Anda di halaman 1dari 12

MALOKLUSI ANGLE

DEFINISI

Klasifikasi maloklusi Angle adalah sistem klasifikasi yang paling sering digunakan
karena mudah digunakan dan disampaikan dengan tepat. Pada tahun 1899,
Edward Angle mengklasifikasikan maloklusi berdasarkan hubungan mesial-distal
gigi, lengkung gigi dan rahang. Angle menganggap molar permanen pertama
rahang atas sebagai titik anatomi tetap pada rahang dan kunci oklusi. Angle
mendasarkan klasifikasinya pada hubungan gigi ini dengan gigi lain di rahang
rahang bawah. (Singh, Gurkeerat 2007 hal 163)

Konsep bahwa ada yang ideal untuk setiap komponen oklusi gigi geligi, dari
suatu pengetahuan di mana variasi, atau maloklusi bisa diukur, dimulai dari hasil
penelitian Angle. Angle mengadakan penelitian mengenai oklusi statis pada
posisi interkuspal, mendefinisikan hubungan ideal dari gigi-gigi molar pertama
atas dan bawah tetap pada bidang sagittal. (Foster, T.D. 1999 hal 29)

KLASIFIKASI

Angle mengklasifikasikan maloklusi menjadi tiga kategori. Tiga kategori tersebut


ditetapkan sebagai "Kelas" dan diwakili oleh angka Romawi I, II dan III.
(Gurkeerat Singh, 2007 hal 164)

1. Kelas I: Relasi neutroklusi

Gambar 1. Oklusi klas I. Hubungan oklusal yang Ideal. (Foster, T.D. 1999 hal 32)
Maloklusi klas I ini mempunyai relasi neutroklusi. Neutro-oklusi adalah istilah
yang identik dengan klasifikasi Angle yang dimodifikasi oleh Lischer. (Singh,
Gurkeerat 2007 hal 168)

Klas I merupakan hubungan anteroposterior dimana lengkungan gigi mandibula


dalam hubungan mesiodistal normal dengan lengkung rahang atas. (Singh,
Gurkeerat 2007 hal 164) Klas I memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Lengkung geligi RA dan RB mempunyai hubungan mesio-distal normal


(Singh, Gurkeerat 2007 hal 164)
2) Puncak mesiobukal molar pertama rahang atas kontak dengan lekukan bukal
(buccal groove) molar pertama rahang bawah (Graber et all 2012 hal 22)
3) Puncak mesiopalatal molar pertama rahang atas terletak pada fossa oklusal
molar pertama rahang bawah (Singh, Gurkeerat 2007 hal 164)
4) Puncak caninus rahang atas terletak diantara caninus dan premolar pertama
rahang bawah (Graber et all 2012 hal 22)
5) Kelainan yang menyertai dapat berupa gigi berdesakan, proklinasi, gigitan
terbuka anterior, dll.

2. Kelas II: relasi distoklusi

Maloklusi klas II ini mempunyai relasi distoklusi. Disto-oklusi adalah istilah yang
identik dengan klasifikasi Angle yang dimodifikasi oleh Lischer. (Singh, Gurkeerat
2007 hal 168)

Pada hubungan Klas II, lengkung gigi bawah terletak lebih posterior daripada
lengkung gigi atas dibandingkan dengan hubungan Klas I. Karena itulah,
keadaan ini
kadang disebut sebagai “hubungan postnormal”. (Foster, T.D. 1999 hal 33) Klas
II memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Titik puncak mesiobukal dari molar permanen pertama rahang atas terhenti di
ruang antara titik puncak mesiobukal dari molar permanen pertama
mandibula dan aspek distal dari pra-molar kedua mandibular. (Singh,
Gurkeerat 2007 hal 164)
2) Puncak mesiolingual dari molar permanen pertama rahang atas menutup
mesial ke puncak mesio-lingual dari molar permanen pertama mandibular.
(Singh, Gurkeerat 2007 hal 164)
Angle membagi maloklusi klas II menjadi dua divisi berdasarkan angulasi
labiolingual dari gigi seri atas sebagai: (Singh, Gurkeerat 2007 hal 164)

Klas II angle dibagi 2 divisi:

a. Divisi 1

Gambar 2. Oklusi klas II divisi 1. (Foster, T.D. 1999 hal 33)

Lengkung gigi mempunyai hubungan klas II dengan karakteristik gigi-gigi


insisivus sentralis dan lateralis atas proklinasi (gigi condong atau miring) ke
labial, overjet (jarak gigit) insisal yang besar, overbite (tumpang gigit) bertambah,
dan curve of spee positif. (Foster, T.D. 1999 hal 34)

b. Divisi 2
Gambar 3. Oklusi klas II divisi 1. (Foster, T.D. 1999 hal 33)

Lengkung gigi mempunyai hubungan klas II dengan insisivus sentralis rahang


atas mendekati normal anteroposterior atau sedikit dalam linguoversion
sedangkan insisivus lateralis rahang atas lebih superior dari insisivus sentralis
dan mengarah ke labial dan/atau ke mesial, memiliki overbite (tumpang gigit)
insisal yang besar dan overjet (jarak gigit) yang normal. (Singh, Gurkeerat 2007
hal 164)

Tabel 1. Perbedaan Divisi 1 dengan Divisi 2

Divisi 1 Divisi 2
Insisivus sentralis dan lateralis Insisivus sentralis normal/tegak atau
protrusif retroklinasi (mengarah ke
palatal/lingual) sedangkan insisivus
lateralis lebih superior mengarah ke
labial atau mesial
Overjet (jarak gigit) besar Overjet (jarak gigit) normal
Overbite (tumpang gigit) bertambah Overbite (tumpang gigit) besar
Curve of spee positif -

Subdivisi

Terdapat subdivisi pada klas II yaitu ketika hubungan molar Kelas II hanya terjadi
pada satu sisi lengkung gigi, maloklusi disebut sebagai subdivisi dari
pembelahannya. (Singh, Gurkeerat 2007 hal 164)

3. Kelas III: relasi mesioklusi

Maloklusi klas III ini mempunyai relasi mesioklusi. Mesio-oklusi adalah istilah
yang identik dengan klasifikasi Angle yang dimodifikasi oleh Lischer. (Singh,
Gurkeerat 2007 hal 168)

Pada hubungan Klas III, lengkung gigi bawah terletak lebih anterior terhadap
lengkung gigi atas dibandingkan pada hubungan Klas I. Oleh karena itu,
hubungan ini kadang-kadang disebut juga sebagai “hubungan prenormal”.
(Foster, T.D. 1999 hal 34) Klas III memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Terdapat gigitan terbalik anterior. (Foster, T.D. 1999 hal 34)
2) Cusp mesiobukal dari molar pertama rahang atas yang berada di ruang
interdental antara aspek distal cusps distal molar pertama mandibula dan
aspek mesial dari cusps mesial molar kedua mandibula. (Singh, Gurkeerat
2007 hal 165)

Ada dua tipe utama dari hubungan klas III, yaitu:

a. True Prognatisme

Gambar 4. Mandibula ke depan ke oklusi klas III. (Foster, T.D. 1999 hal 35)

Disebut klas III sejati dimana rahang bawah berpindah dari posisi istirahat ke
oklusi klas III pada saat penutupan normal. (Foster, T.D. 1999 hal 35)

b. Pseudo/false prognatisme

Gambar 5. Pada gerak penutupan dari posisi istirahat gigi-gigi insisivus


berkontak edge-to-edge dan gigi-gigi bukal tidak saling berkontak. (Foster, T.D.
1999 hal 35)
Pada saat mandibular bergerak menutup, insisivus bawah berkontak dengan
insisivus atas sebelum mencapai oklusi sentrik. Oleh karena itu, mandibular akan
bergerak ke depan pada penutupan translokasi menuju ke posisi interkuspal.
Tipe ini biasanya disebut sebagai klas III postural atau klas III dengan
pergeseran. (Foster, T.D. 1999 hal 35)

Subdivisi

Subdivisi pada klas III dikatakan ada ketika terdapat maloklusi secara unilateral
yaitu maloklusi terjadi pada salah satu sisi lengkung rahang saja. (Singh,
Gurkeerat 2007 hal 165)

KEKURANGAN KLASIFIKASI ANGLE

1. Angle menganggap molar permanen pertama sebagai titik tetap di dalam


rahang, yang jelas tidak demikian (Singh, Gurkeerat 2007 hal 166)

2. Angle tergantung secara eksklusif pada molar pertama.

Angle tergantung secara eksklusif pada molar pertama sehingga klasifikasi tidak
mungkin jika molar pertama hilang atau jika diterapkan pada gigi sulung. Bila
molar pertama permanen bergeser oleh karena molar desidui hilang/tanggal
premature, maka relasi molar yang ada bukan relasi molar yang sebenarnya. Bila
molar pertama permanen telah dicabut berarti tidak ada relasi molar. Jika ini
terjadi perlu dibayangkan letak posisi molar pertama permanen sebelum terjadi
pergeseran. Apabila sudah terjadi pergeseran molar pertama permanen ke
mesial maka perlu dibayangkan letak molar pertama permanen sebelum terjadi
pergeseran kemudian baru ditetapkan klasifikasinya, demikian juga jika molar
permanen telah dicabut. (Singh, Gurkeerat 2007 hal 166)

Ada kemungkinan relasi molar permanen kanan tidak sama dengan relasi molar
pertama permanen kiri. Angle memperbolehkan hal ini dan disebut
subdivisi pada kelas II dan kelas III. Angle berpendapat letak molar pertama
permanen tetap stabil dalam perkembangan pada rahag sehingga dengan
melihat relasi molar dapat juga dil;ihat relasi rahang. Hal ini tidak selamanya
benar karena letak gigi dalam perkembangannya tidak sama dengan letak
rahang. (Singh, Gurkeerat 2007 hal 166)
3. Maloklusi dianggap hanya di bidang anteroposterior.

Angle menganggap maloklusi hanya terdapat pada bidang anteroposterior.


Maloklusi dalam bidang transversal dan vertikal tidak dipertimbangkan sehingga
ada kesulitan untuk menentukan garis batas secara tegas antara kelas I, II, dan
III. Sebagai contoh, seseorang dengan hubungan molar kelas 1 dapat memiliki
oklusi yang ideal, oklusi normal, dan maloklusi kelas 1. Tiga grup ini dapat
dibedakan dengan mendapatkan pengukuran secara objektif dari incisor yang
tidak ideal dan penilaian oklusi ideal. (Singh, Gurkeerat 2007 hal 166)

Sampai pada 1950, Salzmann memodifikasi klasifikasi angle dengan


mengklasifikasikan pada oklusi berdasarkan struktur kerangka yang
mendasarinya, antara lain: (Singh, Gurkeerat 2007 hal 170)

1) Skeletal klas I

Gambar 6. Pola skeletal klas I. (Singh, Gurkeerat 2007 hal 171)

Maloklusi ini murni gigi dengan tulang-tulang wajah dan rahang yang selaras satu
sama lain dan dengan seluruh kepala dan profilnya adalah ortognatik. Skeletal
Kelas I dibagi lebih lanjut menurut maloklusi gigi sebagai:

a. Divisi 1 yaitu terjadi mal-relasi lokal pada insisivus, caninus, dan premolar.
(Singh, Gurkeerat 2007 hal 170)
b. Divisi 2 yaitu terjadi protusi pada insisivus rahang atas. (Singh, Gurkeerat
2007 hal 171)
c. Divisi 3 yaitu terjadi inklinasi ke arah lingual (linguoversi) pada insisivus
rahang atas. (Singh, Gurkeerat 2007 hal 171)
d. Divisi 4 yaitu terjadi protusi pada gigi-gigi rahang atas. (Singh, Gurkeerat
2007 hal 171)

2) Skeletal klas II

Gambar 7. Pola skeletal klas II. (Singh, Gurkeerat 2007 hal 172)

Ini termasuk maloklusi dengan perkembangan mandibula distal subnormal yang


berhubungan dengan maksila. Skeletal klas 2 selanjutnya dibagi menjadi dua
divisi berdasarkan ciri-ciri umum yang biasanya terlihat dengan posisi mandibula
yang retrusi atau posisi mandibula terletak lebih posterior dari maksila, antara
lain: (Singh, Gurkeerat 2007 hal 171)

Divisi 1

Lengkungan gigi rahang atas lebih sempit dengan crowding di daerah gigi taring,
cross bite mungkin ada dan ketinggian wajah vertikal menurun. Gigi anterior
rahang atas menonjol dan profilnya retrognatik. (Singh, Gurkeerat 2007 hal 172)
Divisi 2

Insisivus rahang atas condong secara lingual, gigi seri lateral mungkin normal
atau dalam labio-version. (Singh, Gurkeerat 2007 hal 172)

3) Skeletal klas III

Gambar 8. Pola skeletal klas III. (Singh, Gurkeerat 2007 hal 172)

Pada skeletal klas III terdapat pertumbuhan lebih dari mandibula dengan sudut
bidang mandibula tumpul. Profilnya adalah prognatik pada mandibular. (Singh,
Gurkeerat 2007 hal 172)

4. Maloklusi gigi individu belum dipertimbangkan. (Singh, Gurkeerat 2007 hal


166)

5. Tidak ada perbedaan antara maloklusi skeletal dan gigi. (Singh, Gurkeerat
2007 hal 166)

6. Etiologi maloklusi belum diuraikan. (Singh, Gurkeerat 2007 hal 166)


MALOKLUSI BENNETTE

Bennette mengklasifikasikan maloklusi berdasarkan etiologinya yaitu maloklusi.


Klasifikasinya sebagai berikut: (Singh, Gurkeerat 2007 hal 168)

KELAS I

Gambar 9. Insisivus lateral kanan dan caninus berada dalam distoversion (panah
hitam) dan premolar 1 kanan diputar secara mesio-buccal yaitu dalam
torsiversion. (Singh, Gurkeerat 2007 hal 168)

Kelas I pada maloklusi Bennet adalah posisi yang tidak normal pada gigi yang
disebabkan oleh faktor lokal. (Singh, Gurkeerat 2007 hal 168)

KELAS II
Gambar 10. Osteomielitis sklerosis difus pada mandibula kanan dalam
pemindaian computed tomography (CT). (Regezi at all 2017 hal 323)

Kelas II pada maloklusi Bennet adalah bentuk yang tidak normal dari rahang,
sebagian atau keseluruhan dari kedua lengkung karena kelainan perkembangan
tulang. (Singh, Gurkeerat 2007 hal 169)

KELAS III

Gambar 11. Atrofi hemifacial progresif. Anak-anak dengan atrofi wajah sisi
kanan. (Neville at all 2009 hal 41)

Kelas III pada maloklusi Bennet adalah hubungan yang tidak normal antara
lengkung maksila dengan mandibula dan antara lengkung maksila/mandibular
dengan kontur wajah yang disebabkan oleh cacat perkembangan tulang. (Singh,
Gurkeerat 2007 hal 169)
Sumber:

Singh, Gurkeerat. 2007. Textbook of Orthodontics. New Delhi: Jaypee Brothers


Medical Publishers

Graber, Vanarsdall, Vig. 2012. Orthodontics: Current Principles and Techniques


Fifth Edition. Philadelphia: Elsevier Mosby

Foster, T. D. 1999. Buku Ajar Ortodonsi. Jakarta: EGC

Regezi, Sciubba, Jordan. 2017. Oral Pathology: Clinical Pathologic Correlations


7th Ed. St. Louis: Elsevier

Neville, Damm, Allen, Bouquot. 2009. Oral and Maxillofacial Pathology 3rd Ed. St.
Louis: Saunders Elsevier

Anda mungkin juga menyukai