Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa nifas adalah masa pulih kembali mulai dari persalinan selesai
sampai alat-alat kandungan kembali normal seperti sebelum hamil. Masa nifas
ini berlangsung sejak plasenta lahir sampai dengan 6 minggu setelah kelahiran
atau 42 hari setelah kelahiran.Nifas (puerperium) berasal dari bahasa latin
yang mempunyai 2 suku kata yakni puer dan parous. Peur berarti bayi dan
parous berarti melahirkan. Jadi dapat disimpulkan bahwa purperium
merupakan masa setelah melahirkan (Asih 2016).
Masa nifas merupakan periode kritis dalam keberlangsungan hidup ibu
dan bayi baru lahir. Sebagian besar kematian ibu dan bayi baru lahir terjadi
dalam satu bulan pertama setelah persalinan (World Health Organization,
2014). Untuk itu, perawatan kesehatan selama periode ini sangat dibutuhkan
oleh ibu dan bayi baru lahir agar dapat terhindar dari risiko kesakitan dan
kematian. Menurut Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
tahun 2017, Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, persentase wanita yang
memperoleh perawatan masa nifas dalam kurun waktu 2 hari pertama setelah
persalinan meningkat dari 80% pada SDKI 2012 menjadi 87% pada SDKI
2017. Untuk dapat menurunkan angka kematian ibu, pemerintah membuat
program dan kebijakan teknis yang lebih baru mengenai jadwal kunjungan
masa nifas. World Health Organization (WHO) menganjurkan agar pelayanan
kesehatan masa nifas (postnatal care) bagi ibu mulai diberikan dalam kurun
waktu 24 jam setelah melahirkan oleh tenaga kesehatan yang kompeten,
misalnya dokter, bidan atau perawat (World Health Organization, 2014).
Pada masa nifas tersebut dapat terjadi komplikasi baik secara langsung
maupun tidak langsung. Komplikasi masa nifas seperti sepsis puerperalis,
perdarahan, dan preeklampsia menjadi penyebab kematian ibu. Asuhan nifas
ini dilakukan untuk menilai keadaan ibu serta untuk mencegah, mendeteksi
dan menangani masalah atau penyulit yang dialami ibu nifas. Dengan

1
demikian ibu nifas perlu diberikanasuhankebidanan yang komprehensif
(Walyani, 2015).
Gangguan hipertensi dalam kehamilan termasuk preeklampsia pada
masa kehamilan dapat bertahan sampai pada masa nifas dan bisa terjadi
komplikasi walaupun sebagian besar ibu akan kembali pada tekanan darah
normal. Tekanan darah ibu nifas dapat berubah secara cepat dan tidak bisa
diprediksi pada periode postpartum (Podimow, 2010).
Preeklampsia merupakan suatu kondisi spesifik kehamilan dengan
hipertensi terjadi setelah minggu ke-20 pada wanita yang sebelumnya
memiliki tekanan darah normal. Ibu dengan riwayat kehamilan dengan
preeklampsia akan mengalami stressor yang lebih besar dibandingkan dengan
kehamilan normal. Preeklampsia merupakan suatu penyakit vasospastik yang
melibatkan banyak sistem dan ditandai oleh hemokonsentrasi, hipertensi, dan
proteinuria. Diagnosis preeklampsia secara tradisional didasarkan pada adanya
hipertensi yang disertai proteinuria atau edema (Bobak, 2005). Ibu dengan
riwayat preeklampsia selama masa kehamilan perlu mendapat monitoring atau
pengawasan yang lebih ketat selama masa nifas karena risiko preeklampsia
masih bisa terjadi pada masa nifas (Podimow, 2010).
Masa nifas ini merupakan masa yang cukup penting bagi tenaga
kesehatan khususnya bidan untuk selalu melakukan pemantauan karena
pelaksanaan yang kurang maksimal dapat menyebaban ibu mengalami
berbagai masalah, bahkan dapat berlanjut pada kematian ibu. Terlebih bagi ibu
dengan gangguan hipertensi selama kehamilan seperti riwayat preeklampsia
pada kehamilan perlu mendapat monitoring dalam manajemen asuhan masa
nifas untuk menilai perlunya intervensi farmakologi seperti pemberian obat
antihipertensi (Cairns, 2017).

2
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu melaksanakan asuhan kebidanan pada ibu nifas
dengan menerapkan pola pikir melalui pendekatan manajemen kebidanan
dan pendokumentasian menggunakan SOAP.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian data pada ibu saat masa
nifas.
b. Mahasiswa mampu menentukan diagnosa aktual dan potensial pada ibu
saat masa nifas.
c. Mahasiswa mampu mengidentifikasi kebutuhan tindakan segera pada
ibu saat masa nifas.
d. Mahasiswa mampu melakukan perencanaan pada ibu saat masa nifas.
e. Mahasiswa mampu melakukan penatalaksanaan asuhan pada ibu saat
masa nifas.
f. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi asuhan pada ibu saat masa
nifas.
g. Mampu membuat dokumentasi asuhan kebidanan SOAP pada ibu saat
masa nifas.

C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup asuhan adalah asuhan kebidanan secara holistik pada ibu
nifas dengan riwayat preeklampsia selama kehamilan dan post kuretase atas
indikasi rest sisa plasenta.

D. Manfaat
1. Manfaat bagi mahasiswa
Mahasiswa mampu memahami penatalaksanaan asuhan kebidanan pada ibu
nifas sehingga mahasiswa mampu memberikan asuhan yang tepat dan sesuai
dengan kebutuhan pasien serta mengetahui kesesuaian tata laksana kasus
antara teori dengan praktik.

3
1. Manfaat bagi Institusi
Laporan studi kasus ini dapat menjadi tambahan bahan pustaka agar
menjadi sumber bacaan sehingga dapat bermanfaat dan menambah
wawasan bagi mahasiswa terhadap tata laksana kasus ibu nifas
2. Manfaat bagi lahan praktik
Dapat meningkatkan pelayanan asuhan pada ibu hamil sesuai SOP yang
sudah ada.

4
BAB II
TINJAUAN KASUS DAN TEORI

A. Tinjauan Kasus
Pasien Ny.Y.I dipindahkan dari ruang VK ke ruang Alamanda 3 pada
tanggal 2 Desember 2019 pukul 09.10 WIB dengan P 2A1Ah2 post partum
pervaginam PEB dengan retensio sisa plasenta. Ny.Y.I melahirkan pada
tanggal 2 Desember 2019 pukul 06.31 WIB dengan diinduksi balon kateter,
jenis kelamin laki-laki, berat badan lahir 2500gram, panjang badan 48cm, A/S
4/6, bayi alih rawat NICU. Riwayat air ketuban hijau, umur kehamilan ibu ±38
minggu 2 hari. Pada saat menjelang persalinan Ny.Y.I diberikan MgSO4 1
gram/jam sampai dengan 24 jam, setelah nifas dokter menginstrusikan untuk
tidak diberikan MgSO4 lagi.
Pada pukul 07.00 WIB plasenta lahir spontan kesan tidak lengkap,
berkolaborasi dengan dokter spesialis, dilakukan eksplorasi dan direncanakan
untuk dikuretase atas indikasi rest sisa plasenta. TFU 1 jari di bawah pusat,
kontraksi uterus (+) keras, perdarahan ± 150cc, TD : 130/80mmHg, N :
88x/m, R: 20x/m, SB: 36,60C. Ny. Y.I terpasang infuse cairan RL drips
oxitocyn 10IU 20 tetes/menit. Riwayat obstetric Ny.Y.I yaitu pada anak
pertama lahir tahun 2002 secara normal ditolong bidan dengan berat badan
lahir 2800gr, anak kedua keguguran usia kehamilan 12 minggu dikuretase
pada tahun 2016, anak ketiga, saat ini.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasilnya : Hb, 11,8gr/dl, eritrosit
3,94 10^6uL, trombosit 114 10^3u/L, leukosit 7,21 10^3u/L hematokrit 34,6
vol%, golongan darah B, PPT 11,8 detik, APTT 28,2 detik, SGOT 10u/L,
SGPT 8u/L, ureum 17mg/dl, creatinin 0,49, GDS 92mg/dl, natrium 140,6,
kalium 3,18, HbSAg negative, HIV non reaktif, Protein Urine : trace, kalium
4,51 m.mol yang sudah dalam batas normal. Nilai rujukan kalium yaitu 3,50-
5,10 m.mol.
Pada hari Selasa tanggal 3 Desember 2019, Ny.Y.I akan dikuretase,
seluruh persiapan telah dilakukan diantaranya, ibu sudah dipuasakan,

5
persetujuan tindakan operasi, KIE tujuan dikuretase, risiko kemungkinan yang
akan terjadi seperti perdarahan. Pukul 10.00 WIB Ny.Y.I dijemput dari ruang
operasi, keadaan umum baik, TD:130/90mmHg, N: 88x/m, R: 21x/m, SB:
36,80C. Therapy oral yang diberikan adalah amoxycilin 3x 500mg, asam
mefenamat 3x500mg, SF 1x1, Nifedipin diberikan jika tekanan darah Ny.Y.I
meningkat ≥160/110 mmHg.

B. Tinjauan Teori
1. Masa Nifas
Masa nifas (puerperium) dimulai setelah plasenta lahir dan
berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum
hamil. masa nifas berlangsung selama kira-kira 6 minggu atau 42 hari,
namun secara keseluruhan akan pulih dalam waktu 3 bulan. Masa nifas
atau masa post partum disebut juga puerperium yang berasal dari bahasa
latin yaitu dari kata “puer” yang artinya bayi dan “parous” berarti
melahirkan. Nifas Yaitu darah yang keluar dari rahim karena sebab
melahirkan atau setelah melahirkan. Darah nifas yaitu darah yang tertahan
tidak bisa keluar dari rahim dikarenakan hamil. maka ketika melahirkan,
dara tersebut keluar sedikit demi sedikit. Darah yang keluar sebelum
melahirkan disertai tanda-tanda kelahiran, maka itu termasuk darah nifas
(Anggraini, 2010).

2. Tujuan Asuhan Masa Nifas


Menurut Sarwono (2010), tujuan asuhan masa nifas antara lain :
a. Menjaga kesehatan ibu dan bayinya, baik fisik maupun psikologi.
b. Melaksanakan skrinning secara komprehensif, deteksi dini mengobati
atau merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu maupun bayi.
c. Memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan kesehatan diri,
nutrisi, KB, cara dan manfaat menyusui, pemberian imunisasi serta
perawatan bayi sehat.
d. Memberikan pelayanan keluarga berencana.

6
3. Tahapan Masa Nifas
Tahapan masa nifas menurut Rukiyah (2010) terdiri dari:
a. Puerperium Dini (immediate puerperium) :kepulihan dimana ibu telah
diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan.
b. Puerperium intermedial (early puerperium) : Kepulihan menyeluruh
alat-alat genitalia yang lamanya 6-8 minggu
c. Remote puerperium (later puerperium) : Waktu yang diperlukan untuk
pulih dan sehat sempurna, terutama bila selama hamil dan waktu
persalinan mempunyai komplikasi.

4. Perubahan Fisiologi Masa Nifas


Dalam masa nifas, alat alat genetalia internal maupun externaakan
berangsur-angsur pulih kembali seperti keadaan sebelumhamil. Perubahan
alat-alat genital ini kembali ke ukuran sebelum hamil disebut involusi.
Perubahan yang terjadi di dalam tubuh seorang wanita diantaranya uterus
atau rahim yang berbobot 60 gram sebelum kehamilan secara perlahan-
lahan bertambah besarnyahingga 1 kg selama masa kehamilan dan setelah
persalinan akankembali ke keadaan sebelum hamil. Seorang bidan
dapatmembantu ibu untuk memahami perubahan-perubahan ini(Marmi,
2012).
a. Involusi uterus
Involusi uterus atau pengerutan uterus merupakan
prosesdimana uterus kembali ke kondisi sebelum hamil denganbobot
hanya 60 gr. Involusi uteri dapat juga dikatakan sebagaiproses
kembalinya uterus pada keadaan semula atau keadaansebelum
hamil.Involusi uterus melibatkan reorganisasi dan penanggalandesidua
atau endometrium dan pengelupasan lapisan padatempat implantasi
plasenta sebagai tanda penurunan ukurandan berat serta perubahan
tembat uterus, warna dan jumlah lochea.

7
Proses involusi uterus adalah sebagai berikut:
1. Iskemia Miometrium
Disebabkan oleh kontraksi dan retraksi yang terusmenerus dari
uterus setelah pengeluaran plasentamembuat uterus relatif anemia
dan menyebabkan seratotot atrofi.
2. Atrofi jaringan
Atrofi jaringan terjadi sebagai reaksi pengehentianhormon
esterogen saat pelepasan plasenta.
3. Autolysis
Autolysis merupakan proses penghancuran diri sendiriyang terjadi
di dalam otot uterine. Enzim proteolitik akanmemendekkan
jaringan otot yang telah sempat mengendurhingga 10 kali
panjangnya dari semula dan 5 kali lebardari semula selama
kehamilan atau dapat juga dikatakansebagai pengerusakan secara
langsung jaringan hipertropiyang berlebihan, hal ini disebabkan
karena penurunanhormon esterogen dan progesteron.
4. Efek oksitosin
Oksitosin menyebabkan terjadinya kontraksi dan retraksiotot
uterine sehingga akan menekan pembuluh darah
yangmengakibatkan berkurangnya suplai darah ke uterus.Proses ini
membantu untuk mengurangi situs atau tempat implasntasi
plasenta serta mengurangi pedarahan.Ukuran uterus pada masa
nifas akan mengecil sepertisebelum hamil.
Perubahan normal pada uterusselama postpartum adalah
sebagai berikut (Marmi, 2010)
a) Plasenta lahir tinggi fundus uteri setinggi pusat, beratuterus
1000 gr, diameter uterus 12,5 cm
b) 7 hari (1 minggu) tinggi fundus uteri pertengahanpusat dan
simpisis berat uterus 500 gr, diameter uterus7,5 cm.
c) 14 hari (2 minggu) tinggi fundus uteri tidak terababerat uterus
350 gr, diameter uterus 5 cm

8
d) 6 minggu tinggi fundus uteri normal, berat uterus 60gr,
diameter uterus 2,5 cm
b. Involusi tempat plasenta
Setelah persalinan tempat plasenta merupakan tempat dengan
permukaan kasar, tidak rata dan kira-kira sebesar permukaan tangan.
Dengan cepat luka ini mengecil, pada akhir minggu ke 2 hanya sebesar
3-4 cm dan pada akhir nifas1-2 cm. Penyembuhan luka bekas plasenta
khas sekali. Pada permulaan nifas bekas plasenta mengandung banyak
pembuluh darah besar yang tersumbat oleh thrombus. Biasanya luka
yang demikian sembuh dengan menjadi parut,tetapi luka bekas
plasenta tidak meninggalkan parut. Hal ini disebabkan karena luka ini
sembuh dengan cara dilepaskan dari dasarnya tetapi diikuti
pertumbuhan endometrium baru di bawah permukaan luka.
Endometrium ini tumbuh dari pinggir luka dan juga dari sisa-sisa
kelenjar pada dasar luka. Regenerasi endometrium terjadi di tempat
implantasi selama sekitar 6 minggu. Epitelium berproliferasi meluas ke
dalam dari sisi tempat ini dan dari lapisan sekitar uterus serta dibawah
tempat implantasi plasenta dari sisa-sisa kelenjar basilar endometrial di
dalam desidua basalis. Pertumbuha kelenjar endometrium ini
berlangsung dalam desidua basalis. Pertumbuhan kelenjar ini pada
hakekatnya mengikis pembuluh darah yang membeku pada tempat
implantasi plasenta yang menyebabkan menjadi terkelupas dan tidak
dipakai lagi pada pembuangan lochea (Marmi, 2012).
c. Perubahan ligamen
Ligamen-ligmen dan diafragma pelvis serta fasia yang
merenggang sewaktu kehamilan dan partus, setelah jalan lahir,
berangsur-angsur menciut kembali seperti sedia kala. Tidak jarang
ligamentum rutondum menjadi kendor dan mengakibatkan letak uterus
menjadi retroflexi. Tidak jarangpula wanita mengeluh “kandungannya
turun” setelah melahirkan oleh karena ligament, fasia, jaringan
penunjang alat genetalia menjadi agak kendor (Marmi, 2012).

9
d. Perubahan pada serviks
Serviks mengalami involusi bersama-sama uterus. Perubahan
yang terdapat pada serviks postpartum adalah bentuk serviks yang
akan menganga seperti corong. Bentuk ini disebabkan oleh korpus
uteri yang dapat mengadakan kontraksi, sedangkan serviks tidak
berkontraksi, sehingga seolah-olah pada perbatasan antara korpus dan
serviks uteri terbentuk semacam cincin. Warna serviks sendiri merah
kehitam-hitaman karena penuh pembuluh darah. Beberapa hari setelah
persalinan, ostium externum dapat dilalui oleh 2 jari, pinggir-
pinggirnya tidak rata tetapi retak retak karena robekan dalam
persalinan. Pada akhir minggu pertama hanya dapat dilalui oleh 1 jari
saja, dan lingkaran retraksi berhubungan dengan bagian atas dari
canalis cervikalis. Pada serviks terbentuk sel-sel otot baru yang
mengakibatkan serviks memanjang seperti celah. Karena proses
hiperpalpasiini, arena retraksi dari serviks, robekan serviks menjadi
sembuh. Walaupun begitu, setelah involusi selesai, ostium externum
tidak serupa dengan keadaan sebelum hamil, pada umumnya ostium
externum lebih besar dan tetap ada retak-retakdan robekan-robekan
pada pinggirnya, terutama pada pinggir sampingnya. Oleh robekan ke
samping ini terbentuk bibir depan dan bibir belakang pada serviks
(Marmi,2012).
e. Lochea
Lochea adalah ekskresi cairan rahim selama masa nifas. Lochea
mengandung darah dan sisa jaringan desidua yang nekrotik dari dalam
uterus. Lochea mempunyai reaksi basa/alkalis yang dapat membuat
organisme berkembang lebihcepat dari kondisi asam yang ada pada
vagina normal. Lochea mempunyai bau yang amis (anyir) meskipun
tidak terlalu menyengat dan volumenya berbeda-beda pada setiap
wanita. Lochea yang berbau tidak sedap menandakan adanya infeksi.
Lochea mengalami perubahan karena proses involusi. Pengeluaran
lochea dapat dibagi berdasarkan waktu dan warnanya, seperti berikut:

10
1. Lochea Rubra, waktu 1-3 hari warna merah kehitaman,ciri-cirinya
terdiri dari darah segar, jaringan sisa-sisaplasenta, dinding rahim,
lemak bayi, lanugo (rambutbayi), dan sisa mekoneum.
2. Sanguinolenta, waktu 4-7 hari warna merah kecoklatandan
berlendir, ciri-cirinya sisa darah bercampur lendir.
3. Serosa, waktu 7-14 warna kuning kecoklatan, ciri-cirinyalebih
sedikit darah dan lebih banyak serum, jugaterdiri dari leukosit dan
robekan/ laserasi plasenta
4. Alba, waktu > 14 hari berlangsung 2 – 6 minggupostpartum warna
putih, ciri-cirinya mengandungleukosit, sel desidua dan sel epitel,
selaput lendirserviks dan serabut jaringan yang mati.
5. Lochea purulenta, ciri-cirinya terjadi infeksi, keluarcairan seperti
nanah berbau busuk.
6. Lochiastasis, yaitu lochea yang tidak lancar keluarnya(Anggraini,
2010).

f. Perubahan pada vulva, vagina dan perinium


Vulva dan vagina mengalami penekanan serta peregangan yang
sangat besar selama proses melahirkan bayi, dan dalam beberapa hari
pertama sesudah proses tersebut, kedua organ ini tetap berada dalam
keadaan kendur, setelah 3 minggu vulva dan vagina kembali kepada
keadaan tidak hamil dan rugae dalam vagina secara berangsur-angsur
akan kembali sementara labia menjadi lebih menjol. Himen tampak
sebagai tonjolan kecil dan dalam proses pembentukan berubah menjadi
kurunkulae motiformis yang khas bagi wanita multipara. Segera
setelah melahirkan, perinium menjadi kendur karena sebelumnya
tegang oleh tekanan kepala bayi yang bergerak maju. Perubahan pada
perinium pasca melahirkan terjadi pada saat perinium mengalami
robekan. Robekan jalan lahir dapat terjadi secara spontan atau
dilakukan episiotomi dengan indikasi tertentu. Pada post natal hari ke-
5, perinium sudah mendapatkan kembali sebagaian besar tonusnya

11
sekalipun tetap lebih kendur dari pada keadaan sebelum melahirkan.
Ukuran vagina akan selalu lebih besar dibandingkan keadaan saat
sebelum persalinan pertama. Mekipun demikian latihan otot perinium
dapat mengembalikan tonus tersebut dan dapat mengencangkan vagina
hingga tingkat tertentu. Hal ini dapat dilakukan pada akhir puerperium
dengan latihan harian (Rukiyah.,2010)

5. Peran dan Tanggung jawab Bidan Pada Masa Nifas


Menurut Marni (2012), peran dan tanggung jawab bidan pada masa
nifas antara lain :
a. Mendukung dan memantau kesehatan fisik ibu dan bayi.
b. Mendukung dan memantau kesehatan psikologis, emosi, sosial,serta
memberikan semangat pada ibu.
c. Membantu ibu dalam menyusui bayinya.
d. Membangun kepercayaan diri ibu dalam perannya sebagai ibu.
e. Mendukung pendidikan kesehatan termasuk pendidikan dalam
perannya sebagai orangtua.
f. Sebagai promotor hubungan antara ibu dan bayi serta keluarga.
g. Mendorong ibu untuk menyusui bayinya dengan menigkatkan rasa
nyaman.
h. Membuat kebijakan, perencana program kesehatan yang berkaitan
dengan ibu dan anak serta mampu melakuakan kegiatan administrasi.
i. Mendeteksi komplikasi dan perlunya rujukan.
j. Memberikan konseling untuk ibu dan keluarganya mengenai cara
mencegah perdarahan, mengenali tanda-tanda bahaya,menjaga gizi
yang baik, serta mempraktekkan kebersihan yangaman.
k. Melakukan manajemen asuhan dengan cara mengumpulkan data,
menetapkan diagnosa dan rencana tindakan serta melaksanakannya
untuk mempercepat proses pemulihan.
l. Memberikan asuhan secara professional.

12
6. Kunjungan Masa Nifas
Menurut kebijakan pemerintah, kunjungan masa nifas antara lain
(Rukiyah, 2010) :
a. Kunjungan ke-1 (6-8 jam setelah persalinan): mencegah adanya
perdarahan masa nifas karena antonia uteri; mendeteksi dan merawat
penyebab lain perdarahan: rujuk bila perdarahan berlanjut;
memberikan konseling pada ibu atau salah satu anggota keluarga
bagaimana mencegah perdarahan masa nifas karena antonia uteri;
pemberian ASI awal; melakuka hubungan antara ibu dan bayinya;
menjaga bayi tetap sehat dengan cara mencegah hipotermi; jika
petugas kesehatan menolong persalinan, ia harus tinggal dengan ibu
dan bayinya untuk 2 jam pertama setelah lahir, atau sampai ibu dan
bayi dalam keadaan sehat.
b. Kunjungan ke-2 (6 hari setelah persalinan): memastika involusi uteri
berjalan dengan normal; uterus berkontraksi, fundus dibawah
umbilikus, tidak ada perdarahan abnormal, tidak ada bau; menilai
adanya tanda – tanda demam, infeksi atau perdarahan abnormal;
memastikan ibu cukup makanan, cairan, dan istirahat; memastikan ibu
menyusui dengan baik dan memperhatikan tanda – tanda penyulit,
meberikan konseling pada ibu mengenai asuhan pada bayi, tai pusat,
menjaga bayi tetap hangat dan merawat bayi sehari – hari.
c. Kunjungan ke-3 (2 minggu setelah persalinan): sama seperti diatas
d. Kunjungan k-4 (6 minggu setelah persalinan): menanyakan pada ibu
tentang penyulit – penyulit yang ibu tau atau yang bayi alami;
memberikan konseling KB secara dini.

7. Komplikasi Masa Nifas


a. Perdarahan masa nifas
Perdarahan ini bisa terjadi segera begitu ibu melahirkan.
Terutama di dua jam pertama yang kemungkinannnya sangat tinggi.
Itulah sebabnya, selama 2 jam setelah bersalin ibu belum boleh keluar

13
dari kamar bersalin dan masih dalam pengawasan. “yang diperhatikan
adalah tinggi rahim, ada perdarahan atau tidak, lalu tekanan darah dan
nadinya. Bila terjadi perdarahan, maka tinggi rahim akan bertambah
naik, tekanan darah menurun, dan denyut nadi ibu menjadi cepat.
Normalnya tinggi rahim setelah melahirkan adalah sama dengan pusar
atau 1 cm diatas pusar (Anggraini, 2010)
b. Infeksi masa nifas, adalah infeksi peradangan pada semua alat
genetalia pada masa nifas oleh sebab apapun dengan ketentuan
meningkatnya suhu badan melebihi 38℃ tanpa menghitung hari
pertama dan berturut-turut selama 2 hari (Anggraini, 2010).
c. Keadaan abnormal pada payudara yaitu seperti bendungan asi, mastitis
dan abses payudara (Anggraini, 2010).
d. Demam, pada masa nifas mungkin terjadi peningkatan suhu badan atau
keluhan nyeri. Demam pada masa nifas menunjukan adanya infeksi,
yang tersering infeksi kandung dan saluran kemih.ASI yang tidak
keluar terutama pada hari ke 3-4, terkadang menyebabkan demam
disertai payudara membengkak dan nyeri. Demam ASI ini umumnya
berakhir setelah 24 jam (Anggraini, 2010).
e. Pre Eklampsia dan Eklampsia,
Biasanya orang menyebutnya keracunan kehamilan. Ini
ditandai dengan munculnya tekanan darah tinggi, oedema atau
pembengkakan pada tungkai, dan bila diperiksa laboratorium urinya
terlihat mengandung protein. Dikatakan eklampsia bila sudah terjadi
kejang, bila hanya gejalanya saja maka dikatakan preeklampsia.
Selama masa nifas dihari ke-1 sampai ke 28, ibu harus mewaspadai
munculnya gejala preeklampsia. Jika keadaannya bertambah berat bisa
terjadi eklampsia, dimana kesadaran hilang dan tekanan darah
meningkat tinggi sekali. Akibatnya, pembuluh darah otak bisa pecah,
terjadi oedema pada paru-paru yang memicu batuk berdarah. Semua
ini bisa menyebabkan kematian (Anggraini, 2010).

14
f. Infeksi dari vagina ke Rahim
Adanya lochea atau darah dan kotoran pada masa nifas inilah
yang mengharuskan ibumembersihkan daerah vaginanya dengan
benar, seksama setelah BAK atau BAB, bila tidak dikhawatirkan
vagina akan mengalamiinfeksi (Anggraini, 2010).
g. Payudara berubah merah panas dan nyeri.

8. Preeklampsia Pada Masa Nifas


a. Pengertian Preeklampsia
Preeklampsia adalah kumpulan gejala yang timbul pada ibu
hamil, bersalin, dan dalam masa nifas yang terdiri dari trias yaitu
hipertensi proteinuria dan edema yang kadang-kadang disertai
konvulsi sampai koma, ibu tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda
kelainan vascular atau hipertensi sebelumnya (Rukiyah, 2010). Selama
masa nifas di hari ke-1 sampai 28, ibu harus mewaspadai munculnya
gejala preeklampsia. Jika keadaan bertambah berat bisa terjadi
eklampsia, dimana kesadaran hilang dantekanan darah meningkat
tinggi sekali, akibatnya pembuluh darah otak bisa pecah, terjadi
oedema paru paru yang memicu batuk berdarah. Semuanya ini bisa
menyebabkan kematian (Anggraini, 2010).
b. Patofisologi yang mendasari Preeklampsia
Preeklampsia berhubungan dengan implantasi abnormal
plasenta dan invasi dangkal tromboblastik yang diakibatkannya
mengakibatkan berkurangnya perfusi plasenta. Arteria spiralis
maternal gagal mengalami vasodilatasi fisiologis normalnya; aliran
darah kemudian mengalami hambatan akibat perubahan aterotik yang
menyebabkan obstruksi di dalam pembuluh darah. Patologi
peningkatan tahanan dalam sirkulasi utero-plasenta dengan gangguan
aliran darah intervilosa, dan berakibat iskemia dan hipoksia yang
bermanifestasi selama paruh kedua kehamilan. Gambaran serupa
mengenai invasi tromboblastik yang tidak adekuat juga tampak pada

15
komplikasi restriksi pertumbuhan janin pada ibu tanpa preeklampsia.
Oleh karena itu, sindrom maternal preeklampsia pasti berhubungan
dengan faktor tambahan.
c. Faktor Risiko Preeklampsia
Menurut Nugroho (2012), ada beberapa aspek yang mendasari
faktor risiko preeklampsia:
1) Primigravida
2) Riwayat Preeklampsia
3) Tekanan darah yang meningkat pada awal kehamilan dan badan
yang gemuk
4) Adanya riwayat preeklampsia pada keluarga
5) Kehamilan ganda
6) Riwayat darah tinggi pada maternal
7) Diabetes pregestasional
8) Sindroma antifosfolipid
9) Penyakit faskular atau jaringan ika
10) Usia maternal yang lanjut > 35 tahun
d. Komplikasi Awal (Nugroho, 2012)
1) Kejang meningkatkan kemungkinan mortalitas maternal 10 kali
lipat. Penyebab kematian maternal karena eklampsia adalah kolaps
sirkulasi (henti jantung, edema pulmo dan syok), perdarahan
serebral dan gagal ginjal.
2) Kejang meningkatkan kemungkinan kematian fetal 40 kali lipat,
biasanya disebabkan oleh hipoksia, asidosis dan asolusio plasenta
3) Kebutuhan atau paralis dapat terjadi karena lepasnya retina atau
perdarahan intrakranial
4) Perdarahan postpartum
5) Toksik delirium
6) Luka karena kejang, berupa laserasi bibir atau lidah dan
frakturfertebrata
7) Aspirasi pneumonia

16
e. Komplikasi jangka Panjang
1) 40% sampai 50% pasien dengan preeklampsia berat atau eklampsia
memiliki kemungkinan kejadian yang sama pada kehamilan
berikutnya.
2) Hipertensi premanen, terjadi pada 30% sampai 50% pasien dengan
preeklampsia berat dan eklampsia
f. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan urine: menentukan adanya proteinuria
2) Pemeriksaan Darah:
a) Hemoglobin dan hematokrit: bila Hb dan Hmt meningkat
berarti adanya hemokonsentrasi yang mendukung diagnosis
preeklampsia dan menggambarkan adanya hipovolemia.
b) Trombosit: Trombositopenia menggambarkan preeklampsia
berat hemolisis akibat kerusakan endotel arteriole. Perubahan
tersebut dapat berupa peningkatan hematokrit akibat
hipovolemia, penigkatan viskositas darah, trombositopenia,
dan gejala hemolisis mikroangiopatik. Disebut
trombositopenia bila trombosit <100.000 sel/ml. Hemolisis
dapat menimbulkan destruksi eritrosit (Prawirohardjo, 2010)
g. Perubahan Neurologik dapat berupa (Prawirohardjo,2010):
1) Nyeri kepala disebabkan hiperperfusi otak, sehingga menimbulkan
vasogenik edema.
2) Akibat spasme arteri retina dan edema retina dapat terjadi
gangguan visus. Gangguan visus dapat berupa: pandangan kabur,
skotoma, amaurosis, yaitu kebutaan tanpa jelas adanya kelainan
yang ablasio retinae (retinal detachment).
3) Hiperrefleksi sering di jumpai pada preeklampsia berat, tetapi
bukan faktor prediksi terjadinya eklampsia.
4) Dapat timbul kejang eklamptik. Penyebab kejang eklamptik belum
diketahui dengan jelas. Faktor faktor yang menimbulkan kejang

17
eklamptik ialah edema serebri, vasospasme serebri dan iskemia
serebri.
5) Perdarahan intrakranial meskipun jarang, dapat terjadi pada
preeklampsia berat dan eklampsia.
6) Kardiovaskuler Perubahan kardiovaskuler disebabkan oleh
peningkatan cardiac afterload akibat hipertensi dan penurunan
cardiac afterload akibat hipovolemia.
7) Paru Penderita preeklampsia berat mempunyai risiko besar
terjadinya edema paru. Edema paru dapat disebabkan oleh payah
jantung kiri, kerusakan sel endotel pada pembuluh darah kapiler
paru, dan menurunnya deuresis.
h. Pencegahan Preeklampsia
Menurut Prawirohardjo (2010), ada beberapa cara untuk
mencegah terjadinya preeklamsi antara lain :
1) Pencegahan nonmedical adalah pencegahan dengan tidak
memberikan obat. Cara yang paling sederhana adalah dengan
melakukan tirah baring. Di Indonesia tidah baring masih
diperlukan pada mereka yang mempunyai risiko tinggi terjadinya
preeklampsia meskipun tirah baring tidak terbukti mencegah
terjadinya preeklampsia dan mencegah persalinan preterm.
Restriksi garam tidak terbukti dapat mencegah terjadinya
preeklampsia. Hendaknya diet ditambah suplemen yang
mengandung:
(a) minyak ikan yang kaya dengan asam lemak tidak jenuh,
misalnya omega-3 PUFA,
(b) antioksidan : vitamin C, vitamin E, B-karoten, CoQ10, N-
Asetilsistein, asam lipoik, danelemen logam berat: zinc,
magnesium, kalsium.
2) Pencegahan Medical
Pencegahan dapat pula dilakukan dengan pemberian obat
meskipun belum ada bukti yang kuat dan sahih. Pemberian deuritik

18
tidak terbukti mencegah terjadinya preeklampsi bahkan
memperberat hipovolemia. Antihipertensi tidak terbukti mencegah
terjadinya preeklampsia. Pemberian kalsium 1.500-2.000 mg/hari
dapat dipakai sebagai suplemen pada risiko tinggi terjadinya
preeklampsia. Selain itu dapat pula diberikan zinc 200 mg/hari,
magnesium 365 mg/hari. Obat antitrombotik yang dianggap dapat
mencegah preeklampsia ialah aspirin dosis rentah rata rata dibawah
100 mg/hari, atau dipiridamol. Dapat juga diberikan obat-obat
antioksidan, misalnya vitamin C, vitamin E, B-Karoten, CoQ10, N-
asetilsistein, asam lipoik.

9. Retensio Sisa Plasenta


a. Pengertian
Plasenta yang masih tertinggal disebut rest plasenta atau
retensi sisa plasenta. Gejala klinis rest plasenta adalah terdapat
subinvolusi uteri, terjadi perdarahan sedikit yang berkepanjangan,
dapat juga terjadi perdarahan banyak mendadak setelah berhenti
beberapa waktu, perasaan tidak nyaman di perut bagian bawah
(Manuaba, 2010). Rest Plasenta adalah tertinggalnya sisa plasenta dan
membrannya dalam kavum uteri, (Saifuddin, A.B, 2010).
Rest plasenta merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam
rongga rahim yang dapat menimbulkan perdarahan post partum dini
atau perdarahan post partum lambat yang biasanya terjadi dalam 6 hari
sampai 10 hari pasca persalinan, (Prawirohardjo, 2010). Selaput yang
mengandung pembuluh darah ada yang tertinggal, perdarahan segera.
Gejala yang kadang–kadang timbul uterus berkontraksi baik tetapi
tinggi fundus tidak berkurang. Sisa plasenta yang masih tertinggal di
dalam uterus dapat menyebabkan terjadinya perdarahan. Bagian
plasenta yang masih menempel pada dinding uterus mengakibatkan
uterus tidak adekuat sehingga pembuluh darah yang terbuka pada

19
dinding uterus tidak dapat berkontraksi/ terjepit dengan sempurna
(Maritalia, 2012).
Rest Plasenta dalam nifas menyebabkan perdarahan dan
infeksi. Perdarahan yang banyak dalam nifas hampir selalu disebabkan
oleh sisa plasenta. Jika pada pemeriksaan plasenta ternyata jaringan
plasenta tidak lengkap, maka harus dilakukan eksplorasi dari cavum
uteri. Potongan-potongan plasenta yang ketinggalan tidak diketahui
biasanya menimbulkan perdarahan post partum (Saleha, 2009).
b. Etiologi
Faktor penyebab utama perdarahan baik secara primer
maupun sekunder adalah grande multipara, jarak persalinan pendek
kurang dari 2 tahun, persalinan yang dilakukan tindakan, pertolongan
kala uri sebelum waktunya, pertolongan persalinan oleh dukun,
persalinan dengan tindakan paksa, pengeluaran plasenta tidak hati-hati
(Rukiyah dan Yulianti, 2010).
Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomaly dari uterus atau
serviks kelemahan dan tidak efektifitas kontraksi uterus, Kelainan dari
plasenta, misalnya plasenta letak rendah atau plasenta previa,
implantasi dari cornu dan adanya plasenta akreta. Kesalahan
manajemen kala tiga persalinan, seperti manipulasi dari uterus yang
tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan
kontraksi yang tidak ritmik, pemberian uterotonik yang tidak tepat
waktunya yang juga dapat menyebabkan serviks kontraksi dan
menahan plasenta, serta pemberian anastesi terutama yang
melemahkan kontraksi uterus, (Prawirohardjo, 2010).
c. Patofisiologi
Menurut, (Saifudin, A.B, 2010) setelahbayi dilahirkan, uterus
secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan retraksi otot - otot uterus
menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Sesudah berkontraksi,
sel miometrium tidak relaksasi, melainkan menjadi lebih pendek dan
lebih tebal. Dengan kontraksi yang berlangsung continue, miometrium

20
menebal secara progresif, dan kavum uteri mengecil sehingga ukuran
juga mengecil. Pengecilan mendadak uterus ini disertai mengecilnya
daerah tempat perlekatan plasenta. Ketika jaringan penyokong plasenta
berkontraksi maka plasenta yang tidak dapat berkontraksi mulai
terlepas dari dinding uterus. Tegangan yang ditimbulkan menyebabkan
lapis dan desidua spongiosa yang longgar memberi jalan, dan
pelepasan plasenta terjadi di tempat itu. Pembuluh darah yang terdapat
di uterus berada di antara serat - serat otot miometrium yang saling
bersilang. Kontraksi serat – serat otot ini menekan pembuluh darah dan
retaksi otot ini mengakibatkan pembuluh darah terjepit serta
perdarahan berhenti. Pengamatan terhadap persalinan kala tiga dengan
menggunakan pencitraan ultrasonografi secara dinamis telah
membuka perspektif baru tentang mekanisme kala tiga persalinan. Kala
tiga yang normal dapat dibagi dalam empat fase yaitu :
1) Fase laten, ditandai oleh menebalnya dinding uterus yang bebas
tempat plasenta, namun dinding uterus tempat plasenta melekat
masih tipis.
2) Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat
plasenta melekat (dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi kurang
2 cm).
3) Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan
pemisahannya dari dinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom
yang terbentuk antara dinding uterus dengan plasenta. Terpisahnya
plasenta disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang pasif
dengan otot uterus yang aktif pada tempat melekatnya plasenta,
yang mengurangi permukaan tempat melekatnya plasenta.
Akibatnya sobek di lapisan spongiosa.
4) Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat
plasenta bergerak turun, daerah pemisahan tetap tidak berubah dan
sejumlah kecil darah terkumpul didalam rongga rahim. Ini
menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan plasenta lebih

21
merupakan akibat, bukan sebab. Lama kala tiga pada persalinan
normal ditentukan oleh lamanya fase kontraksi. Dengan
mengguanakan ultrasonografi pada kala tiga, 89% plasenta lepas
dalam waktu satu menit dari tempat implantasinya. Tanda-tanda
pelepasan plasenta adalah sering ada pancaran darah yang
mendadak, uterus menjadi globuler dan konsistensinya menjadi
semakin padat, uterus meninggi kearah abdomen karena plasenta
yang telah berjalan turun masuk ke vagina, serta tali pusat yang
keluar lebih panjang. Sesudah plasenta terpisah dari tempat
melekatnya maka tekanan yang diberikan oleh dinding rahim atau
atas vagina. Kadangkadang, plasenta dapat keluar dari lokasi ini
oleh adanya tekanan inter-abdominal. Namun, wanita yang
berbaring dalam posisi terlentang sering tidak dapat mengeluarkan
plasenta secara spontan. Umumnya, dibutuhkan tindakan artifisal
untuk menyempurnakan persalinan kala tiga.
d. Komplikasi Rest Plasenta
Komplikasi sisa plasenta adalah polip plasenta artinya plasenta
masih tumbuh dan dapat menjadi besar, perdarahan terjadi intermiten
sehingga kurang mendapat perhatian, dan dapat terjadi degenerasi
ganas menuju korio karsinoma dengan manifestasi klinisnya. Menurut
Manuaba 2010, rest plasenta memudahkan terjadinya :
1) Anemia yang berkelanjutan
2) Infeksi puerperium
3) Kematian akibat perdarahan
e. Faktor yang berhubungan dengan Rest Plasenta
1) Umur
Usia ibu hamil terlalu muda (<20 tahun) dan terlalu tua
(>35 tahun) mempunyai resiko yang lebih besar untuk melahirkan
bayi kurang sehat. Hal ini dikarenakan pada umur 20 tahun, dari
segi biologis fungsi organ reproduksi seorang wanita belum
berkembang dengan sempurna untuk menerima keadaan janin dan

22
segi psikis belum matang dalam menghadapi tuntutan beban moril,
mental dan emosional, sedangkan pada umur diatas 35 tahun dan
sering melahirkan, fungsi reproduksi seorang wanita sudah
mengalami kemunduran atau degenerasi dibandingkan fungsi
normal sehingga kemungkinan untuk terjadinya komplikasi pasca
persalinan terutama perdarahan lebih besar.
Perdarahan post partum yang mengakibatkan kematian
maternal pada wanita hamil yang melahirkan pada umur dibawah
20 tahun, dua sampai lima kali lebih tinggi dari pada perdarahan
post partum yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Perdarahan post
partum meningkat kembali setelah usia 30-35 tahun,
(Wiknjosastro, 2010).
2) Paritas
Uterus pada saat persalianan, setelah melahirkan plasenta
sukar untuk berkontraksi dan berektraksi kembali sehingga
pembuluh darah maternal pada dinding uterus akan tetap tebuka.
Hal inilah yang dapat menyebabkan meningkatkan perdarahan post
partum, (Winknjosastro, 2010). Jika kehamilan “terlalu muda,
terlalu tua, terlalu banyak dan terlalu dekat (4 terlalu” dapat
meningkatkan resiko berbahaya pada proses reprodusi karena
kehamilan terlalu sering dan terlalu dekat menyebabkan intake
(masukan) makanan atau gizi menjadi lebih rendah. Ketika
tuntunan dan beban fisik terlalu tinggi mengakibatkan wanita tidak
punya waktu untuk mengembalikan kekuatan diri dari tuntunan
gizi, juga anak yang telah dilahirkan perlu mendapat perhatian
yang optimal dari kedua orang tuanya sehingga sangat perlu
mengatur kapan sebaiknya waktu yang tepat untuk hamil
(Saifuddin, 2010).
f. Diagnosa Rest Plasenta
Diagnosis pada rest plasenta dapat ditegakkan berdasarkan :

23
1) Palpasi Uterus : bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus
uteri.
2) Memeriksa plasenta apakah lengkap atau tidak
3) Lakukan eksplorasi cavum uteri untuk mencari sisa plasenta
4) Sisa Plasenta atau selaput ketuban
5) Robekan rahim
6) Plasenta suksenturiata
7) Inspekulo : untuk melihat robekan pada serviks, vagina dan varises
yang pecah
8) Pemeriksaan Laboratorium periksa darah yaitu Hb, COT (Clot
Observation Test), dll
g. Penatalaksanaan
Dengan perlindungan antibiotik sisa plasenta dikeluarkan
secara digital atau dengan kuret besar. Jika ada demam ditunggu dulu
sampai suhu turun dengan pemberian antibiotik dan 3–4 hari kemudian
rahim dibersihkan, namun jika perdarahan banyak, maka rahim segera
dibersihkan walaupun ada demam (Saleha, 2009). Keluarkan sisa
plasenta dengan cunam ovum atau kuret besar. Jaringan yang melekat
dengan kuat mungkin merupakan plasenta akreta. Usaha untuk
melepas plasenta terlalu kuat melekatnya dapat mengakibatkan
perdarahan hebat atau perforasi uterus yang biasanya membutuhkan
tindakan hisrektomi (Prawirohardjo, 2010).
Menurut Morgan & Hamilton (2009) terapi yang biasa
digunakan :
1) Pemasangan infus dan pemberian uterotonika untuk
mempertahankan keadaan umum ibu dan merangsang kontraksi
uterus.
2) Kosongkan kandung kemih
3) Berikan antibiotik untuk mencegah infeksi

24
4) Antiobiotika ampisilin dosis awal 1 gr IV dilanjutkan dengan 3x1
gram per oral dikombinasikan dengan metrodinazol 1 gram
suppositoria dilanjutkan dengan 3x500 mg.
5) Oksitosin
6) Methergin 0,2 mg peroral setiap 4 jam sebanyak 6 dosis. Dukung
dengan analgesik bila kram. Mungkin perlu dirujuk ke rumah sakit
untuk dilatasi dan kuretase bila terdapat perdarahan.
7) Observasi tanda – tanda vital dan perdarahan
8) Bila kadar HB <8 gr % berikan tranfusi darah. Bila kadar Hb >8gr
%, berikan sulfas ferosis 600mg/hari selama 10 hari. Sisa plasenta
bisa diduga kala uri berlangsung tidak lancar atau setelah
melakukan plasenta manual atau menemukan adanya kotiledon
yang tidak lengkap pada saat melakukan pemeriksaan plasenta dan
masih ada perdarahan dari ostium uteri eksternum pada saat
kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit.
Untuk itu, harus dilakukan eksplorasi kedalam rahim dengan cara
manual/ digital atau kuret dan pemberian uterotonika.
h. Pencegahan Rest Plasenta
Pencegahan terjadi perdarahan post partum merupakan
tindakan utama, sehingga dapat menghemat tenaga, biaya dan
mengurangi komplikasi upaya preventif dapat dilakukan dengan :
1) Meningkatkan kesehatan ibu, sehingga tidak terjadi anemia dalam
kehamilan.
2) Meningkatan usaha penerimaan KB.
3) Melakukan pertolongan persalinan di rumah sakit bagi ibu yang
mengalami perdarahan post partum.
4) Memberikan uteronika segera setelah persalinan bayi, kelahiran
plasenta dipercepat, (Manuaba, 2010). Menurut Manuaba (2010)
untuk menghindari terjadinya sisa plasenta dapat dilakukan dengan
membersihkan kavum uteri dengan membungkus tangan dengan
sarung tangan sehingga kasar, mengupasnya sehingga mungkin

25
sisa membran dapat sekaligus dibersihkan, segera setelah plasenta
lahir dilakukan kuretase menggunakan kuret post partum yang
besar.

26
BAB III
PEMBAHASAN

A. Pengkajian
Berdasarkan hasil pengkajian didapatkan hasil bahwa Ny.Y.I berumur
40 tahun P2A1Ah2 partus induksi pukul 06.31 WIB dengan menggunakan
balon kateter a/i PEB umur kehamilan 38 minggu 2 hari. Berat badan lahir
bayinya 2500gram, panjang badan : 48cm, LK : 32cm, LD 28cm, A/S 4/6,
bayi alih rawat NICU. Ny.Y.I Pada pukul 07.00 WIB plasenta lahir kesan
tidak lengkap, dilakukan eksplorasi oleh dokter SpOG, selanjutnya
direncanakan untuk kuretase atas indikasi rest sisa plasenta. Terdapat rupture
derajat 2 dan dilakukan hacting dalam dan luar.
Pada saat Ny.Y.I diobservasi dalam persalinan, Ny.Y.I mengeluh
pusing, pandangan kabur, sakit kepala, hasil pemeriksaan protein urine trace.
Hasil pemeriksaan TTV TD 140/80 mmHg, N : 88x/m, R : 20x/m, SB 36,6 0C.
Terapi yang diberikan Methyldopa 3x500mg, kalk 3x500mg, MgSO4 1
gram/jam s/d 24 jam dan sudah selesai. Setelah bersalin therapy MgSO4 tidak
dilanjutkan lagi.
Sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa preeclampsia
merupakan kondisi saat seseorang mengalami hipertensi atau tekanan darah
tinggi disertai protein urine yang mengakibatkan angka kesakitan dan
angka  kematian. Seseorang dikatakan menderita preeklampsia jika mengalami
tekanan darah tinggi atau hipertensi yaitu apabila tekanan darah sistolik >140
mmHg dan diastolik >90 mmHg. Hipertensi yaitu peningkatan tekanan sistolik
sekurang- kurangnya 30 mmHg atau peningkatan tekanan diastolik sekurang-
kurangnya 15 mmHg, atau adanya tekanan sistolik sekurang-kurangnya 140
mmHg dan tekanan diastolik sekurang-kurangnya 90 mmHg disertai dengan
protein urine positif atau tanda-tanda preeklampsia seperti pandangan kabur,
nyeri kepala hebat dan nyeri epigastrium. Hipertensi juga dapat ditentukan
dengan tekanan arteri  rata-rata 105 mmHg atau lebihatau dengan kenaikan  20
mmHg atau lebih nilai-nilai yang disebutkan diatas harus  bermanifesti

27
sekurang-kurangnya dua kesempatan dengan perbedaan waktu 6 jam atau
lebih dan harus didasarkan  pada nilai tekanan darah  sebelumnya yang
diketahui (Kemenkes, 2013).

B. Analisa
Seorang ibu hamil usia 40 tahun dengan P 2A1Ah2 post partum
pervaginam PEB dengan kuretase atas indikasi retensio sisa plasenta. Analisa
tersebut sesuai dengan teori dimana preeklampsia terjadi pada usia ibu lebih
dari 35 tahun dimana fungsi reproduksi seorang wanita sudah mengalami
kemunduran atau degenerasi dibandingkan fungsi normal sehingga
kemungkinan untuk terjadinya komplikasi pasca persalinan terutama
perdarahan lebih besar (Nugroho,2012).

C. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan asuhan ibu nifas dengan riwayat preeklampsia antara
lain anamnesa faktor keturunan, dilakukan pemeriksaan fisik terutama
involusi uterus, kontraksi uterus, tekanan darah, masalah pemberian ASI dan
pemeriksaan laboratorium. Dalam penatalaksanaan kasus dilakukan kolaborasi
dengan profesi yang lain untuk memberikan asuhan secara komprehensif. Hal
ini sesuai dengan standar penatalaksanaan ibu nifas dengan riwayat
preeklampsia. Dalam penelitian yang dilakukan Cairns, et al (2018), asuhan
nifas dengan kontrol tekanan darah yang dilakukan sendiri secara mandiri
dapat menurunkan tekanan darah selama masa postpartum dibandingkan
dengan asuhan nifas kunjungan standar yang digunakan. Nilai tekanan darah
pada kelompok intervensi dengan control tekanan darah mandiri mendapatkan
hasil tekanan darah systole sebesar 121/80.5 mmHg sedangkan pada
kelompok control sebesar 126.6/86 mmHg dengan CI 95% (systole -9.3
sampai -1.2 dan diastole -8.1 sampai -0.8).
Dalam penatalaksanaan kasus juga diberikan KIE tentang tanda bahaya
nifas yang mengarah pada preeklampsia karena secara teori preeklampsia
yaitu berkembangnya hipertensi  dengan preeklamsia atau edema atau
keduanya yang disebabkan oleh kehamilan atau dipengaruhi oleh kehamilan

28
yang sekarang. Biasanya  keadaan ini  timbul setelah usia kehamilan 20
minggu tetapi  dapat pula berkembang sebelum  saat tersebut pada penyakit
trofoblastik. Preeklampsia merupakan gangguan yang  terutama terjadi pada
primigravida atau pada ibu diusia>35 tahun. Eklamsia yaitu terjadinya satu
atau beberapa kejang  yang bukan diakibatkan oleh keadaan serebral lain
seperti epilepsi, atau perdarahan otak pada pasien dengan preeklampsia
(Grundmann et al, 2009).
Pada kasus rest sisa plasenta, dibutuhkan observasi terhadap
perdarahan dan kontraksi uterus. Jika rest sisa plasenta tidak dapat dibersihkan
dengan manual eksplorasi, maka dilakukan kuretase dengan menggunakan alat
kuret rest plasenta. Dengan perlindungan antibiotik sisa plasenta dikeluarkan
secara digital atau dengan kuret besar. Jika ada demam ditunggu dulu sampai
suhu turun dengan pemberian antibiotik dan 3–4 hari kemudian rahim
dibersihkan, namun jika perdarahan banyak, maka rahim segera dibersihkan
walaupun ada demam (Saleha, 2009). Keluarkan sisa plasenta dengan cunam
ovum atau kuret besar. Jaringan yang melekat dengan kuat mungkin
merupakan plasenta akreta. Usaha untuk melepas plasenta terlalu kuat
melekatnya dapat mengakibatkan perdarahan hebat atau perforasi uterus yang
biasanya membutuhkan tindakan hisrektomi (Prawirohardjo, 2009).
Dalam kasus ini sudah diberikan KIE tentang tujuan dilakukannya
kuretase, kemungkinan risiko yang akan terjadi serta tanda-tanda bahaya nifas
seperti perdarahan serta KIE tentang penggunaan kontrasepsi IUD atau MOW.
pasien dipulangkan pada tanggal 4 Desember 2019 dan dianjurkan untuk
kontrol kembali 1 minggu kemudian yaitu pada tanggal 11 Desember 2019 di
Poli Kebidanan Rumah Sakit atau jika ada keluhan yang dirasakan bisa segera
ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan terdekat.
D.

29
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada kasus ini, peran mahasiswa sebagai profesi bidan dapat
memberikan asuhan kepada ibu nifas dengan riwayat PEB dan kuretase atas
indikasi rest sisa plasenta. Asuhan yang diberikan berupa observasi
perdarahan, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri dan tanda-tanda vital,
berkolaborasi dengan dokter dan tenaga kesehatan lainnya seperti gizi,
laboratorium untuk pemeriksaan penunjang. Selain itu, diberikan KIE tanda-
tanda bahaya nifas sehingga pasien dapat mengenali tanda bahaya yang
mungkin terjadi sehingga bisa segera mendapatkan penanganan yang tepat dan
optimal. KIE tentang perawatan pasca kuretase, KIE tentang kapan ibu bisa
merencanakan untuk hamil lagi, serta KIE tentang penggunaan kontrasepsi.
Mahasiswa diharapkan mampu melaksanakan asuhan kebidanan pada ibu
nifas dengan menerapkan pola pikir melalui pendekatan manajemen
kebidanan secara holistik mulai dari pengkajian data, analisis, menentukan
kebutuhan, melakukan perencanaan dan tatalaksana tindakaan serta
pendokumentasian menggunakan SOAP.

B. Saran
1. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa harus meningkatkan kemampuan dalam penatalaksanaan kasus
ibu nifas dengan riwayat PEB dan kuretase atas indikasi rest sisa plasenta,
sehingga mahasiswa mampu memberikan asuhan yang tepat dan sesuai
dengan kebutuhan pasien serta mengetahui kesesuaian tata laksana kasus
antara teori dengan praktik.
2. Bagi Institusi
Sebaiknya Laporan studi kasus ini bisa menjadi tambahan bahan pustaka
agar menjadi sumber bacaan sehingga dapat bermanfaat dan menambah

30
wawasan bagi mahasiswa di institusi pendidikan pada tata laksana kasus
ibu nifas dengan riwayat PEB dan kuretase atas indikasi rest sisa plasenta
3. Bagi Lahan Praktik
Tetap mempertahankan pemberian tindakan sesuai dengan SOP yang ada.

31
Lampiran

ASUHAN KEBIDANAN PADA IBU NIFAS


Ny.Y.I UMUR 40 TAHUN P2A1AH2 DENGAN NIFAS HARI KE-0
RIWAYAT PEB DAN REST SISA PLASENTA
DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

No register : 659280
Nama Pengkaji : Sriyulan Ismail
Tempat Pengkajian : Bangsal Alamanda 3 RSUD Panembahan Senopati
Waktu Pengkajian : 02-12-2019/14.00 WIB

I. PENGKAJIAN DATA SUBJEKTIF


A. BIODATA
Pasien Suami
Nama Ibu : Ny. Y.I Nama Ibu : Tn. N
Umur : 40 Tahun Umur : 41 Tahun
Suku Bangsa : Jawa/Indonesia Suku Bangsa : Jawa/Indonesia
Agama : Kristen Agama : Kristen
Pendidikan : SMA Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Wiraswasta Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat Rumah : Cangkring RT 01 Mulyodadi Bambanglipuro

B. KELUHAN : Ibu mengatakan perut terasa mules, pengeluaran darah


pervaginam sedikit.

C. RIWAYAT MENSTRUASI
Menarche : 11 tahun
Siklus Haid : 28 hari
Lama Haid : 7 hari
Banyaknya : ± 3 kali ganti pembalut/hari
Disminorhea : Tidak
Riwayat Penyakit : Tidak ada

32
D. RIWAYAT OBSTETRI
Anak pertama lahir tahun 2002 secara normal ditolong bidan dengan berat
badan lahir 2800gr, anak kedua keguguran usia kehamilan 12 minggu
dikuretase pada tahun 2016, anak ketiga, saat ini.

E. RIWAYAT KESEHATAN
Ibu : Tidak sedang ataupun pernah mendrita
penyakit jantung, asma, DM, ginjal, batuk lama
(TBC atau difteri), sudah pernah dilakukan
pemeriksaan hepatitis, IMS dan HIV/AIDS
hasil pemeriksaan non reaktif. Ibu sebelumnya
belum pernah menderita hipertensi.

F. POLA AKTIVITAS SEHARI-HARI


1. Diet
a. Nutrisi
1) Pola makan : 3x/hari porsi sedang
2) Jenis makanan yang dikonsumsi : nasi, lauk, sayur
3) Makanan yang dipantang : tidak ada
4) Alergi terhadap makanan : tidak ada
b. Hidrasi
1) Jenis cairan yang diminum sehari : air putih dan teh manis
2) Jumlah cairan yang diminum sehari :± 7 gelas/hari
2. Istirahat dan Tidur
Malam :±6Jam/hari
Siang : ±1Jam/hari
3. Personal Hygiene
Mandi : 2x/hari Gosok Gigi :2x/hari
Ganti Pakaian : 2x/hari

33
G. RIWAYAT PSIKOSOSIAL
Suami dan keluarga sangat senang dengan kelahiran bayi.

II. PENGKAJIAN DATA OBJEKTIF (O)

a. Keadaan Umum : baik


b. Kesadaran : composmentis
a. Antropometri :
BB : 63 kg
TB : 154 cm
LILA : 32cm
b. TTV
TD : 140/80 mmHg
N : 88x/menit
RR : 20 x/menit
S : 36,6 °C
c. Pemeriksaan fisik
(1) Bentuk tubuh : Normal
(2) Wajah : Wajah normal, tidak ada oedem
(3) Mata : Konjungtiva merah muda, sklera putih
(4) Mulut : Bibir tidak pucat, lembab tidak kering
(5) Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
(6) Dada :Simetris, areola hiperpigmentasi, puting menonjol,
ASI keluar sedikit
Tidak ada bekas luka, terdapat linea nigra, kontraksi
(7) Abdomen
: uterus keras, TFU 1 jari dibawah pusat
(8) Genetalia : Perdarahan tidak banyak, lochea rubra
: Terpasang infuse cairan RL drips oksitosin 1 ampul
(9) Ekstremitas
sampai dengan kuretase 20 tetes permenit

3) Pemeriksaan Penunjang

34
Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 01 Desember 2019
Hb, 11,8gr/dl, eritrosit 3,94 10^6uL, trombosit 114 10^3u/L,
leukosit 7,21 10^3u/L hematokrit 34,6 vol%, golongan darah
B, PPT 11,8 detik, APTT 28,2 detik, SGOT 10u/L, SGPT 8u/L,
ureum 17mg/dl, creatinin 0,49, GDS 92mg/dl, natrium 140,6,
kalium 4,51m.mol, HbSAg negative, HIV non reaktif, Protein
Urine : trace.

III. ANALISA (A)


Ny. Y.I usia 40 tahun P2A1Ah2 dengan post partum pervaginam PEB dengan
retensio sisa plasenta hari ke-0.

IV. PENATALAKSANAAN
a. Memberi informasi mengenai kondisi ibu saat ini ibu mengalami masa
nifas tetapi masih dalam pemantauan kondisi ibu terutama tekanan darah
ibu, dan perdarahan akibat masih adanya sisa plasenta.
Ibu memahami kondisi yang dialami.
b. Memberi KIE tentang personal hygiene ibu terutama daerah vagina untuk
mencegah terjadinya infeksi pada jahitan dan mempercepat penyembuhan
luka jahitan perineum.
Ibu memahami dan akan melaksanakan anjuran bidan dalam
menjaga kebersihan diri dan alat kelamin.
c. Memberi konseling tentang perlunya mewaspadai komplikasi masa nifas
yang bisa terjadi pada ibu terutama karena ibu mempunyai riwayat
preeclampsia selama kehamilan.
Ibu memahami dan akan mengikuti anjuran bidan dan dokter.
d. Memberi KIE tanda bahaya masa nifas seperti perdarahan, demam, nyeri
kepala hebat, nyeri ulu hati, pandangan kabur, pengeluaran jalan lahir yang
berbau busuk dan payudara bengkak.
Ibu memahami dan akan waspada jika terjadi tanda bahaya masa
nifas.

35
e. Memberi KIE pada ibu jika mengalami salah satu tanda bahaya atau
komplikasi masa nifas untuk segera memencet tombol untuk memanggil
petugas
Ibu memahami anjuran bidan.
f. Menyiapkan untuk tindakan kuretase
Surat persetujuan sudah ditanda tangani, bagian ruang OK sudah
dihubungi
g. Memberi KIE tentang perlunya mengelola stress dengan berdoa dan
beribadah dan menganjurkan keluarga untuk mendukung menjaga
kestabilan psikologi selama masa nifas.
Ibu bersedia untuk berusaha rileks dan mengurangi kecemasan
yang dialami untuk menurunkan risiko komplikasi selama masa
nifas terutama kenaikan tekanan darah.
h. Mengelola terapi sesuai advis dokter yaitu: Asam Mefenamat 3x500mg,
kalk 3x500mg, SF 1x1
Terapi diberikan sesuai jadwal pemberian
i. Mengobservasi KU, Kontraksi Uterus, Perdarahan, TTV
j. Mendokumentasikan asuhan kebidanan
Dokumentasi asuhan telah dituliskan.

36
DAFTAR PUSTAKA

ACOG. (2012). Diagnosis and management of preeclampsia and eclampsia.


ACOG: Practise Bulletin; January 2002. hlm. 33.

ACOG. (2013). American congress of obstetricians and gynecologists, task force


on hypertension in pregnancy. Hypertension in pregnancy: report of the
American congress of obstetricians and gynecologists’ task force on
hypertension in pregnancy 2013. Available on
https://www.acog.org/Resources-And-Publications/ Task-Force-and-Work-
Group-Reports/
Anggraini, Y. (2010). Asuhan kebidanan Masa Nifas. Yogyakarta : Pustaka
Rihama.

Asih, Y &Sunarsih. (2016).Asuhan Kebidanan Ibu Nifas Dan Menyusui.


JakartaTimur : CV Trans Info Media.

Bobak, I., Deitre M. & Shannon. (2010). Maternity Nursing. St Louis :Mosby
Year Book.

Cairns, A et al. (2017). Postpartum Management of Hypertensive Disorders of


Pregnancy: a Systematic Review. British Medical Journal. Vol 7:
e018696.

Cairns, A et al. (2018). Self Management of Postnatal Hypertension The SNAP-


HT Trial. Am Hearth Association Journal. Vol 72:425-432.

Grundmann, M., Woywodt, A., & Kirsch, T. (2009). Circulating endothelial cells:
a marker of vascular damage in patients with preeclampsia. Am Journal
Obs Gyn. Volume 198, Issue 3, Pages 317. e1-317. e5

Kemenkes. 2013. Infodatin Hipertensi. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI


Marmi, (2012). Asuhan Neonatus, Bayi, Balita dan Anak Prasekolah. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Manuaba I.B.G. 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan KB Untuk


Pendidikan Bidan.Ed. 2.Jakarta : EGC

Maritalia Dewi dkk. 2012. Biologi reproduksi.Pustaka Pelajar.Yogyakarta

Morgan, Geri dan Carole Hamilton. 2009. Obstetri & Ginekologi Panduan
Praktik. Jakarta : EGC

37
Nugroho, T. (2012). Buku Ajar Obstetri. Yogyakarta : Nuha Medika

Podimow, T. & August, P. (2010). Postpartum Course of Gestasional


Hypertension dan Preeclampsia. Hypertens Pregnancy. Vol 29:294-300.

Rukiyah, Y. (2010). Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta : Trans Info
Medika.

Saifuddin, Abdul, et.al. (2010). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan


Maternal Dan Neonatal. Jakarta: YBPSP

Sari, Erlin Ika Wulan, 2012. Asuhan Kebidanan Pada Ibu Nifas P1A0 Ny. A
Dengan Anemia Sedang Di RB Marga Wahaya Surakarta, Surakarta :
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kusuma Husada.

Sarwono. (2010). Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka

Sibai, B.M. (2012). Etiology and management of Postpartum Hypertension-


preeklampsia. Am Journal Obs Gyn. Vol 9:470-475.

Sitti Saleha, 2009. Asuhan Kebidanan pada Masa Nifas. Yogyakarta : Fitrimaya

Walyani, Siwi. Elisabeth&Purwoastuti, Endang. (2015). Asuhan KebidananMasa


Nifas &Menyusui. Yogyakarta : PustakaBaru Press.

WHO. (2014). Maternal Mortality. World Health Organization

Wiknjosastro, Gulardi H 2010, Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo, Jakarta


Penerbit PT Bina Pustaka

38

Anda mungkin juga menyukai