi secara penuh (Hansen, 1992). Ketidakpatuhan dapat
disengaja atau tidak disengaja, nasihat pengobatan tidak dipahami,
atau diabaikan (DiMatteo, 2004).

2.3.2 Faktor yang meningkatkan kepatuhan diet


1. Pendidikan
Pemahaman yang rasional dibutuhkan untuk merubah diet.
Pengetahuan dapat memotivasi dan membantu individu untuk
mempertimbangkan perubahan dan meningkatkan atau menjaga
perubahan.
2. Motivasi
Motivasi individu untuk mengubah dietnya termasuk
meningkatkan harapan (persepsi manfaat dan biaya) dan self
efficacy (persepsi untuk membuat perubahan pada diet).
Pendekatan yang berfokus pada pasien yaitu untuk mendorong
individu mengidentifikasi manfaat yang dihubungkan dengan
perubahan diet. Harapan dapat diperoleh dari pengalaman seperti
kecakapan individu, pengalaman orang lain (observasi), persuasi
verbal (konseling), timbal balik psikologis. Self efficacy dapat
ditingkatkan melalui perilaku positif, yaitu menggunakan
dukungan sosial untuk meningkatkan dan mengaja perubahan diet.
3. Keterampilan perilaku
Keterampilan perilaku dan kognitif harus dikembangkan untuk
membantu orang berubah atau memodifikasi situasi atau perilaku
yang dihubungkan dengan perubahan dan pemeliharaan. Termasuk
menyadari atau menghindari situasi yang meningkatkan
kekambuhan, bertanya untuk mendapat dukungan sosial, catatan
pengingat.
4. Ketersediaan makanan
Saat ini, toko menawarkan makanan baru untuk membantu
konsumen memilih makanan yang spesifik. Sehingga dapat juga
digunakan untuk meningkatkan kepatuhan individu dalam
memilih makanan. Contohnya, makanan rendah lemak dapat
digunakan individu untuk mengurangi konsumsi lemak tanpa
harus mengurangi atau tidak mengkonsumsi makanan.
5. Dukungan
Dukungan dari orang lain dapat juga meningkatkan kepatuhan
terhadap diet. Interaksi sosial mungkin menjadi contoh yang baik
terhadap makan yang sehat, penguatan untuk mengevaluasi diri
sendiri. Teman sebaya, ahli gizi dan keluarga dapat memberikan
dukungan emosional terhadap perubahan yang dilakukan pada
pasien (Sherman et al., 2000).
2.4 Konsep Keluarga
2.4.1 Definisi Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari
kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal
disuatu tempat di bawah satu atap dan dalam keadaan saling
ketergantungan (Depkes RI, 1988 dalam Andarmoyo, 2012).
Pernyataan ini didukung oleh (Duval, 1976 dalam Andarmoyo, 2012),
yang menyatakan keluarga adalah sekumpulan orang yang
dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi, kelahiran dengan tujuan
mempertahankan budaya, meningkatkan perkembangan fisik, mental,
emosional dan sosial. Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan
bahwa keluarga terdiri dari dua atau lebih individu yang diikat oleh
hubungan perkawinan atau adopsi. Anggota keluarga berinteraksi satu
sama lain dan masing-masing mempunyai peran sosial: suami, istri,
anak, kakak, adik. Tujuannya untuk menciptakan dan
mempertahankan budaya, meningkatkan perkembangan fisik,
psikologis dan sosial keluarga.

2.4.2 Fungsi Keluarga


Menurut Friedmann (1986) dalam Setyowati & Murwani, 2008:
1. Fungsi afektif
Fungsi afektif berhubungan dengan fungsi internal keluarga, yaitu
untuk pemenuhan kebutuhan psikososial. Keluarga yang mampu
memenuhi fungsi afektif akan tampak bahagia dan gembira karena
masing-masing anggota keluarga dapat bersikap positif.
2. Fungsi sosialisasi
Pertama kali anak belajar bersosialisasi adalah di lingkungan
keluarga. Fungsi ini dinilai berhasil jika antar anggota keluarga
saling berinteraksi. Anggota keluarga belajar disiplin, norma
budaya, dan perilaku melalui hubungan dan interaksi keluarga.
3. Fungsi reproduksi
Melalui ikatan perkawinan yang sah, selain untuk memenuhi
kebutuhan biologis pada pasangan tujuan untuk membentuk
keluarga adalah untuk meneruskan keturunan.
4. Fungsi ekonomi
Fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga untuk memenuhi
kebutuhan seluruh anggota keluarga seperti kebutuhan makan,
pakaian, dan tempat tinggal.

5. Fungsi perawatan kesehatan


Keluarga berperan untuk melaksanakan praktek asuhan kesehatan,
yaitu untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan atau
merawat anggota keluarga yang sakit. Kemampuan keluarga
dalam memberikan asuhan kesehatan mempengaruhi status
kesehatan keluarga.

2.4.3 Definisi Dukungan Keluarga


Dukungan keluarga adalah sebagai suatu proses hubungan antara
keluarga dengan lingkungan sosial (Friedman, 1998). Dukungan
keluarga akan meningkatkan kesehatan dan adaptasi dalam kehidupan.
Berbagai penelitian tentang dukungan keluarga menyebutkan bahwa
dukungan sosial bermanfaat sebagai koping keluarga, baik dukungan
yang bersifat eksternal atau internal. Dukungan sosial keluarga
eksternal antara lain: sahabat, pekerjaan, tetangga, sekolah, keluarga
besar, kelompok sosial, kelompok rekreasi, tempat ibadah dan praktisi
kesehatan. Dukungan sosial keluarga internal antara lain dukungan
dari suami, istri, dari saudara kandung atau dukungan dari anak
(Friedman 1998 dalam Harnilawati, 2013).

2.4.4 Bentuk-bentuk dukungan keluarga


Menurut Friedman (1998), dukungan keluarga dapat diberikan
dalam beberapa bentuk yaitu:
a. Dukungan instrumental
Keluarga merupakan sumber pertolongan praktis dan konkrit.
Bentuk dukungan ini bertujuan untuk mempermudah seseorang
dalam melakukan aktivitasnya berkaitan dengan persoalan-
persoalan yang dihadapi, misalnya bantuan langsung dalam bentuk
uang, peralatan, waktu, modifikasi makanan maupun perawatan
yang mengarah pada diet (Nisfiani, 2014).
b. Dukungan Informasional
Keluarga berfungsi sebagai kolektor dan disseminator
(penyebar informasi). Bantuan informasi yang disediakan dapat
digunakan oleh seseorang dalam menanggulangi persoalan yang
dihadapi, meliputi pemberian nasihat, pengarahan, ide-ide atau
informasi lain yang dibutuhkan. Bentuk dukungan informasi untuk
menjalankan diet seperti manfaat tidak mengkonsumsi makanan
yang dilarang, pengalaman dan kebiasaan mengkonsumsi makanan
pantangan yang menyebabkan kekambuhan, sehingga keluarga
lebih berhati-hati dalam memberikan asupan makanan agar
penderita tidak mengalami kekambuhan (Nisfiani, 2014)..
c. Dukungan penilaian
Keluarga bertindak sebagai sebuah umpan balik, membimbing
dan menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan validitor
identitas keluarga. Bentuk penghargaan yang diberikan seseorang
kepada pihak lain berdasarkan kondisi sebenarnya dari penderita.
Penilaian yang dibutuhkan dalam dukungan keluarga adalah
penilaian yang positif. Bentuk dukungan penghargaan yang
diterima oleh penderita seperti memuji dan pernyataan anggota
keluarga yang mengharapkan untuk selalu patuh dalam diet.
Anggota keluarga memuji apabila penderita makan sesuai dengan
anjuran diet (Nisfiani, 2014).
d. Dukungan Emosional
Keluarga sebagai tempat yang aman untuk istirahat dan
pemulihan serta membantu kondisi psikologis anggotanya.
Dukungan ini berupa simpatik, empati, cinta, kepercayaan dan
penghargaan. Sehingga seseorang yang menghadapi persoalan
merasa dirinya tidak menanggung beban sendiri tetapi masih ada
orang lain yang memperhatikan, mau mendengar segala keluhan,
bersimpati dan berempati terhadap persoalan yang dihadapinya dan
membantu memecahkan masalah. Dukungan emosional yang
diterima dapat diwujudkan dalam memberikan makanan khusus
kepada penderita yaitu berbeda dengan makanan yang dikonsumsi
anggota keluarga dengan harapan tidak mengalami kekambuhan.
Apabila penderita makan yang dilarang seperti makanan tinggi
purin, maka anggota keluarga menjadi kurang berkenan sehingga
meminta penderita untuk segera tidak mengkonsumsi makanan
tersebut (Nisfiani, 2014).

2.4.3 Hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan melaksanakan


diet
Keluarga harus dilibatkan dalam program diet, agar anggota
keluarga yang sakit patuh pada diet yang dianjurkan. Dukungan
keluarga merupakan faktor penting untuk mewujudkan kepatuhan
terhadap program medis. Status kesehatan keluarga dipengaruhi oleh
peran keluarga dalam merawat anggota keluarga yang sakit. Peran
keluarga tersebut termasuk dukungan internal yang meliputi dukungan
dari suami, istri, anak, atau saudara, yang akan membantu dalam
meningkatkan kesehatan keluarga (Friedmann, 1986 dalam Setyowati
& Murwani, 2008). Bentuk dukungan keluarga yang dapat diberikan
sehingga dapat mempengaruhi kepatuhan diet rendah purin pada
penderita gout antara lain, dukungan instrumental, dukungan
informasional, dukungan penilaian dan dukungan emosional.
Dukungan-dukungan tersebut berupa modifikasi makanan,
memberikan informasi mengenai diet, pujian dan motivasi untuk
selalu patuh pada diet dan kepedulian dalam bentuk teguran jika
penderita makan makanan yang dilarang.
Dukungan keluarga secara terus-menerus dibutuhkan agar
penderita tetap mematuhi program dietnya. Hubungan antara
manajemen penyakit dan hubungan sosial telah banyak diteliti dalam
ilmu perilaku dan sosial. Meskipun mekanisme dukungan sosial yang
mempengaruhi hasil kesehatan belum dipahami secara lengkap,
penelitian menyatakan dukungan sosial bermanfaat bagi kesehatan
pasien yaitu sebagai penyeimbang stres, meningkatkan self efficacy,
dan mempengaruhi perubahan dalam perilaku kesehatan yang negatif
(DiMatteo, 2004 dalam Miller & DiMatteo, 2013).
BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka konsep

Penderita gout

(hiperurisemia + keluhan)

Faktor-faktor lain yang


mempengaruhi
kepatuhan diet:

- Pendidikan Modifikasi gaya Obat


- Motivasi hidup (diet rendah
- Perilaku purin)
- Ketersediaan
makanan

Kepatuhan: Kadar urat:


- Patuh - Hiperurisemia
- Kurang patuh - Normal
- Tidak patuh Keluhan:
- Ada keluhan
- Tidak ada keluhan

- Tinggi
- Sedang
- Rendah

Dukungan keluarga:

- Dukungan
instrumental
- Dukungan
informasional
- Dukungan emosional
- Dukungan
Keterangan:

= variabel yang diteliti

= variabel yang tidak diteliti

Penjelasan Kerangka Konsep

Penderita gout (hiperurisemia dan keluhan persendian) secara medis akan


mendapatkan intervensi modifikasi gaya hidup dan obat. Salah satu
penatalaksanaan modifikasi gaya hidup seperti diet rendah purin. Pasien gout
dianjurkan mengkonsumsi makanan yang mengandung purin rendah, karena salah
satu penyebab meningkatnya serum urat pada penderita gout adalah didapatkan
dari makanan yang mengandung tinggi purin. Penderita gout secara konsisten
harus menghindari makanan tinggi purin, dan membatasi makanan yang
mengandung purin sedang. Penderita gout harus patuh terhadap anjuran diet
rendah purin.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan diet pada penderita gout,


seperti faktor pendidikan, motivasi, perilaku, ketersediaan makanan dan
dukungan. Peneliti memfokuskan penelitian pada faktor dukungan keluarga
terhadap kepatuhan diet rendah purin. Faktor dukungan yang mempengaruhi
kepatuhan diet termasuk dukungan dari keluarga. Dukungan keluarga tersebut
dapat berupa dukungan instrumental, informasional, emosional dan penghargaan.
Dukungan keluarga nantinya akan mempengaruhi tingkat kepatuhan diet penderita
gout. Kepatuhan yang diakui oleh penderita melalui kuesioner, akan divalidasi
oleh peneliti dengan mengukur kadar urat dan anamnesa adanya keluhan di
persendian pada penderita gout.

3.2 Hipotesis

Ho :Tidak ada hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan diet


rendah purin pada penderita gout di Puskesmas Dadap Kuning, Cerme
Gresik.

H1 :Ada hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan diet rendah


purin pada penderita gout di Puskesmas Dadap Kuning, Cerme
Gresik.
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian observasional analitik,


artinya penelitian yang bertujuan untuk pengamatan dan mencari hubungan
antar variabel melalui pengujian hipotesa. Metode penelitian ini menggunakan
pendekatan cross sectional, dimana variabel sebab dan akibat diukur satu kali
dalam waktu yang bersamaan dan tidak ada follow up.

4.2 Populasi dan Subjek Penelitian

4.2.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita gout yang


pernah berkunjung ke Puskesmas Dadap Kuning, Cerme Gresik. Data
diperoleh dari Puskesmas selama 6 bulan terakhir, mulai bulan Mei
sampai Oktober 2015, terdapat 44 pasien yang menderita gout.
4.2.2 Subjek

Sampel dalam penelitian ini adalah pasien dengan riwayat gout


(hiperurisemia dan keluhan-keluhan pada persendian) serta
mempunyai keluarga (suami, istri, anak, saudara, cucu, atau menantu).

4.2.3 Teknik Sampling

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini


adalah teknik sampling jenuh, yaitu teknik penentuan sampel dimana
semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Teknik ini
digunakan karena jumlah populasi relatif kecil dan peneliti ingin
membuat generalisasi dengan kesalahan yang sangat kecil.

4.3 Identifikasi variabel

4.3.1 Variabel bebas (independent)

Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi variabel


dependen, variabel ini bebas dalam mempengaruhi variabel. Dalam
penelitian ini variabel bebasnya adalah dukungan keluarga.

4.3.2 Variabel tergantung (dependent)

Variabel terikat merupakan variabel akibat atau efek. Dalam


penelitian ini variabel terikatnya adalah kepatuhan diet rendah purin.
4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Dadap Kuning, Cerme


Gresik. Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan (Oktober sampai Februari),
mulai dari penyusunan proposal sampai pembuatan laporan penelitian.

4.5 Instrumen penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang


disampaikan langsung kepada responden untuk mengetahui dukungan
keluarga dan kepatuhan diet rendah purin pada penerita gout. Pada lembar
kuesioner akan tercantum judul penelitian, inisial responden berupa
pengkodean dengan menggunakan nomor dan usia responden. Pada lembar
kuesioner terdapat 3 bagian, yaitu:

a. Bagian A yang merupakan data umum responden (keluarga) meliputi


nomor responden, nama (inisial), hubungan dengan penderita, usia,
pendidikan dan jenis kelamin. Data umum responden (penderita gout)
meliputi nama (inisial), jenis kelamin, usia, berat badan, tinggi badan,
pendidikan, pekerjaan, penyakit yang diderita, lama menderita asam urat,
kadar asam urat, obat yang dikonsumsi, dan pertanyaan kepatuhan minum
obat.
b. Bagian B yang merupakan pernyataan mengenai dukungan keluarga.
Kuesioner ini merupakan modifikasi dari kuesioner Widyana (2011)
dengan judul penelitian “Hubungan Dukungan Keluarga terhadap Tingkat
Kepatuhan Melaksanakan Diet Hipertensi pada Lansia Di Wilayah Kerja
Puskesmas Wlingi”, kuesioner juga dibuat peneliti berdasarkan teori
dukungan keluarga (dukungan instrumental, informasional, emosional dan
penilaian). Dukungan instrumental terdiri dari 4 pernyataan, dukungan
informasional terdiri dari 3 pernyataan, dukungan penilaian terdiri dari 2
pernyataan dan dukungan emosional terdiri dari 3 pernyataan. Pada bagian
ini keluarga diminta memberikan tanda ceklist (√) pada 13 buah
pernyataan yang diukur dengan skala Likert (tidak pernah = jika kegiatan
tidak pernah dilakukan, kadang-kadang = jika kegiatan hanya dilakukan
sewaktu-waktu, sering = jika sebagian besar kegiatan dilakukan, selalu =
jika rutin dilakukan) yang sesuai dengan kondisi mereka mengenai bentuk
dukungan keluarga yang diperoleh. Setiap item pernyataan positif
(Favorable) nilainya selalu = 3, sering = 2, kadang-kadang = 1, tidak
pernah = 0, sedangkan pernyataan negatif (unfavorable) nilainya selalu =
0, sering = 1, kadang-kadang = 2, tidak pernah = 3.

Data dukungan keluarga diklasifikasikan menjadi 3 yaitu tinggi,


sedang, rendah dengan cara perhitungan:

1. Menetapkan nilai tertinggi, yaitu jumlah pernyataan dikalikan skor


tertinggi, maka didapatkan 13 x 3 = 39
2. Menetapkan nilai terendah, yaitu jumlah pernyataan dikalikan skor
terendah, maka didapatkan 13 x 0 = 0

Panjang kelas dapat dihitung dengan cara:

c = Xn – X1

c = perkiraan besarnya kelas


k = banyaknya kelas

Xn = nilai observasi terbesar

X1 = nilai observasi terkecil

Jadi, c = 39 – 0

= 13

Maka dukungan keluarga dikategorikan sebagai berikut:

 0 – 13 = dukungan rendah
 14 – 26 = dukungan sedang
 27 – 39 = dukungan tinggi

c. Bagian C merupakan pernyataan mengenai kepatuhan diet rendah purin


pada penderita gout. Instrumen untuk mengukur kepatuhan diet rendah
purin dikembangkan oleh peneliti dari teori diet gout dalam buku
“Penatalaksanaan Diet pada Pasien”, dan dari brosur Kemenkes RI (2011).
Lembar kuesioner ini terdapat 24 pernyataan yang terdiri dari kelompok
makanan yang dilarang dan kelompok makanan yang dibatasi.
Masing-masing pernyataan dinilai dengan skala Likert yaitu makanan
yang dilarang dan dibatasi (protein hewani) (tidak pernah = 3, ½ potong =
2, 1 potong = 1, > 1 potong = 0). Makanan yang dibatasi (protein nabati)
(tidak pernah = 3, < 5 potong = 2, 5 potong = 1, > 5 potong = 0, < 2
potong = 2, 2 potong = 1, > 2 potong = 0. Udang (tidak pernah = 3, < 5
sendok = 2, 5-7 sendok = 1, > 7 sendok = 0). Kerang (tidak pernah = 3, <
5 buah = 2, 5 buah = 1, > 5 buah = 0). Kacang-kacangan (tidak pernah = 3,
< 2 ½ sendok = 2, 2 ½ sendok = 1, > 2 ½ sendok = 0. Sayuran yang
dibatasi (tidak pernah = 3, < 1 mangkok = 2, 1 mangkok = 1, > 1 mangkok
= 0).

Data kepatuhan diet rendah purin diklasifikasikan menjadi 3 yaitu


patuh, kurang patuh dan tidak patuh dengan cara perhitungan:

1. Menetapkan nilai tertinggi, yaitu jumlah pernyataan dikalikan skor


tertinggi, maka didapatkan 24 x 3 = 72
2. Menetapkan nilai terendah, yaitu jumlah pernyataan dikalikan skor
terendah, maka didapatkan 24 x 0 = 0

Panjang kelas dapat dihitung dengan cara:

c = Xn – X1

c = perkiraan besarnya kelas

k = banyaknya kelas

Xn = nilai observasi terbesar

X1 = nilai observasi terkecil


Jadi, c = 72 – 0

= 24

Maka kepatuhan diet rendah purin dikategorikan sebagai berikut:

 0 – 24 = tidak patuh
 25 – 48 = kurang patuh
 49 – 72 = patuh

4.6 Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan penjelasan mengenai cara menentukan


variabel dan mengukur variabel. Definisi operasional dalam penelitian ini
sebagai berikut:

Tabel 4.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Parameter Alat ukur Skala Skor


operasional

1 Dukunga Bantuan yang Indikator Kuesione Ordina


n diberikan oleh pengukuran r l rend
keluarga orang yang dukungan dukungan
bertanggungjawab keluarga: sedang
atas perawatan
anggota keluarga - Dukungan  Dukungan
yang sakit, dan ada instrumental tinggi jika
hubungan darah - Dukungan skor 27 – 39
dengan penderita informasiona  Dukungan
baik sebagai suami, l sedang jika
istri, anak, saudara, - Dukungan skor 14 – 26
cucu, menantu. emosional  Dukungan
- Dukungan rendah jika
penilaian skor 0 – 13
dukungan
tinggi

2 Kepatuh Ketaatan dalam Indikator Kuesione Ordina


an diet melaksanakan diet pengukuran r l kurang patuh
rendah rendah purin yang meliputi:
purin telah ditetapkan  Patuh jika
tenaga kesehatan - Makanan skor 49 – 72
yang  Kurang patuh
dilarang jika skor 25
- Makanan – 48
yang  Tidak patuh
dibatasi jika skor 0 –
24
4.7 Uji coba instrumen penelitian
4.7.1 Validitas dan Reliabilitas Kuesioner
a. Uji validitas
Kuesioner yang dipakai untuk menilai hubungan antara
dukungan keluarga dengan kepatuhan diet rendah purin pada
penderita gout merupakan kuesioner hasil modifikasi dan dibuat
oleh peneliti berdasarkan teori, sehingga perlu dilakukan uji
validitas. Uji validitas untuk penelitian ini akan dilakukan di
tempat praktik dr. Marthika Juliawan yang berada di Kedung Sekar
Kidul Benjeng Gresik pada bulan Desember 2015, dengan
mengambil responden sebagai sampel sebanyak 10 orang.
Pengujian validitas ini dilakukan dengan menggunakan teknik
komputer SPSS 20.0 for Windows. Teknik pengujiannya dengan
menggunakan teknik Pearson Product Moment dengan
menggunakan tingkat signifikansi sebesar 5%. Hasil pengujian
validitas untuk masing-masing instrument dikatakan valid jika
kriteria probabilitas kurang dari 0,05.
b. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui apakah instrumen
reliabel atau dapat diandalkan. Suatu instrumen dikatakan reliabel
apabila memiliki nilai cronbach alpha ≥ 0,6. Uji reliabilitas pada
penelitian ini dicari dengan menggunakan analisis cronbach alpha,
jika nilai alpha cronbach > 0,6, maka kuesioner dinyatakan reliabel
atau handal.

4.8 Kerangka Kerja

Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita gout yang pernah
berkunjung ke Puskesmas Dadap Kuning, Cerme Gresik
Sampel
Pasien dengan riwayat gout, yang pernah berkunjung ke Puskesmas Dadap
Kuning, Cerme Gresik, yaitu sebanyak 44 orang

Sampling
Teknik dalam pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah sampling jenuh

Pengumpulan data
Kuesioner dukungan keluarga dan kuesioner kepatuhan diet rendah purin

Pengolahan data
Editing, koding, skoring, tabulating, prosesing, cleaning dan interpretasi data

Kesimpulan
4.9 Pengumpulan dan Pengolahan Data

Langkah-langkah dalam penelitian ini terdiri dari: penyusunan proposal,


uji validitas dan reliabilitas, uji kelayakan etik, perizinan penelitian,
pengumpulan data, pentabulasian atau penganalisaan data serta penyusunan
laporan penelitian. Proses penyusunan proposal terdiri dari pembuatan judul,
penyusunan bab 1 hingga bab 4. Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja
Puskesmas Dadap Kuning, Cerme Gresik. Surat ijin studi pendahuluan yang
didapat peneliti dari Universitas Brawijaya digunakan peneliti untuk
mendapatkan ijin dari pimpinan Puskesmas dengan tujuan mencatat data
pasien gout yang pernah berkunjung ke Puskesmas.

Langkah selanjutnya adalah peneliti melakukan uji kelayakan etik. Uji


kelayakan etik dilakukan untuk memenuhi persyaratan dan kelayakan dalam
melakukan penelitian menggunakan subjek manusia. Tahap selanjutnya
peneliti melakukan uji validitas dan reliabilitas pada kuesioner dukungan
keluarga dan kuesioner kepatuhan diet rendah purin. Data penderita gout yang
digunakan untuk uji tersebut didapatkan dari rekam medis tempat praktik dr.
Marthika Juliawan yang berada di Kedung Sekar Kidul Benjeng Gresik.
Peneliti door to door untuk memberikan kuesioner dukungan keluarga kepada
salah satu keluarga penderita (suami, istri, anak, saudara, cucu atau menantu)
dan kuesioner kepatuhan diet rendah purin diberikan pada penderita. Peneliti
memeriksa kadar urat penderita dan anamnesa adanya keluhahan-keluhan
pada persendian, digunakan sebagai data objektif terhadap kepatuhan diet
rendah purin.

Peneliti mengurus perizinan penelitian ke Badan Penelitian dan


Pengembangan Gresik, Dinas Kesehatan Gresik dan Kepala Puskesmas Dadap
Kuning, Cerme Gresik. Perizinan penelitian didapat dan langkah selanjutnya,
yaitu proses pengumpulan data. Peneliti melakukan door to door
menggunakan kuesioner yang valid dan reliabel, kemudian Inform consent
dan penjelasan mengenai penelitian yang akan dilaksanakan diberikan kepada
responden untuk mengetahui apakah bersedia menjadi responden dalam
penelitian ini. Kuesioner dukungan keluarga diberikan kepada salah satu
anggota keluarga (suami, istri, anak, saudara, cucu atau menantu) dan
kuesioner kepatuhan diet rendah purin diberikan kepada penderita. Peneliti
memeriksa kadar urat penderita dan anamnesa adanya keluhahan-keluhan
pada persendian, digunakan sebagai data objektif terhadap kepatuhan diet
rendah purin.
Kedua kuesioner selesai diisi, kemudian peneliti memeriksa kelengkapan
isi kuesioner, setelah lengkap peneliti mengucapkan terimakasih atas
partisipasi responden dalam penelitian ini. Peneliti mengumpulkan semua
lembar kuesioner dan kemudian melakukan pengolahan data, menganalisa
data serta menyusun laporan penelitian yang telah dilakukan.

4.10 Teknik Analisa Data

4.10.1 Pre Analisa

1. Editing
Peneliti memeriksa kuesioner satu persatu untuk mengecek apakah
telah diisi sesuai dengan petunjuk yang ditentukan.
2. Coding
Coding data yaitu peneliti memberi penilaian untuk setiap
pertanyaan yang jawabannya benar sesuai dengan format kesioner.
Memberi identitas pada masing-masing angket kuesioner sesuai
dengan nomor urut responden.
3. Scoring
Skor untuk setiap item dalam penelitian ini menggunakan skala
likert yang terdiri dari 0 sampai 3.
4. Tabulating
Tabulating yaitu menyusun proses perhitungan frekuensi yang
terbilang di dalam masing-masing kategori.
5. Processing
Processing adalah data diproses dengan cara memasukan data tersebut
ke dalam program komputer. Program paket komputer yang digunakan
adalah SPSS.
6. Cleaning
Cleaning merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah
dientri ada kesalahan atau tidak.
a. Mengetahui missing data
Cara mendeteksi adanya missing data adalah dengan melakukan
list (distribusi frekuensi) dari variabel yang ada.
b. Mengetahui variasi data
Dengan mengetahui variasi data akan diketahui apakah data yang
dientri benar atau salah. Cara mendeteksi dengan mengeluarkan
distribusi frekuensi masing-masing variabel.
c. Mengetahui konsistensi data
Cara mendeteksi data adanya ketidak konsistensian data dengan
menghubungkan dua variabel.

4.10.2 Analisa Data

1. Analisa Univariat
Analisis univariat berfungsi untuk meringkas kumpulan data hasil
pengukuran sehingga kumpulan data tersebut berubah menjadi informasi
yang berguna. Peringkasan tersebut dapat berupa ukuran statistik, tabel dan
grafik. Setiap variabel yang dinyatakan dengan sebaran frekuensi, baik
secara angka mutlak maupun secara presentase. Presentase pada tabel
distribusi frekuensi dihitung dengan cara kuantitatif kelompok dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:

F
P= x 100%
N

Keterangan:

P = jumlah presentase

F = jumlah frekuensi dari suatu karakteristik

N = jumlah responden

Hasil pengolahan dari distribusi frekuensi diinterpretasikan dengan


menggunakan skala sebagai berikut:

100% = seluruhnya

76-99% = hampir seluruhnya

51%-75% = sebagian besar

50% = setengah
26%-49% = hampir setengah

1%-25% = sebagian kecil

0% = tidak satupun

2. Analisa bivariat

Hipotesa yang digunakan dalam peneltiian ini adalah hipotesis


asosiatif atau hubungan. Hipotesis hubungan adalah suatu pertanyaan
tentang hubungan antara 2 variabel atau lebih, yaitu hubungan antara
dukungan keluarga dengan kepatuhan diet rendah purin pada penderita
gout.

Uji statistik yang digunakan untuk menghitung antar variabel bila


datanya berbentuk ordinal adalah spearman rank different correlation
(rho).

Langkah uji:

a. Merumuskan hipotesis nihil


b. Membuat ranking dan menghitung nilai p hitung. Korelasi spearman
rank bekerja dengan data ordinal, maka terlebih dahulu menjadi data
ordinal dalam bentuk ranking.
p=1−6 ∑ 2
bi
n (n2-1)

Keterangan:
P= koefisien korelasi spearman rank

bi= different (beda antar jenjang tiap subyek)

n= jumlah sampel

c. Kesimpulan
 Bila rho hitung > rho tabel, maka Ha gagal ditolak
 Bila rho hitung < rho tabel maka, Ha ditolak
Data yang diperoleh diinterpretasikan sesuai dengan pedoman
interval koefisien dan tingkat hubungan (Sugiyono, 2008).
 0-0,05 : Korelasi sangat lemah
 >0,25-0,5 : Korelasi cukup
 >0,5-0,75 : Korelasi kuat
 >0,75-1 : Korelasi sangat kuat

Korelasi dapat positif atau negatif, signifikansi hubungan dua


variabel dapat dianalisa dengan ketentuan sebagai berikut:

 Jika probabilitas <0,5, hubungan kedua variabel signifikan


 Jika probabilitas >0,05, hubungan kedua variabel tidak
signifikan.

4.11 Etika Penelitian


Peneliti terlebih dahulu mengajukan permohonan ijin pengambilan data
kepada Kepala Puskesmas Dadap Kuning, Cerme Gresik yang telah
mendapatkan ijin rekomendasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten Gresik.
Setelah ijin penelitian diperoleh, penelitian dilakukan dengan subjek manusia
harus berdasarkan pada The Three Belmont’s Principles yang meliputi:
a. Respect for Person (Menghormati manusia)
1) Otonomi
Pelaksanaan prinsip menghormati hak dan martabat manusia
dalam penelitian ini dilaksanakan dengan menjamin hak otonomi
penderita gout dan keluarga, yaitu berhak memutuskan kesediaannya
menjadi subyek penelitian atau tidak tanpa adanya paksaan.
2) Informed Consent
Penderita gout dan keluarga akan diberi penjelasan terlebih dahulu
mengenai prosedur penelitian, yaitu persetujuan sebelum dilakukan
penelitian dengan adanya pernyataan tertulis, dan responden berhak
menolak berpartisipasi di awal, dan selama penelitian berlangsung.
3) Anonymity
Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, peneliti tidak
akan mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data
yang diisi oleh responden, lembar tersebut hanya akan diberi kode
yang diketahui oleh peneliti saja
b. Justice (Keadilan)
Pada penelitian semua responden mendapat informasi, penjelasan, dan
perlakuan secara adil sejak sebelum, selama, hingga sesudah
keikutsertaannya dalam penelitian. Perlakuan adil yang diterima responden
meliputi: mendapatkan informasi penelitian, kuisioner, dan konsumsi yang
sama. Penelitian ini diselenggarakan tanpa adanya diskriminasi.
c. Beneficence (Prinsip manfaat)
Penelitian dilakukan dengan mempertimbangkan manfaat yang
diperoleh penderita gout dan keluarganya sebagai subyek penelitian.
Manfaat yang akan didapatkan oleh responden dengan berpartisipasi dalam
penelitian ini adalah responden memperoleh infomasi tentang pentingnya
dukungan keluarga dan pentingnya kepatuhan diet rendah purin untuk
mengontrol gout.
DAFTAR PUSTAKA

Aggarwal B., Liao M., Allegrante JP., Mosca L. 2010. Low Social Support Level is
Associated with Non-Adherence to Diet at 1 Year in the Family Intervention
Trial for Heart Health (FIT Heart)Journal of Nutrition Education and Behavior.
Volume 42, Number 6.

Andarmoyo, S. 2012. Keperawatan Keluarga: Konsep Teori, Proses dan Praktik


Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Bandolier team. 2002. Prevalence and Incidence of Gout. Bandolier.

Bandolier team. 2005. Epidemiology of gout. Bandolier.

Barbiera AM, Attree M, Todd C. 2008. Understanding eating behaviours in Spanish


women enrolled in a weightloss treatment. J Clin Nurs.

Berger BA, Krueger KP, Felkey BG. 2004. The pharmacist's role in treatment
adherence. Part 1: Extent of the problem. US Pharm.

Choi HK, Liu S, and Curhan G. 2005. Intake of Purine-Rich Foods, Protein, and
Dairy Products and Relationship to Serum Levels of Uric Acid. American
College of Rheumatology.

Choi HK, et al. 2013. Medical Professional Guide: Gout Diagnosis and Treatment.
Gout and Uric Acid: Education Society.

Departemen Kesehatan. 2006. Pharmaceutical Care untuk Pasien Penyakit


Arthiritis Rematik. Izkafiz: Direktoral Bina Farmasi Komunitas dan Klinik,
Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
DiMatteo MR. 2004a. Social support and Patient Adherence to Medical Treatment: A
Meta-Analysis. Health psycology. University of California, Riverside.

DiMatteo MR. 2004b. Variations in patients’ adherence to medical recommendations:


a quantitative review of 50 years of research. Med Care.

DiMatteo MR, Miller TA. 2013. Treatment adherence in adolescence. In: O’Donohue
WT, Benuto LT, Tolle LW, editors. Handbook of Adolescent Health Psychology.
New York, NY: Springer.

Edward NL. 2008. Gout: Clinical features. In: Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ,
White PH, Editors. 3thed. New York: Springer.

Ferre MG, Bullo M, Babio N, Gonzalez MA, Estruch R, Covas MI, dkk. 2013.
Mediterranean Diet and Risk of Hyperuricemia in Elderly Participants at High
Cardiovascular Risk. J Gerontol A Biol Sci Med Sc. (Online),
(http://biomedgerontology.oxfordjournals.org), diakses 30 Oktober 2015.

Friedman. 1998. Keperawatan Keluarga: Teori dan Praktek. Edisi 3. Jakarta: EGC.

Handayani SP, Nasoetion A, Sukandar D. 2008. Konversi Satuan Ukuran Rumah


Tangga ke Dalam Satuan Berat (Gram) pada Beberapa Jenis Pangan Sumber
Protein. Jurnal Gizi dan Pangan. (Online), (http://repository.ipb.ac.id), diakses
24 Oktober 2015.

Hansen EH. 1992. Technology assessment in a user perspective: experiences with


drug technology. Int J Technol Assess Health Care

Harnilawati. 2013. Konsep dan Proses Keperawatan Keluarga. Pustaka As Salam.

Hawkins D.W., Rahn D.W. 2005. Gout and Hyperuricemia. Pharmacotherapy, A


Pathophysiological Approach. McGraw-Hill.
Ikatan Dokter Indonesia. 2014. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta.

Jordan K.M. 2004. An Update on Gout, Topical Reviews. Arthritis Research


Campaign.

Kementrian Kesehatan RI. 2011. Diet Rendah Purin. Direktorat Bina Gizi: Subdit
Bina Gizi Klinik. (Online), (http://gizi.depkes.go.id/wp-
content/uploads/2013/09/Brosur-Diet-Rendah-Purin.pdf), diakses 25 Oktober
2015.

Krueger KP, Berger BA, Felkey B. 2005. Medication adherence and persistence. In:
National Quality Forum. Improving use of prescription medications: a national
action plan. Washington, DC: National Quality Forum.

Lestari, E., Maryanto, S., Paundrianagari, MD. 2013. Hubungan Konsumsi Makanan
Sumber Purin Dengan Kadar Asam Urat Pada Wanita Usia 45-59 Tahun Di Desa
Sanggrahan Kecamatan Kranggan Kabupaten Temanggung.

McCarty, D.J. 2003. Gout, Hyperuricemia, and Crystal-Associated Arthropathies.


Best Practice of Medicine..

Miller TA & DiMatteo MR. 2013. importance of family/social support and impact on
adherence to diabetic therapyDiabetes, Metabolic Syndrome and Obesity:
Targets and Therapy.(Online), (http://www.dovepress.com/diabetes-metabolic-
syndrome-and-obesity-targets-and-therapy-journal), diakses 30 september 2015.

Ministry of Health. Data and Statistics: New Zealand Health Survey. (Online),
(http://www.moh.govt.nz/moh.nsf/indexmh/dataandstatistics-survey-nzhealth).
Diakses 13 September 2015.
Nengsi SW., Bahar B., Salam A. 2014. Gambaran Asupan Purin, Penyakit Artritis
Gout, Kualitas Hidup Lanjut Usia Di Kecamatan Tamalanrea. Program Studi
Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat: Universitas Hasanuddin

NIAMS. 2002. Questions and Answers About Gout, Health Topics. National Institute
of Health.

Nisfiani AD. 2014. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Diit


Hipertensi pada Lanjut Usia Di Desa Begajah Kecamatan Sukoharjo Kabupaten
Sukoharjo. Naskah Publikasi. Universitas Muhammadiyah Surakarta: Fakultas
Ilmu Kesehatan.

Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan:


Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Ed 2. Jakarta:
Salemba Medika.

Peixoto MD, et al. 2001. Diet and Medication in the Treatment of Hyperuricemia in
Hypertensive Patients. Diet and medication in the treatment of hyperuricemia.
Arq Bras Cardiol.

Perdana DC. 2014. A 46 Years Old Woman With Gouty Arthritis, High Purin Intake
And Work As A Servant. J Medula Unila, Volume 3 Nomor 1. Faculty of
Medicine: Universitas Lampung.

Putra TR. 2006. Hiperurisemia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Reach G. 2011. Treatment Adherence in patients with gout. Joint Bone Spine.
Elsevier Masson France.

Sheng F, Zeng X and Fang W. 2014. Adherence to Treatment Recommendations of


Gout: A Patient Survey in China. Abstrak. (Online),
(http://acrabstracts.org/abstract/adherence-to-treatment-recommendations-of-
gout-a-patient-survey-in-china/), diakses 19 oktober 2015.

Setiadi. 2008. Konsep Proses Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Setiadi. 2013. Konsep dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan. Ed 2. Yogyakarta:


Graha Ilmu.

Setyowati, S & Murwani, A. 2008. Asuhan Keperawatan Keluarga.Jogyakarta: Mitra


Cendikia.

Sherman AM, et al. 2000. Dietary Adherence: Characteristics and Interventions.


Elsevier Science In. Avenue of the Americas, New York.

Anda mungkin juga menyukai