Anda di halaman 1dari 7

Preeklampsia adalah salah satu kondisi penyulit kehamilan yang ditandai

utamanya dengan hipertensi. Perdarahan dan hipertensi dalam kehamilan adalah


penyebab utama kematian ibu di negara berkembang.[1] Sementara di Indonesia,
menurut data dari Pusdatin (Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia), sepanjang tahun 2010-2013, penyebab kematian ibu
terbanyak secara berturut-turut adalah perdarahan, hipertensi dalam kehamilan,
dan infeksi.[2]

Berdasarkan klasifikasi oleh Working Group of The National High Blood


Pressure Education Program-NHBEP (2000) yang kemudian diperbaharui oleh
satuan tugas dari American College of Obstetrician and Gynecologists-ACOG
(2013), hipertensi dalam kehamilan dibagi dalam beberapa jenis yakni hipertensi
gestasional, preeklampsia-eklampsia, hipertensi kronik, dan preeklampsia
superimposed (dengan hipertensi kronik). Salah satu bentuk hipertensi dalam
kehamilan yang dapat mengancam jiwa adalah preeklampsia (dan eklampsia). [3]
Diagnosis hipertensi pada semua jenis hipertensi dalam kehamilan dapat
ditegakkan jika tekanan darah ≥140 mm Hg untuk sistolik dan ≥90 mm Hg untuk
diastolik.

Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang didapatkan pertama kali saat


kehamilan, tanpa disertai proteinuria, dan kondisi hipertensi menghilang 3 bulan
pascapersalinan. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang sudah ada sebelum
umur kehamilan 20 minggu (midpregnancy) atau kondisi hipertensi muncul
setelah umur kehamilan 20 minggu, tetapi menetap sampai 3 bulan
pascapersalinan. Preeklampsia superimposed adalah hipertensi kronik yang
disertai dengan tanda-tanda preeklampsia.

Preeklampsia adalah kondisi hipertensi yang didapatkan pada usia kehamilan di


atas 20 minggu di mana tekanan darah ≥140/90 mm Hg pada dua kali pengukuran
dengan jeda waktu 4 jam, atau tekanan darah ≥160/100 mm Hg pada preeklampsia
berat, yang disertai dengan proteinuria dengan atau tanpa edema patologis. Jika
tidak terdapat proteinuria, preeklampsia tetap dapat didiagnosis apabila hipertensi
disertai kondisi patologis lain.

Kriteria proteinuria pada preeklampsia yakni proteinuria ≥300 mg pada spesimen


urin 24 jam atau rasio protein/kreatin ≥0.3 atau nilai ≥1+ pada dipstick protein
urin. Sementara kondisi patologis lain yang juga dapat menjadi kriteria diagnostik
preeklampsia jika terdapat hipertensi tanpa proteinuria adalah:

1. Trombositopenia (<100.000/μL)
2. Gangguan fungsi ginjal (level serum kreatinin >1.1 mg/dL atau kenaikan
level serum kreatinin dua kali lipat tanpa penyakit ginjal lainnya)
3. Gangguan fungsi hati (kenaikan level transaminase sekurang-kurangnya
dua kali nilai normal)
4. Edema pulmoner
5. Gangguan pada sistem saraf pusat (sakit kepala, gangguan penglihatan,
kejang)

Kondisi patologis di atas juga merupakan tanda-tanda severitas pada suatu


preeklampsia atau dengan kata lain merupakan kriteria diagnostik pada
preeklampsia berat. Khusus untuk kasus kejang, pada perempuan dengan
preeklampsia, kejang yang tidak dapat dikaitkan dengan penyebab lain disebut
eklampsia. Eklampsia dianggap sebagai komplikasi preeklampsia berat. Kejang
pada eklampsia biasanya merupakan kejang grand-mal (kejang tonik-klonik) yang
ditandai dengan penurunan kesadaran dan kontraksi otot yang hebat. [4,5,6]

Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang didapatkan pertama kali saat


kehamilan, tanpa disertai proteinuria, dan kondisi hipertensi menghilang 3 bulan
pascapersalinan. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang sudah ada sebelum
umur kehamilan 20 minggu (midpregnancy) atau kondisi hipertensi muncul
setelah umur kehamilan 20 minggu, tetapi menetap sampai 3 bulan
pascapersalinan. Preeklampsia superimposed (dengan hipertensi kronik) adalah
hipertensi kronik yang disertai dengan tanda-tanda pre-eklampsia. Untuk definisi
dari preeklampsia (dan eklampsia) sendiri akan dijelaskan lebih lanjut pada
pembahasan selanjutnya.

Epidemiologi preeklampsia adalah 3% dari seluruh komplikasi kehamilan. Di


Indonesia, data epidemiologi preeklampsia secara nasional masih belum jelas.

Global

Preeklampsia ditemukan pada 3% kehamilan yang berkomplikasi. Sedangkan


hipertensi pada kehamilan diperkirakan berkontribusi sebesar 10%.

Prognosis preeklampsia pada ibu dikaitkan dengan diagnosis dan pengobatan


dini.  Jika penderita tidak terlambat mendapatkan penanganan sesegera mungkin,
terlebih untuk kasus gawat darurat, gejala perbaikan akan tampak jelas setelah
persalinan/terminasi.

Komplikasi

Komplikasi preeklampsia yang sering terjadi adalah perkembangannya menjadi


eklampsia yang ditandai dengan timbulnya kejang grand mal (tonik-klonik).
Komplikasi yang lain yang mungkin timbul adalah sindroma hellp.

Penatalaksanaan preeklampsia tergantung dari usia gestasi dan tingkat


keparahan penyakit. Persalinan/terminasi adalah satu-satunya terapi definitif
untuk preeklampsia. Tujuan utama penatalaksanaan preeklampsia adalah kondisi
ibu yang aman dan persalinan bayi yang sehat. Pada pasien dengan preeklampsia
tanpa tanda-tanda preeklampsia berat, induksi sering dilakukan setelah usia
gestasi 37 minggu. Sebelumnya, pemberian kortikosteroid dilakukan untuk
mempercepat pematangan paru janin. Pada preeklampsia berat, induksi
dipertimbangkan setelah usia gestasi di atas 34 minggu. Pada kondisi seperti ini,
beratnya penyakit pada ibu lebih dipertimbangkan dari risiko prematuritas bayi.
Pada situasi gawat darurat, pengontrolan terhadap tekanan darah dan kejang harus
menjadi prioritas.

Perawatan Pre-Rumah Sakit

Perawatan Pre-Rumah Sakit untuk pasien hamil dengan dugaaan preeklampsia


terdiri dari:

 Pemberian oksigen via face mask


 Pemasangan akses intravena
 Monitor jantung
 Transportasi pasien dengan posisi miring kiri
 Kewaspadaan terhadap kejang

Tatalaksana mayoritas pasien dengan preeklampsia tanpa tanda bahaya (bukan


preeklampsia berat) dapat dilakukan dengan cara berobat jalan, tetapi tetap
dibutuhkan observasi yang ketat terhadap terjadinya perburukan. Namun, pada
beberapa kasus pasien juga dapat dirawat di rumah sakit. Tirah baring total sudah
tidak direkomendasikan lagi pada pasien dengan preeklampsia. Selain karena
efektivitasnya yang rendah, tirah baring justru menjadi faktor risiko terjadinya
tromboembolisme. Sebaiknya lebih dianjurkan untuk melakukan tirah baring
dengan posisi miring ke kiri ketika pasien sedang tidur guna menghilangkan
tekanan rahim pada vena kava inferior sehingga meningkatkan aliran darah ke
jantung. Selain pemantauan tekanan darah dan protein urin secara berkala,
pemeriksaan nostress test (NST dengan menggunakan CTG cardiotocography)
direkomendasikan untuk dilakukan dua kali seminggu sampai persalinan.

Induksi Persalinan 

Pada preeklampsia tanpa tanda-tanda severitas (bukan preeklampsia berat) dengan


kehamilan preterm (<37 minggu), jika tekanan darah mencapai normotensif
selama perawatan, persalinan ditunggu hingga aterm. Namun pada kehamilan
aterm (>37 minggu), persalinan ditunggu sampai terjadi onset persalinan atau
dipertimbangkan untuk dilakukan induksi persalinan pada taksiran tanggal
persalinan. Sementara pada pasien dengan preeklampsia berat,
persalinan/terminasi dipertimbangkan saat usia gestasi sudah lebih dari 34
minggu. Namun, selain pertimbangan usia gestasi, terminasi kehamilan juga
dilakukan jika terdapat kondisi sebagai berikut:

1. Pada ibu :
o Kejang (eklampsia)
o Solusio plasenta
o Ketuban pecah dini
o Sindrom HELLP (Hemolisis, Elevated liver enzymes, Low platelet
count)
o Perburukan kondisi klinis memburuk

1. Pada janin :

 Adanya tanda-tanda gawat janin


 IUGR (Intrauterine growth retardation)
 Oligohidramnion

Pada preeklampsia berat, persalinan/terminasi harus terjadi dalam 24 jam.


Sedangkan pada eklampsia, persalinan/terminasi harus terjadi dalam 6 jam sejak
kejang timbul.

Medikamentosa

Medikamentosa atau obat-obatan yang digunakan dalam penatalaksanaan


preeklampsia adalah magnesium sulfat dan obat antihipertensi.

Magnesium Sulfat

Obat antikonvulsan pada preeklampsia yang sampai saat ini masih menjadi pilihan
pertama baik di dunia maupun di Indonesia adalah magnesium sulfat
(MgSO47H2O). Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asteilkolin
pada rangsangan neuron dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi
neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium
sulfat, magnesium akan berkompetisi dengan kalsium sehingga aliran rangsangan
tidak terjadi (terjadi inhibisi kompetitif antara ion kalsium dan magnesium).

Cara pemberian magnesium sulfat adalah sebagai berikut:

1. Dosis Inisial
o 4 g MgSO440% dibuat dengan cara mengencerkan 10 ml larutan
MgSO4 dalam 10ml aquades, diberikan bolus (IV) selama 10-15
menit
o Segera dilanjutkan dengan 6 g MgSO4 40% dibuat dengan cara
melarutkan 15ml larutan MgSO4 ke dalam 500 ml RL, habis dalam
6 jam
o Jika kejang berulang setelah 15 menit, berikan 2 g MgSO440%
dibuat dengan cara mengencerkan 5 ml larutan MgSO4 dalam 5 ml
aquades, diberikan bolus (IV) selama 5 menit.
2. Dosis Rumatan
Larutan MgSO4 40% 1 g/jam dimasukkan melalui cairan infus Ringer Laktat
(RL)/Ringer Asetat (RA) yang diberikan sampai 24 jam pascapersalinan

Pemberian MgSO4 memiliki syarat-syarat pemberian yang harus terpenuhi, yaitu:

 Harus tersedia antidotum MgSO4 yakni Ca Gluconas 10%. Jika terjadi


tanda-tanda intoksikasi (refleks patella menghilang, distres pernapasan),
segera berikan 1g Ca Gluconas 10% yang dibuat dengan cara
mengencerkan 10 ml larutan Ca Gluconas dalam 10 ml aquades, diberikan
secara IV dalam 3-5 menit
 Refleks pattela pasien normal
 Frekuensi pernapasan ≥16 kali/menit dan tidak ada tanda-tanda distres
pernapasan.

Pemberian magnesium sulfat harus dihentikan jika terdapat tanda-tanda


intoksikasi atau setelah 24 jam pascapersalinan/24 jam setelah kejang terakhir.
Selain sebagai terapi untuk menghentikan kejang, magnesium sulfat juga
diberikan kepada pasien dengan tanda-tanda preeklampsia berat sebagai
profilaksis kejang. Dosis yang digunakan serupa dengan dosis terapi pada
preeklampsia dengan kejang (eklampsia).

Alternatif Antikonvulsan

Alternatif antikonvulsan lain selain magnesium sulfat yang dapat dipakai adalah
diazepam.

Diazepam IV 10 mg diberikan secara perlahan kurang lebih selama 2 menit. Jika


kejang berulang dapat diulang sesuai dosis awal. Jika kejang sudah teratasi, dosis
rumatan yang dipakai adalah 40 mg diazepam dilarutkan dalam 500 ml RL
dihabiskan dalam 24 jam.

Pemberian diazepam harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena risiko depresi
pernapasan (Dosis maksimal diazepam >30 mg/jam). Perlu menjadi catatan bahwa
pemberian diazepam sebagai antikonvulsan pada preeklampsia dilakukan jika
memang betul-betul dalam kondisi tidak tersedia magnesium sulfat.

Antihipertensi

Obat antihipertensi mulai diberikan pada preeklampsia berat dengan tekanan


darah ≥160/100 mm Hg. Obat hipertensi yang dapat digunakan pada kasus
preeklampsia adalah hidralazin, labetalol, nifedipin, dan sodium nitroprusside. Di
Indonesia, karena tidak tersedia hidralazin dan labetalol IV, obat antihipertensi
yang menjadi lini pertama adalah nifedipin.
Dosis awal nifedipin adalah 10-20 mg per oral, diulangi setiap 30 menit bila perlu
(maksimal 120 mg dalam 24 jam). Nifedipin tidak boleh diberikan secara
sublingual karena efek vasodilatasi yang sangat cepat.

Untuk obat antihipertensi lini kedua jika tidak tersedia nifedipin, dapat juga
digantikan dengan labetalol oral atau sodium nitroprusside IV. Dosis inisial
labetalol oral adalah 10 mg. Jika setelah 10 menit respon tidak membaik, dapat
diberikan lagi labetalol 20 mg.

Untuk sodium nitroprusside IV, dosis yang dipakai adalah 0.25 μg/kg/menit
(infus) kemudian dapat ditingkatkan menjadi 0.25 μg/kg/5 menit.

Perawatan Pascapersalinan

Preeklampsia akan berakhir setelah persalinan. Namun, masih dibutuhkan


observasi yang ketat pascapersalinan karena tekanan darah yang masih tinggi dan
kemungkinan terjadinya kejang pascapersalinan (mayoritas terjadi 24 jam
pascapersalinan walaupun ada juga yang terjadi 48 jam pascapersalinan). Oleh
karena itu, profilaksis kejang dengan magnesium sulfat harus dilanjutkan sampai
24 jam pascapersalinan.

Pemeriksaan hitung trombosit, fungsi hati, dan fungsi ginjal harus tetap dilakukan
secara berkala sampai pasien keluar dari rumah sakit. Jarang terjadi, seorang
pasien mengalami peningkatan level enzim hati, trombositopenia, dan insufisiensi
renal lebih dari 72 jam pascapersalinan. Jika pasien akan dipulangkan dengan obat
antihipertensi, penilaian ulang terhadap tekanan darah harus dilakukan, setidaknya
1 minggu setelah keluar dari rumah sakit. Kecuali pada pasien dengan hipertensi
kronik, tekanan darah akan kembali normal dalam waktu maksimal 3 bulan
pascapersalinan. [6,10,14,15]

Etiologi pasti preeklampsia masih belum diketahui. Walaupun begitu, beberapa


peneliti menduga kuat adanya hubungan antara preeklamsia dengan kelainan pada
pembuluh darah plasenta. Diduga bahwa pembuluh darah plasenta mengalami
kelainan sehingga menjadi lebih sempit dibandingkan normal. Hal ini akan
menyebabkan gangguan dalam aliran darah melalui pembuluh darah sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan darah dan gangguan pertumbuhan janin
intrauterin.

Faktor Risiko

Faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan terjadinta preeklampsia adalah:

1. Nuliparitas
2. Usia lebih tua dari 40 tahun
3. Riwayat preeklampsia sebelumnya
4. Riwayat keluarga yang juga mengalami preeklampsia
5. Hipertensi
6. Sindrom antifosfolipid
7. Diabetes mellitus
8. Kehamilan kembar
9. Obesitas [7]

Anda mungkin juga menyukai