Oleh
I Gusti Bagus Rai Utama
Email: raiutama@undhirabali.ac.id
ABSTRAK
Kemandirian kepariwisataan sebagai sebuah ilmu mandiri, baru diakui
oleh pemerintah sejak tahun 2010, sehingga pengembangan keilmuannya masih
belum menyentuh hal-hal yang bersifat khusus. Hal-hal khusus tersebut,
diantaranya adalah pengembangan model teoritis wisata kota. Pemodelan
pengembangan wisata kota secara terintegrasi mendesak untuk dilakukan untuk
kepentingan jangka pendek maupun jangka panjang. Mengembangkan pariwisata
di perkotaan adalah usaha meningkatkan pendapatan asli daerah melalui pajak
hotel, restoran, dan sekaligus meningkatkan aktivitas ekonomi di perkotaan.
Pembangunan wisata kota adalah pembangunan yang terintegrasi dan holistik
yang akan mewujudkan kepuasan semua pihak. Sebagaian besar kota-kota di
Indonesia layak untuk dikembangkan sebagai wisata kota jika dilihat dari
beberapa komponen yang menjadi sumberdaya sebuah kota. Komponen-
komponen tersebut adalah adanya balai kota, kawasan jalan yang bermakna mitos
dan nostaliga, monumen kota yang bermakna historis, kuliner khas kota, kampus
atau universitas, pusat perbelanjaan, pasar tradisional, alun-alun, taman kota,
museum kota, pasar malam, dan sumberdaya lainnya. Untuk dapat menjadikannya
sebagai produk wisata, diperlukan integrasi aspek-aspek terkait yang terdiri dari
aspek daya tarik kota, aspek transportasi, aspek fasilitas utama dan pendukung,
dan aspek kelembagaan berupa atribut sumberdaya manusia, sistem, dan
kelembagaan terkait lainnya. Kota sebagai pusat bisnis merupakan Sentrum dari
akvitas para wisatawan baik wisatawan domestik maupun mancanegara
memerlukan pengelolaan dan penataan. Penataan yang mendesak untuk dilakukan
adalah penataan sentra bisnis masyarakat lokal, penataan penginapan, hotel, dan
sejenisnya, penataan daerah atraksi wisata.
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemandirian kepariwisataan sebagai sebuah ilmu mandiri, baru diakui
oleh pemerintah sejak tahun 2010, sehingga pengembangan keilmuannya masih
belum menyentuh hal-hal yang bersifat khusus. Hal-hal khusus tersebut,
diantaranya adalah pengembangan model teoritis wisata kota. Pemodelan
pengembangan wisata kota secara terintegrasi mendesak untuk dilakukan untuk
i
kepentingan jangka pendek maupun jangka panjang.
Pengembangan wisata kota menjadi prospek yang menjanjikan dimasa
yang akan datang untuk dikembangkan di Indonesia dengan berbagai alasan
yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara ilmiah maupun non
ilmiah. Kecenderungannya adalah bahwa kota menjadi pusat perhatian
pembangunan diberbagai bidang, termasuk juga pembangunan sektor pariwisata.
Kecenderungan tersebut dilatarbelakangi oleh faktor sosial demografi penduduk
kota jauh lebih mudah menerima isu-isu terkini yang terkait modernisasi dan
pemberdayaan ekonomi karena memang kaum terpelajar lebih dominan berada
di daerah perkotaan. Sementara jika dilihat dari trend pertumbuhan wilayah, ada
kecenderungan jumlah kota semakin meningkat dari masa ke masa, berbanding
terbalik dengan perdesaan yang semakin menyempit karena arus modernisasi
dan konversi perdesaan menjadi daerah perkotaan baru.
Laporan The Comparative Urban Studies Project di Woldrow Wilson
tahun 2006 menjelaskan bahwa telah terjadi pertumbuhan penduduk perkotaan di
dunia dengan sangat berarti sejak tahun 2000an, yakni 41% dari penduduk dunia
tinggal di perkotaan, dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 50% penduduk
dunia tinggal di perkotaan. Laporan terakhir dari World Bank menjelaskan
bahwa perkembangan jumlah penduduk perkotaan relatif tinggi, dan bahkan
diprediksi pada tahun 2050, terdapat 85% penduduk dunia akan hidup di daerah
perkotaan.
Jika di lihat kondisi di Indonesia, pada tahun 1980 persentase jumlah
penduduk kota di Indonesia adalah 27,29% dari jumlah penduduk seluruh
Indonesia. Pada tahun 1990 persentase tersebut bertambah menjadi 30,93%.
Diperkirakan pada tahun 2020 persentase jurnlah penduduk kota di Indonesia
mencapai 50% dari jumlah penduduk seluruh Indonesia (Nawir, 2008).
Persentase kecenderungan bertambahnya wilayah dan jumlah kota adalah
prediksi yang sangat menarik bagi pengembangan wisata kota di Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2011, jumlah penduduk Indonesia 2010
usia muda lebih banyak dibandingkan dengan usia tua. Jumlah anak kelompok
usia 0-9 tahun sebanyak 45,93 juta, sedangkan anak usia 10-19 tahun berjumlah
43,55 juta jiwa.
Perencanaan wisata kota di Indonesia adalah persembahan untuk
generasi di masa mendatang yang mestinya sudah direncanakan mulai saat ini
untuk meminimalkan dampak negatif di masa mendatang. Dari paparan empiris
tersebut di atas, pengembangan wisata kota nyaris di seluruh dunia akan menjadi
trend yang relatif penting untuk direncanakan dalam tujuan pemberdayaan
masyarakat.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pariwisata dan Hak Asasi Manusia
Menurut Ardika (Kompas, Senin, 13 Maret 2006) Kepariwisataan ada dan
tumbuh karena perbedaan, keunikan, kelokalan baik itu yang berupa bentang
alam, flora, fauna maupun yang berupa kebudayaan sebagai hasil cipta, karsa, rasa
dan budhi manusia. Tanpa perbedaan itu, tak akan ada kepariwisataan, tidak ada
orang yang melakukan perjalanan atau berwisata. Oleh karena itu, melestarikan
alam dan budaya serta menjunjung kebhinekaan adalah fungsi utama
kepariwisataan. Alam dan budaya dengan segala keunikan dan perbedaannya
adalah aset kepariwisataan yang harus dijaga kelestariannya. Hilangnya keunikan
alam dan budaya, berarti hilang pulalah kepariwisataan itu.
Dengan berlandaskan prinsip keunikan dan kelokalan, kepariwisataan
Indonesia didasari oleh falsafah hidup bangsa Indonesia sendiri, yaitu konsep
prikehidupan yang berkeseimbangan. Seimbangnya hubungan manusia dengan
Tuhan, seimbangnya hubungan manusia dengan sesamanya, seimbangnya
hubungan manusia dengan lingkungan alam. Konsep ini mengajarkan kepada kita
untuk menjunjung nilai-nilai luhur agama serta mampu mengaktualisasikannya,
menghargai nilai-nilai kemanusiaan, toleran, kesetaraan, kebersamaan,
persaudaraan, memelihara lingkungan alam. Kesadaran untuk menyeimbangkan
kebutuhan materi dan rokhani, seimbangnya pemanfaatan sumber daya dan
pelestarian. Konsep ini juga menempatkan manusia sebagai subyek. Manusia
dengan segala hasil cipta, rasa, karsa, dan budhinya adalah budaya. Dengan
demikian kepariwisataan Indonesia adalah kepariwisataan yang berbasis
masyarakat (community based tourism) dan berbasis budaya (cultural tourism).
Kepariwisataan yang dibangun dengan prinsip dari masyarakat, oleh masyarakat
dan untuk masyarakat.
Pada umumnya manusia menginginkan adanya keseimbangan dalam
hidupnya. Secara psikologis, dapat dijelaskan bahwa kebutuhan manusia terhadap
keseimbangan dalam kehidupannya tercermin pada usaha menyeimbangkan,
misalnya antara kerja dan istirahat, melek dan tidur, bergerak dan santai,
pendapatan dan pengeluaran, kerja dan keluarga, kebebasan dan ketergantungan,
kebutuhan sosial, maupun resiko dan keamanan, Manusia cenderung ingin
meninggalkan rutinitas disela-sela kehidupannya dengan melakukan perjalanan
wisata untuk menyegarkan tubuh dan jiwa, memberikan vitalitas, dan
memberikan arti baru pada kehidupan (Krippendorf, 1987:47). Berdasarkan teori
Maslow, perjalanan wisata dapat dimotivasi oleh motif untuk meningkatkan
kesehatan seperti wellness tourism, medical tourism, dan sejenisnya. Perjalanan
wisata juga dapat digerakkan oleh kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman,
kebutuhan penghargaan, hingga kebutuhan aktualisasi diri. Menurut Huang dan
Hsu (2008: 267-287), melihat ada kebutuhan manusia belum termasuk dalam
3
lima hirarki tersebut yakni kebutuhan berkesenian, kebutuhan keingintahuan, dan
kebutuhan untuk dimengerti oleh sesama manusia, padahal dalam konteks
perjalanan wisata, kebutuhan tersebut besar pengaruhnya terhadap keputusan
seseorang untuk melakukan perjalanan wisata.
Keputusan seseorang untuk melakukan perjalanan wisata dipengaruhi oleh
kuatnya faktor-faktor pendorong (push factor) dan faktor-faktor penarik (pull
factor). Faktor pendorong dan penarik ini sesungguhnya merupakan faktor
internal dan eksternal yang memotivasi wisatawan untuk mengambil keputusan
untuk melakukan perjalanan. Menurut Sharpley, 1994 dan Wahab, 1975 (dalam
Pitana dan Gayatri, 2005:52) menekankan, bahwa faktor motivasi merupakan hal
yang sangat mendasar dalam studi tentang wisatawan dan pariwisata, karena
motivasi merupakan pemicu dari proses perjalanan wisata, walau motivasi ini
acapkali tidak disadari secara penuh oleh wisatawan itu sendiri.
3. METODE PENELITIAN
3.1 Peta Jalan Penelitian, Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini berlokasi di Provinsi Bali, yang merupakan destinasi
pariwisata yang memiliki wisatawan yang cukup beragam kebangsaannya
(Disparda Bali, 2010). Penelitian ini akan dilakukan dalam kurun waktu dua tahun
(2016- 2017) pada kota yang pariwisatanya telah berkembang. Kota yang paling
representatif untuk melakukan konfirmasi model pengembangan wisata kota
adalah Kota Denpasar karena kota tersebut secara nyata telah membuat paket-
6
paket wisata, baik fullday tour maupun halfday tour. Peta Jalan Penelitian Wisata
kota Terintegrasi disusun seperti Gambar 1 berikut ini:
Luaran:
Kepuasan Wisatawan Model Teoritis Model Model Asing 1. Prosiding
(Kajian Teori) (2015) Domestik(2016) (2017) 2. Jurnal International
3. Model Wisata Kota
Terintegrasi
4. Buku Referensi
Gambar 2.1
Peta Jalan Penelitian Wisata Kota Terintegrasi
9
Gambar 4.2 Jalan Teukur Umar Denpasar
Oleh karena itu monumen ini juga sering disebut sebagai museum Bajra
Sandhi. Di lantai dua bangunan, terdapat tangga melingkar untuk menuju lantai
tiga dan terasa sedikit pusing saat menaikinya. Di lantai tiga bangunan monumen,
terdapat ruangan yang cukup luas dan dikelilingi oleh jendela kaca. Dari
bangunan di lantai tiga ini, pengunjung dapat melihat 360 derajat pemandangan
kota Denpasar dan sekitarnya. Tentunya wiisatawan tidak akan dapat melihat
bangunan pencakar langit di kota Denpasar, karena adanya Perda (peraturan
daerah) larangan membangun lebih tinggi dari 30 meter.
4.2.4 Kuliner
Kuliner: Saat berwisata di kota ini, jangan lewatkan kesempatan mencicipi
makanan khas yang akan memanjakan lidah. Babi guling adalah kuniler paling
khas di Bali, selain Ayam betutu. Nasi campur ayam yang gurih dan bercita rasa
khas Bali juga dapat ditemukan, serta ikan bakar bumbu rempah yang gurih dan
lembut di mulut dipadukan dengan sambal segar adalah perpaduan kuliner yang
10
lezat. Kuliner yang lainnya adalah soto ayam, makanan laut, ayam bakar dan
goreng, dan chinese food.
Fakultas Sastra Udayana inilah yang merupakan embrio dari pada berdirinya
Universitas Udayana. Universitas Udayana secara syah berdiri sejak tanggal 17
Agustus 1962. Namun, karena hari lahir Universitas Udayana jatuh bersamaan
dengan hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia maka perayaan Hari
Ulang Tahun Universitas Udayana dialihkan menjadi tanggal 29 September
dengan mengambil tanggal peresmian Fakultas Sastra yang telah berdiri sejak
tahun 1958. Kampus Universitas Udayana terdiri atas dua lokasi yakni Kampus
Sudirman, dan Kampus Bukit Jimbaran, Kuta Selatan. (http://www.unud.ac.id)
11
Mada, pasar ini merupakan salah satu destinasi turis yang ramai dikunjungi.
Saking ramainya, pemandu-pemandu lepas mudah didapati di pasar ini. Pasar
Kumbasari memiliki luas yang relatif besar, membelah Sungai Badung yang
bersih airnya. Pasar ini pada prinsipnya adalah pasar tradisional Denpasar yang
menjual barang sehari-hari. Namun, seiring berjalannya waktu dan semakin
banyaknya turis yang berdatangan, pasar ini juga banyak menyediakan cendera
mata dan berbagai oleh-oleh khas Bali. Karena konsepnya yang berupa pasar
tradisional, yang bisa dilakukannya tawar-menawar harga di pasar ini.
12
4.2.8 Museum Kota
Museum Kota: Museum Bali merupakan museum tertua yang ada di Bali dan
merupakan pelopor yang menginspirasi berdirinya museum-museum lain di pulau
ini. Berlokasi di pusat kota Denpasar. Museum yang dibangun pada tahun 1910
ini memiliki koleksi yang beragam, mulai dari artefak zaman prasejarah hingga
peninggalan yang lebih muda yang mencerminkan kebudayaan Bali dalam aspek
seni rupa, etnografika, arkeologi, dan historika. Museum Bali memiliki tiga
bangunan utama yang memiliki koleksi khusus masing-masing.
(http://www.anneahira.com/denpasar.htm).
Pasar Malam: Pasar Badung merupakan salah satu pasar tradisional di Bali,
khususnya di Denpasar yang menjadi tempat yang banyak dikunjungi oleh
kalangan turis domestik maupun asing. Di pasar ini berbagai macam kebutuhan
dijual baik itu kebutuhan pokok masyarakat Denpasar, makanan tradisional yang
berciri khas, barang-barang seni khas Bali dan lain sebagainya.
Pasar Malam Kreneng yang dikenal sebagai pasar senggol yang terletak di
Denpasar, Bali. Pasar tradisional ini menjual berbagai macam bahan makanan,
jajanan khas Bali, hingga pakaian dengan harga terjangkau. Pasar ini ramai
dengan penjual pakaian, peralatan elektronik, buah-buahan, dan makanan.
Daya tarik wisata lainnya: Desa budaya adalah tempat yang tepat untuk
memahami antropologi suatu suku di daerah tertentu. Desa budaya Kertalangu
yang menawarkan hamparan hijau persawahan lengkap dengan budaya khas
masyarakat desa tersebut. Berlokasi di Kesiman Kertalangu, desa budaya ini
menawarkan liburan bernuansa alam, termasuk kuliner khas desa tersebut,
kegiatan berkuda, wisata kerajinan, dan wisata belanja.
Pantai Sanur adalah salah satu pantai indah di Bali yang sering dijadikan
lokasi wisata. Letaknya yang relatif dekat dari kota Denpasar (hanya 6 km
jauhnya) membuat pantai ini bisa menjadi pilihan wisata alam bagi yang sedang
berlibur di ibu kota Provinsi Bali ini. Pantai Sindhu: Delapan kilometer dari kota
Denpasar, terdapat Pantai Sindhu yang indah dan tenang. Pantai yang ramai
dikunjungi wisatawan mancanegara ini menawarkan pengalaman kuliner pinggir
pantai. Pantai Sindhu adalah tempat yang tepat bagi yang ingin bersantai,
berjemur, berenang, dan memancing ikan.
5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pembangunan wisata kota adalah pembangunan yang terintegrasi dan
holistik yang akan mewujudkan kepuasan semua pihak. Perlunya integrasi aspek-
aspek terkait yang terdiri dari: (1)Aspek daya tarik destinasi; merupakan atribut
daerah tujuan wisata yang berupa apasaja yang dapat menarik wisatawan dan
setiap destinasi pasti memiliki daya tarik, baik daya tarik berupa alam maupun
masyarakat dan budayanya. Hal ini penegasan dari bagian Atribut Kota Wisata.
(2) Aspek transportasi atau sering disebut aksesibilitas; merupakan atribut
akses bagi wisatawan domestik dan mancanegara agar dengan mudah dapat
mencapai tujuan ke tempat wisata baik secara internatsional maupun akses
15
terhadap tempat-tempat wisata pada sebuah destinasi. (3) Aspek fasilitas utama
dan pendukung; merupakan atribut amenitas yang menjadi salah satu syarat
daerah tujuan wisata agar wisatawan dapat dengan kerasan tinggal lebih lama
pada sebuah destinasi. (4)Aspek kelembagaan; atribut sumberdaya manusia,
sistem, dan kelembagaannya berupa lembaga pariwisata yang akan mendukung
sebuah destinasi layak untuk dikunjungi, aspek kelembagaan tersebut dapat
berupa dukungan lembaga keamanan, lembaga pariwisata sebagai pengelola
destinasi, dan lembaga pendukung lainnya yang dapat menciptakan kenyamanan
wisatawan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Anonim ( 2005). Tourism Highlight 2005, UN-WTO, Madrid.
[2] Anonim. 2001). Visitor Profile Report 2001. Hong Kong Tourism Board.
[3] Antara, M, Pitana, G. (2009). Tourism Labour Market in the Asia Pacific
Region: The Case of Indonesia. Paper Presented at the Fifth UNWTO
International Conference on Tourism Statistics: Tourism an Engine for
Employment Creation. Held in Bali, Indonesia, 30 March – 2 April 2009.
[4] Antara, M. (2009). Pengembangan Museum Budaya Terpadu Sebagai
Daya Tarik Wisata Kota Surabaya. Makalah tidak dipublikasikan.
[5] Aminudin, Ahmad Wafa (2015). Daftar nama Tempat Wisata di Bandung
2015. Diunduh dari http://www.ragamtempatwisata.com pada tanggal 23
Juli 2015
[6] Ap, J., Mak, B. (1999). Balancing Cultural Heritage, Conservation and
Tourism Development in a Sustainable Manner. Paper presented at the
International Conference: Heritage and Tourism, 13th–15th December,
Hong Kong.
[7] Ardika, I W. (2003). Pariwisata Budaya Berkelanjutan, Refleksi dan
Harapan di Tengah Perkembangan Global. Program Studi Magister (S2):
(Kajian Pariwisata Program Pascasarjana Universitas Udayana)
[8] Ashworrth, G, Tunbridge. (2000). In contemporary society, heritage is
often treated as a commodity for economic uses, especially for tourism
[9] Gunn, C. (1998). Tourism planning (3rd ed.). New York: Taylor and
Francis.
[10] Hewison. (1988). The tourism product or as a 'commodity: Culture has
become a commodity
16
[11] Kotler P., Keller K. (2006). Marketing Management, 12th Edition,
Pearson Education Inc, New Jersey.
[12] Kotler, P., Gary A. (1999). Principle of Marketing. 8th Edition. New
Jersey: Prentice Hall.
[13] Lowenthal, D. (1996). The Heritage Crusade and the Spoils of History.
The Free Press, New York.
[14] Nawir, (2008). Studi Islam, Bandung: Cipustaka Media Perintis. Syahrial
[15] Pitana, I G., Gayatri, PG. (2005). Sosiologi Pariwisata. Penerbit Andi
Yogyakarta.
[16] Postma, Albert. (2002) An Approach for integrated development of
quality tourism. In Flanagan, S., Ruddy, J., Andrews, N. (2002)
Innovation tourism planning. Dublin: Dublin Institute of Technology:
Sage.
[17] Reynolds, P. (1999). Design of the Process and Product Interface. In A.
Leask & I. Yeoman (eds), Heritage Visitor Attractions (pp. 110–126)
Cassell, New York.
[18] Shackley, M. (2001). Managing Sacred Sites. Continuum, London.
[19] Som, AP., Badarneh , MB. (2011). Tourist Satisfaction and Repeat
Visitation; Toward a New Comprehensive Model. International Journal
of Human and Social Sciences 6:1 2011
[20] Timothy, D. J. (1997). Tourism and the Personal Heritage Experience.
Annals of Tourism Research, 24(3), 751–754.
[21] Wacik, J. (2010). Kata Sambutan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata:
Program Tahun Kunjung Museum 2010. Dalam Google: Museum dan
Kebudayaan.
17