Anda di halaman 1dari 52

Allah dan umat-Nya (1)

Pemilihan dan
Perjanjian
Gagasan Perjanjian dalam
PL

Pandangan PL tentang Allah adalah


Pribadi yang membuat diri-Nya sendiri
dikenal. Ia telah menunjukkan diri-Nya
sendiri kepada manusia secara umum,
namun juga telah masuk ke dalam
sebuah hubungan yang unik satu bagsa
secara khusus; bangsa Israel. Hubungan
ini, yang memiliki signifikansi vital bagi
hidup bangsa Israel, diungkapkan dalam
bentuk suatu perjanjian (berit).
Sebagaimana yang kita telah lihat,
Eichrodt membubuhkan
kepentingan yang sangat besar
bagi gagasan ini dan
menjadikannya sebagai titik mula
bagi teologi PL-nya: “suatu konsep
dimana pemikiran Israel
memberikan ungkapan pasti
kepada pengikatan bangsa itu
kepada Allah dan sarana yang
olehnya mereka membangun
Seberapa tuakah gagasan perjanjian?

Banyak sarjana modern yang mengklaim bahwa gagasan


perjanjian dikembangkan belakangan dalam sejarah
Israel. Ia sering diasosiasikan dengan ‘pergerakan
deuteronomis’, yang bertanggal dari abad ke-17 SM.
Namun demikian, perjanjian-perjanjian dalam bentuk
pakta-pakta Internasional dikenal baik pada abad ke-14/13
SM. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan pada tahun
1954 Mendenhall mencatat paralel yang signifikan antara
perjanjian Sinai dan pakta-pakta perbudakan orang Het
milenium kedua, dimana seorang raja membuat perjanjian
dengan raja taklukkan, menawarkan perlindungan sebagai
ganti kesetiaan dan ketaatan. Kesejajaran-kesejajaran ini
telah menguatkan argumen yang meyakini penanggalan
awal dari kitab Ulangan.
Pakta-pakta TDK termasuk sebuah pengantar atau
mukadimah, yang menyebutkan si pembicara (“Ini adalah
perkataan-perkataan dari....; bdk. Kel. 20:1; Ul. 1:1-5; Yos.
24:2); sebuah pengantar historis, yang menggambarkan
peristiwa-peristiwa yang membawa kepada pakta dan
mencantumkan beberapa dari apa yang raja taklukkan
telah lakukan bagi perbudakan tersebut (bdk. Kel. 20:2; Ul.
1:6-3:29; Yos. 24:2-13); dan sebuah pernyataan tentang
persyaratan dan kewajiban yang ditempatkan bagi
penawanan tersebut (bdk. Kel. 20:3-17; 21-23; Ul. 4-26;
Yos. 24:14-25). Juga sering ada sebuah dokumen
ketentuan, dengan perintah untuk menyimpan salinan
perjanjian itu di dalam tempat kudus si taklukan, dan,
kemungkinan, untuk pembacaan atau pembaruan umum
(bdk. Ul. 27:1-26; Yos. 24:26).
Akan ada juga panggilan bagi para dewa dari
bangsa-bangsa yang berpartisipasi untuk
bertindak sebagai saksi untuk men- jamin
pakta tersebut (bdk. Kel. 24:4; Ul. 30:19; 31:19;
32:2-43; Yos. 24:25-28), dan serangkaian daftar
berkat dan kutuk yang merupakan hasil dari
pemenuhan atau pelanggaran terhadap syarat-
syaratnya (bdk. Ul. 28-30). Perbandingan-
perbandingan juga dibuat dengan pakta-pakta
Asyur abad ke-9 sampai 7 SM, yang diambil
untuk mendukung penanggalan yang
kemudian, meskipun analisis Kitchen
menunjukkan kesesuaian yang jauh lebih dekat
kepada bentuk-bentuk pakta yang lebih awal,
Craigie berpendapat bahwa meskipun
mereka mungkin tidak membuktikan
sebuah tanggal yang awal bagi Ulangan
dan konsep perjanjian, mereka
mendukungnya, dan ia mencatat bentuk
perjanjian ini khususnya patut pada saat
Keluaran. Israel dibebaskan dari Mesir
untuk menjadi taklukan sukarela dari
tuan (ilahi) yang baru. Craigie
mengamati, ‘bentuk dari kitab dan
kepentingan religius dari bentuk
tersebut membuat nya tidak mustahil
Pakta-pakta penaklukkan orang Het, kemudian,
menunjukkan bahwa konsep perjanjian
memiliki sejarah yang panjang. Para sarjana
juga telah mencatat sebuah kemiripan antara
hukum sipil PL dan koleksi-koleksi hukum lain
dalam TDK. Bright menunjuk lebih jauh pada
sejarah Israel sendiri, dan menyarankan bahwa
‘ adalah sulit untuk memahami Israel awal
dengan cara lain apapun daripada sebagai
sebuah liga kesukuan, atau konfederasi, yang
dibentuk dalam perjanjian dengan Yahweh dan
dibawah pemerintahan Yahweh.’
Ia lebih lanjut menegaskan bahwa:

Kita dapat percaya dengan sedikit


keyakinan bahwa Israel pada kenyataannya
muncul sebagai sebuah konfederasi sakral
yang dibentuk dalam perjanjian dengan
Yahweh, dan bahwa perjanjian ini mengikuti
secara luas pola pakta penaklukkan yang
diperkenalkan kepada kita dari teks-teks
milenium kedua SM.
Cook mengambil isu dengan hal ini,
mempertahan- kan bahwa kehidupan
nasional Israel tidak dapat di bangun
atas perjanjian saja, namun menuntut
jaminan ikatan persaudaraan .
Meskipun demikian ia berargumen
dengan berpihak kepada penanggal
-an awal bagi gagasan perjanjian, yang
membawa praktik kultural dan institusi
sosial dibawah otoritas Yahweh.
Eichrodt juga mendukung gagasan bahwa
konsep perjanjian juga muncul paling awal
dalam sejarah Israel: ia mempertahankan
bahwa ‘titik awal yang paling aman bagi
pemeriksaan Kritis dari hubung- an Israel
dengan Allah adalah masih kesan jelas yang
diberikan oleh PL sendiri bahwa Musa,
mengambil alih sebuah konsep yang sudah
lama berdiri dalam kehidupan sekuler,
mendasarkan penyembahannya kepada
Yahweh pada sebuah kesepakatan perjanjian.
Apakah yang dimaksud dengan ‘Perjanjian’?

Perjanjian adalah segi yang umum


dalam TDK, dan memainkan peranan
penting dalam bisnis, politik, dan
kehidupan keluarga, demikian pula
dalam agama. Sebuah perjanjian
bukan hanya sebuah kesepakatan
atau kontrak; ia adalah ikatan
khidmat/sakral yang dibangun
diantara dua atau lebih pihak
(biasanya atas dasar sebuah janji
atau ikrar) dan menyangkut sebuah
Mengikat sebuah perjanjian merupakan
suatu hal yang serius. Ia mungkin diiringi
dengan persembah an korban (mis. Kej.
15:9-10; Yer. 34: 18-19) atau perjamuan
perjanjian (mis. Kej. 26:30; 31:54), atau
ditegaskan dengan sumpah yang sungguh-
sungguh (mis. Kej. 21:31; 26:31; Yos. 9:15; 2
Raj. 11:4; Neh. 10:28-29)yang, meskipun
dibuat atas dasar penipuan, namun dianggap
sebagai tidak dapat dibatalkan (mis. Yos.
9:15; bdk. Bil. 30:2; Yeh. 17:15-16).
Ini berlaku bagi pakta-pakta antara kekuasaan-kekuasaan
nasional: entah itu sebuah persekutuan antara pihak yang
sejajar (mis. Kej. 14:13; 21:27, 32) atau syarat-syarat bagi
perdamaian dan perlindungan yang dibebankan oleh
kekuasa -an yang lebih besar kepada yang lebih lemah
(Mis. Yos. 9:11; I Sam. 11:12; I Raj. 15:19-20; Yeh. 17:13-
19). Dalam setiap kasus hubungannya menyangkut
kewajiban dari kedua belah pihak. Berit juga
menggambarkan hubungan antara seorang raja dan
taklukkannya (Mis. 2 Sam. 3:21; 5:3; 2 Raj. 11:17; Yer.
34:8). Masing-masing memiliki peranan untuk dimain- kan
dalam masyarakat yang berfungsi dengan baik, dan
seorang penguasa harus sama sadarnya akan
kewajibannya terhadap rakyat seperti mereka terhadap
dia.
Sebuah penggunaan penting dari berit
dalam hubungan- nya dengan
pernikahan (mis. Ams. 2:17; Mal. 2:14).
Ketika menikah, seorang suami dan istri
masuk kedalam sebuah hubungan
perjanjian yang menyangkut komitmen
total kepada satu sama lain (Kej. 2:24),
dalam mana masing-masing menerima
kewajiban dan tanggung jawab yang
dibebankan oleh hubungan itu kepada
mereka berdua. Perjanjian antara Allah
dan Israel seringkali disamakan dengan
Perjanjian ilahi

Ada beberapa perjanjian ilahi dalam PL.


Referensi pertama kepada berit adalah
dalam hubungannya dengan perjanjian
dengan Nuh (Kej. 6:18; bdk. 9:8-16).
Didalam intinya terdapat komitmen Allah
terhadap dunia ciptaan-Nya dan
mengungkapkan niatnya untuk
memulihkan apa yang telah dihancurkan
oleh kejatuhan dalam dosa. Beberapa
diskusi juga mengacu kepada sebuah
perjanjian dengan Adam, meskipun
seyogianya akan lebih tepat untuk
berbicara tentang sebuah perjanjian
Perjanjian-perjanjian ilahi lainnya
menyangkut perjanjian-Nya dengan
Abraham, dengan Israel di gunung Sinai,
dengan imam-imam Israel, dan dengan
Daud. Kita akan melihat kepada perjanjian
-perjanjian dengan imam-imam Israel dan
dengan Daud ketika kita mendiskusikan
keimaman dan ke-raja-an, secara berturut-
turut. Untuk saat ini kita akan fokus kepada
perjanjian Allah dengan Abraham dan
perjanjian yang dibuat di Sinai.
Perjanjian dengan Abraham.

Perjanjian kedua, dan yang


pertama untuk mengacu kepada
pemilihan Allah atas suatu umat
melalui siapa tujuan penebusan
Allah akan mulai digenapi,
adalah dengan Abraham. Janji-
janji kepada Abraham tersebar
melalui beberapa bagian dari
kisah Kejadian. Dalam Kejadian
12:2-3 Allah menyatakan: .....
Janji takbersyarat Allah bahwa Abraham
akan memiliki banyak keturunan dan
bahwa keturunannya akan menduduki
Kanaan diteguhkan dalam sebuah
perjanjian (Kej. 15). Ada acuan lebih
jauh kepada sebuah perjanjian antara
Allah dan Abraham dalam Kejadian
17:7......, meskipun ini tergantung pada
ketaatan Abraham (ay. 1), dan
khususnya pada pemeliharaan upacara
sunat (ay. 10-14). Akhirnya, setelah
menguji ketaatan Abraham, Allah
Janji Allah kepada Abraham

Perjanjian Abraham (Abrahamic covenant)


mengandung empat janji. Pertama, Allah
berjanji bahwa Abraham, pada saat itu tidak
beranak, akan menjadi bapa bangsa yang
besar (Kej. 12:2), dengan keturunan yang
melebihi bintang-bintang di langit (Kej. 15:5)
dan butiran pasir di tepi laut (Kej. 22:17), dan
bahwa janji-janji dan berkat-berkat perjanjian
itu akan diperluas kepada keturunan-keturunan
tersebut dan diteguhkan kepada generasi yang
akan datang (Kej. 17:19; lih. Juga Kel. 2:24).
Kedua, sebagai bagian dari ini, Allah berjanji
untuk memberikan tanah Kanaan kepada
bangsa yang datang dari Abraham (Kej. 17:8;
Perjanjian dengan Nuh menyiratkan suatu hubungan
umum antara Allah dan seluruh ciptaan; disini, melalui
Abraham, Allah menjanjikan sesuatu yang lebih. Ia telah
memilih orang ini dan bangsa ini untuk menjadi milik-
Nya dalam suatu cara khusus dimana yang lain tidak
termasuk didalamnya. Adalah hubungan yang
berkelanjutan dengan Allah yang bertanggung jawab
bagi unsur bersyarat dalam Kejadian 17. Semua yang
berada dalam hubungan perjanjian dengan Allah
diharapkan untuk menjalani hidup dalam cara yang
menyenangkan Dia. Bagi Abraham secara khusus,
sebagai bapa dari umat ini, teladan imannya harus
diwujudkan dalam teladan ketaatan (lih. Ibr. 11:8, 17;
Yak. 2:21-23).
Ketiga janji ini memiliki nilai penting yang besar
bagi umat Israel dalam memahami hubungan
mereka dengan Allah, panggilan istimewa mereka
dan sikap mereka terhadap negeri itu. Yang
keempat mengangkat perjanjian itu keluar dari
apa yang mungkin terlihat sebagai sebuah
konteks nasionalistik yang murni, dan
menjanjikan berkat universal:.(Kej. 12:3). Allah
berjanji untuk memberkati Abraham sehingga ia
dan bangsa itu yang keluar dari dia akan pada
gilirannya menjadi sarana yang melaluinya berkat
ilahi akan meluas ke seluruh dunia.
Berkat tersebut mengalir dari hubungan perjanjian
Abraham dengan Allah, dan untuk membagikan
berkat tersebut, bangsa-bangsa harus juga dibawa
untuk mengalami hubungan tersebut. Dengan
demikian perluasan berkat ilahi menantikan juga
perluasan hubungan perjanjian dengan Allah
kepada semua manusia. Hubungan antara Allah
dan ciptaan mungkin telah diretakkan oleh dosa,
namun komitmen Allah bagi dunia ciptaan-Nya,
yang dibubuhkan dalam perjanjian sebelumnya
dengan Nuh, membuka jalan bagi suatu hubungan
yang diperbarui dengan Allah dan berkat-berkat
yang dihubungkan dengannya untuk dibangun.
Kepentingan dari sunat

Sebuah bagian intrinsik dari perjanjian Abraham


(Abrahamic Covenant) adalah sunat. Ia digambarkan
sebagai tanda perjanji an (Kej. 17:11). Dalam
perjanjian sebelumnya dengan Nuh, pelangi
digambarkan dengan cara yang serupa: ia akan men
jadi tanda perjanjian antara aku dan bumi (Kej. 9:13).
Dalam konteks perjanjian Sinai, Sabat juga diacu
sebagai sebuah tanda (Kel. 31:13, 16-17). Tanda-
tanda ini berfungsi dalam cara-cara yang berbeda.
Pelangi adalah tanda kepada Allah (Kej. 9:16),
dikaitkan dengan janji-Nya untuk mempertahan kan
tatanan ciptaan, dan untuk tidak mengijinkan air
kekacau an untuk kembali dan menelan dunia.
Sabat adalah sebuah tanda bagi umat Allah: ia
menunjuk kepada panggilan istimewa mereka,
yang mencakup kebutuh an untuk mentaati hukum
Allah, namun juga menyiratkan bahwa sebuah
aspek kunci dari kekhususan bangsa itu adalah
dalam menyisih kan waktu dari kerja harian untuk
menyembah Allah. Sunat adalah, terutama, tanda
sebagai milik Allah. Ia adalah sebuah tanda
anugerah yang olehnya Allah memilih dan menaruh
meterainya pada umat perjanjian yang telah Ia
panggil untuk menjadi milik-Nya. Ia juga menunjuk
pada ketaatan kepada Allah yang dituntut dalam
hubungan perjanjian dengan Dia.
Dari masa kanak-kanak, umat Allah
membawa tanda ini yang menandai
mereka sebagai milik Allah dengan cara
yang istimewa. Mereka pada gilirannya
dituntut untuk mencerminkan panggil
an tersebut dalam cara mereka
menjalani hidup mereka dan untuk
menjadikan tanda lahiriah menjadi
tanda penyucian batiniah (mis. Ul.
10:16; 30:6; Yer. 4:4; bdk. Rm. 2:28-29).
Apakah ini lantas tidak konsisten
untuk mengatakan bahwa
perjanjian Abraham adalah
merupakan sebuah tindakan
sepihak (unilateral) dari anugerah
Allah, direncanakan, dimulai dan
dilaksanakan oleh Allah, namun
apakah ia juga menaruh kewajiban
bagi mereka yang akan mewarisi
berkat-berkat perjanjian untuk
hidup bersesuaian dengan syarat-
Alih-alih dari menjadi tidak serasi, kedua hal ini
adalah tidak terpisahkan: Allah, dalam anugerah
berdaulatnya, telah masuk kedalam suatu
hubungan dengan Abraham dan melalui dia
dengan umat Israel. Sementara orang-orang tidak
dapat melakukan apa-apa untuk memperoleh atau
mendapat jasa masuk kedalam umat perjanjian
Allah, begitu telah dimasuk -kan, mereka
berkewajiban untuk berusaha hidup sebagai
anggota-anggotanya. Keintiman dari hubungan
mereka dengan Allah harus diijinkan untuk
mempengaruhi setiap bagian dari hidup mereka.
Ini adalah sesuatu yang bahkan akan
menjadi lebih jelas ketika kita melihat
perjanjian di Sinai. Namun mengapa
mengguna kan tanda khusus ini? Apakah
hubungan antara sunat dan perjanjian
dengan Abraham? Mengapa sebuah tanda
hanya berlaku kepada populasi pria?
Apakah wanita tidak memiliki keyakinan
yang sama akan kepemilikan? Dan
mengapa sebuah tanda yang nampak
berkait- an erat dengan seksualitas pria?
Satu kemungkinannya ialah bahwa ia
mengindikasikan perlu -nya kedisiplinan
bagi aktivitas seksual pria. Tujuan Allah
adalah untuk mengadakan suatu umat
berbeda yang akan digunakan oleh-Nya
untuk membawa berkat bagi dunia, dan hal
itu memiliki implikasi-implikasi bagi
keluarga dan kehidupan masyarakat.
Kelahiran anak-anak dan pertumbuh an
biologis dari masyarakat jelasnya
merupakan suatu bagian yang sangat
penting dari penggenapan tujuan tersebut;
namun bagi masyarakat untuk
Dengan perhatian kepada anggota wanita dari
masyarakat tersebut; PL tidak menyerukan, atau
bahkan menganjur- kan, sunat wanita sebagai
kesejajaran dari sunat pria. Jika ada kesejajaran,
ini mungkin pada persalinan.” Kaitan antara tanda
perjanjian dan prokreasi memang meng-
indikasikan pembangkitan sebuah bangsa yang
berada dalam inti perjanjian dari perjanjian Allah
dengan Abraham. Pendudukan tanah itu adalah
penting, namun tampaknya tidak sentral dalam
hal menjadi umat yang istimewa dan khas. Dan itu
adalah apa yang juga kita lihat dalam Perjanjian
Sinai.
Perjanjian Sinai.
Keberlanjutan dengan perjanjian Abraham

Allah menjanjikan Abraham bahwa


dia akan menjadi bapa banyak
bangsa, yang akan tinggal di
tanahnya sendiri, dan yang
umatnya akan memiliki hubungan
yang akrab dengan Allah yang
dikenal Abraham. Selama
perbudakan Israel di Mesir Allah
tidak melupakan perjanjian itu, dan
sesuai dengan itu, membawa Israel
keluar dari Mesir dan berjanji untuk
Di Sinai Allah membuat hubungan perjanjian dengan
mereka yang keluar dari Mesir. Ini seringkali diambil
untuk menandai kelahiran bangsa itu, dan mewakili,
sebagian, penggenapan janji bahwa Abraham akan
menjadi bapa dari suatu bangsa yang besar, dan
berkat yang dijanjikan kepada-Nya akan meluas
sampai kepada keturunannya. Janji kedua menyangkut
tanah Kanaan dan, meskipun umat itu belum
menerima warisan mereka, kepemilikan akan tanah
Perjanjian ditonjol kan dalam peristiwa-peristiwa di
sekeliling keluaran. Janji ketiga kepada Abraham, yang
terletak pada jantung/inti hubungan perjanjian,
merupakan deklarasi Aku akan menjadi Allah mereka
(Kej. 17:8).
Ini menemukan ungkapan dalam
perjanjian Sinai dalam pernyataan
serupa ........ (Kel. 6:7). Janji
terakhir, tentang berkat universal
melalui keturunan-keturunan
Abraham, dilihat dalam panggilan
Israel untuk menjadi bangsa
imamat, yang akan membuat Allah
dikenal kepada bangsa-bangsa dan
yang akan membawa bagsa-
bangsa kepada Allah.
Pemilihan
Keunikan pemilihan

Kita telah memperhatikan bahwa, karena


pentingnya hubungan antara Allah dan Israel
dibangun oleh perjanjian ini, peristiwa-
peristiwa di Sinai seringkali dianggap sebagai
menandai kelahiran Israel sebagai sebuah
bangsa. Namun demikian, kebangsaan saja
tidak menjamin penerimaan berkat, dan
dengan demikian kita melihat hubungan
perjanjian, bersamaan dengan tuntutannya
akan ketaatan, yang diperbarui kepada
generasi berikutnya. Tepat sebelum
kematiannya, Musa mengumpulkan umat itu
di dataran Moab dan menasihatkan mereka
untuk memperbarui komitmen mereka
Disini dasar hubungan itu dibangun oleh
perjanjian Sinai, dari Israel sebagai umat
milik Allah, diperbarui kepada sebuah
generasi yang belum hadir saat perjanjian
Sinai (Horeb), atau terlalu muda untuk
menanggapi tuntutan-tuntutan perjanjian
(ay. 12-13), dan diperluas lebih jauh
masih menyangkut mereka dari generasi
masa depan yang juga akan menerima
kewajiban-kewajibannya (ay. 15, 29).
Masuk kedalam hubung an perjanjian
antara Allah dan umat-Nya tetap,
merupakan isu kontemporer, mengimbau
Perjanjian Sinai juga disamakan dengan ikatan
pernikahan, dan hari-hari awal di padang gurun
menjadi diidealkan dengan masa bulan madu dari
hubungan antara Israel dan suami ilahinya; sehingga
dalam Yeremia 2:2 Allah berkata:.......... (lih. Juga. Mis.
Yes. 54:5; Yer. 3:14; 31:32; Yeh. 16:8; Hos. 2:16-17).
Cara menggambarkan hubungan perjanjian ini
memberikan cakupan bagi kasih, belas kasihan,
kelemah-lembutan dan keintiman yang juga
merupakan bagian dari komitmen Allah bagi umat-
Nya. Ini terlihat, khususnya, dalam nubuat Hosea,
dimana hubungan Allah dengan Israel dicerminkan
dalam hubungan sang nabi dengan istrinya yang tidak
setia.
Melalui penderitaannya sendiri Hosea
memberikan kilasan hati Allah, dan
hasrat Allah untuk memenangkan
kembali pengantinnya (Hos. 2:14-15).
Perasaan lemah lembut Allah bagi
umat-Nya dan rasa sakit dari
penolakan juga nampak dalam Hosea
11, dimana hubungan tersebut
disamakan dengan hubungan antara
ayah dan anak.
Dalam membawanya kembali kepada hubungan
perjanjian ini dengan diri-Nya sendiri, Allah
memilih Israel dari antara bangsa-bangsa (Kel.
19:5-6). Israel adalah unik, terpisah dari bangsa-
bangsa lain sebagai ‘milik pusaka’ Allah sendiri.
Kata yang dipakai disini, segulla, muncul di
tempat-tempat lain untuk menandakan harta
pribadi dari seorang raja (I Taw. 29:3; Pkh. 2:8).
Kita telah memperhatikan pemilihan khusus Israel
diindikasikan oleh Ulangan 32:8-9. Satu bangsa ini
telah dipilih dan dikuduskan oleh Allah untuk
menikmati suatu keintiman dengan Dia yang
belum dikenal oleh bangsa-bangsa lain.
Namun demikian, seluruh
dunia adalah milik Allah. Ia
memilikinya semua,
memerintah atasnya semua
dan memiliki rencana untuknya
semua. Israel dipanggil keluar
sebagai umat istimewa Allah,
namun bukan satu-satunya,
milik, dan peranan Israel dalam
Dasar dari pemilihan

Seperti yang telah kita perhatikan,


pemilihan orang Israel merupakan suatu
penggenapan sebagian dari janji-janji Allah
kepada Abraham. Komitmen Allah yang
murah hati kepada janji-janji yang terdahulu
itu, diungkapkan bahkan lebih kuat lagi
dalam bentuk sumpah (Kej. 24:7; 5:24-25;
Kel. 13:11; bdk. Ibr. 6:17), membentuk
dasar dari pilihan ilahi. Gagasan pemilihan
sebagai sebuah karunia adalah terlihat jelas
dalam Ulangan 7:7-8,......
Disini, sebagaimana dalam perjanjian-perjanjian
terdahulu, kita melihat Allah yang mengambil
inisiatif. Ia memilih Israel, menebus bangsa itu
dari perbudakan di Mesir dan, dalam sebuah
tindakan luar biasa dari anugerah yang berdaulat,
mengambil bangsa ini untuk menjadi milik-Nya
sendiri, mengikatkan diri-Nya sendiri kepada
mereka. Umat tersebut dipilih dan diselamatkan
oleh anugerah.Persekutuan semacam itu dengan
Allah, bagaimanapun, menciptakan tuntutan-
tuntutan yang tak terelakkan, dan tanggapan dari
umat itu adalah untuk taat kepada Hukum:.... (Kel.
19:8).
Unsur Hukum ini telah membawa kepada klaim bahwa
perjanji an Sinai secara mendasar berbeda dari perjanjian
dengan Abraham, yang dilihat, utamanya, sebagai sebuah
perjanjian janji yang bergantung secara mutlak pada Allah
untuk penggenapan nya dan tidak pada tanggapan umat
itu. Perjanjian dengan Nuh juga dilihat sebagai sebuah
perjanjian dari janji yang tidak ber syarat, sebagaimana
dalam perjanjian yang terkemudian dengan Daud. Dalam
pandangan penulis perjanjian haruslah berhubung an
dengan hubungan, sehingga selalu ada suatu unsur
bersyarat. Bagi Nuh, itu adalah ketaatan kepada perintah
untuk mem bangun bahtera dan kemudian masuk ke
dalam, dan mungkin juga ada suatu unsur bersyarat
dalam Kejadian 9:5-6, yang melarang penumpahan darah.
Dalam perjanjian dengan Abraham kita telah
memperhatikan kepentingan dari ketaatannya,
dan peranan dari sunat. Beberapa perjanjian,
seperti Abrahamik dan Davidik, mengandung
unsur-unsur takbersyarat; namun mereka
kepada siapa janji itu dialamat kan mungkin
masih tetap memotong diri mereka sendiri dari
berkat-berkat melalui ketidaktaatan. Janji-janji
dan penggenap an puncaknya adalah pasti,
namun orang dapat memilih apakah menjadi
atau tidak menjadi bagian dari mereka.
Perjanjian Abraham membuat tuntutan-
tuntutan yang konsisten dengan hubungan
yang berlangsung dengan Allah-dan mereka
Tujuan pemilihan

Ciri dari panggilan khusus Israel terlihat dalam dua


ungkapan kerajaan imam-imam dan bangsa yang
kudus. Kudus, disini, berarti ‘dipisahkan, disucikan
untuk dipergunakan oleh Allah’. Israel sedianya
dipisahkan untuk melayani Allah. Sifat dari
pelayanan ini terlihat dalam ungkapan sebelumnya,
kerajaan imam-imam (atau imamat yang rajani).
Imam di Israel fungsinya adalah sebagai perantara,
mewakili Allah bagi umat-Nya dan umat itu kepada
Allah. Ia disucikan untuk melayani Allah, dan
dianugerahi akses istimewa kepada hadirat ilahi.
Disana ia memper sembahkan korban, baik bagi
dirinya sendiri dan mewakili umat-Nya, dan
mempersembahkan kepada Allah doa-doa dan
permohonan umat. Ia juga membawa firman Allah
kepada umat itu. Sang imam adalah seorang pria
Sebagai sebuah kerajaan imam, Israel
juga dipisahkan. Israel diambil dari
bangsa-bangsa untuk menjadi
perantara: untuk menjadi wakil Allah
bagi bangsa-bangsa dan untuk berdiri di
hadapan Allah mewakili mereka. Israel
dipanggil untuk membawa bangsa-
bangsa mendekat kepada Allah dan,
dengan membagikan sinar pewahyuan
Allah dan kabar baik dari penyelamatan-
Nya, untuk membawa Allah lebih dekat
kepada bangsa-bangsa. Peranan Israel
Mereka dipanggil untuk menjadi kudus dan
berbeda: sebuah umat diantara siapa
hadirat Allah akan terlihat, dan kepada
siapa bangsa-bangsa lain akan ditarik-
berusaha untuk memiliki hubungan Israel
dengan Allah. Keefektifan dari kesaksian
Israel bergantung pada keberbedaannya.
Dan itu terus berlaku dalam kehidupan
gereja saat ini. Beberapa nats mengacu
kepada bangsa-bangsa yang ditarik kepada
umat Allah (mis. Yes. 60:1-3; Zak. 8:23),
meskipun Yehezkiel juga mencatat bahwa
ketidaksetiaan dan ketidaktaatan akan
Hukum Taurat

Mengikuti perjanjian Sinai, instrumen


melalui mana Allah akan menggenapi janji-
Nya untuk membawa berkat bagi dunia
diperbesar dari sebuah pribadi dan
keluarga kepada satu bangsa. Allah akan
menyingkapkan diri-Nya sendiri kepada
dunia melalui hidup Israel sebagai satu
komunitas. Kendatipun demikian, untuk
menggenapi panggilan ini, Israel harus
tahu apa artinya hidup sebagai umat
perjanjian Allah. Jadi, disamping perjanjian
yang yang memisahkan Israel sebagai
umat-Nya, Allah memberikan hukum
Hukum Taurat tersebut memberikan umat
itu kesempatan untuk memberikan
tanggapan kepada Allah dalam ketaatan
kasih. Ia juga adalah sebuah pengekangan:
ia memberikan bimbingan dan petunjuk
untuk hidup saleh dan berfungsi sebagai
sebuah sarana yang menyatakan karakter
khas dari umat itu, dan dengannya
keefektifan kesaksian mereka, dapat
dipertahankan. Dilihat dengan cara ini
Hukum Taurat dipandang secara positif
sebagai wahyu Allah, memperkenal kan
jalan kehidupan dalam persekutuan dengan
Dua hal lebih jauh tentang Hukum Taurat yang perlu
disebutkan, khususnya dalam suatu hari ketika
relevansinya bagi gereja kadang-kadang ditiadakan.
Pertama, Hukum Taurat tidak diberikan sebagai sarana
yang melaluinya orang-orang dapat mengusahakan
keselamatan mereka. Dasar dari pemilihan Israel
adalah anugerah. Penebusan dari Mesir bergantung
kepada tanggapan umat itu terhadap tawaran
keselamatan dari Allah, dan tidak ada hubungannya
dengan Hukum Taurat (meskipun tanggapan mereka
memang menyangkut ketaatan). Hukum datang
setelahnya sebagai dasar bukan untuk menjadi umat
Allah namun untuk hidup sebagai umat Allah.
Pada saat yang sama kita harus menyadari bahwa,
meskipun ini menawarkan sebuah koreksi penting
terhadap gagasan bahwa Hukum Taurat adalah dasar bagi
keselamatan, dalam PL menjadi (being) dan melakukan
(doing) tidak dapat dipisahkan. Hal ini berlaku jika
menyangkut karakter Allah. Dalam menjawab pertanyaan-
pertanyaan tentang sifat dan karakter Allah, PL menunjuk
kepada apa yang Allah lakukan: tindakan ilahi dalam
sejarah. Hal yang sama berlaku bagi umat Allah: identitas
dan tindakan tidak dapat dipisahkan. Mereka yang dibawa
kepada hubungan perjanjian dengan Allah harus
mencerminkan itu dalam tindakan-tindakan mereka-dan
mereka yang enggan untuk melakukannya dapat
disingkirkan dari umat itu (mis. Kej. 17:14; Kel. 31:14; Bil.
15:30).
Kedua, lebih dari sekedar seperangkat aturan, hukum
mengungkapkan karakter Allah dan kehendak-Nya
bagi umat-Nya. Mereka yang menyandang nama Allah
terpanggil untuk mencerminkan itu dalam hidup
mereka (lih. Juga Ef. 4:1; lih. Juga mat. 5:16; I Ptr.
2:12). Melalui perjanjian itu, Israel dipanggil kepada
persekutuan dengan Allah yang kudus, dan sebagai
konsekuensinya dipanggil untuk hidup kudus juga.
Sebuah ungkapan kunci dari hal ini adalah Imamat
20:26,..... (lih. Juga. Im. 19:2; 21:8; bdk. I Ptr. 1:15-16).
Hukum Taurat mengungkapkan sesuatu tentang
karakter kudus Allah, dan menunjukkan kepada umat-
Nya bagaimana mereka dapat menjadi lebih seperti
Dia.

Anda mungkin juga menyukai