Anda di halaman 1dari 16

CPR DAN LEGAL ETIK PADA COVID-19 (CORONA)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktik Profesi Ners Stase Keperawatan Gawat
Darurat dan Kritis

Oleh:
Aris Nugraheni
Huda Riyambodo
Khoirul Nur Ihsan
Nurdian Indah Pertiwi

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMADIYAH PONOROGO
2020
BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Coronavirus (CoV) adalah keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit
mulai dari gejala ringan sampai berat. Ada setidaknya dua jenis coronavirus yang
diketahui menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat seperti
Middle East Respiratory Syndrome (MERS-CoV) dan Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS-CoV). Novel coronavirus (2019-nCoV) adalah virus jenis baru yang
belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus corona adalah zoonosis
(ditularkan antara hewan dan manusia). Penelitian menyebutkan bahwa SARS-CoV
ditransmisikan dari kucing luwak (civet cats) ke manusia dan MERS-CoV dari unta ke
manusia. Beberapa coronavirus yang dikenal beredar pada hewan namun belum
terbukti menginfeksi manusia (Kemenkes, 2020).
Manifestasi klinis biasanya muncul dalam 2 hari hingga 14 hari setelah paparan.
Tanda dan gejala umum infeksi coronavirus antara lain gejala gangguan
pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Pada kasus yang berat
dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan
kematian. Pada 31 Desember 2019, WHO China Country Office melaporkan kasus
pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina.
Pada tanggal 7 Januari 2020, Cina mengidentifikasi pneumonia yang tidak
diketahui etiologinya tersebut sebagai jenis barucoronavirus (novel coronavirus,
2019-nCoV). Penambahan jumlah kasus 2019-nCoV berlangsung cukup cepat dan
sudah terjadi penyebaran ke luar wilayah Wuhan dan negara lain. Sampai dengan 26
Januari 2020, secara global 1.320 kasus konfim di 10 negara dg 41 kematian (CFR
3,1%). Rincian China 1297 kasus konfirmasi (termasuk Hongkong, Taiwan, dan
Macau) dengan 41 kematian (39 kematian di Provinsi Hubei, 1 kematian di Provinsi
Hebei, 1 kematian di Provinsi Heilongjiang), Jepang (3 kasus), Thailand (4 kasus),
Korea Selatan (2 kasus), Vietnam (2 kasus), Singapura (3 kasus), USA (2 kasus),
Nepal (1 kasus), Perancis (3 kasus), Australia (3 kasus). Diantara kasus tersebut,
sudah ada beberapa tenaga kesehatan yang dilaporkan terinfeksi. Sampai dengan
24 Januari 2020, WHO melaporkan bahwa penularan dari manusia ke manusia
terbatas (pada kontak keluarga) telah dikonfirmasi di sebagian besar Kota
Wuhan, China dan negara lain (Kemenkes, 2020)
Tanda-tanda dan gejala klinis yang dilaporkan sebagian besar adalah demam,
dengan beberapa kasus mengalami kesulitan bernapas, dan hasil rontgen
menunjukkan infiltrate. pneumonia luas di kedua paru-paru. Menurut hasil
penyelidikan epidemiologi awal, sebagian besar kasus di Wuhan memiliki riwayat
bekerja, menangani, atau pengunjung yang sering berkunjung ke Pasar Grosir
Makanan Laut Huanan. Sampai saat ini, penyebab penularan masih belum diketahui
secara pasti. Rekomendasi standar untuk mencegah penyebaran infeksi dengan
mencuci tangan secara teratur, menerapkan etika batuk dan bersin, memasak daging
dan telur sampai matang. Hindari kontak dekat dengan siapa pun yang menunjukkan
gejala penyakit pernapasan seperti batuk dan bersin (Kemenkes, 2020).
Sampai saat ini, pengetahuan tentang infeksi COVID-19 dalam hubungannya
dengan dilakukannya tindakan CPR dan etik dalam pemberian CPR masih sangat
terbatas. Dari berbagai sumber ada yang mengatakan tetap dilakukan tindakan CPR
dengan memperhatikan banyak hal dan kemungkinan terburuk bila dilakukan CPR.
Namun ada juga sumber yang mengatakan tidak dilakukan CPR. Dari uraian uraian
diatas kita perlu menggali kembali mengenai Tindakan CPR pada kasus infeksi
COVID-19 dan Etik pemberian CPR pada infeksi COVID-19.

II. Rumusan Masalah


Bagaimanakah penatalaksanaan Cardiopulmonary Rescucitation (CPR) dan
legal etis pemberian CPR pada kasus Corona ?

III. Tujuan
1. Tujuan Umum :
Untuk mengetahui penatalaksanaan Cardiopulmonary Rescucitation (CPR) dan
legal etis pemberian CPR pada kasus Corona
2. Tujuan Khusus :
a. Mengetahui pengetahuan umum tentang CPR
b. Mengetahui pengetahuan umum tentang COVID-19
c. Mengetahui penatalaksanaan CPR pada kasus positif COVID-19
d. Mengetahui legal etik pemberian CPR pada kasus positif COVID-19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Pengertian RJP
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resusitasi (CPR) adalah
upaya mengembalikan fungsi nafas dan atau sirkulasi yang berhenti oleh berbagai
sebab dan boleh membantu memulihkan kembali kedua - dua fungsi jantung dan paru
ke keadaan normal (Kaliammah, 2016). CPR bertujuan untuk mengembalikan fungsi
nafas dan juga sirkulasi agar oksigen dan darah sampai keseluruh tubuh (Elyana
Fadiah, 2017).
Pengertian Resusitasi Jantung Paru Resusitasi jantung paru adalah suatu
tindakan gawat darurat akibat kegagalan sirkulasi dan pernafasan untuk dikembalikan
ke fungsi optimal guna mencegah kematian biologis. Resusitasi jantung paru (RJP)
atau juga dikenal dengan cardio pulmoner resusitation (CPR), merupakan gabungan
antara pijat  jantung dan pernafasan buatan (About Cardiac Arrest, 2017).
Teknik ini diberikan pada korban yang mengalami henti jantung dan nafas, tetapi
masih hidup. Komplikasi dari teknik ini adalah  pendarahan hebat. Jika korban
mengalami pendarahan hebat, maka pelaksanaan RJP akan memperbanyak darah
yang keluar sehingga kemungkinan korban meninggal dunia lebih besar. Namun, jika
korban tidak segera diberi RJP, korban  juga akan meninggal dunia. RJP harus segera
dilakukan dalam 4-6 menit setelah ditemukan telah terjadi henti nafas dan henti jantung
untuk mencegah kerusakan sel-sel otak dan lain-lain.Jika penderita ditemukan
bernafas namun tidak sadar maka posisikan dalam keadaan mantap agar jalan nafas
tetap bebas dan sekret dapat keluar dengan sendirinya (Elyana Fadiah, 2017).

II. Tujuan
CPR bertujuan untuk mengembalikan fungsi nafas dan juga sirkulasi agar
oksigen dan darah sampai keseluruh tubuh (Cardiopulmonary resuscitation, 2017).
Tujuan Bantuan Hidup Dasar (BHD) adalah oksigenasi darurat yang diberikan
secara efektif pada organ vital seperti otak dan jantung melelui ventilasi buatan dan
sirkulasi buatan sampai pada jantung dapat menyediakan oksigen dengan kekuatan
sendiri secara normal. Hal ini adalah untuk mencegah terjadinya berhentinya sirkulasi
atau berhentinya respirasi yang dapat menyebabkan kematian sel-sel akibat dari
kekurangan oksigen dan memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi melalui
kompresi dada (Chest Compression) dan ventilasi dari korban yang mengalami henti
jantung atau henti nafas (Kaliammah, 2016).
III. Indikasi
1. Henti Jantung
Henti jantung (Cardiac Arrest) adalah sebuah keadaan adanya
gangguan pada fungsi jantung (About Cardiac Arrest, 2017). Kebanyakan
dari penyebab henti jantung diantaranya akibat adanya gangguan pada
kelistrikan jantung, terdapat adanya irama abnormal pada jantung seperti
ventricular takikardi (VT) dan ventricular fibrilasi (VF) (Understand Your
Risk for Cardiac Arrest, 2017 dalam Elyana Fadiah, 2017).
Henti jantung primer (cardiac arrest) adalah ketidaksanggupan curah
jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen keotak dan organ vital lainnya
secara mendadak dan dapat balik normal, jika dilakukan tindakan yang tepat
atau akan menyebabkan kematian atau kerusakan otak menetap kalau
tindakan tidak adekuat. Henti jantung yang terminal akibat usia lanjut atau
penyakit kronis tertentu tidak termasuk henti jantung atau cardiac
arrest.Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau
takikardi tanpa denyut, kemudian disusun oleh ventrikel asistol dan
terakhirnya oleh disosiasi elektro-mekanik. Dua jenis henti jantung yang
berakhir lebih sulit ditanggulangi kerana akibat gangguan pacemaker jantung.
Fibirilasi ventrikel terjadi karena koordinasi aktivitas jantung menghilang.Henti
jantung ditandai oleh denyut nadi besar yang tidak teraba (karotis, femoralis,
radialis) disertai kebiruan (sianosis), pernafasan berhenti atau gasping, tidak
terdapat dilatasi pupil karena bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien
tidak sadar. Pengiriman oxygen ke otak tergantung pada curah jantung, kadar
hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap oxygen dan fungsi pernapasan.
Iskemia melebihi 3-4 menit pada suhu normal akan menyebabkan kortek
serebri rusak menetap, walaupun setelah itu dapat membuat jantung
berdenyut kembali (Kaliammah, 2016).
2. Henti nafas
Henti nafas (Respiratory Arrest) adalah sebuah keadaan dimana
seseorang berhenti bernafas atau bernafas dengan tidak efektf. Hal ini dapat
terjadi bersamaan dengan henti jantung, tetapi tidak selalu. Sistem
pernafasan akan berhenti ketika jantung juga tidak berfungsi dengan baik.
Jika sistem saraf dan juga otot tidak mampu menunjang pernafasan maka
pasien tersebut akan berada pada keadaan henti nafas (Respiratory
Arrest, 2017 dalam Elyana Fadiah, 2017).
Henti nafas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal,
misalnya seranganstroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap/ uap/
gas, obstruksi jalan nafas oleh benda asing, tesengat listrik, tersambar petir,
serangan infrak jantung, radang epiglottis, tercekik (suffocation), trauma dan
lain-lainnya. Henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan
aliran udara pernafasan dari korban dan ini merupakan kasus yang harus
dilakukan tindakan Bantuan Hidup Dasar (BHD). Pada awal henti nafas,
jantung masih berdenyut dan nadinya masih teraba, dimana oksigen masih
dapat masuk ke dalam darah untuk beberapa menit dan jantung masih dapat
mensirkulasikan darah ke otak dan organ-organ vital yang lainnya. Dengan
memberikan bantuan resusitasi, ia dapat membantu menjalankan sirkulasi
lebih baik dan mencegah kegagalan perfusi organ (Kaliammah, 2016).

IV. Langkah-langkah melakukan RJP


Sebelum melakukan tahapan A (airway) terlebih dahulu dilakukan prosedur awal
pada korban, yaitu memastikan situasi dan keadaan pasien aman atau tidak dengan
memanggil nama atau sebutan Pak!!!, Bu!!!!, Mas!!!, Mbak!!!, dll yang umum dengan
keras disertai menyentuh atau menggoyangkan bahu dengan mantap, sambil
memanggil namanya. Prosedur ini disebut sebagai teknik “touch and talk”. Hal ini
cukup untuk membangunkan orang tidur atau merangsang seseorang untuk bereaksi.
Jika tidak ada respon, kemungkinan pasien tidak sadar. Terdapat tiga derajat tingkat
kesadaran, yaitu, sadar penuh, setengah sadar, dan tidak sadar. Sadar penuh yang
berarti pasien dalam keadaan sadar, berorientasi baik terhadap diri, waktu dan tempat,
setengah sadar yang bererti pasien mengantuk atau bingung, manakala pasien tidak
sadar bererti pasien tidak ada apa-apa respon (Kaliammah, 2016).
Jika pasien berespon tinggalkan pada posisi dimana ditemukan dan hindari
kemungkinan resiko cedera lain yang bisa terjadi dan analisa kebutuhan tim gawat
darurat. Jika sendirian, tinggalkan pasien sementara, mencari bantuan. Observasi dan
kaji ulang secara regular. Jika pasien tidak berespon berteriak minta tolong. Kemudian
atur posisi pasien, sebaiknya pasien terlentang pada permukaan keras dan rata. Jika
ditemukan tidak dalam posisi terlentang, terlentangkan pasien dengan teknik log roll,
secara bersamaan kepala, leher dan punggung digulingkan. Atur posisi untuk
penolong. Berlutut sejajar dengan bahu pasien agar secara efektif dapat memberikan
resusitasi jantung paru (RJP). Terakhirnya, nadi karotis diperiksa. Menurut AHA
Guideline 2010 tidak menekankan pemeriksaan nadi karotis sebagai mekanisme untuk
menilai henti jantung karena penolong sering mengalami kesulitan mendeteksi nadi.
Jika dalam lebih dari 10 detik nadi karotis sulit dideteksi, kompresi dada harus dimulai.
Penolong awam tidak harus memeriksa denyut nadi karotis. Anggap cardiac arrest jika
pasien tiba-tiba tidak sadar, tidak bernapas atau bernapas tapi tidak normal (hanya
gasping) (Kaliammah, 2016).
1. A (Airway)
Pastikan jalan nafas terbuka dan bersih yang memungkinkan pasien dapat
bernafas. Pemeriksaan jalan nafas untuk memastikan jalan nafas bebas dari
sumbatan karena benda asing. Bila sumbatan ada dapat dibersihkan dengan tehnik
cross finger ( ibu jari diletakkan berlawan dengan jari telunjuk pada mulut korban).
Cara melakukan tehnik cross finger adalah pertama sekali silangkan ibu jari dan
telunjuk penolong. Kemudian, letakkan ibu jari pada gigi seri bawah korban dan jari
telinjuk pada gigi seri atas. Lakukan gerakan seperti menggunting untuk membuka
mulut korban. Akhirnya, periksa mulut setelah terbuka apakah ada cairan, benda
asing yang menyumbat jalan nafas (Kaliammah, 2016).
Membuka jalan nafas pada korban yang tidak sadar tonus otot menghilang,
maka lidah dan epiglotis akan menutup faring dan laring sehingga menyebabkan
sumbatan jalan nafas. Keadaan ini dapat dibebaskan dengan tengadah kepala
topang dahi (Head tild Chin lift) dan manuver pendorongan mandibula (Jaw thrush
manuver). Cara melakukan teknik Head tilt chin lift ialah letakkan tangan pada dahi
korban,kemudian tekan dahi sedikit mengarah ke depan dengan telapak tangan
penolong. Letakkan ujung jari tangan lainnya dibawah bagian ujung tulang rahang
korban. Tengadahkan kepala dan tahan serta tekan dahi korban secara bersamaan
sampai kepala pasien/korban pada posisi ekstensi. Manakala, cara untuk
melakukan teknik jaw thrust manuvere adalah letakkan kedua siku penolong sejajar
dengan posisi korban. Kemudian, kedua tangan memegang sisi kepala korban.
Penolong memegang kedua sisi rahang dan kedua tangan penolong menggerakkan
rahang keposisi depan secara perlahaan. Akhirnya, pertahankan posisimulut korban
tetap terbuka (Kaliammah, 2016).
Apabila terdapat benda asing yang mengobstruksi jalur nafas pasien,ia
dikeluarkan. Kemudian cek tanda kehidupan iaitu respon dan suara napas pasien.
Jangan mendongakkan dahi secara berlebihan, secukupnya untuk membuka jalan
napas saja, karena pasien boleh ada cedera leher (Kaliammah, 2016).
Menurut AHA Guideline (2010) merekomendasikan untuk gunakan head tilt-
chin lift untuk membuka jalan napas pada pasien tanpa ada trauma kepala dan
leher. Sekitar 0,12-3,7% mengalami cedera spinal dan risiko cedera spinal
meningkat jika pasien mengalami cedera kraniofasial dan/atau GCS <8. Manakala,
gunakan jaw thrust jika suspek cedera servikal. Pada pasien suspek cedera spinal
lebih diutamakan dilakukan restriksi manual (menempatkan 1 tangan di ditiap sisi
kepala pasien) daripada menggunakan spinal immobilization devices karena dapat
mengganggu jalan napas tapi alat ini bermanfaat mempertahankan kesejajaran
spinal selama transportasi (Kaliammah, 2016).
2. B (Breathing)
Terdiri dari 2 tahap yaitu :
a. Memastikan korban tidak bernafas atau tidak.
Dengan cara melihat pergerakan naik turunya dada (look), mendengar bunyi
nafas (listen) dan merasakan hembusan nafas (feel), dengan teknik penolong
mendekatkan telinga diatas mulut dan hidung korban sambil tetap
mempertahankan jalan nafas tetap terbuka. Ini dilakukan tidak lebih dari 10 detik
(Kaliammah, 2016).
b. Memberikan bantuan nafas
Bantuan nafas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung, mulut
ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan). Bantuan nafas diberikan
sebanyak 2 kali, waktu tiap kali hembusan 1,5 - 2 detik.
Pernapasan buatan diberikan dengan cara :
1) Mouth to Mouth Ventilation
Cara langsung sudah tidak dianjurkan karena bahaya infeksi (terutama
hepatitis, HIV) karena itu harus memakai ”barrier device” (alat perantara).
Dengan cara ini akan dicapai konsentrasi oksigen hanya 18 %.
a) Tangan kiri penolong menutup hidung korban dengan cara memijitnya
dengan jari telunjuk dan ibu jari, tangan kanan penolong menarik dagu
korban ke atas.
b) Penolong menarik napas dalam-dalam, kemudian letakkan mulut
penolong ke atas mulut korban sampai menutupi seluruh mulut korban
secara pelan-pelan sambil memperhatikan adanya gerakan dada korban
sebagai akibat dari tiupan napas penolong. Gerakan ini menunjukkan
bahwa udara yang ditiupkan oleh penolong itu masuk ke dalam paru-
paru korban.
c) Setelah itu angkat mulut penolong dan lepaskan jari penolong dari
hidung korban. Hal ini memberikan kesempatan pada dada korban
kembali ke posisi semula.
2) Mouth to Stoma
Dapat dilakukan dengan membuat Krikotiroidektomi yang kemudian
dihembuskan udara melalui jalan yang telah dibuat melalui prosedur
Krikotiroidektomi tadi (Kaliammah, 2016).
3) Mouth to Mask ventilation
Pada cara ini, udara ditiupkan ke dalam mulut penderita dengan bantuan
face mask (Kaliammah, 2016).
3. C (Circulation)
Nilai sirkulasi darah korban dengan menilai denyut arteri besar (arteri karotis, arteri
femorsalis). Berikut merupakan langkah-langkah RJP iaitu :

a. Apabila terdapat denyut nadi maka berikan pernafasan buatan 2 kali


b. Apabila tidak terdapat denyut nadi maka lakukan kompresi dada sebanyak 30
kali

c. Posisi kompresi dada, dimulai dari melokasi processus xyphoideus dan tarik
garis ke kranial 2 jari diatas processus xyphoideus dan lakukan kompresi
kepada tempat tersebut

d. Kemudain berikan 2 kali nafas buatan dan teruskan kompresi dada sebanyak 30
kali. Ulangi siklus ini sebanyak 5 kali dengan kecepatan kompresi 100 kali
permenit.

e. Kemudian check nadi dan nafas korban apabila tidak ada nafas dan nadi
teruskan RJP sampai bantuan datang, jika terdapat nadi tetapi tidakan nafas
mulai lakukan lakukan pernafasan buatan. Jika terdapat nadi dan nafas korban
adekuat, berarti kondisi membaik, lanjutkan posisi recovery (Kaliammah, 2016).

V. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan RJP


1. RJP jangan berhenti lebih dari 5 detik dengan alasan apapun.
2. Tidak perlu memindahkan penderita ke tempat yang lebih baik, kecuali  bila ia
sudah stabil.
3. Jangan menekan prosesus xifoideus pada ujung tulang dada, karena dapat
berakibat robeknya hati.
4. Diantara tiap kompresi, tangan harus melepas tekanan tetapi melekat pada
sternum, jari-jari jangan menekan iga korban.
5. Hindarkan gerakan yang menyentak. Kompresi harus lembut, teratur dan tidak
terputus.

VI. Komplikasi
1. Distensi lambung
2. Patah tulang kosta
3. Hemo thoraks
4. Rusak jaringan paru
5. Laserasi hati
6. Emboli otak
VII. Pengertian COVID-19
Menurut World Health Organization (WHO) adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh coronavirus.Virus ini ditemukan pertama kali di Wuhan Cina.
Sebagian orang yang terinfeksi COVID-19 akan mengalami penyakit pernafasan ringan
hingga sedang, bahkan menyebabkan sulit bernafas hingga meninggal. Virus ini akan
sembuh dengan sendirinya karena imunitas tubuh.
Coronavirus (CoV) adalah keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit
mulai dari gejala ringan sampai berat. Ada setidaknya dua jenis coronavirus yang
diketahui menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat seperti
Middle East Respiratory Syndrome (MERS-CoV) dan Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS-CoV). Novel coronavirus (2019-nCoV) adalah virus jenis baru yang
belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus corona adalah zoonosis
(ditularkan antara hewan dan manusia). Penelitian menyebutkan bahwa SARS-CoV
ditransmisikan dari kucing luwak (civet cats) ke manusia dan MERS-CoV dari unta ke
manusia. Beberapa coronavirus yang dikenal beredar pada hewan namun belum
terbukti menginfeksi manusia (Kemenkes, 2020).

VIII. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis biasanya muncul dalam 2 hari hingga 14 hari setelah paparan.
Tanda dan gejala umum infeksi coronavirus antara lain gejala gangguan pernapasan
akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Pada kasus yang berat dapat
menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan
kematian. Selain itu dapat disertai dengan sesak memberat, fatigue, mialgia, gejala
gastrointestinal seperti diare dan gejala saluran napas lain. Setengah dari pasien
timbul sesak dalam satu minggu. Pada kasus berat perburukan secara cepat dan
progresif, seperti ARDS, syok septik, asidosis metabolik yang sulit dikoreksi dan
perdarahan atau disfungsi sistem koagulasi dalam beberapa hari. Pada beberapa
pasien, gejala yang muncul ringan, bahkan tidak disertai dengan demam.Kebanyakan
pasien memiliki prognosis baik, dengan sebagian kecil dalam kondisi kritis bahkan
meninggal (Kemenkes, 2020).

IX. Rekomendasi Umum Terkait COVID-19 Mengenai Tidakan CPR


Penularan COVID-19 menyebar dengan cara mirip seperti flu, mengikuti pola
penyebaran droplet dan kontak. Gejala klinis pertama yang muncul, yaitu demam

(suhu lebih dari 38ºC), batuk dan kesulitan bernapas, selain itu dapat disertai dengan
sesak memberat, lemas, nyeri otot, diare dan gejala gangguan napas lainnya. Saat ini
masih belum ada vaksin untuk mencegah infeksi COVID-19. Cara terbaik untuk
mencegah infeksi adalah dengan menghidari terpapar virus penyebab. Lakukan
tindakan-tindakan pencegahan penularan dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Rekomendasi utama untuk tenaga kesehatan yang menangani pasien COVID-
19 khususnya pada tindakan pemberian CPR :
1. Tindakan CPR/RJP pada kasus COVID-19 dilakukan dengan berpacu pada aman
diri, aman pasien, dan aman lingkungan.
2. Pasien dengan dugaan COVID-19 dalam henti jantung harus diberikan kompresi
jantung dan hanya diberikan ventilasi jika berada di ruang gawat darurat dengan
syarat petugas yang melakukan menggunakan APD lengkap. Saran ini didasarkan
pada premis bahwa kompresi jantung beresiko partikel virus dilepaskan ke udara
yang dapat menginfeksi staf.
3. Tidak dianjurkan melakukan tindakan CPR pada pasien COVID-19 jika petugas
tidak memakai APD yang lengkap (Elisabeth, 2020)
4. Tidak diperbolehkannya mengambil tindakan apapun pada pasien dugaan COVID-
19 termasuk CPR sebelum ada anggota tim medis/paramedis yang memakai alat
perlindungan diri lengkap datang.

X. Rekomendasi Umum Terkait COVID-19 Mengenai Legal Etik Tidakan CPR


Pandemi COVID-19 ini menimbulkan tantangan yang belum pernah terjadi
sebelumya mengenai sistem perawatan kesehatan. Menurut kode etik profesi, tenaga
medis bertindak berdasarkan hati nurani dan kemanusiaan. Implikasi dari standar
normatif ini bertujuan untuk memprioritaskan situasi yang diluar pemikiran karena
pandemik COVID-19 belum cukup diklarifikasi. Ketidakpastian ini mengarah pada
beban emosional dan moral bagi tenaga medis.
Elizabeth Mahase dan Zosia Kmietowicz dalam jurnalnya menerangkan ada 2 alasan
yang harus dipertimbangkan mengenai kebijakan atau untuk tidak melaksanakan atau
menghindari tindakan CPR, yakni :
1. Tindakan standar atau prosedur dalam pemberian CPR akan memberikan
tambahan beban psikologis bagi keluarga pasien, ditunjang dengan keadaan yang
memungkinkan menimbulkan potensi bahaya bagi petugas kesehatan bila dalam
pelaksanaan CPR tidak tepat.
2. Kebutuhan CPR dalam kondisi tertentu akan membebani sumber daya yang ada,
baik dari sumber daya manusia maupun peralatan pedukung, mengingat satu tim
dalam pelaksanaan CPR membutuhkan beberapa anggota tenaga kesehatan,
ditunjang dengan pernyataan bahwa angka harapan hidup pada pasien COVID-19
yang mengalami henti jantung sangat kecil.
Dari hal ini Elizabeth Mahase (2020) menerangkan bahwa kondisi pandemi
COVID-19 ini meningkatkan pentingnya menerapkan perintah Do Not Rescucitation
(DNR) pada pasien positif COVID-19.
Elizabeth menambahkan pelaksanaan pesan DNR ini dapat terjadi dalam 3 situasi :
1. Pasien atau pembuat keputusan dari anggota keluarga dapat memahami dan
mengkomunikasikan dengan anggota keluarga lain bahwa pasien dalam kondisi
seperti ini tidak menginginkan dilakukan RJP/CPR, atau jika dalam kondisi sadar,
pasien akan lebih memilih tindakan lain untuk penanganan, dan bisa saja
memerintahkan dokter maupun paramedis untuk berhenti melakukan perawatan.
2. Pasien atau pembuat keputusan dapat mengikuti rekomendasi dari dokter untuk
melupakan atau menghindari tindakan CPR, dalam hal ini peran dokter maupun
petugas medis lain dituntut untuk memberikan penjelasan mengenai resiko
maupun hasilnya, dalam akhir penjelasan petugas medis diwajibkan untuk
memberikan informed consent atau persetujuan dengan pihak keluarga sebagai
penguat atau legalitas hukum dalam setiap keputusan yang diambil.
3. Dalam situasi pandemi ekstrim seperti ini yang memungkinkan CPR tidak akan
efektif dalam menangani henti jantung pasien positif COVID-19, dokter maupun
petugas kesehatan lain secara sepihak memutuskan untuk menulis perintah DNR
pada pasien COVID-19. Hal ini didahului dengan penjelasan atau edukasi yang
dilakukan kepada anggota keluarga dengan tata cara dan norma yang baik
sekaligus dapat diterima, penjelasan ini menekankan bahwa anggota keluarga
dituntut untuk memberikan izin kepada dokter dalam mengambil kebijakan
ataupun tanggung jawab apapun itu keputusannya.
Pernyataan lain dari Nick Crombie dalam Elizabeth Mahase (2020) menjelaskan
bahwa setiap pasien COVID-19 yang membutuhkan penanganan RJP ini tidak hanya
berpotensi menginfeksi Dokter maupun tenaga medis lain, tetapi juga keluarga tenaga
medis dirumah, dalam situasi seperti ini petugas kesehatan sebagai garda terdepan
dituntut untuk masuk dalam pola fikir bahwa keselamatan diri sendiri merupakan
prioritas utama, karena hal ini kedepannya tidak hanya berpengaruh terhadap kondisi
kesehatan individu petugas kesehatan itu sendiri.
Jerry Nolan, Rescucitation Council UK’s executive committe and chair of the
European Resuscitation Council menjelaskan bahwa pada saat ini para ahli di seluruh
dunia sedang bergulat dengan keputusan ataupun saran dalam mengelola pasien
COVID-19 seperti CPR, masih menjadi pembahasanbersama apakah kompresi dada
mampu menjadi sumber penularan yang signifikan. Dalam akhir sesi Nolan
menambahkan bahwa prosedur CPR sangat memungkinkan untuk paling tidak
mengeluarkan partikel-partikel kecil yang mampu bersama-sama dengan udara,
seperti halnya droplet. Nolan juga menekankan bahwa pada saat ini Dokter di
Birmingham lebih berfokus kepada penanganan pasien COVID-19 secara lebih serius
untuk menghindari kemungkinan terjadinya henti jantung.
DAFTAR PUSTAKA

Backer J, Backer J, Klinkenberg D, Wallinga J. (2020). Incubation period of 2019 novel


coronavirus (2019-nCoV) infections among travellers from Wuhan, China, 20–28
January 2020. https://www.eurosurveillance.org/content/10.2807/1560-
7917.ES.2020.25.5.200 0062. Diakses pada 1 april 2020.

Curtis,J.Randall. (2020). MPHT heIm portance of Addressing Advance Care Planning


and Decisions About Do-Not-Resuscitate Orders During Novel Coronavirus 2019
(COVID-19). JAMA Published on line March 27 2020.

Department of Health and Social Care, Public Health Wales, Public Health Agency
Northern Ireland, Health Protection Scotland, Public Health England. (2020).
COVID-19: Guidance forinfection prevention and control in healthcare settings.
2020.https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploa
ds/attachment_data/file/876569/Infection_prevention_and_control_guidance_for
_pandemic_coronavirus.pdf. Diakses pada tanggal 1 April 2020.

Fadiyah E. (2018). Gambaran Pengetahuan Perawat Tentang High Quality


Cardiopulmonary Resuscitation (CPR). Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat : Banjarbaru. Jurnal tidak dipublikasikan.

Ganthikumar, K. (2016). Indikasi dan Keterampilan Resusitasi Jantung Paru (RJP). E-


ISSN: 25033638, Print ISSN: 208-9084 ISM VOL.6 NO. 1, HAL 58-64. Jurnal
Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Hazinski, M, Shuster M, Donnino M, Travers A, Samson R, Schexnayder S, Atkins


D . (2015). Highlights of the 2015 american heart association guidelines update
for CPR and ECG. American Heart Association, pp.1–36.

Kemenkes RI. (2020). Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian


Coronavirus Disease (Covid-19) Revisi Ke-4. Direktorat Jendral Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit.

Mahase E, Zosia Kmietowicz. 2020. Covid-19: Doctors are told not to perform CPR on
patients in cardiac arrest.BMJ 2020;368:m1282 doi: 10.1136/bmj.m1282
(Published 29 March 2020).
Resuscitation Council UK. (2020). COVID-19 resources: healthcare settings.
https://www.resus.org.uk/media/statements/resuscitation-council-uk-statements-
on-covid-19-coronavirus-cpr-and-resuscitation/covid-healthcare-resources.
Diakses pada tanggal 1 April 2020.

Turangan dan Malara R . (2017). Faktor-faktor yang berhubungan dengan


pengetahuan perawat dalam menghadapi cardiac arrest di RSUP Prof. R. D.
Kandou Manado. E-Journal Keperawatan (E-Kp), Vol.5, No.1, hal.1–8.

Anda mungkin juga menyukai