Anda di halaman 1dari 7

Diagnosis Banding

Diseksi Aorta
Diseksi aorta merupakan penyakit kardiovaskuler non iskemik yang perlu
dipertimbangkan sebagai diagnosis banding terhadap angina pektoris. Diseksi aorta asendens
dapat memiliki gejala berupa nyeri dada substernal sedangkan diseksi aorta desendens umumnya
ditandai dengan nyeri dada posterior di area interskapula. Penjalaran ke arah pinggang dan
panggul dapat terjadi pada diseksi aorta dan membedakannya dari karakteristik nyeri angina
pektoris. Diseksi aorta sering digambarkan sebagai nyeri dada seperti disayat pisau dan
merupakan nyeri paling berat yang pernah dialami pasien. Pada subtipe anatomi tertentu yang
melibatkan perikardium dan ostium arteri koroner, diseksi aorta dapat pula disertai instabilitas
hemodinamik dan dapat berujung kematian pada sebagian besar kasus. Pemeriksaan computed
tomography angiography (CTA) merupakan modalitas diagnostik pilihan pada kasus diseksi
aorta.1

Perikarditis Akut
Perikarditis akut ditandai dengan nyeri dada retrosternal yang memberat dengan posisi
berbaring dan membaik ketika posisi badan tegak serta dapat didahului gejala prodromal berupa
demam, lemas, dan mialgia. Perbedaan lain nyeri dada akibat perikarditis dari angina pektoris
adalah sensasinya yang makin memberat saat inspirasi. Pada pemeriksaan fisik perikarditis akut
dapat ditemukan friksi perikardium saat auskultasi jantung. Elektrokardiogram dapat
menunjukkan perubahan depresi segmen PR dan elevasi segmen ST yang merata hampir di
semua sandapan, sedangkan foto toraks dapat mengungkap adanya efusi perikardium.2

Emboli Paru
Emboli paru biasanya ditandai dengan sesak napas saat istirahat atau beraktivitas, nyeri
dada pleuritik, nyeri dan pembengkakan betis atau paha. Pada kasus emboli paru masif, infark
paru yang luas dapat terjadi dan biasanya disertai dengan hipotensi yang dapat berakibat fatal.3

Pneumothorax
Lokasi nyeri dada pada pneumothorax biasanya bersesuaian dengan hemitoraks yang
terkena dampak penyakit tersebut dan karakteristiknya atipikal. Pneumothorax dengan mudah
dapat dibedakan dari angina pektoris dengan adanya beberapa temuan pemeriksaan fisik yang
membantu, seperti penurunan hemithorax saat inspirasi, hiperresonansi saat perkusi dinding
dada, dan penurunan bunyi napas pokok pada auskultasi.4

Pneumonia
Pneumonia biasanya diawali dengan gejala sesak napas yang menyertai batuk produktif,
demam, dan nyeri dada pleuritik. Pada pemeriksaan fisik pasien dengan pneumonia dapat
ditemukan penurunan bunyi napas pokok serta ronkhi pada hemitoraks yang terinfeksi.5

Heartburn
Nyeri akibat penyakit esofageal (heartburn) memiliki karakteristik berupa rasa terbakar
yang berhubungan dengan postur berbaring, terjadi setelah makan, dan disertai dengan disfagia.
Berbeda dengan angina pektoris yang terjadi saat usai makan besar, nyeri dada akibat spasme
esofageal terjadi secara konstan selama dan setelah makan. Spasme esofageal juga dapat
membaik dengan pemberian nitrogliserin sehingga interpretasi respons pasien terhadap obat
tersebut perlu dilakukan dengan hati-hati. Di sisi lain, nyeri esofageal biasanya membaik dengan
konsumsi susu, antasida, makanan dan minuman hangat.6

Kolik Bilier
Penyebab nyeri dada atipikal lainnya adalah kolik bilier. Perbedaan karakteristik nyeri
pada kolik bilier dibandingkan angina pektoris adalah sifat nyeri yang menetap, berlangsung
lama hingga 2-4 jam, dan membaik spontan tanpa adanya gejala antara dua episode serangan.
Nyeri juga paling berat dirasakan di perut kanan atas walaupun dapat menyebar ke epigastrium
dan prekordium. Pemeriksaan ultrasonografi dapat mendiagnosis adanya batu empedu sebagai
penyebab kolik serta mengevaluasi anatomi kandung empedu dan saluran empedu.6

Kelainan Muskuloskeletal
Beberapa kondisi muskuloskeletal juga dapat menyebabkan gejala yang mirip dengan
angina pektoris. Pada kostokondritis, nyeri dada biasanya terletak pada sambungan kostokondral
tanpa disertai pembengkakan. Apabila terjadi pembengkakan sambungan kostokondral, pasien
patut dicurigai menderita sindrom Tietze. Nyeri dada biasanya semakin memberat saat dilakukan
palpasi pada sambungan kostokondral tersebut. Walaupun demikian, hal tersebut bukanlah
temuan spesifik untuk kostokondritis saja dan tidak serta merta menyingkirkan diagnosis
penyakit jantung koroner.6
Tabel Diagnosis Banding Penyebab Nyeri Dada Selain Angina Pektoris

Diseksi aorta
Penyebab kardiovaskular non iskemik Perikarditis
Emboli paru
Pneumotoraks
Pneumonia
Penyakit paru-paru Pleuritis
Spasme esofageal
Esofagitis
Refluks gastroesofageal
Kolik bilier
Kolangitis, kolesistitis, koledokolitiasis
Ulkus peptikum
Penyakit gastrointestinal Pankreatitis
Kostokondritis
Fibrositis
Fraktur iga
Arthritis sternoklavikular
Penyakit dinding dada Herpes zoster

Terapi
Terapi non medikamentosa meliputi modifikasi gaya hidup seperti berhenti merokok, diet
seimbang, olahraga, kontrol berat badan, manajemen lipid, atasi hipertensi, kontrol gula darah
dan lain-lain.9 Adapun terapi medikamentosa bertujuan untuk mengurangi gejala dan mencegah
penyakit kardioserebrovaskular seperti infark miokard, trombotik akut, dan difungsi ventrikel,
yaitu :
1. Beta Blocker (BB)
Beta-blocker memperbaiki iskemia dan gejala terutama dengan mengurangi konsumsi
oksigen. Efek protektif antiiskemik yang diberikan oleh terapi beta-blocker sebagian besar
dimediasi oleh blokade adrenoceptor beta-1. Beta-1 selektif beta-blocker metoprolol (target
dosis 100 mg, 2 x/hari), atenolol (target dosis 100 mg, 1x/hari atau 50 mg, 2x/hari), dan
bisoprolol (dosis target 10 mg 1x/hari) telah digunakan secara luas untuk angina stabil.9
2. Calcium Channel Blocker (CCB)
Calcium Channel Blocker (CCB) mengurangi angina dengan menghambat masuknya
kalsium melalui membran sel di banyak jaringan, termasuk jaringan konduksi jantung,
miokardium, dan sel otot polos pembuluh darah baik di arteri koroner maupun pembuluh
perifer. CCB yang paling umum digunakan untuk pengobatan angina stabil adalah amlodipin,
diltiazem, felodipin, verapamil, dan nifedipin.9 Diltiazem digunakan jika angina tidak
dikontrol dengan nitrat dan beta-bloker.7
3. Nitrat
Nitrat telah terbukti mengurangi serangan angina, meningkatkan toleransi latihan, dan
dengan demikian meningkatkan kualitas hidup.Meskipun data ini diakui oleh pedoman ESC
dan dikenal baik oleh mayoritas ahli jantung, nitrat digunakan secara berlebihan pada pasien
dengan penyakit jantung iskemik stabil, mungkin karena biaya rendah dan ketersediaan yang
luas.9
Nitrat mengakibatkan vasodilatasi arteri dan vena koroner, yang merupakan dasar dalam
mengatasi gejala angina. Nitrat short-acting untuk mengatasi angina akut. Nitrogliserin
sublingual adalah terapi awal standar untuk mengatasi angina. Ketika angina dimulai, pasien
harus beristirahat duduk (berdiri dapat mengakibatkan sinkop, sedangkan berbaring dapat
meningkatkan darah balik vena dan kerja jantung) dan mengambil nitrogliserin
sublingual (0,3-0,6 mg) setiap 5 menit sampai rasa sakit hilang atau maksimal 1,2 mg dalam
15 menit. Nitrogliserin semprot bekerja lebih cepat. Nitrogliserin dapat digunakan secara
profilaksis ketika angina dapat diperkirakan, seperti aktivitas setelah makan, stres emosional,
aktivitas seksual dan dalam cuaca dingin. Isosorbide dinitrate (5 mg sublingual) membantu
mengatasi serangan angina selama sekitar 1 jam. Karena dinitrat membutuhkan konversi di
hati menjadi mononitrat. Onset kerja antiangina (dalam waktu 3-4 menit) lebih lambat
dibandingkan dengan nitrogliserin. Setelah konsumsi oral, efek hemodinamik dan antiangina
bertahan selama beberapa jam, memberikan perlindungan lebih lama terhadap angina
daripada nitrogliserin sublingual.Nitrat long-acting untuk profilaksis angina. Nitratlong-
acting efektif jika secara teratur digunakan dalam waktu interval 8-10 jam.7
4. Ivabradin
Ivabradine adalah agen penurun detak jantung yang selektif menghambat pemicuan sinus
node I (f) yang sedang berlangsung, sehingga menurunkan kebutuhan oksigen miokard tanpa
mempengaruhi inotropisme atau tekanan darah. Hal ini disetujui oleh European Medicines
Agency (EMA) untuk terapi angina stabil kronis pada pasien yang tidak dapat dikontrol oleh
BB dan detak jantungnya >60x/menit. (dalam irama sinus). Ivabradine sama efektifnya
dengan atenolol atau amlodipine pada pasien APS. Penambahan ivabradine 7,5 mg dua kali
sehari untuk terapi atenolol memberikan kontrol yang lebih baik terhadap detak jantung dan
gejala angina. Efeknya dominan pada pasien dengan denyut jantung ≥70 bpm. Dengan
demikian, Ivabradine merupakan agen antiangina yang efektif, sendiri atau dalam kombinasi
dengan BB.7
5. Ranolazin
Ranolazine adalah inhibitor selektif dari natrium dengan sifat antiiskemik dan metabolik.
Dosis 500-2000 mg per hari mengurangi angina dan meningkatkan kapasitas latihan tanpa
perubahan denyut jantung atau tekanan darah. Ranolazine yang disetujui EMA pada tahun
2009 untuk pengobatan tambahan pada angina stabil pada pasien yang tidak sanggup
dikontrol dengan agen lini pertama (BB dan/atau CCB).1
Gambar Algoritma untuk manajemen farmakologis pasien dengan angina stabil, yang
bertujuan untuk mengurangi gejala dan iskemia.7

1. Nitrat short-acting dapat digunakan saat dibutuhkan dengan semua obat berikut. Namun,
efektivitasnya berkurang pada pasien yang menerima nitrat long-acting.
2. Digunakan dalam kasus hipertensi, hindari dalam kasus gagal jantung karena disfungsi sistolik
dari ventrikel kiri. Jika CCB dikontraindikasikan atau tidak ditoleransi, ikuti algoritma
berdasarkan denyut jantung.
3. Digunakan dalam kasus fibrilasi atrium.
4. Hanya untuk pasien dengan irama sinus, digunakan pada kasus gagal jantung sistolik.

Prognosis
Prognosis penyakit APS dipengaruhi oleh fungsi ventrikel kiri, jumlah pembuluh darah
koroner dengan stenosis yang signifikan, dan luas miokard yang dipengaruhi oleh iskemia.
Selain itu, gaya hidup agresif dan manajemen faktor risiko tetap menjadi kunci dalam prognosis
jangka panjang pasien APS.10

1. Elsayed RS, Cohen RG, Fleischman F, Bowdish ME. Acute Type A Aortic
Dissection. Cardiol Clin. 2017; 35(3):331–45. 42. Imazio M, Gaita F. Acute and
Recurrent Pericarditis. Cardiol Clin. 2017; 35(4):505–13.
2. Imazio M, Gaita F. Acute and Recurrent Pericarditis. Cardiol Clin. 2017;
35(4):505–13.
3. Halligan K, Filippaios A, Myers W. Pulmonary Embolism. Hosp Med Clin. 2017;
6(2):244–60
4. White D, Eaton DA. Pneumothorax and chest drain insertion. Surg. 2017;
35(5):281–4
5.Grief SN, Loza JK. Guidelines for the Evaluation and Treatment of Pneumonia.
Prim Care Clin Off Pract. 2018; 45(3):485–503.
6. Vlachopoulos C, Georgakopoulos C, Pollalis D, Tousoulis D. Stable Angina
Pectoris . Coronary Artery Disease. Elsevier Inc.; 2018. 157-200 p.
7. Montalescot G, Sechtem U, Achenbach S, Andreotti F, Arden C, Budaj A, et al.
ESC guidelines on the management of stable coronary artery disease: The task force
on the management of stable coronary artery disease of the european society of
cardiology. European Heart Journal. 2013; 34: 2949-3003.
8. Rampengan Starry Homentar. Buku Praktis Kardiologi. Jakarta: Bada penerbit
FKUI. 2014.
9. Andrikopoulos G, Parissis J, Filippatos G, Nikolaou M, Pantous K, Voudris V et
al. Expert perspective: medical management of stable angina. Hellenic J Cardiol
2014;55:272-280.
10. Valgimigli M, Biscaglia S. Stable angina pectoris. Curr Atheroscler Rep
2014;16:422.

Anda mungkin juga menyukai