Anda di halaman 1dari 9

Alkitab Kristen terdiri dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dan, dari sejak masa yang paling

awal, kalangan Kristiani telah menerima PL disamping dengan PB sebagai kanonik dan normatif bagi
iman.

PL atau Alkitab Ibrani?

‘Perjanjian Lama’ adalah rancangan Kristen. Ia umum dalam beberapa lingkungan ketimbang
merujuk dengan ‘Alkitab Ibrani’ atau ‘Kitab Suci Ibrani’. Meskipun tidak sepenuhnya akurat,
mengingat sebagian berbahasa Aram (Ezra 4:8-6:18; 7:12-26; Yer. 1....... Dan. 2:4-7:28), rancangan ini
mengakui bahwa sebelum ia menjadi bagian dari Alkitab Kristen, PL adalah (dan akan selalu)
merupakan Kitab Suci Yahudi, dan menekankan baik akar-akar Yahudi dari iman Kristen dan fakta
bahwa Kekristenan tidak menggantikan Yudaisme. Nevertheless, meskipun teks-teks tertentu
dipakai bersama oleh orang Kristen dan Yahudi, cara teks-teks tersebut ditafsirkan dan digunakan
sangat berbeda. Hal ini dapat dilihat, sebagai contoh, dalam susunan kitab-kitabnya. Dalam Alkitab
Ibrani (Yahudi) yang menjadi kitab terakhir ialah Tawarikh, yang memiliki tekanan kunci dalam
pembangunan Bait Suci Yerusalem. Setelah menggambarkan penghancurannya oleh bangsa Babel,
kitab itu ditutup dengan edik Koresh, yang membuka jalan bagi orang Yahudi untuk kembali dan
membangun kembali Bait Allah (2 Taw. 36:22-23). Dengan demikian kitab ini menunjuk kepada
suatu permulaan yang baru bagi umat Allah setelah pembuangan, sebuah permulaan yang baru
dikaitkan, secara khusus, dengan pemulihan kehidupan agamawi mereka, termasuk kelahiran
Yudaisme. PL (Kristen) berakhir dengan nubuat maleakhi, yang menunjuk kepada datangnya hari
Tuhan yang akan didahului oleh kembalinya Elia. Ini membuka jalan bagi fokus PB pada Yohanes
Pembaptis dan pengumumannya bahwa Kerajaan Allah telah datang dalam pribadi Yesus Kristus.
Dengan penyusunan kanonik yang berbeda, kitab suci yang sama mempersiapkan para pembaca
mereka bagi penggenapan yang berbeda.

Ini dikaitkan dengan teologi Alkitab, yang memiliki sebagai salah satu tujuannya penghubungan yang
tepat dari PL dan PB. Bagaimana hal itu dapat dicapai, dan bagaimana PL dapat berfungsi sebagai
dokumen yang otoritatif dari Gereja Kristen merupakan subjek perdebatan, dan aspek-aspek
perdebatan itu dipertimbangkan dibawah ini. Namun demikian, karena ia termasuk diskusi tentang
hubungan antra kedua perjanjian, teologi Alkitab adalah tugas Kristen, bukan Yahudi. Orang Yahudi
tertarik pada Tanakh, namun bukan dalam fungsinya dalam hubungannya dengan PB. Pada
kenyataannya teologi dari Perjanjian yang pertama juga, sejauh ini, telah predominantly tugas
Kristen, dengan banyak kesarjanaan Yahudi yang menyatakan penentangan (atau setidaknya
kecurigaan) terhadap doing theology. Barr mencatat pandangan dari Tsevat bahwa teologi Yahudi
yang sejati akan perlu untuk menyertakan talmud dan Misnah, yang sama tidak terpisahkan seperti
Tanakh bagi pembaca Yahudi sebagaimana PB dari PL bagi pembaca Kristiani.

Jon D Levenson menyatakan keberatannya dalam esai “Mengapa orang Yahudi tidak tertarik pada
Teologi Alkitab”, dan dia juga mencatat pentingnya tradisi Yahudi, termasuk Midrash dan Talmud.
Isu yang lain adlah sentralitas dari penyelidikan terhadap kesatuan dalam teologi Alkitab. Levenson
mempertahankan bahwa Yudaisme mengakui, dan bahagia untuk hidup bersama, tekanan dan
argumen batiniah dalam teks. Isu ketiga yang dibangkitkan oleh Levenson adalah penekanan dalam
teologi atas kepercayaan diatas praktik.

Tantangan Perjanjian Lama


Bagi orang Kristen, menerima PL sebagai bagian dari kanon kitab suci berarti mengakui otoritas
ilahinya. Ia adalah Firman Allah, dan juga otoritatif

Permulaan dan Perkembangan Teologi PL

Bab ini dirancang untuk meneliti tren-tren utama dalam sejarah teologi Biblika dan Teologi PL dari
permulaannya sampai dengan kebangunan kembali Teologi PL setelah Perang Dunia I. Penelitian
sejarah ini adalah untuk menyediakan latar belakang bagi perdebatan masakini tentang cakupan,
tujuan, sifat, dan fungsi dari teologi PL. Karena teologi PL adalah bagian dari teologi Alkitabiah, maka
yang pertama tidak dapat dipelajari terlepas dari yang kedua.

A. Dari Reformasi sampai kepada Pencerahan. Prinsip kaum Protestan “Sola Scriptura,” yang
menjadi pekik tempur bagi Reformasi terhadap teologi skolastik dan tradisi gereja, memberikan
sumber bagi perkembangan selanjutnya dari perkembangan teologi alkitabiah berikutnya akibat
gagasannya untuk menafsirkan sendiri Alkitab (sui ipsius interpres). Kaum Reformator tidak
menciptakan frase “Teologi alkitabiah” pula tidak terlibat dalam teologi alkitabiah sebagai sebuah
disiplin seperti yang nantinya dipahami.
Frasa “teologi Alkitabiah” digunakan dalam pengertian ganda:
(1) Ia dapat bermakna sebuah teologi yang mendasarkan dalam pengajarannya dalam Firman
Allah, atau,
(2) Teologi yang dikandung oleh Alkitab itu sendiri.

Dalam pengertian yang kedua ia adalah disiplin teologi yang spesifik, yang mana asal usul serta
perkembangannya diuraikan disini secara singkat.

Hermeneutik Luther “sola scriptura” dan prinsipnya “was christum treibet” dan juga dualisme antara
“isi dan jiwanya” yang mana mencegah dia dari mengembagkan sebuah teologi alkitabiah. Diantara
beberapa contoh dari Reformasi Radikal sebuah pendekatan teologis yang menyerupai pendekatan
yang kemudian dikenal dengan teologi Alkitabiah dikembangkan pada awal tahun 1530-an oleh O.
Glait dan Andreas Fischer.

istilah “Teologi Alkitabiah” tidak muncul hingga seratus tahun setelah Reformasi dan untuk pertama
kalinya dalam karya Wolfgang Jacob Christmann Teutsche Biblische Theologie (Kempten, 1629).
Karyanya dengan segera menghilang. Namun karya dari Henricus A Diest yang berjudul Theologia
Biblica (Daventri, 1643) tersedia dan memungkinkan adanya wawasan paling awal tentang natur
dari disiplin yang sedang muncul. “Teologi Alkitabiah” dipahami sebagai terdiri atas “ayat-ayat bukti”
dari Alkitab, yang diambil secara tidak pandang bulu dari kedua Perjanjian dalam rangka untuk
mendukung “sistem-sistem doktrin” tradisional dari ortodoksi Protestan awal. Peran tambahan dari
“Teologi Alkitabiah” sejajar dengan hal-hal yang dogmatis ditetapkan secara kuat oleh Abraham
Calovius, salah seorang tokoh paling terkemuka dari golongan ortodoks Protestan ketika ia memakai
“teologi Alkitabiah” sebagai sejenis dengan apa yang sebelumnya dikenal dengan teologi eksegetika.
Di dalam karya Calovius ini ayat-ayat Alkitab yang merupakan “ayat-ayat bukti” yang dinamakan
dicta probantia dan kemudian collegia biblica yang memiliki peranan kepada teologi Alkitabiah
sebagai suatu disiplin tambahan yang mendukung doktrin-doktrin ortodoks golongan protestan.
Kedudukan teologi Alkitabiah sebagai disiplin tambahan dari dogmatik ortodoks dapat disaksikan
dalam karya-karya teologi Alkitabiah dari Sebastian Schmidt (1671). Johann Hulsemann (1679),
Johann Heinrich Maius (1689), Johann Wilhelm Baier (1716-19), dan Christian Eberhard Weismann
(1739).

Penekanan untuk kembali kepada Alkitab dari Pietisme Jerman telah mengubah arah teologi
Alkitabiah. Di dalam gerakan Pietisme, teologi Alkitabiah menjadi alat reaksi terhadap sifat ortodoks
Protestan yang kering. Philipp Jacob Spenner (1635-1705), seorang pendiri gerakan Pietisme,
melawan skolastisisme Protestan dengan “teologi Alkitabiah.” Pengaruh gerakan Pietisme tercermin
dalam karya-karya carl Haymann (1708), J. Deutschmann (1710), dan J.C. Weidner (1722), yang
menolak sistem-sistem doktrin ortodoks dengan “teologi Alkitabiah.”

Sejak sekitar 1745 “teologi Alkitabiah” jelas sudah terpisah dari teologi dogmatik (sistematika) dan
“teologi Alkitabiah” dipahami sebagai dasar dari teologi sistematika. Hal ini berarti bahwa teologi
Alkitabiah telah dibebaskan dari peranan yang hanya sebagai tambahan pada dogmatik. Termasuk
dalam perkembangan baru ini kemungkinan bahwa teologi Alkitabiah dapat menjadi saingan dari
dogmatik dan berubah menjadi suatu disiplin yang samasekali terpisah dan berdiri sendiri.
Kemungkinan-kemungkinan ini terwujud dibawah pengaruh rasionalisme pada zaman Pencerahan.

B. Zaman Pencerahan. Pada zaman Pencerahan (Aufklarung) berkembang suatu cara


pendekatan penelaahan Alkitab yang baru samasekali karena beberapa pengaruh. Yang pertama dan
utama ialah reaksi rasionalisme terhadap supernaturalisme. Akal manusia ditegakkan sebagai
patokan final serta sumber utama pengetahuan, yang berarti bahwa wibawa Alkitab sebagai catatan
ilahi yang sempurna ditolak. Sumbangan besar kedua dari zaman Pencerahan ialah dikembangkan-
nya suatu hermeneutik baru, yaitu metode penelitian sejarah yang bertahan hingga kini di dalam
liberalisme dan di luarnya. Ketiga, terdapat penggunaan kritik sastra radikal terhadap Alkitab oleh
J.B. Witter, J. Astruc, dan lain-lain. Akhirnya, pada hakikatnya, rasionalisme diarahkan untuk
meninggalkan pandangan ortodoks tentang pengilhaman Alkitab supaya Alkitab menjadi hanya salah
satu dokumen kuno yang harus dipelajari seperti dokumen-dokumen kuno lainnya.
Dengan sebagian dorongan dari Pietisme dan dengan kadar rasionalisme yang besar karya-karya
Anton Friedrich Busching (1756-1758) menunjukkan untuk pertama kalinya bahwa “teologi
Alkitabiah” menjadi saingan dogmatik. dogmatik Protestan, yang dikenal juga dengan nama “teologi
Skolastik”, dikecam karena spekulasi-spekulasinya yang kosong dan teori-teorinya yang kering. G.
Ebeling dengan jitu menangkap kenyataan bahwa “dari hanya suatu disiplin tambahan untuk
dogmatik, ‘teologi Alkitabiah’ kini telah menjadi saingan dari dogmatik yang ada.”
Suatu katalisator penting di dalam “revolusi hermeneutik” adalah rasionalis Johann Somlo
Semler (1725-1791) yang lewat karyanya sebanyak empat jilid berjudul Treatise on the Free
Investigation of the Canon (1771-1775) menyatakan bahwa Firman Allah samasekali tidak identik
dengan Alkitab. Pernyataan ini menyiratkan bahwa tidak semua bagian Alkitab itu diilhamkan dan
bahwa alkitab merupakan suatu dokumen sejarah yang murni yang seperti dokumen-dokumen lain
semacam itu harus diselidiki dengan suatu metodologi yang murni bersifat historis dan dengan
demikian bersifat kritis. Akibatnya, teologi Alkitabiah tidaklah lebih daripada sekadar disiplin sejarah
yang berlawanan dengan dogmatik tradisional.
Suatu langkah yang sangat penting menuju pemisahan teologi Alkitabiah dari dogmatik terdapat
di dalam karya keempat jilid teologi Alkitabiah oleh Gotthilf Traugott Zacharia (1729-1777). Di bawah
pengaruh orientasi baru dalam dogmatik dan hermeneutik, Zacharia berusaha membangun suatu
sistem pengajaran teologis berdasarkan suatu hasil kerja eksegetis yang teliti. Setiap kitab dalam
Alkitab mempunyai waktu, tempat, dan maksud tersendiri. Namun Zacharia tetap menganggap
bahwa Alkitab itu diilhamkan, seperti halnya J.A. Arnesti (1707-1781) yang metode penafsiran
Alkitabnya diikuti oleh Zacharia. Penafsiran Alkitab secara historis dan pemahaman kanonik tentang
alkitab tidak berbenturan menurut Zacharia karena “aspek historis tidak terlalu penting dalam
Teologi.” Atas dasar ini tidak perlu orang membedakan kedua perjanjian; keduanya mempunyai
hubungan timbal-balik. Yang paling pokok ialah bahwa perhatian Zacharia masih pada sistem
dogmatik yang ia ingin bersihkan dari aneka ketidaksempurnaan.
Karya-karya W.F. Hufnagel (1785-1789) dan sang rasionalis C.F. von Ammon (1792) hampir tidak
berbeda struktur dan rancang bangunnya dengan karya Zacharia. Teologi Alkitabiah Hufnagel terdiri
atas “sekumpulan penelitian sejarah atas ayat-ayat bukti dari Alkitab yang mendukung dogmatik.”
Von Ammon mengambil beberapa pokok pemikiran Semler dan para filsuf Lessing dan Kant sehingga
karya von Ammon ini sebenarnya lebih merupakan suatu “teologi filosofis.” Yang penting dari karya
von Ammon adalah pandangannya yang menilai Perjanjian baru lebih tinggi daripada Perjanjian
Lama, suatu sikap yang merupakan langkah pertama menuju pembahasan yang bebas tentang
teologi Perjanjian Lama yang terwujud empat tahun kemudian oleh G. L. Bauer.
Neologis dan rasionalis Johann Philipp Gabler (1753-1826) yang tidak pernah menulis bahkan
tidak pernah bermaksud menulis suatu teologi Alkitabiah, telah memberikan suatu sumbangan yang
sangat menentukan serta berdaya jangkau luas bagi perkembangan disiplin baru ini lewat ceramah
peneguhannya di University of Altdorf pada tanggal 30 Maret 1787. Tahun ini merupakan tonggak
permulaan peranan teologi Alkitabiah sebagai suatu disiplin ilmu sejarah semata, terlepas
sepenuhnya dari dogmatik. Definisi Gabler yang terkenal tentang teologi Alkitabiah berbunyi,
“Teologi alkitabiah memiliki sifat historis, meneruskan pemahaman para penulis Alkitab tentang
masalah-masalah ilahi; sebaliknya, teologi dogmatik memiliki sifat mendidik, mengajarkan hasil
penalaran filosofis seoorang teolog tertentu terhadap masalah-masalah ilahi sesuai dengan
kemampuan, waktu, usia, tempat, aliran atau mashab dan hal-hal lain semacam itu dari sang teolog
tersebut.” Pendekatan Gabler yang induktif, historis, dan deskriptif terhadap teologi Alkitabiah
didasarkan atas tiga pertimbangan metodologis yang hakiki: (1) ilham harus dihapuskan dari
pertimbangan karena “Roh Allah dengan jelas tidak menghancurkan kemampuan pribadi setiap
orang kudus untuk memahami kadar wawasan alamiahnya tentang berbagai hal.” Yang penting
bukanlah “otoritas ilahi” melainkan “hanya apa yang dipikirkan oleh mereka (para penulis Alkitab).”
(2) Teologi alkitabiah bertugas mengumpulkan secara teliti berbagai konsepsi dan gagasan dari
setiap penulis Alkitab, karena Alkitab tidak berisi gagasan satu orang saja. Oleh karena itu, pendapat
para penulis Alkitab perlu “dikumpulkan secara teliti dari Alkitab, ditata secara sesuai, dikaitkan
secara tepat dengan konsepsi-konsepsi umum, dan dibandingkan secara teliti satu terhadap yang
lain...” Tugas ini dapat dilaksanakan dengan cara menetapkan metode penelitian sejarah secara
konsisten dengan bantuan penelitian sastra, penelitian sejarah, dan penelitian filosofis. (3) sebagai
suatu disiplin ilmu sejarah, teologi Alkitabiah menurut definisi harus membedakan “antara beberapa
periode dari agama yang lama dan yang baru.” Tugas utamanya ialah menyelidiki gagasan-gagasan
mana yang penting untuk doktrin Kristen, yaitu yang mana yang “berlaku sekarang” dan yang mana
yang tidak “berlaku untuk zaman kita.” Pernyataan-pernyataan yang bersifat sebagai rencana ini
memberikan arah kepada teologi Alkitabiah (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) di kemudian hari
sekalipun jelas bahwa program Gabler untuk teologi Alkitabiah disesuaikan dengan zamannya dan
mengandung beberapa keterbatasan yang berarti.
Tujuan teologi Alkitabiah yang secara ketat berkaitan dengan sejarah, dicapai pertama kali oleh
Georg Lorenz Bauer (1755-1806), seorang murid dari J. G. Eichhorn. Bauer harus diberi penghargaan
sebagai orang yang pertama menerbitkan teologi Perjanjian Lama dengan judul Theologie des Alten
Testaments (Leipzig 1796). Bauer dihargai, pada umumnya karena ia telah memisahkan teologi
Alkitabiah menjadi teologi Perjanjian Lama dan teologi Perjanjian Baru. Theologi des AT dari Bauer
ini memiliki struktur tiga ganda yaitu (1) Teologi, (2) Antropologi, dan (3) Kristologi. Hal ini
menunjukkan ketergantungannya kepada sistem teologi dogmatik. Sebagai seorang “rasionalis yang
suka meneliti sejarah” posisi Bauer yang menentukan dalam perkembangan teologi Alkitabiah
(Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) terletak pada pemakaian secara konsisten metode penelitian
sejarah yang didukung oleh penekanan rasionalisme terhadap alasan sejarah. Rekonstruksinya yang
bersifat penelitian sejarah terhadap kemancaragaman kesaksian Alkitab telah meletupkan di antara
sekian banyak masalah suatu persoalan yang diperdebatkan dengan hangat saat ini, yaitu masalah
hubungan antara kedua Perjanjian. Selanjutnya, seluruh masalah sifat teologi Alkitabiah sebagai
suatu disiplin ilmu sejarah semata seperti yang dipertahankan dengan gigih oleh Gabler dan
kemudian oleh Bauer dan yang lain-lain kembali dipermasalahkan dalam perdebatan akhir-akhir ini,
sebagaimana halnya persoalan sifat teologi Alkitabiah sebagai suatu tugas deskriptif. Sekalipun
demikian, Gabler dan Bauer merupakan tokoh-tokoh pendiri dari disiplin teologi Alkitabiah dan
teologi Perjanjian Lama yang berdiri sendiri.
C. Dari Zaman Pencerahan Hingga Zaman Teologi Dialektik. Telah disebutkan diatas bahwa
pada zaman Pencerahan disiplin teologi Alkitabiah telah membebaskan diri dari peranannya sebagai
tambahan terhadap dogmatik menjadi saingan dari dogmatik. Perkembangan selanjutnya
menunjukkan bahwa disiplin baru yang berkaitan dengan sejarah ini kalah dan dikuasai oleh
berbagai sistem filsafat, lalu mengalami tantangan dari ilmu pengetahuan Alkitab yang konservatif,
dan akhirnya mati oleh pendekatan dari sudut “sejarah agama-agama (Religionsgeschichte). Di
dalam beberapa dasawarsa sesudah Perang Dunia I, disiplin teologi Alkitabiah ini menerima
kehidupan yang baru di dalam teologi dialektik.
Dasawarsa-dasawarsa awal dari abad kesembilan belas menyaksikan munculnya beberapa
karya penting. Gottlob Ph. Chr. Kaiser menerbitkan sebuah karya tentang teologi Alkitabiah setebal
tiga jilid antara tahun 1813 sampai 1821. Seiring dengan pendekatan rasionalistiknya, Kaiser
menolak segala jenis supernaturalisme dan berusaha menggambarkan perkembangan agama
Perjanjian Lama dari sudut sejarah awal pertumbuhan. Kaiser adalah sarjana pertama yang memakai
pendekatan dari sudut “sejarah agama-agama” dan menempatkan semua aspek alkitabiah dan non-
alkitabiah lebih rendah dari prinsip “agama universal.”
Karya W. M. L. De Wette, Biblische Dogmatik (1813), seorang murid Gabler, menandai gerakan
pertama menjauhi rasionalisme. De Wette memakai filsafat Kant sebagaimana disajikan oleh J. F.
Fries dan ia menjadi sarjana teologi alkitabiah pertama yang memadukan teologi Alkitabiah dengan
suatu sistem filsafat. Sintesisnya yang lebih tinggi antara iman dan perasaan membawa masuk
“perkembangan awal pertumbuhan agama dari Hebraisme menjadi Kristianisme lewat Yudaisme.”
Karya dua jilid dari rasionalis moderat D.C. von Colln yang diterbitkan tahun 1836 dalam bagian
pertamanya membahas Biblical Theology of the OT. Karya von Colln ini bereaksi dengan sangat keras
terhadap diperkenalkannya filsafat kepada teologi alkitabiah oleh de Wette. Von Colln menyajikan
suatu teologi alkitabiah historis dengan penekanan teokratis yang kuat. Sebagaimana para sarjana
lain sebelum dia, von Colln bergerak dalam ketegangan antara partikularisme dengan universalisme
dan melukiskan suatu keadaan perkembangan historis dari Hebraisme-Yudaisme-Kristiantisme.
Wilhelm Vatke (1806-1882) menganggap masa terjadinya “rasionalisme” teologi alkitabiah
sebagai suatu perkembangan yang diperlukan namun yang kini sudah diganti. Vatke adalah sarjana
pertama yang memakai filsafat Hegel berupa tesis (agama alam), antitesis (agama rohani= agama
Ibrani) dan sintesis (agama yang absolut atau universal = agama Kristen) di dalam karyanya Die
Biblische Theologie Die Religion des Alten Testaments (Berlin, 1835). Vatke menyatakan bahwa
sistem pengaturan bahan-bahan Perjanjian Lama tidak boleh disajikan berdasarkan kategori-kategori
yang diambil dari Alkitab namun harus ditetapkan dari luar, dan harus merumuskan dogma
pendekatan dari sudut “sejarah agama” mengenai keadaan Perjanjian Lama yang sama-sama
“berdiri sendiri”. Tiga tahun setelah karya Vatke diterbitkan, yaitu karya yang kemudian sangat
mempengaruhi J. Wellhausen, terbitlah buku kedua tentang teologi Perjanjian Lama mengenai
“sejarah agama-agama” berdasarkan Hegelianisme karangan Bruno Bauer (1809-1882), yang
mempunyai kesimpulan-kesimpulan yang bertolak belakang dengan kesimpulan-kesimpulan gurunya
Vatke.
Pada pertengahan abad kesembilan belas sebuah reaksi konservatif yang sangat kuat
menentang pendekatan-pendekatan rasional dan filosofis terhadap teologi Perjanjian Lama (dan
alkitabiah) muncul dari golongan yang menolak kesahihan pendekatan yang berdasarkan penelitian
sejarah dan juga dari golongan yang berusaha memadukan suatu pendekatan historis moderat
dengan penerimaan penyataan ilahi. E.W. Hengstenberg dalam Christology of the OT (1829-1835)
menentang kesahihan metodologi penelitian sejarah yang diterapkan kepada Alkitab dan ia
membuat sedikit saja perbedaan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Suatu pendekatan historis moderat dengan penghargaan yang memadai bagi otoritas dan
inspirasi dari Perjanjian Lama ditunjukkan dalam teologi Perjanjian Lama karya J.C.F. Steudel (1840),
H.A.C. Haevernick (1848), dan G.F. Oehler (1873-1874) yang diterbitkan sesudah para pengarangnya
meninggal. Steudel bersikeras memakai metode yang berkaitan dengan sejarah tata bahasa dan
menolak pemakaian metode penelitian sejarah yang bersifat merusak. Steudel tetap menganggap
Perjanjian Lama mempunyai asal usul yang ilahi namun ia menolak pandangan sempit tentang
“pengilhaman harfiah”. “Ia mengecam keras subjektivitas golongan Hegelian,” namun ia telah
menggolongkan dirinya sendiri sebagai seorang “supernaturalis yang rasional”. Dalam struktur
teologi Perjanjian Lamanya, Steudel mengikuti sistem Allah-Manusia-Keselamatan dari dogmatik.
Haevernick memakai gagasan perkembangan agama Perjanjian Lama dalam bentuk “agama primitif-
hukum-para nabi”, serta berpegang pada skema Allah-Manusia-Keselamatan. Pada saat yang sama ia
berusaha membedakan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru serta menetralisasi aksioma-
aksioma dogmatik-ortodoks.
Sumbangan Oehler merupakan sumbangan yang paling penting dan abadi. Oehler merupakan
sarjana pertama sejak Gabler yang menerbitkan sebuah teologi Perjanjian Lama yang membahas
secara luas teori dan metode pemahaman dari sudut teologi alkitabiah tentang teologi Perjanjian
Lama. Karyanya Theology of the OT yang padat isinya itu terbit dalam bahasa Perancis dan Inggris.
Oehler bereaksi terhadap gaya pengikut Marcion yang diperkenalkan oleh F. Schleiermacher dengan
sikap mereka yang memandang rendah Perjanjian Lama terhadap penyeragaman total terhadap
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru seperti yang dianut oleh Hengstenberg. Namun Oehler sendiri
tiddak melepaskan pendapat bahwa ada kesatuan di antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Terdapat kesatuan di dalam perbedaan. Oehler menerima adanya pemisahan antara teologi
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, namun teologi Perjanjian Lama hanya dapat berfungsi secara
benar di dalam konteks kanonik yang luas. Teologi Perjanjian Lama merupakan “suatu ilmu sejarah
yang berdasar pada eksegese dari sudut sejarah tata bahasa yang tugasnya adalah mereproduksi isi
dari tulisan-tulisan dalam Alkitab menurut kaidah-kaidah bahasa dengan mempertimbangkan
keadaan sejarah pada saat tulisan-tulisan tersebut pertama kali ditulis dan juga kondisi-kondisi
pribadi dari para penulis Alkitab.” Metode yang tepat bagi teologi alkitabiah adalah pendekatan dari
sudut “sejarah awal pertumbuhan” yang menurutnya eksegesis berdasarkan sejarah tatabahasa,
bukan eksegesis berdasarkan penelitian sejarah, yang harus digabungkan dengan suatu “proses
perkembangan organis” dari agama Perjanjian Lama. Teologi Perjanjian Lama karya Oehler dianggap
sebagai “penyajian penting teologi alkitabiah abad ke-19 yang menyangkut sejarah keselamatan.”
Sekalipun demikian, karya Oehler ini “sekarang hampir samasekali ketinggalan zaman, sebagian
besar karena Oehler berusaha membahas materi Perjanjian Lama dari sudut awal pertumbuhan”
dibawah pengaruh Hegel.
Bagian yang paling penting dari reaksi golongan konservatif muncul dalam mazhab “sejarah
keselamatan” dengan tokoh-tokoh teologi seperti Gottfried Menken (1768-1831), Johann T. Beck
(1804-1878), dan khususnya J. Ch. Konrad von Hoffmann (1810-1877). “Mazhab sejarah
keselamatan” abad ke-19 didasarkan pdiungkapkan dalam Firman”; (2) pemahaman tentang
pengilhaman Alkitab; dan (3) hasil (pendahuluan) dari sejarah antara manusia dengan Allah di dalam
Yesus Kristus. Von Hoffmann menemukan di dalam Alkitab suatu catatan tentang sejarah
penyelamatan langsung yang di dalamnya Tuhan sejarah adalah Allah Trinitas yang maksud dan
tujuan-Nya adalah menebus umat manusia. Karena Yesus Kristus adalah tujuan semula dunia ini
yang menjadi sasaran sejarah keselamatan dan yang memberikan arti kepada sejarah keselamatan.,
maka Perjanjian Lama berisi proklamasi sejarah keselamatan. Inilah yang harus diuraikan oleh
teologi Perjanjian Lama. Setiap kitab dalam Alkitab diberi tempat yang logis di dalam skema sejarah
keselamatan, Alkitab terutama tiddak boleh dianggap sebagai koleksi ayat-ayat bukti atau tempat
penyimpanan doktrin tetapi adalah saksi dari kegiatan Allah di dalam sejarah yang tidak akan selesai
sepenuhnya sebelum penggenapan akhir zaman. Pengaruh “mazhab sejarah keselamatan” terhadap
perkembangan teologi Perjanjian Lama dan teologi Perjanjian Baru sangatlah besar dan dapat
dirasakan sampai saat ini sekalipun dengan banyak variasi dan dalam bentuk-bentuk yang baru.
Beberapa saat sebelum teologi Perjanjian Lama dikaburkan oleh pendekatan dari sudut “sejarah
agama-agama”, yang memberi pukulan mematikan kepada teologi Perjanjian Lama, muncullah
sebuah karya besa terdiri atas empat jilid oleh Henrich Ewald. Sepanjang satu generasi, pengaruh
konservatif dari Ewald membuat ilmu pengetahuan di Jerman tidak menerima rekonstruksi baru dari
agama Israel yang dipopulerkan oleh Wellhausen. Murid-murid Ewald yang bernama Ferdinand
Hitzig (1807-1875) dan August Dilmann (1823-1894) menulis teologi-teologi yang diterbitkan setelah
mereka meninggal. Ewald mempertahankan suatu pembahasan yang sistematis atas subjeknya;
Hitzig menulis suatu “sejarah gagasan”; dan Dillmann menulis suatu “sejarah penyataan” dengan
penekanan sejarah keselamatan.
Tahun 1878 menandai dimulainya kemenangan oleh pendekatan dari sudut “sejarah agama-
agama” (Religionsgeschichte) atau teologi Perjanjian Lama dengan diterbitkannya karya J.
Wellhausen berjudul Prolegomena to the History of Israel (1844-1918). Teologi Perjanjian Lama (dan
teologi alkitabiah) sejak saat ini sangat dipengaruhi oleh (1) tanggal lama yang diberikan pada
dokumen P (sumber imamat) dalam penelitian Pentateukh yang diperkenalkan oleh K.H. Graf dan A.
Kuenen dan yang dipopulerkan oleh Wellhausen, dan (2) gambaran yang samasekali baru tentang
perkembangan sejarah agama Israel sebagaimana direkonstruksikan atas dasar tanggal-tanggal baru
yang diberikan pada bahan Perjanjian Lama oleh mazhab Graf-Kuenen-Wellhausen. Suatu ciri khas
lain yang menonjol dari mazhab “sejarah agama-agama” ialah metode perkembangan evolusioner
yang berdasarkan sejarah pertumbuhan. Mazhab yang baru ini cocok dengan suasana intelektual
dari masa itu “yang sudah diajar oleh Hegel dan Darwin untuk menganggap prinsip-prinsip evolusi
sebagai kunci ajaib untuk membuka semua rahasia sejarah.” Judul teologi Perjanjian Lama digunakan
(disalah gunakan) untuk buku-buku yang terbit pada masa ini seperti karya-karya August Kayser
(1886), Hermann Schultz (lima edisi sejak 1869-1896), C. Pipenbring (1886), A. B. Davidson (1904),
dan Bernhard Stade (1905), sedangkan Rudolf Smend (1893) justru lebih eksak.
Selama lebih dari empat dasawarsa teologi Perjanjian Lama dikaburkan oleh
Religionsgeschichte. Pendekatan dari sudut “sejarah agama-agama” yang penuh diliputi kejadian
sejarah telah membawa kehancuran final atas kesatuan Perjanjian Lama yang direndahkan
tingkatannya menjadi sebuah koleksi bahan-bahan dari beberapa periode yang berdiri sendiri-sendiri
dan hanya terdiri atas berbagai refleksi umat Israel tentang jumlah agama-agama kafir yang
berbeda-beda. Pendekatan ini memiliki dampak yang sangat menghancurkan terhadap teologi
Perjanjian Lama dan terhadap pemahaman tentang Perjanjian Lama dalam semua aspeknya yang
lain. Sebagai tambahan “hubungan isi yang hakiki antara Perjanjian lama dan Perjanjian Baru
direduksi, kalaulah kita boleh berkata demikian, menjadi suatu benang tipis berupa kaitan historis
dan rangkaian yang tidak penting di antara keduanya. Akibatnya suatu hubungan sebab akibat yang
berasal dari luar—yang bahkan tidak dapat dipengaruhi bagaimanapun juga oleh peragaan yang
pasti—menggantikan suatu persamaan yang nyata karena hubungan sebab akibat itu didasarkan
pada isi yang sama dari pengalaman hidup mereka.” Diperlukan suatu “tindakan yang betul-betul
berani” untuk mendobrak “tirani pemakaian teori sejarah dalam studi-studi Perjanjian Lama” dan
untuk menemukan kembali dan menghidupkan kembali teologi Perjanjian Lama.
D. Kebangunan Kembali Teologi Perjanjian Lama. Di dalam dasawarsa-dasawarsa setelah
Perang Dunia I terdapat beberapa faktor, di samping Zeitgeist yang berubah, yang menyebabkan
kebangunan kembali teologi Perjanjian Lama (dan teologi Perjanjian baru). R.C. Dentan
menunjukkan tiga faktor utama yang membantu munculnya “renaisans teologi Perjanjian Lama”. (1)
hilangnya pamor naturalisme evolusioner; (2) reaksi terhadap keyakinan bahwa kebenaran historis
dapat dicapai lewat “objektivitas” ilmiah murni atau bahwa objektivitas semacam itu memang dapat
dicapai; dan (3) kecenderungan untuk kembali kepada ide penyataan di dalam teologi dialektik (neo
orthodox). Pemakaian teori sejarah oleh golongan liberal kini terbukti samasekali tidak memadai dan
suatu cara pendekatan baru perlu dikembangkan.
Pada tahun 1922 muncul tanda jelas pertama tentang kebangunan teologi Perjanjian Lama
dengan terbitnya karya E. Koenig berjudul Theologie des Alten Testaments. Koenig memiliki suatu
pandangan yang sangat tinggi terhadap kebenaran amanat Perjanjian Lama, ia menolak pandangan
tentang evolusi agama Perjanjian lama dari aliran Wellhausen, dan mencanangkan suatu pemakaian
yang tepat akan metode penafsiran berdasarkan sejarah tatabahasa. Sekalipun demikian, teologi
Perjanjian lama karya Konig merupakan suatu “cangkokan” karena Konig mengombinasikan sejarah
perkembangan agama Israel dengan sejarah faktor-faktor teologis tertentu dari iman Perjanjian
Lama.
Tahun 1920-an ditandai dengan munculnya perdebatan tentang sifat teologi Perjanjian Lama.
Pada tahun 1923 W. Staerk memunculkan masalah hubungan antara Religionsgeschichte dengan
filsafat agama dan teologi Alkitabiah. Dua tahun kemudian muncullah karangan penting karya C.
Steuernagel, yang meminta otonomi teologi Perjanjian Lama sebagai suatu subjek historis murni,
tambahan atas sejarah agama Israel. Pada tahun 1926 O. Eissfeldt memasuki arena pembahasan itu
dengan menyatakan bahwa teologi Perjanjian Lama adalah suatu bidang disiplin yang non historis,
ditentukan oleh posisi iman sang teolog, sehingga sifatnya subjektif, padahal studi tentang agama
Israel itu bersifat historis dan objektif. Dikotomi antara pengetahuan dengan iman, antara
objektivitas dengan subjektivitas, antara yang normatif dengan yang relatif ini, dipersoalkan secara
langsung di dalam sebuah karangan oleh W. Eichrodt, yang berpegang teguh pada sejarah dan
menganggap gagasan-gagasan Eissfeldt kurang memuaskan. Eichrodt menunjukkan bahwa warisan
Gabler berupa teologi Perjanjian Lama sebagai suatu disiplin historis pada hakikatnya adalah baik
dan bahwa tidak ada hal semacam sejarah agama Israel yang samasekali bebas dari segala jenis
praduga. Suatu unsur subjektif ada dalam setiap ilmu karena proses seleksi dan pengaturan data
tidak mungkin objektif semata-mata.
“Zaman Emas” dari teologi Perjanjian Lama dimulai sekitar tahun 1930-an dan terus
berlangsung sampai sekarang. Karya-karya teologi Perjanjian Lama yang penting datang dari tangan
E. Sellin (1933) dan L. Kohler (1936) yang keduanya memakai susunan Allah-Manusia-Keselamatan.
W. Eichrodt ( tahun 1933-1939) merintis metode penggunaan contoh yang representatif yang
mewakili keseluruhan berdasarkan suatu prinsip yang menyatukan, dan W. Vischer (1934)
menerbitkan jilid pertama dari karyanya The Witness of the OT to Christ. Suatu sumbangan penting
bagi teologi Perjanjian Lama diberikan oleh H. Wheeler Robinson. Di antara sumbangan-sumbangan
besar bagi teologi Perjanjian Lama adalah karya-karya W. Dan H. Moeller (1938), P. Heinisch (1940),
O. Procksch (1949), O.J. Baab (1949), G. E. Wright (1952, 1970), Th. C. Vriezen (1949), P. Van
Imschoot (1954), G. Von Rad (1957, 1960), J. B. Payne (1962), A. Deissler (1972), G. Fohrer (1972), W.
Zimmerli (1972), dan J. L. McKenzie (1974). Karya-karya dengan judul “teologi Alkitabiah” datang dari
tangan M. Burrows (1946), G. Vos (1948), J. Blenkinsopp (1968), dan C. R. Lehmann (1971). E. J.
Young (1959) dan J. N. Schofield (1964) muncul dengan karya-karya ringkas tentang metodologi
Perjanjian Lama dari sudut pandang konservatif dan moderat secara berturut-turut. B. S. Childs
mengadakan suatu penyelidikan yang berharga tentang “Gerakan teologi alkitabiah” di Amerika yang
sekalipun berasal dari teologi alkitabiah Eropa, pada dasarnya merupakan hasil dua prinsip
berlawanan dari perjuangan mengenai Alkitab dalam persengketaan antara Fundamentalis dengan
Modernis yang berlangsung sejak tahun 1910-1930-an di Amerika serikat.
Belum ada konsensus tentang masalah-masalah utama dari teologi Perjanjian Lama. Persoalan-
persoalan yang mendasar diperdebatkan secara luas diantara para sarjana dari berbagai latar
belakang dan berbagai cara berpikir.

Sejarah dalam PL eksis dalam dua tingkatan: (Willem A. VanGemeren, Guide to... hal 67)

1. Yang sesungguhnya terjadi (Von Rad’s critical minimum) dan


2. Yang diakui Israel sebagai basis eksistensi dan kesaksiannya (theological Maximum Von Rad)

Anda mungkin juga menyukai