Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Produk obat yang beredar di Indonesia terdiri dari oleh produk obat paten,
produk dengan nama dagang (bermerek) dan generik berlogo. Obat generik
merupakan salah satu alternatif pilihan bagi masyarakat karena harganya lebih
murah dibandingkan harga obat dengan nama dagang. Hal ini disebabkan karena
adanya penekanan pada biaya produksi dan promosi. 2 Persaingan harga diikuti
pengendalian mutu yang ketat akan mengarah pada tersedianya obat generik
bermutu tinggi dan dengan harga yang terjangkau.
Biaya kesehatan yang semakin tinggi menuntut adanya substitusi obat
inovator (paten) yang harganya mahal dengan obat copy generik yang harganya
lebih murah. Untuk memenuhi tujuan tersebut, produk obat copy harus memiliki
mutu, efikasi, dan keamanan yang sama dengan produk obat originator. Obat copy
harus terbukti ekivalen secara terapetik dengan obat inovator yang telah beredar
sehingga dapat digunakan untuk substitusi obat originatornya. Salah satu cara
untuk membuktikan ekivalensi terapetik antara produk obat copy dengan produk
obat originator yaitu dengan melakukan uji bioekivalensi. Konsentrasi obat di
dalam plasma merupakan suatu kesetimbangan dengan konsentrasinya dalam
reseptor. Oleh karena itu, konsentrasi obat dalam plasmamenentukan jumlah
molekul obat pada reseptor yang menghasilkan efek terapi.
Semua obat, baik obat generik maupun obat bermerk dagang, harus terjamin
keamanan dan khasiatnya. Hal tersebut dapat diuji secara farmakokinetika dan
farmakodinamika. Pendekatan farmakokinetika membicarakan tentang nasib obat
tersebut di dalam tubuh, meliputi proses absorpsi, distribusi, biotransformasi, dan
ekskresi sedangkan pendekatan farmakodinamika membicarakan tentang efek
yang ditimbulkan obat tersebut di dalam tubuh. Selama ini, kebanyakan pasien
dan tenaga kesehatan memandang obat hanya dari sisi farmakodinamika tanpa
mengetahui sisi farmakokinetikanya. Padahal farmakokinetika suatu obat juga
penting untuk diketahui sebab proses farmakokinetika berpengaruh terhadap
keseluruhan aksi obat, termasuk efek terapeutik yang dihasilkan.
Uji bioekivalensi adalah uji bioavailabilitas komparatif yang dirancang
untuk menunjukkan bioekivalensi antar produk uji dengan produk obat
pembanding. Uji ini diperlukan karena metode fabrikasi dan formulasi dapat
mempengaruhi bioavailabilitas produk-produk obat tersebut (Abdou, 1989).
Pada uji bioekivalensi, keamanan dan efikasi dari obat uji (obat copy)
diprediksi berdasarkan pada pengukuran konsentrasi sistemik obat tersebut
dibandingkan terhadap konsentrasi sistemik obat originator dengan dosis molar
yang sama. Konsentrasi obat dalam plasma dikendalikan oleh proses absorpsi,
distribusi, metabolisme, dan eliminasi obat (ADME). Proses distribusi,
metabolisme, dan eliminasi adalah konstan untuk subyek yang sama. Oleh karena
itu, yang berbeda adalah jumlah obat yang terabsorpsi atau dengan kata lain
bergantung pada penghantaran obat dari formulasinya. Jadi, efek terapi
bergantung dari bioavailabilitas produk obat dan bioekivalensi berarti ekivalensi
bioavailabilitas dari 2 produk obat yang ekivalen secara farmasetik atau alternatif
farmasetik. (World Health Organization, 2006).
Uji bioekivalensi merupakan bukti tidak langsung atas keamanan dan efikasi
dari produk obat copy, karena itu uji ini perlu dilakukan dengan prosedur yang
terstandardisasi. Pengujian yang dilakukan di laboratorium harus mengikuti
prinsip Good Laboratory Practice (GLP) dan karena uji bioekivalensi melibatkan
manusia, maka desain dan prosedur pengujian harus mengikuti prinsip Good
Clinical Practice (GCP). Protokol uji harus mendapat lulus kaji etik (ethical
clearance) dan setiap subyek harus diberikan informed consent sebelum study
dilakukan. Dengan demikian hasil uji bioekivalensi yang diperoleh dapat
dipercaya dan akurat, serta hak, integritas, dan kerahasiaan dari subyek uji klinik
juga terlindungi (World Health Organization, 2006).
Berdasarkan latar belakang diatas dan mengingat pentingnya uji
bioekivalensi produk obat bagi seorang farmasis makan dilakukan praktikum Uji
Bioekivalensi Obat.
1.2 Tujuan
Mahasiswa mampu untuk mengetahui dan menentukan bioekivalensi dari
suatu produk obat yang akan diuji
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bioavaibilitas
Titik sentral dari biofarmasi terletak pada upaya mempengaruhi ketersediaan
hayati (bioavailability). Hal ini diartikan sebagai jumlah dan kecepatan dimana
suatu zat aktif atau komponen yang efektif diresorpsi dari sediaan obat atau
bekerja pada lokasi efektifnya. Dengan demikian akan diperoleh sebagian dari
bahan obat (%) di resorpsi oleh mikroorganisme dari sediaan obat yang diberikan
dan menunjukkan pula tingkat kerja bahan obat dari sediaan obat tersebut (Voight,
1995).
Studi bioavailabilitas dilakukan baik terhadap bahan obat aktif yang telah
disetujui maupun terhadap obat dengan efek terapetik yang belum disetujui oleh
FDA untuk dipasarkan. Formula baru dari bahan obat aktif atau bagian terapetik
sebelum dipasarkanharus disetujui oleh FDA. FDA dalam menyetujui suatu
produk obat untuk dipasarkan harus yakin bahwa produk obat tersebut aman dan
efektif sesuai label indikasi penggunaan. Selain itu, produk obat juga harus
memenuhi seluruh standar yang digunakan dalam identitas, kekuatan, kualitas,
dan kemurnian.
Studi bioavailabilitas in vivo juga dilakukan terhadap formula-formula baru
dari bahan obat aktif yang telah mendapat persetujuan NDA dan disetujui untuk
dipasarkan. Maksud studi ini adalah untuk menentukan bioavailabilitas dan
karakterisasi farmakokinetik formulasi, bentuk sediaan, garam, atau ester baru
terhadap suatu formula pembanding (Shargel dan Yu, 2005).
Melalui ketersediaan hayati yang dikarakterisasikan dengan jumlah
farmakon yang mencapai peredaran darah khususnya setelah pemakaian suatu
sediaan obat, pengertian serupa juga dapat diberlakukan untuk penggunaan bahan
obat yang tidak mengalami resorpsi, misalnya pemakaian bahan obat secara kutan
pada jaringan kulit (Voight, 1995).
Ketersediaan hayati semata-mata ditentukan dalam percobaan in-vivo. Oleh
karena itu, tingkat kerja dari resorpsi suatu preparat uji (misalnya supositoria)
harus diperbandingkan dengan preparat standar. Jika preparat standar adalah suatu
injeksi intravena, ketersediaan hayatinya adalah 100% maka disebut pula sebagai
ketersediaan hayati absolut (Voight, 1995).
Oleh karena penggunaan bahan obat secara intravena tidak selalu
dimungkinkan, perbandingan dua sediaan obat yangberbeda dengan zat aktif dan
takaran sama dengan satu diantaranya berlaku sebagai preparat standar. Pada
preparat supositoria yang baru diperkenalkan perbandingan efek terapetiknya
dilakukan dengan menggunakan preparat tablet yang ditetapkan. Perbandingan
antara dua sediaan obat secara random (kecuali injeksi intravena) menghasilkan
ketersediaan hayati relatif (Voight, 1995).
2.1.1 Availabilitas Relatif dan Absolut
Area di bawah kurva konsentrasi obat-waktu (AUC) berguna sebagai
ukuran dari jumlah total obat yang utuh tidak berubah yang mencapai sirkulasi
sistemik. AUC tergantung pada jumlah total obat yang tersedia, FD o dibagi
tetapan laju eliminasi, K dan volume distribusi, V d. F adalah fraksi dosis
terabsorpsi, setelah pemberian IV, F sama dengan satu, karena seluruh dosis
terdapat dalam sirkulasi sistemik dengan segera. Oleh karena itu, obat dianggap
tersedia sempurna setelah pemberian IV. Setelah pemberian obat secara oral F
dapat berbeda mulai dari harga F sama dengan nol (tidak ada absorpsi obat)
sampai F sama dengan satu (absorpsi obat sempurna).
1. Availabilitas Relatif
Availabilitas relatif adalah ketersediaan dalam sistematik suatu produk obat
dibandingkan terhadap suatu standar yang diketahui. Fraksi dosis yang tersedia
secara sistematik dari suatu produk oral sukar dipastikan. Availabilitas suatu
formula obat dibandingkan terhadap availabilitas formula standar, yang biasanya
berupa suatu larutan dari obat murni, dievaluasi dalam studi “crossover”.
Availabilitas relatif dari dua produk obat yang diberikan pada dosis dan rute
pemberian yang sama dapat diperoleh dengan persamaan berikut :
[ AUC ] A
Availabilitasrelatif =
[ AUC ]B
Dimana produk obat B sebagai standar pembanding yang telah diketahui.
Fraksi tersebut dapat dikalikan 100 untuk memberi prosen availabilitas relatif.
Jika dosis yang diberikan berbeda, suatu koreksi untuk dosis dibuat, seperti
dalam persamaan berikut :
[ AUC ] A /dosisA
Availabilitasrelatif =
[ AUC ] B /dosisB
Data ekskresi obat lewat urin juga dapat digunakan untuk mengukur
availabilitas relatif apabila jumlah total obat utuh yang diekskresi dalam urin
dikumpulkan. Prosen availabilitas relatif dengan menggunakan data ekskresi urin
dapat ditentukan sebagai berikut :

[ Du ]A
Prosen availabilitasrelatif = ∞
. 100
D
[ u ]B
(Du)∞ adalah jumlah total obat yang diekskresi dalam urin (Shargel dan Yu,
2005).
2. Availabilitas Absolut
Availabilitas absolut obat dapat diukur dengan membandingkan AUC
produk yang bersangkutan setelah pemberian oral dan IV. Pengukuran dapat
dilakukan sepanjang Vd dan K tidak bergantung pada rute pemberian. Availabilitas
absolut dengan menggunakan data plasma dapat ditentukan sebagai berikut :
[ AUC ] PO /dosispo
Availabilitas absolut=
[ AUC ] IV /dosisIV
Availabilitas absolut yang menggunakan data ekskresi obat lewat urin dapat
ditentukan sebagai berikut :

[ Du ]PO / dosisPO
Availabilitas absolut= ∞
[ Du ] IV /dosisIV
Availabilitas absolut juga sama dengan F, fraksi dosis yang dapat tersedia
dalam sistemik. Untuk obat-obat yang diberikan secara vaskular seperti injeksi IV
bolus, F = 1 oleh karena seluruh obat secara sempurna tersedia dalam sistemik.
Untuk semua rute pemberian ekstravaskulas, F ≤ 1 (Shargel dan Yu, 2005).

2.1.2 Bioekivalensi
Ketersediaan hayati zat aktif menyatakan persoalan umum pada setiap
formulasi sediaan obat. Nilainya dapat diperbaiki khususnya melalui upaya
teknologi farmasetik atau diatur sesuai dengan keperluan yang dikehendaki
(preparat depo). Oleh karena bahan obat diresorpsi dalam jumlah yang berlainan
dari bentuk pemberian yang berbeda, yang ditunjukkan dalam kemunculan kerja
dan lama kerjanya, muncul pertanyaan pada upaya pengembangannya, sediaan
obat manakah yang memberikan ketersediaan hayati terbaik. Di lain pihak muncul
pertanyaan, bagaimana pemberiannya, juga pada preparat jenis obat tertentu
bertakaran sama menunjukkan perbedaan kerjanya secara nyata sehingga upaya
optimalisasi dalam pengertian perbaikan ketersediaan hayatinya tetap diperlukan.
Jika dua formulasi sediaan obat dengan bahan obat sejenis dan bertakaran sama,
menunjukkan ketersediaan hayati yang sama, maka sediaaan tersebut dinyatakan
memiliki bioekivalensi (Voight, 1995).
Alasan utama dilakukannya studi bioekivalensi oleh karena produk obat
yang dianggap ekivalen farmasetik tidak memberi efek terapetik yang sebanding
pada penderita. Rancangan dan evaluasi studi bioekivalensi yang dikendalikan
dengan baik memerlukan kerja sama antara ahli farmakokinetik, statistik,
farmakologi klinik, bioanalitik kimia dan ahli yang lain (Shargel dan Yu, 2005).
Dalam suatu studi biokivalensi, satu formulasi obat dipilih sebagai standar
pembanding dari formulasi obat yang lain. Standar pembanding hendaknya
mengandung obat aktif terapetik dalam formulasi yang paling banyak berada
dalam sistemik (yakni larutan atau suspensi) dan dalam jumlah yang sama seperti
formulasi lain yang dibandingkan. Pembanding hendaknya diberikan dengan rute
sama seperti formulasi yang dibandingkan kecuali kalau suatu rute lain atau rute
tambahan diperlukan untuk menjawab masalahfarmakokinetik tertentu. Sebagai
contoh, jika suatu obat aktif sangat sedikit berada dalam sistemik setelah
pemberian oralmaupun intravena. Bila suatu larutan atau suspensi obat tidak
tersedia, standar pembanding dapat berupa suatu formulasi yang sedang
dipasarkan yang telah diakui oleh NDA yang secara ilmiah mempunyai
datakeamanan dan efikasi yang sahih. Produk obat pembanding hendaknya
merupakan produk yang diterima oleh profesi kesehatan dan mempunyai sejarah
penggunaan klinik yang panjang. Formulasi pembanding biasanya produk
“innovator” atau produk dari pabrik yang pertama memproduksi obat tersebut
(Shargel dan Yu, 2005).
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Minggu 24 November 2019 pada
pukul 13.00-15.00 WITA, bertempat di Laboratorium Tehnologi farmasi, Jurusan
Farmasi, Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Negeri Gorontalo.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Adapun alat yang digunakan yaitu laptop.
3.2.2 Bahan
Adapun bahan yang digunakan yaitu microsoft excel.
3.3 Cara Kerja
1. Disiapkan alat yang akan digunakan
2. Dinyalakan komputer
3. Dibuka aplikasi microsoft excel
4. Dimasukkan data kedalam Microsoft excel
5. Dihitung nilai F Relatif
6. Dihitung nilai standar deviasi sampel
7. Dihitung total nilai F dari sampel
8. Dihitung rata-rata nilai F
9. Dihitung nilai √n
10. Dihitung nilai tan a
11. Dihitung nilai CI (Confident Interval)
12. Dihitung nilai SF
13. Dihitung nilai batas atas dan batas bawah
14. Dilakukan point 4 – 13 pada sampel yang lain dan dilihat apakah sampel
memenuhi syarat
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Hasil Data Kapsul A

Manusia AUC (ug/ml . Jam)


F. Relatif Standar Deviasi
(Sukarelawan)
Kapsul A Kapsul STD
1 14,5 15 96,66666667
2 20,6 18 114,4444444
3 19,5 19,5 100
4 13,2 17,9 73,74301676
14,36166778
5 13,4 16,8 79,76190476
6 17 17 100
7 12,9 17,3 74,56647399
8 15,5 17,5 88,57142857
    Total F 727,7539352    
  Rata-Rata F 90,9692419  
  √N 2,828427125  
  SF 5,077616337  
  Tan A 1,895  
  CI 9,622082959  
Batas Bawah 80 Batas Bawah 81,34715894  
Batas Atas 125 Batas Atas 100,5913249  
    CI 81,34 ±100,59    

4.1.2 Hasil Data Kapsul B


Manusia
Manusia AUC (ug/ml . Jam)
AUC (ug/ml . Jam) F. Relatif Standar Deviasi
(Sukarelawan) F. Relatif Standar Deviasi
(Sukarelawan) Kapsul C Kapsul STD
1 Kapsul
14,5 B Kapsul15 STD 127,3333333
21 14,5
20,6 15
18 133,3333333
111,1111111
32 20,6
19,5 18
19,5 119,4444444
96,92307692
43 19,5
13,2 19,5
17,9 125,6410256
96,08938547
10,96955467
45 13,2
13,4 17,9
16,8 123,4636872
95,23809524 8,87108536
65 13,4
17 16,8
17 110,1190476
97,05882353
76 17
12,9 17
17,3 111,7647059
101,734104
87 12,9
15,5 17,3
17,5 127,1676301
101,1428571
  8   15,5 Total 17,5
F 133,7142857
826,6307868    
    Total F F
Rata-Rata 984,6481598
103,3288483    
  Rata-Rata F
√N 123,08102
2,828427125  
  √N
SF 2,828427125
3,878323242  
  SF
Tan A 3,136402307
1,895  
  Tan A
CI 1,895
7,349422552  
 
Batas Bawah CI 5,943482372  
Batas Bawah
80 Batas Bawah 95,9794258  
Batas
80 Atas 125 Batas
Batas Atas
Bawah 110,6782709
117,1375376   
 Batas Atas 125   CI
Batas Atas 95.97±110.67
129,0245024    
117.13±129.0

    CI 2    
4.1.3 Hasil Data Kapsul C

4.2 Pembahasan
Bioavaibilitas adalah persentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu
produk obat yang mecapai atau tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam keadaan
utuh atau aktif setelah pemberian produk obat tersebut, diukur dari kadarnya
dalam darah terhadap waktu dari ekskresinya dalam urin (BPOM, 2004).
Bioequivalensi merupakan data eqivalensi untuk melihat kesetaraan sifat
dan kerja obat dalm tubuh dibandingkan dengan obat innovator sebagai
pembanding (BPOM 2004, BPOM 2006).
Pada praktikum kali ini bertujuan untuk mengetahui dan menentukan
bioequivalensi dari suatu produk obat yang akan diuji. Hal yang pertama
dilakukan yaitu memasukkan semua nilai yang sudah ada dengan menggunakan
Microsoft excel setelah dimasukkan data dilakukan penambahan dan pembagian
data kemudian akan mendapatkkan hasil , dilakukkan seterusnya sampai no 8
hingga akhirnya akan mendapatkan nilai F relatif cara ini dilakukkan pada semua
kapsul a,b, dan c.
Kemudian diblok semua nilai F Relatif hingga akhirnya akan mendapatkan
hasil Standar Deviasi, pada data kapsul A 14,36167, kapsul B 8, 871085 dan pada
kapsul c yaitu 10. 96955. Setelah itu didapatkan nilai Total F, rata-rata F, Akar N,
SF, Tan A,cl,dan kemudian mencari nilai batas bawah, batas atas dan akhirnya
mendapat nilai yang paling terakhir yaitu cl pada kapsul A 81,34 ±100,59 dan
pada kapsul B, 117.13±129.02, dan pada kapsul C yaitu 95.97±110.67. kemudian
setelah didapatkan hasil data maka dapat ditentukan berapa nilai bioequifalensi
dalam suatu produk obat yang akan diuji.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Uji bioekivalensi adalah uji bioavailabilitas komparatif yang dirancang
untuk menunjukkan bioekivalensi antar produk uji dengan produk obat
pembanding. Berdasarkan hasil praktikum didapatkan nilai CI (Convident
Interval) dari kapsul A yaitu 81,34 ± 100,591, kapsul B yaitu 117 ± 129,02, dan
kapsul C yaitu 95,97 ± 110,67. Dapat disimpulkan bahwa kapsul A dan kapsul C
memenuhi kriteria dari CI yaitu berada pada rentang nilai 80%-125%.
5.2 Saran
5.2.1 Untuk Asisten
Tetap menjaga keharmonisan dan keakraban dengan
praktikan
5.2.2 Untuk Laboratorium
Sebaiknya alat-alat di dalam laboratorium lebih diperbanyak
lagi untuk mempermudah dan mengoptimalkan kelancaran
praktikum.
5.2.3 Untuk Jurusan
Sebaiknya jurusan lebih mengupayakan kelengkapan alat
dalam laboratorium.

Anda mungkin juga menyukai