awal, kalangan Kristiani telah menerima PL disamping dengan PB sebagai kanonik dan normatif bagi
iman.
‘Perjanjian Lama’ adalah rancangan Kristen. Ia umum dalam beberapa lingkungan ketimbang
merujuk dengan ‘Alkitab Ibrani’ atau ‘Kitab Suci Ibrani’. Meskipun tidak sepenuhnya akurat,
mengingat sebagian berbahasa Aram (Ezra 4:8-6:18; 7:12-26; Yer. 1....... Dan. 2:4-7:28), rancangan ini
mengakui bahwa sebelum ia menjadi bagian dari Alkitab Kristen, PL adalah (dan akan selalu)
merupakan Kitab Suci Yahudi, dan menekankan baik akar-akar Yahudi dari iman Kristen dan fakta
bahwa Kekristenan tidak menggantikan Yudaisme. Nevertheless, meskipun teks-teks tertentu
dipakai bersama oleh orang Kristen dan Yahudi, cara teks-teks tersebut ditafsirkan dan digunakan
sangat berbeda. Hal ini dapat dilihat, sebagai contoh, dalam susunan kitab-kitabnya. Dalam Alkitab
Ibrani (Yahudi) yang menjadi kitab terakhir ialah Tawarikh, yang memiliki tekanan kunci dalam
pembangunan Bait Suci Yerusalem. Setelah menggambarkan penghancurannya oleh bangsa Babel,
kitab itu ditutup dengan edik Koresh, yang membuka jalan bagi orang Yahudi untuk kembali dan
membangun kembali Bait Allah (2 Taw. 36:22-23). Dengan demikian kitab ini menunjuk kepada
suatu permulaan yang baru bagi umat Allah setelah pembuangan, sebuah permulaan yang baru
dikaitkan, secara khusus, dengan pemulihan kehidupan agamawi mereka, termasuk kelahiran
Yudaisme. PL (Kristen) berakhir dengan nubuat maleakhi, yang menunjuk kepada datangnya hari
Tuhan yang akan didahului oleh kembalinya Elia. Ini membuka jalan bagi fokus PB pada Yohanes
Pembaptis dan pengumumannya bahwa Kerajaan Allah telah datang dalam pribadi Yesus Kristus.
Dengan penyusunan kanonik yang berbeda, kitab suci yang sama mempersiapkan para pembaca
mereka bagi penggenapan yang berbeda.
Ini dikaitkan dengan teologi Alkitab, yang memiliki sebagai salah satu tujuannya penghubungan yang
tepat dari PL dan PB. Bagaimana hal itu dapat dicapai, dan bagaimana PL dapat berfungsi sebagai
dokumen yang otoritatif dari Gereja Kristen merupakan subjek perdebatan, dan aspek-aspek
perdebatan itu dipertimbangkan dibawah ini. Namun demikian, karena ia termasuk diskusi tentang
hubungan antra kedua perjanjian, teologi Alkitab adalah tugas Kristen, bukan Yahudi. Orang Yahudi
tertarik pada Tanakh, namun bukan dalam fungsinya dalam hubungannya dengan PB. Pada
kenyataannya teologi dari Perjanjian yang pertama juga, sejauh ini, telah predominantly tugas
Kristen, dengan banyak kesarjanaan Yahudi yang menyatakan penentangan (atau setidaknya
kecurigaan) terhadap doing theology. Barr mencatat pandangan dari Tsevat bahwa teologi Yahudi
yang sejati akan perlu untuk menyertakan talmud dan Misnah, yang sama tidak terpisahkan seperti
Tanakh bagi pembaca Yahudi sebagaimana PB dari PL bagi pembaca Kristiani.
Jon D Levenson menyatakan keberatannya dalam esai “Mengapa orang Yahudi tidak tertarik pada
Teologi Alkitab”, dan dia juga mencatat pentingnya tradisi Yahudi, termasuk Midrash dan Talmud.
Isu yang lain adlah sentralitas dari penyelidikan terhadap kesatuan dalam teologi Alkitab. Levenson
mempertahankan bahwa Yudaisme mengakui, dan bahagia untuk hidup bersama, tekanan dan
argumen batiniah dalam teks. Isu ketiga yang dibangkitkan oleh Levenson adalah penekanan dalam
teologi atas kepercayaan diatas praktik.
Bab ini dirancang untuk meneliti tren-tren utama dalam sejarah teologi Biblika dan Teologi PL dari
permulaannya sampai dengan kebangunan kembali Teologi PL setelah Perang Dunia I. Penelitian
sejarah ini adalah untuk menyediakan latar belakang bagi perdebatan masakini tentang cakupan,
tujuan, sifat, dan fungsi dari teologi PL. Karena teologi PL adalah bagian dari teologi Alkitabiah, maka
yang pertama tidak dapat dipelajari terlepas dari yang kedua.
A. Dari Reformasi sampai kepada Pencerahan. Prinsip kaum Protestan “Sola Scriptura,” yang
menjadi pekik tempur bagi Reformasi terhadap teologi skolastik dan tradisi gereja, memberikan
sumber bagi perkembangan selanjutnya dari perkembangan teologi alkitabiah berikutnya akibat
gagasannya untuk menafsirkan sendiri Alkitab (sui ipsius interpres). Kaum Reformator tidak
menciptakan frase “Teologi alkitabiah” pula tidak terlibat dalam teologi alkitabiah sebagai sebuah
disiplin seperti yang nantinya dipahami.
Frasa “teologi Alkitabiah” digunakan dalam pengertian ganda:
(1) Ia dapat bermakna sebuah teologi yang mendasarkan dalam pengajarannya dalam Firman
Allah, atau,
(2) Teologi yang dikandung oleh Alkitab itu sendiri.
Dalam pengertian yang kedua ia adalah disiplin teologi yang spesifik, yang mana asal usul serta
perkembangannya diuraikan disini secara singkat.
Hermeneutik Luther “sola scriptura” dan prinsipnya “was christum treibet” dan juga dualisme antara
“isi dan jiwanya” yang mana mencegah dia dari mengembagkan sebuah teologi alkitabiah. Diantara
beberapa contoh dari Reformasi Radikal sebuah pendekatan teologis yang menyerupai pendekatan
yang kemudian dikenal dengan teologi Alkitabiah dikembangkan pada awal tahun 1530-an oleh O.
Glait dan Andreas Fischer.
istilah “Teologi Alkitabiah” tidak muncul hingga seratus tahun setelah Reformasi dan untuk pertama
kalinya dalam karya Wolfgang Jacob Christmann Teutsche Biblische Theologie (Kempten, 1629).
Karyanya dengan segera menghilang. Namun karya dari Henricus A Diest yang berjudul Theologia
Biblica (Daventri, 1643) tersedia dan memungkinkan adanya wawasan paling awal tentang natur
dari disiplin yang sedang muncul. “Teologi Alkitabiah” dipahami sebagai terdiri atas “ayat-ayat bukti”
dari Alkitab, yang diambil secara tidak pandang bulu dari kedua Perjanjian dalam rangka untuk
mendukung “sistem-sistem doktrin” tradisional dari ortodoksi Protestan awal. Peran tambahan dari
“Teologi Alkitabiah” sejajar dengan hal-hal yang dogmatis ditetapkan secara kuat oleh Abraham
Calovius, salah seorang tokoh paling terkemuka dari golongan ortodoks Protestan ketika ia memakai
“teologi Alkitabiah” sebagai sejenis dengan apa yang sebelumnya dikenal dengan teologi eksegetika.
Di dalam karya Calovius ini ayat-ayat Alkitab yang merupakan “ayat-ayat bukti” yang dinamakan
dicta probantia dan kemudian collegia biblica yang memiliki peranan kepada teologi Alkitabiah
sebagai suatu disiplin tambahan yang mendukung doktrin-doktrin ortodoks golongan protestan.
Kedudukan teologi Alkitabiah sebagai disiplin tambahan dari dogmatik ortodoks dapat disaksikan
dalam karya-karya teologi Alkitabiah dari Sebastian Schmidt (1671). Johann Hulsemann (1679),
Johann Heinrich Maius (1689), Johann Wilhelm Baier (1716-19), dan Christian Eberhard Weismann
(1739).
Penekanan untuk kembali kepada Alkitab dari Pietisme Jerman telah mengubah arah teologi
Alkitabiah. Di dalam gerakan Pietisme, teologi Alkitabiah menjadi alat reaksi terhadap sifat ortodoks
Protestan yang kering. Philipp Jacob Spenner (1635-1705), seorang pendiri gerakan Pietisme,
melawan skolastisisme Protestan dengan “teologi Alkitabiah.” Pengaruh gerakan Pietisme tercermin
dalam karya-karya carl Haymann (1708), J. Deutschmann (1710), dan J.C. Weidner (1722), yang
menolak sistem-sistem doktrin ortodoks dengan “teologi Alkitabiah.”
Sejak sekitar 1745 “teologi Alkitabiah” jelas sudah terpisah dari teologi dogmatik (sistematika) dan
“teologi Alkitabiah” dipahami sebagai dasar dari teologi sistematika. Hal ini berarti bahwa teologi
Alkitabiah telah dibebaskan dari peranan yang hanya sebagai tambahan pada dogmatik. Termasuk
dalam perkembangan baru ini kemungkinan bahwa teologi Alkitabiah dapat menjadi saingan dari
dogmatik dan berubah menjadi suatu disiplin yang samasekali terpisah dan berdiri sendiri.
Kemungkinan-kemungkinan ini terwujud dibawah pengaruh rasionalisme pada zaman Pencerahan.
Sejarah dalam PL eksis dalam dua tingkatan: (Willem A. VanGemeren, Guide to... hal 67)