Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PENGELOLAAN SATWA LIAR

DISUSUN OLEH :

1. Ahmad Zulfikar W. 11170950000031


2. Tom Ibnu 11170950000032

DOSEN PENGAMPU :
Etyn Yunita, M.Si.

Program Studi Biologi


Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2020/1441 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan nikmat, taufik serta hidayah-Nya yang sangat besar sehingga Kita pada
akhirnya bisa menyelesaikan Makalah tentang “Pengelolaan Satwa Liar” sebagai pengganti
nilai Ulangan Tengah Semester kami.

Rasa terima kasih juga kami ucapkan kepada Dosen Pengampu mata kuliah Pengelolaan
Sumber Daya Alam yakni Ibu Etyn Yunita, M.Si yang selalu memberikan dukungan serta
bimbingannya sehingga Makalah tentang “Pengelolaan Satwa Liar” ini dapat disusun dengan
baik. Serta terima kasih pula terhadap dukungan orang tua dan juga teman – teman sekelas
yang selalu menyertai kita pada proses penyusunan makalah ini.

Semoga makalah tentang “Pengelolaan Satwa Liar” yang telah kami susun ini turut
memperkaya khazanah ilmu biologi terutama bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam serta
bisa menambah pengetahuan, pengalaman para pembaca dan kepedulian pembaca terhadap
pengelolaan satwa liar. Selayaknya kalimat yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang
sempurna. Kami juga menyadari bahwa makalah tentang “Pengelolaan Satwa Liar” ini juga
masih memiliki banyak kekurangan. Maka dari itu kami mengharapkan saran serta masukan
dari para pembaca sekalian demi adanya makalah tentang ”Pengelolaan Satwa Liar” yang
lebih baik lagi kedepannya.

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................1
1.3 Tujuan Pembahasan....................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
4.1 Definisi Satwa Liar...................................................................................................2
4.2 Penyebab Kepunahan Hewan dan Tumbuhan..........................................................2
4.3 Lembaga Konservasi................................................................................................5
4.4 Hukum Perlindungan Satwa Liar..............................................................................5
4.5 Upaya Pengelolaan Satwa Liar.................................................................................8
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan...........................................................................................27
5.2 Saran.....................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman hayati. Diperkirakan
sebanyak 300.000 jenis satwa liar atau sekitar 17% satwa di dunia terdapat di Indonesia,
walaupun luas Indonesia hanya 1,3% dari luas daratan dunia. Indonesia nomer satu dalam hal
kekayaan mamalia (515 jenis) dan menjadi habitat lebih dari 1539 jenis burung. Sebanyak
45% ikan di dunia, hidup di Indonesia.Indonesia juga menjadi habitat bagi satwa-satwa
endemik atau satwa yang hanya ditemukan di Indonesia saja. Jumlah mamalia endemik
Indonesia ada 259 jenis, kemudian burung 384 jenis dan ampibi 173 jenis (IUCN, 2013).
Keberadaan satwa endemik ini sangat penting, karena jika punah di Indonesia maka itu
artinya mereka punah juga di dunia. Meskipun kaya, namun Indonesia dikenal juga sebagai
negara yang memiliki daftar panjang tentang satwa liar yang terancam punah. Saat ini jumlah
jenis satwa liar Indonesia yang terancam punah menurut IUCN (2011) adalah 184 jenis
mamalia, 119 jenis burung, 32 jenis reptil, 32 jenis ampibi. Jumlah total spesies satwa
Indonesia yang terancam punah dengan kategori kritis (critically endangered) ada 69 spesies,
kategori endangered 197 spesies dan kategori rentan (vulnerable) ada 539 jenis (IUCN,
2013). Satwa-satwa tersebut benar-benar akan punah dari alam jika tidak ada tindakan untuk
menyelamatkanya. Oleh karena itu perlu adanya pengelolaan satwa liar agar keberadaanya
tetap terjaga dan terlindungi baik itu dari ancaman kepunahan dan perburuan satwa liar itu
sendiri.

1.2  Rumusan Masalah

1.      Habitat tempat tinggal satwa liar yang terganggau keberadaanya

2.      Banyaknya Perburuan satwa liar yang tak terhitung jumlahnya dan Hukum pidana bagi
pelaku perburuan liar

3.      Pengolahan satwa liar agar tetap terjaga

1.3  Tujuan Pembahasan

Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu agar kita dapat mengetahui pentingnya
pengolahan satwa liar agar dapat mengusahakan keberadaanya tetap terjaga.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi satwa liar


Menurut UU No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati seperti
yang tercantum dalam pasal satu butir 5 yaitu “ satwa adalah semua jenis sumber daya alam
hewani baik yang hidup di darat maupun diair”.
Pada pasal 1 butir 7 “ satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat , dan/atau
di air dan/atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar baik yang hidup bebas maupun
di pelihara oleh manusia.
2.2 Penyebab Kepunahan Hewan Dan Tumbuhan

Hewan dan tumbuhan di dunia ini semakin hari semakin terdesak kehdupannya oleh
bebrapa aktivitas manusia, perubahan iklim. sehingga, sedikit banyak terdapat hewan dan
tumbuhan pun yang berkurang jumlahnya dan lambat tahun mengalami kepunahan,

Berikut beberapa penyebab kepunahan hewan dan tumbuhan:

1. Bencana Alam

Gempa yang dahsyat, tsunami, gunung meletus bisa mengurangi jumlah komunitas
hewan dan tumbuhan. Adanya bencana super dahsyat seperti tumbukan meteor seperti yang
terjadi ketika jaman dinosaurus memungkinkan banyak spesies yang mati dan punah tanpa
ada satu pun yang selamat untuk meneruskan keturunan di bumi. Sama halnya dengan jika
habitat spesies tertentu yang hidup di lokasi yang sempit terkena bencana besar seperti banjir,
kebakaran, tanah longsor, tsunami, tumbukan meteor, dan lain sebagainya maka kepunahan
mungkin tidak akan terelakkan lagi.

Terbakarnya Hutan pada setiap musim kemarau baik yang terjadi secara alami
maupun akibat aktivitas pembukaan lahan oleh manusia, sangat merusak habitat satwa liar
tersebut. bahkan tak jarang satwa-satwa liar tersebut yang ikut mati terbakar.

2. Didesak Populasi Lain Yang Kuat

Kompetisi antar predator seperti macan tutul dengan harimau mampu membuat
pesaing yang lemah akan terdesak ke wilayah lain atau bahkan bisa mati kelaparan secara

2
masal yang menyebabkan kepunahan.

3. Aktivitas Manusia

Adanya manusia terkadang menjadi malapetaka bagi keseimbangan makhluk hidup di


suatu tempat. Manusia kadang untuk mendapatkan sesuatu yang berharga rela membunuh
secara membabi buta tanpa memikirkan regenerasi hewan atau tumbuhan tersebut. Gajah
misalnya dibunuhi para pemburu hanya untuk diambil gadingnya, harimau untuk kulitnya,
monyet untuk dijadikan binatang peliharaan, dan lain sebagainya.

Perubahan areal hutan menjadi pemukiman, pertanian dan perkebunan juga menjadi salah
satu penyebab percepatan kepunahan spesies tertentu. Mungkin di jakarta jaman dulu terdapat
banyak spesies lokal, namun seiring terjadinya perubahan banyak spesies itu hilang atau
pindah ke daerah wilayah lain yang lebih aman.

a. Perburuan Satwa Liar / Satwa Langka

Perburuan terhadap satwa liar sebenarnya telah dimulai dari jaman nenek moyang
kita. Namun pada jaman itu nenek moyang kita berburu binatang untuk dikomsumsi. Berbeda
dengan jaman sekarang, berburu binatang liar tujuan utamanya tidak lagi untuk di komsumsi,
tapi untuk di ambil bagian tubuhnya untuk dibuat kerajinan seperti kerajinan kulit dan lain-
lain. dan yang lebih parah lagi ada juga yang berburu satwa liar hanya untuk hobi.

b. Perdagangan Satwa Liar / Satwa Langka

Besarnya potensi keuntungan yang diperoleh dari perdangan satwa liar khusunya
satwa langka telah mendorong meningkatnya aktivitas perdagangan satwa. Semakin langka
satwa tersebut maka harganya akan semakin mahal. Ini merupakan ancaman yang sangat
serius bagi kelestarian satwa liar terutama satwa-satwa yang sudah langka.

c. Pembalakan Hutan

Hutan merupakan tempat tinggal (habitat alami) bagi sebagian besar satwa liar,
khusunya di daerah tropis seperti Indonesia. Tingginya aktivitas pemalakan hutan
(pembalakan liar) yan terjadi, telah menggangu dan merusak serta menghilangkan habitat
para satwa liar tersebut.

3
d. Pembangunan Pemukiman

Semakin bertambahnya jumlah penduduk dan semakin sempitnya lahan pemukiman


yang tersedia maka sebagai konsekuensinya hutanlah satu-satunya pilihan untuk disulap
menjadi pemukiman. dengan begitu satwa liar akan semakin tergusur dan terdesak dari
habitatnya.

Penyebab terancam punahnya satwa liar Indonesia setidaknya ada dua hal yaitu:

1. Berkurang dan rusaknya habitat


2. Perdagangan satwa liar
Berkurangnya luas hutan menjadi faktor penting penyebab terancam punahnaya satwa
liar Indonesia, karena hutan menjadi habitat utama bagi satwa liar itu sendiri. Daratan
Indonesia pada tahun 1950-an dilaporkan sekitar 84% berupa hutan (sekitar 162 juta ha),
namun kini pemerintah menyebtukan bahwa luasan hutan Indonesia sekitar 138 juta hektar.
Namun berbagai pihak menybeutkan data yang berbeda bahwa luasan hutan Indonesia kini
tidak lebih dari 120 juta hektar.

Konversi hutan menjadi perkebunan sawit, tanaman industry dan pertambangan


menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar, termasuk satwa langka seperti orangutan,
harimau sumatera, dan gajah sumatera. Perburuan satwa liar itu juga sering berjalan seiring
dengan pembukaan hutan alami. Satwa liar dianggap sebagai hama oleh industri perkebunan,
sehingga di banyak tempat satwa ini dimusnahkan.

Setelah masalah habitat yang semakin menyusut secara kuantitas dan kualitas, perdagangan
satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar Indonesia. Lebih dari 95%
satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran. Lebih
dari 20% satwa yang dijual di pasar mati akibat pengangkutan yang tidak layak. Berbagai
jenis satwa dilindungi dan terancam punah masih diperdagangkan secara bebas di Indonesia.
Semakin langka satwa tersebut makan akan semakin mahal pula harganya. Sebanyak 40%
satwa liar yang diperdagangkan mati akibat proses penangkapan yang menyakitkan,
pengangkutan yang tidak memadai, kandang sempit dan makanan yang kurang. Perdagangan
satwa liar itu adalah kejam! Sekitar 60% mamalia yang diperdagangkan di pasar burung
adalah jenis yang langka dan dilindungi undang-undang. Sebanyak 70% primata dan kakatua
yang dipelihara masyarakat menderita penyakit dan penyimpangan perilaku. Banyak dari

4
penyakit yang diderita satwa itu bisa menular ke manusia.

2.3. Lembaga Konservasi
Lembaga Konservasi adalah lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan
dan atau satwa liar di luar habitatnya (ex-situ), yang berfungsi untuk pengembangbiakan dan
atau penyelamatan tumbuhan dan atau satwa, dengan tetap menjaga kemurnian jenis, guna
menjamin kelestarian keberadaan dan pemanfaatannya. Lembaga Konservasi mempunyai
fungsi utama pengembangbiakan dan atau penyelamatan tumbuhan dan satwa, dengan tetap
mempertahankan kemurnian jenisnya. Lembaga Konservasi, juga mempunyai fungsi sebagai
tempat pendidikan, peragaan, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, sarana
perlindungan dan pelestarian jenis, serta sarana rekreasi yang sehat. Pengelolaan Lembaga
Konservasi dilakukan berdasarkan etika dan kaidah kesejahteraan satwa. Lembaga
Konservasi dapat berbentuk :
1. Kebun Binatang
2. Taman Safari
3. Taman Satwa
4. Taman Satwa Khusus
5. Pusat Latihan Satwa Khusus
6. Pusat Penyelamatan Satwa
7. Pusat Rehabilitasi Satwa
8. Museum Zoologi
9. Kebun Botani
10. Taman Tumbuhan Khusus
11. Herbarium
2.4. Hukum Perlindungan Satwa liar

Satwa liar Indonesia dalam hukum dibagi dalam dua golongan yaitu jenis dilindungi
dan jenis yang tidak dilindungi. Menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya, perdagangan satwa dilindungi
adalah tindakan kriminal yang bisa diancam hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp 100 juta.

Dengan adanya CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of


Wild Fauna and Flora) atau konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar

5
spesies terancam yaitu  perjanjian internasional antarnegara yang disusun berdasarkan
resolusi sidang anggota World Conservation Union (IUCN) tahun 1963. Konvensi bertujuan
melindungi tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional spesimen tumbuhan
dan satwa liar yang mengakibatkan kelestarian spesies tersebut terancam. Selain itu, CITES
menetapkan berbagai tingkatan proteksi untuk lebih dari 33.000 spesies terancam.

Tidak ada satu pun spesies terancam dalam perlindungan CITES yang menjadi punah sejak
CITES diberlakukan tahun 1975  Pemerintah Indonesia meratifikasi CITES dengan
Keputusan Pemerintah No. 43 Tahun 1978.

CITES merupakan satu-satunya perjanjian global dengan fokus perlindungan spesies


tumbuhan dan satwa liar. Keikutsertaan bersifat sukarela, dan negara-negara yang terikat
dengan konvensi disebut para pihak (parties). Walaupun CITES mengikat para pihak secara
hukum, CITES bukan pengganti hukum di masing-masing negara. CITES hanya merupakan
rangka kerja yang harus dijunjung para pihak yang membuat undang-undang untuk
implementasi CITES di tingkat nasional. Seringkali, undang-undang perlindungan tumbuhan
dan satwa liar di tingkat nasional masih belum ada (khususnya para pihak yang belum
meratifikasi CITES), hukuman yang tidak seimbang dengan tingkat kejahatan, dan kurangnya
penegakan hukum terhadap perdagangan satwa liar. Pada tahun 2002 hanya terdapat 50%
para pihak yang bisa memenuhi satu atau lebih persyaratan dari 4 persyaratan utama yang
harus dipenuhi:

(1) keberadaan otoritas pengelola nasional dan otoritas keilmuan,

(2) hukum yang melarang perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi CITES,

(3) sanksi hukum bagi pelaku perdagangan, dan

 (4) hukum untuk penyitaan barang bukti.

Apendiks CITES berisi sekitar 5.000 spesies satwa dan 28.000 spesies tumbuhan yang
dilindungi dari eksploitasi berlebihan melalui perdagangan internasional. Spesies
terancam dikelompokkan ke dalam apendiks CITES berdasarkan tingkat ancaman dari
perdagangan internasional, dan tindakan yang perlu diambil terhadap perdagangan tersebut.
Dalam apendiks CITES, satu spesies bisa saja terdaftar di lebih dari satu kategori. kecuali
populasi di Botswana, Namibia, Afrika Selatan, dan Zimbabwe yang terdaftar dalam
Apendiks II. Semua populasi Gajah Afrika (Loxodonta africana) misalnya, dimasukkan ke

6
dalam Apendiks I,

CITES terdiri dari tiga apendiks:

·         Apendiks I: daftar seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilarang dalam segala
bentuk perdagangan internasional
·         Apendiks II: daftar spesies yang tidak terancam kepunahan, tapi mungkin terancam punah
bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan
·         Apendiks III: daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi di negara tertentu
dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan suatu saat peringkatnya bisa dinaikkan ke dalam
Apendiks II atau Apendiks I.

Apendiks I - sekitar 800 spesies


Spesies yang dimasukkan ke dalam kategori ini adalah spesies yang terancam punah
bila perdagangan tidak dihentikan. Perdagangan spesimen dari spesies yang ditangkap di
alam bebas adalah ilegal (diizinkan hanya dalam keadaan luar biasa). Satwa dan tumbuhan
yang termasuk dalam daftar Apendiks I, namun merupakan hasil penangkaran atau budidaya
dianggap sebagai spesimen dari Apendiks II dengan beberapa persyaratan. Otoritas pengelola
dari negara pengekspor harus melaporkan non-detriment finding berupa bukti bahwa ekspor
spesimen dari spesies tersebut tidak merugikan populasi di alam bebas. Setiap perdagangan
spesies dalam Apendiks I memerlukan izin ekspor impor. Otoritas pengelola dari negara
pengekspor diharuskan memeriksa izin impor yang dimiliki pedagang, dan memastikan
negara pengimpor dapat memelihara spesimen tersebut dengan layak.

Satwa yang dimasukkan ke dalam Apendiks I, misalnya gorila, simpanse,harimau dan


subspesiesnya, singa Asia, macan tutul, jaguar cheetah, gajah Asia, beberapa populasi gajah
Afrika, dan semua spesies Badak (kecuali beberapa subspesies di Afrika Selatan)

Apendiks II - sekitar 32.500 spesies


Spesies dalam Apendiks II tidak segera terancam kepunahan, tapi mungkin
terancam punah bila tidak dimasukkan ke dalam daftar dan perdagangan terus berlanjut.
Selain itu, Apendiks II juga berisi spesies yang terlihat mirip dan mudah keliru dengan
spesies yang didaftar dalam Apendiks I. Otoritas pengelola dari negara pengekspor harus
melaporkan bukti bahwa ekspor spesimen dari spesies tersebut tidak merugikan populasi di
alam bebas.

7
Apendiks III - sekitar 300 spesies
Spesies yang dimasukkan ke dalam Apendiks III adalah spesies yang dimasukkan ke
dalam daftar setelah salah satu negara anggota meminta bantuan para pihak CITES dalam
mengatur perdagangan suatu spesies. Spesies tidak terancam punah dan semua negara
anggota CITES hanya boleh melakukan perdagangan dengan izin ekspor yang sesuai
dan Surat Keterangan Asal (SKA) atau Certificate of Origin (COO).

2.5  Upaya Pengelolaan Satwa Liar


Flora dan fauna adalah kekayaan alam yang dapat diperbaharui dan sangat berguna
bagi kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya di bumi. Untuk melindungi binatang
dan tanaman yang dirasa perlu dilindungi dari kerusakan maupun kepunahan, dapat dilakukan
beberapa macam upaya manusia dengan Undang-Undang, yaitu seperti :

1.      Suaka Margasatwa
Suaka margasatwa adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada hewan/binatang
yang hampir punah. Contoh : harimau, komodo, tapir, orangutan, dan lain sebagainya.
contoh suaka margastwa Muara Angke.
2.      Taman Nasional

Taman nasional adalah perlindungan yang diberikan kepada suatu daerah yang luas
yang meliputi sarana dan prasarana pariwisata di dalamnya. Taman nasional lorentz, taman
nasional komodo, taman nasional gunung leuser, dll.

3.      Taman Laut

Taman laut adalah suatu laut yang dilindungi oleh undang-undang sebagai teknik
upaya untuk melindungi kelestariannya dengan bentuk cagar alam, suaka margasatwa, taman
wisata, dsb. Contoh : Taman laut bunaken, taman laut taka bonerate, taman laut selat pantar,
taman laut togean, dan banyak lagi contoh lainnya.

4.      Kebun Binatang / Kebun Raya

Kebun raya atau kebun binatang yaitu adalah suatu perlindungan lokasi yang
dijadikan sebagai tempat obyek penelitian atau objek wisata yang memiliki koleksi flora dan
atau fauna yang masih hidup.

8
5.      Cagar Alam

Pengertian/definisi cagar alam adalah suatu tempat yang dilindungi baik dari segi
tanaman maupun binatang yang hidup di dalamnya yang nantinya dapat dipergunakan untuk
berbagai keperluan di masa kini dan masa mendatang. Contoh : cagar alam ujung kulon,
cagar alam way kambas, dsb.

6.      Perlindungan Hutan

Perlindungan hutan adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada hutan agar tetap
terjaga dari kerusakan. Contoh : hutan lindung, hutan wisata, hutan buru, dan lain sebagainya.

9
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Penyebab kepunahan satwa liar yang diakibatkan oleh berkurangnya luas hutan
menjadi faktor penting penyebab terancam punahnya satwa liar Indonesia. Perdagangan
satwa liar juga menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar Indonesia. Upaya
pengelolaan satwa liar diantaranya dibentuk lembaga konservasi yang dan suatu kawasan
perlindungan satwa liar dan tumbuhan  menurut  Undang-Undang, seperti Cagar Alam,
Taman Nasional, Taman Laut, Kebun Raya, dan Suaka Margasatwa yang diharapkan dapat
melindungi satwa liar dan tumbuhan yang langka agar tetap terjaga kelestariannya.

Saran
Studi literatur merupakan hal yang penting untuk menambah wawasan dan juga untuk
mengetahui hak – hal yang baru ataupun hal – hal yang fundamental, terkadang ini sering
dilupakan ataupun diremehkan. Manusia tidaklah luput dari kesalahan, oleh karena itu studi
ataupun belajar sudah sewayahnya terus dilakukan untuk adanya evaluasi diri. Apabila studi
literatur dilakukan terlebih dahulu sebelum Riset ataupun penulisan karya tulis ilmiah seperti
paper – paper yang terpublish di jurnal- jurnal dan juga seperti makalah tentang “
Pengelolaan Satwa Liar” ini, diharapkan dapat berjalan lebih efektif dengan data – data yang
tertulis lebih mutakhir dan terpercaya.

10
Daftar Pustaka

Departemen kehutanan. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah


Sumatra dan Kalimantan. Jakarta.
http://bksdadiy.dephut.go.id/halaman/2014/13/Lembaga_Konservasi.html diakses
tanggal 03 Januari 2019
Zimmerman 2003 The Black Market for Wildlife: Combating Transnational
Organized Crime in the Illegal Wildlife Trade Vanderbilt Journal of Transnational Law 36
1657
Iskandar, D. T. dan E. Colijn. 2002. Checklist of Southeast Asian & New Guinean
Reptiles I. Snakes. Biodiversity Conservation Project, Jakarta, Indonesia

iii

Anda mungkin juga menyukai