Anda di halaman 1dari 16

I.

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Seiring dengan pertumbuhan penduduk membuat kebutuhan akan sumber


daya energi di berbagai negara meningkat, tidak terkecuali bagi negara indonesia
yang memiliki jumlah penduduk terbesar ke 4 di dunia. salah satu sumber energi
yang memiliki pengaruh penting bagi suatu negara adalah minyak dan gas bumi.
oleh karena itu, peningkat sumber daya minyak dan gas bumi harus terus di
tingkat untuk menghindari krisis energi. Disisi lain, keberadaan minyak dan gas
bumi dapat menjadi pemasok devisa terbesar bagi suatu negara.
Keterdapatan sumber daya minyak dan gas bumi di suatu daerah
bergantung pada kondisi geologi dan keterdapatan cekungan. Menurut priyono
(2010) dalam praptisi (2012) di indonesia terdapat 60 cekungan sedimen yang
berpotensi menghasilkan hidrokarbon akan tetapi baru 16 cekungan yang
bereproduksi. Akan tetapi, beberapa cekungan sedimen tersebut telah berumur tua
sehingga produksi minyak dan gas bumi indonesia dari tahun ke tahun senantiasa
mengalami penurunan.
Berdasarkan Peta Cekungan sedimen Indonesia (badan Geoloogi,2012), di
provinsi sulawesi tenggara terdapat cekungan Muna-Buton yang berumur
pretersier-tersier. Cekungan ini memiliki potensi untuk menghasilkan minyak dan
gas bumi. hal ini, terbukti dengan keterdapatan aspal di pulau buton. aspal ini
merupakan salah satu produk dari hidrokarbon. Akan tetapi, belum ada penelitian
yang lebih jauh terkait keterdapatan minyak dan gas bumi di daerah ini.
Dalam dunia geofisika terdapat beberapa metode yang dapat digunakan
untuk eksplorasi hidrokarbon salah satunya adalah metode gravitasi. Penggunaan
metode gayaberat didasarkan pada kemampuan metode ini dalam membedakan
densitas suatu material terhadap lingkungan sekitarnya. Distribusi nilai densitas
yang beragam di bawah permukaaan dapat menjadi indikasi model atau struktur
geologi yang ada di dalamnya.
Variasi nilai densitas ini kemudian disebut anomali, yang akan
mempengaruhi nilai pengukuran medan gravitasi pada daerah penelitian. Metode
gravitasi merupakan metode yang digunakan pada tahap awal eksplorasi
hidrokarbon. metode ini digunakan untuk memetakan struktur dibawah
permukaan bumi yaitu menentukan batas sub-cekungan hidrokarbon,informasi
batas cekungan struktur dan pola tingian serta struktur bawah permukaan suatu
daerah eksplorasi.
Pada dasarnya suatu metode geofisika saling terkait satu sama lain,
sehingga untuk mendapat hasil observasi yang akutrat maka dapat dilakukan
penggabungan metode geofisika. Seperti halnya pada penelitian ini metode
geofiska yang digabungkan yaitu metode gravitasi dan metode seismik.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut


1. Bagaimana pola sebaran anomali medan gravitasi di cekungan
2. Bagaimana permodelan struktur geologi di cekungan Muna Buton
berdasarkan anomali medan gravitasi

C. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut;
1. Mengetahui sebaran medan anomali gravitasi di cekungan Bintuni
Provinsi Papua Barat.
2. Untuk mengetahui struktur geologi bawah permukaan yang menyusun
Cekungan Bituni Provinsi Papua Barat

D. Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut;
1. Memberikan kontribusi pengetahuan tentang penggunaan metode gravitasi
citra untuk mengindentifikasi potensi keterdapatan hidrokarbon di suatu
daerah
2. Sebagai sumber informasi untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
II.TINJAUAN PUSTAKA

A. Geologi Regional
Wilayah Pulau Muna dan Pulau Buton masuk dalam tiga fragmen
mikrokontinen yang terdiri dari Muna, Buton dan Tukang Besi. Dengan adanya
ketiga buah mikrokontinen ini menyebabkan Pulau Muna dan Pulau Buton
mengalami dua kali tumbukan (collision). Pulau Buton sendiri diperkirakan
berasal dari pecahan benua Australia-Papua Nugini yang mengalami pemisahan
(rifting). Menurut Davidson (1991) peristiwa tumbukan (collision) antara fragmen
microkontinen terjadi dari kurun waktu Oligosen sampai Miosen Awal.
Pada Miosen Awal terjadi tumbukan (collision) antara mikrokontinen
Pulau Muna dan Pulau Buton. Ketika proses tumbukan (collison) Pulau Muna
mengalami pengangkatan (uplift). Selain itu, melalui proses tumbukan (collision)
terbentuklah rangkaian pengunungan ofiolit yang dikenal dengan sebutan
kapantoreh (Tanjung et.al., 2007). Peristiwa ini ditandai dengan adanyaa
rangkaian “thin skinned” thrust dan lipatan.

Gambar 1. Peta Geologi Daerah Penelitian


1. Geomorfologi regional
Pengaruh dari tumbukan (collision) antara mikrokontinen Pulau Buton dan
Tukang Besi mulai terekam pada akhir Pliosen (Tanjung et.al., 2007). Tumbukan
(collision) antara kedua mikrokontinen ini menghasilkan pergerakan strike-slip
dan dip-slip sehingga mengakibatnya terjadinya pengangkatan dan penurunan
(subsidence). Berdasarkan geomorfologi dan distribusi dari batugamping terumbu
berumur Pleistosen, di ketahui bahwa bagian selatan Pulau Buton mengalami
pengakatan (uplift) dan bagian utara Pulau Buton menurun.
Geomorfologi regional Lembar Buton sebagai besar merupakan daerah
perbukitan dengan ketinggian rata antara 50 meter sampai 400 meter, akan tetapi
dibeberapa tempat dapat memcapai >1000 meter diatas permukaan laut serta
mempunyai kemiringan yang terjal (Suryana, 2005). Kenampakan morfologi
daerah penyelidikan sebagian besar dibentuk oleh batugamping dan konglomerat
yang membentuk perbukitan. Pola aliran sungai yang terdapat didaerah
penyelidikan pada umumnya terdiri dari dua pola yaitu pola aliran radial dan sub
dendritik. Kedua pola aliran ini dikontrol oleh litologi dan struktur yang
terbentuk.

2. Stratigrafi regional
Daerah penelitian masuk dalam peta geologi Lembar Buton, Sulawesi
Tenggara sehingga jenis batuan yang tersingkap di daerah ini memiliki umur dari
Trias hingga Kuarter. Satuan batuan tertua di daerah ini adalah Formasi Doole dan
Formasi Winto yang diperkirakan berumur Trias. Satuan batuan ini ditindih secara
tidak selaras oleh Formasi Ogena dan Rumu yang berumur Jura. Kemudian
Formasi Ogena dan Formasi Rumu ditindih oleh Formasi Tobelo yang berumur
Kapur Atas. Diatas Formasi Tobelo terendapkan satuan batuan berumur Tersier
yang terdiri dari Formasi Tondo, Formasi Wapulaka dan serta endapan Alluvium
(Suryana, 2005). Satuan batuan yang menyusun pulau ini terdiri dari atas:
a. Formasi Doole merupakan merupakan formasi tertua yang
menyusun daerah penelitian, tersusun oleh batuan metamorf berupa
kuarsit mika, yang berselingan dengan filit dan batusabak.
Ketebalan formasi ini diperkirakan mencapai 500 meter, formasi
ini berumur Trias sampai Jura.
b. Formasi Winto tersusun dari batuan selang seling serpih, serpih
napalan, batupasir arkose, konglomerat dengan sisipan tipis
batugamping berwarna gelap. Satuan ini menutupi sekis kristalin
yang terlipatkan. Berdasarkan fosil Halobia sp yang terdapat dalam
lapisan batugamping, satuan ini diperkirakan berumur Trias Atas
(Hadiwisastra, 2009).
b. Formasi Ogena tersusun oleh batugamping pelagos bersisipan klastika
halus, batugamping pasiran, dan batupasir. Formasi Ogena di perkirakan
berumur Jura Atas dan terendapkan di lingkungan laut dalam (Subarnas).
c. Formasi Rumu tersusun oleh perselingan antara batugamping, napal dan
sisipan batulempung. Pada formasi ini banyak ditemukan fosil
belemnopsis sp seperti ancella cf. Berdasarkan kandungan fosilnya umur
formasi ini adalah Jura Atas. Kontak antara formasi ini dengan formasi
dibawahnya menunjukkan adanya keselarasan.
d. Formasi Tobelo disusun oleh lapisan batugamping dengan sisipan tipis
napal. Selain itu, satuan ini memiliki sisipan rijang dengan kandungan
fosil Foraminifera yang terdiri Globotruncana Canaliculate, Globerigerina
Creatacea dan Pseudotextularia Globulosa. Fosil-fosil ini merupakan fauna
yang diperkirakan berumur Kapur. Lapisan batugamping kalsilutit dari
formasi ini mengandung fosil Radiolaria.
e. Formasi Tondo tersusun oleh batupasir kerikilan, konglomerat,
perselingan batupasir, batulanau, dan batulempung. Selain itu pada
formasi ini juga terdapat lapisan batugamping. Formasi Tondo
terendapkan pada lingkungan neritik sampai batial bawah. Kandungan
fosil yang terdapat pada formasi ini antara lain Lepidocyclina sumatrensis,
Lepidocyclina ferreroi, Miogypsina sp.,Amphistegina sp., dan
Heterostegina sp yang menandakan bahwa umur formasi ini berkisar antar
Miosen Tengah sampai Miosen Atas. Selain itu, pada formasi ini sering
dijumpai rembesan aspal ke permukaan yang membentuk urat-urat aspal
(Agus, 2005).
f. Formasi Sampolakosa terendapkan secara selaras diatas Formasi
Tondo. Formasi ini disusun oleh batunapal dan batupasir gampingan
dengan sisipan kalkarenit berlapis tipis. Di beberapa tempat terdapat
impregnasi oleh aspal, mengandung aspal, dan pada beberapa tempat
dijumpai rembesan aspal murni. Dalam formasi ini di temukan fosil
foraminifera dan fosil moluska yang mencirikan kondisi lingkungan laut
dalam. Formasi ini diperkiraan terendapankan pada lingkungan neritik
hingga batial dengan umur Miosen Atas sampai Plistosen Bawah.
g. Formasi Wapulaka adalah formasi termuda yang terdapat pada daerah
penelitian, yang tersusun oleh batugamping terumbu, yang dibagian
bawahnya terdiri dari atas napal dan batugamping pasiran. formasi ini
berumur Plistosen dan menindih secara selaras Formasi Sampolakosa
yang berada dibawahnya.

3. Struktur Geologi Regional


Struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian terdiri struktur
lipatan dan sesar. Struktur lipatan terdiri dari antiklin dan sinklin yang memiliki
arah barat daya- timur laut hingga utara selatan. Struktur perlipatan ini hampir
mempengaruhi seluruh formasi yang ada daerah penelitian (Suryana, 2005). Hal
ini terlihat dengan adanya perlipatan pada seluruh formasi yang terbentuk pada
daerah ini.
Sesar yang berkembang pada daerah ini antara lain sesar naik, sesar
normal dan sesar mendatar. Sesar mendatar terdapat pada bagian selatan serta
memotong beberapa formasi diantaranya Formasi Winto, Formasi Tondo dan
Formasi Sampolakosa (Suryana, 2005). Sesar mendatar yang terbentuk memiliki
arah Baratlaut-Tenggara. Sesar ini diperkirakan terbentuk setelah terjadi
perlipatan, hal ini terlihat karena dibeberapa lokasi terdapat sesar yang memotong
sumbu lipatan.
Sesar naik dijumpai pada bagian Utara Barat yang merupakan kontak batas
antara Formasi Winto dan Formasi Tobelo dengan arah Timurlaut-Baratdaya yang
kemudian membelok Utara-Selatan hinggga Baratlaut-Tenggara. Adapun sesar
naik yang ada dibagian Timur daerah penelitian dijumpai pada Formasi Tobelo
yang bearah Baratlaut-Tenggara (Suryana, 2005). Sedangkan untuk sesar normal
dijumpai di Utara Pulau G.Wani yang merupakan batas antara Formasi Ogena dan
Formasi Tobelo serta di selatan desa labuan yang merupakan batas antara Formasi
Winto dan Formasi Tondo yang berarah Utara-Selatan.

B. Sistem Petroleum
Minyak dan gas bumi (Petroleum) adalah kompleks hidrokarbon (senyawa
yang berasal dari unsur karbon dan hidrogen) yang terbentuk secara alamiah dan
terperangkap dibawah permukaan bumi. Menurut Abraham (1945) dalam
makhrani (2012) zat hidrokarbon yang terperangkap dibawah permukaan ini dapat
diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu bitumina dan nonbitumina. Golongan
Bitumina adalah zat hidrokarbon yang akan larut dalam karbondisulfida.
Golongan Bitumina dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu padat dan
cair. Bitumina yang berbentuk padat dibagi menjadi dua kelompok yaitu yang
mudah melumer dan sukar melumer. Untuk jenis bitumina pada yang mudah
melumer terdiri dari lilin mineral dan aspal. Adapun untuk bitumina padat yang
sukar melumer dinamakan aspalit. Untuk jenis bitumina yang berbentuk cair
disebut sebagai minyak (petroleum) yang akan dijadikan sebagai bahan bakar
kendaraan bermotor.
Golongan nonbitumina merupakan zat hidrokarbon yang tidak larut dalam
karbondisulfida. Nonbitumina ini dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori
yaitu dapat dilumerkan dan tidak dapat dilumerkan. Golongan nonbitumina yang
tidak dapat dilumerkan terdiri dari dua yaitu aspal dan non-aspal seperti batubara.
Golongan nonbitumina yang tidak dapt larut ini disebut sebagai pirobitumina
(makhrani,2012).
Sistem petroleum adalah sistem yang menjadi acuan atau patokan
berkaitan dengan keterdapatan hidrokarbon disuatu daerah. Sistem petroleum
dapat di klasifikasikan menjadi dua komponen yaitu elemen utama dan proses
pembentukan hidrokarbon. Elemen utama yang menyusun sistem petroleum
adalah batuan sumber (source rock), batuan reservoir (reservoir rock), batuan
penutup (cap rock) dan perangkap (trap). Adapun proses pembentukan
hidrokarbon meliputi pemasakan dan migrasi.

1. Batuan Sumber (source rock)

Batuan sumber (source rock) adalah batuan tempat terbentuknya minyak


dan gas bumi. Batuan sumber (source rock) biasanya berupa batuan sedimen yang
mengadung zat-zat organik yang dapat menghasilkan hidrokarbon. Minyak dan
gas bumi yang terbentuk disini merupakan hasil dari pembusukan material organic
seperti tumbuhan laut (ganggang dan tumbuhan sejenisnya) dan binatang kecil
seperti ikan. Melalui proses pemanasan dan tekanan maka material organik ini
akan berubah menjadi hidrokarbon.
Terdapat tiga tahap dalam prose pembentukan batuan induk yang meliputi
diagenesis, catagenesis dan metagenesis. Diagenesis adalah proses perubahan
material-material organik menjadi molekul-molekul berukuran besar yang disebut
sebagai kerogen. Proses diagenesis ini berlangsung pada temperature 500C.
Akibat adanya peningkatan tekanan dan temperatur kerogen yang dihasilkan pada
tahap diagenesis akan berubah bentuk menjadi material-material kecil yang aktif
bergerak. Materia-material ini disebut sebagai bitumen. Pada tahap inilah awal
mula terbentuknya hidrokarbon. Tahap catagenesis ini terjadi pada temperature
50-1500C. Akibat adanya peningkatan suhu hidrokarbon yang terbentuk akan
berubah bentuk menjadi molekul-molekul gas yang lebih ringan (dry gas). Proses
perubahan hidrokarbon menjadi molekul gas yang lebih ringan disebut sebagai
metagenesi dan terjadi pada temperature 150 -200 0C.

2. Batuan Reservoir (Reservoir Rock)


Batuan reservoir adalah batuan yang memiliki porositas dan permeabilitas
yang cukup sehingga dapat menyimpan dan melewatkan hidrokarbon yang
melaluinya (Hariburton, 2001). Hidrokarbon bermigrasi ke atas melalui formasi
batuan berpori dan permeabel hingga mencapai permukaan sebagai rembesan atau
terperangkap di bawah permukaan oleh batuan penutup yang tidak permeabel
yang memungkinkan terjadinya penumpukan di batuan reservoir. Batupasir dan
batuan karbonatan (misalnya batugamping dan dolomit) merupakan batuan yang
berpotensi menjadi batuan waduk (reservoir).

3. Batuan Penutup (Cap Rock)


Batuan Penutup (cap rock) adalah lapisan penutup yang dapat menahan
minyak dan gas bumi yang telah terperangkap agar tidak keluar dari sarang
perangkapnya. Batuan penutup ini dapat berupa batuan yamg kedap seperti batuan
klastika halus maupun lapisan yang memiliki permeabilitas yang kecil
(Hadiwisastra, 2009). Jenis batuan penutup antara lain lempung dan lapisan tebal
batuan garam.

4. Perangkap (Trap)
Perangkap (trap) adalah kombinasi berbagai faktor fisik yang dapat
mendukung akumulasi dan retensi minyak bumi di satu lokasi (Hariburton,2001).
Secara geologi perangkap hidrokarbon terbagi menjadi tiga jenis yaitu perangkap
struktur, perangkap stratigrafi dan gabungan keduanya. Perangkap struktur terjadi
akibat adanya deformasi batuan di bawah permukaan bumi. Deformasi batuan ini
oleh pegeseran secara mendatar atau vertikal, baik berupa tekanan maupun
regangan serta intrusi. Deformasi ini berupa lipatan, pemiringan lapisan,
pensesaran dan pembentukan kubah (dome) pada formasi batuan sedimen
Perangkap struktur dapat berupa kubah garam (salt dome), antiklin, dan patahan.
Perangkap stratigrafi terbentuk oleh variasi perlapisan batuan di bawah
permukaan bumi yang menyebakan menghilangnya permeabilitas batuan dari satu
area ke area sekitarnya. Perangkap stratigrafi terdiri dari perangkap lentikuler,
perangkap Pinch- Out dan angular unconformity.
Perangkap antiklin yang terbentuk pada akhir Miosen yang berkaitan
dengan dorongan dan berkembang sebagai hasil dari tumbukan (collison) antara
Buton dan Muna. Selain itu, dengan adanya tumbukan antara Buton dan Tukang
Besi yang terjadi pada Akhir Pliosen / Awal Pleistosen menyebabkan
terbentuknya banyak patahan muda dan rekompresi dari struktur-struktur tua.
Adapun untuk perangkap stratigrafi terdiri dari penumpukan terumbu berumur
Pliosen/Pleistosen dan endapan kipas berumur Pliosen. Ini hanya terdapat pada
daerah lepas pantai seperti Pulau Buton, Pulau Muna, dan Sulawesi
(Davidson,1991).

5. Migrasi
Hidrokarbon yang telah terbentuk di dalam batuan induk kemudian akan
mengalami migrasi. Migrasi adalah perpindahan hidrokarbon dari batuan induk
menuju batuan reservoir. Proses migrasi dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis
yaitu migrasi primer dan migrasi sekunder. Migrasi primer adalah perpindahan
hidrokarbon dari batuan induk ke reservoir secara langsung sedangkan migrasi
sekunder adalah perpindahan hidrokarbon dalam batuan reservoir itu sendiri (dari
reservoir bagian dalam ke reservoir bagian dangkal) (abdulah,2008). Hidrokarbon
ini kemudian akan terakumulasi pada satu lokasi akibat adanya perangkap yang
menghalanginya. Agar hidrokarbon ini tidak berpindah dibutuhkan lapisan batuan
yang impermeabel yang dikenal dengan batuan penutup.

C. Metode Gaya Berat

Metode gaya berat (gravitasi) adalah salah satu metode geofisika yang
didasarkan pada pengukuran medan gravitasi. Pengukuran ini dapat dilakukan di
permukaan bumi, di kapal maupun di udara. Dalam metode ini yang dipelajari
adalah variasi medan gravitasi akibat variasi rapat massa batuan di bawah
permukaan sehingga dalam pelaksanaannya yang diselidiki adalah perbedaan
medan gravitasi dari suatu titik observasi terhadap titik observasi lainnya. Metode
gravitasi umumnya digunakan dalam eksplorasi jebakan minyak (oil trap).
Disamping itu metode ini juga banyak dipakai dalam eksplorasi mineral dan
lainnya.
Prinsip pada metode ini mempunyai kemampuan dalam membedakan
rapat massa suatu material terhadap lingkungan sekitarnya. Dengan demikian
struktur bawah permukaan dapat diketahui. Pengetahuan tentang struktur bawah
permukaan ini penting untuk perencanaan langkah-langkah eksplorasi baik
minyak maupun mineral lainnya. Untuk menggunakan metode ini dibutuhkan
minimal dua alat gravitasi, alat gravitasi yang pertama berada di base sebagai alat
yang digunakan untuk mengukur pasang surut gravitasi, alat yang kedua dibawa
pergi ke setiap titik pada stasiun mencatat perubahan gravitasi yang ada. Biasanya
dalam pengerjaan pengukuran gravitasi ini, dilakukan secara looping.
1. Hukum Gravitasi Newton
Pada dasarnya gravitasi adalah gaya tarik menarik antara dua benda yang
memiliki rapat massa yang berbeda, hal ini dapat diekspresikan oleh
rumus hukum Newton sederhana sebagai berikut:
2. Koreksi udara bebas (Free Air Correction)
Koreksi ini dilakukan untuk mengkompensasi ketinggian antara titik
pengamatan dan datum (mean sea level). Koreksi ini dapat ditulis sebagai
berikut:

dimana :

3. Koreksi bouger
Koreksi bouger dilakukan untuk mengkompensasi pengaruh massa batuan
terdapat antara stasiun pengukuran dan (mean sea level) yang diabaikan
pada koreksi udara bebas. Koreksi ini dapat ditulis sebagai berikut :

4. Koreksi medan (Terrain Correction)


Koreksi medan mengakomodir ketidakteraturan pada topografi sekitar titik
pengukuran. Pada saat pengukuran, elevasi topografi di sekitar titik
pengukuran, biasanya dalam radius dalam dan luar, diukur elevasinya.
Sehingga koreksi ini dapat ditulis sebagai berikut :
 
III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi, Waktu dan Tema Peneletian

Penelitian Tugas Akhir ini dilakukan di:


Tempat : Pusat Survey Geologi, Badan Geologi, Kementrian Energi dan
Sumber Daya Mineral
Alamat : Jl. Diponegoro No. 57, Bandung 40122, Indonesia
Tanggal : 15 September – 15 Oktober 2015
Tema : Deliniasi Sub Cekungan Muna-Buton Untuk Mengetahui Potensi
Cekungan Hidrokarbon Menggunakan Pemodelan 2d dan 3d Data
Gayaberat

B. Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam Praktek Kerja Lapangan
adalah :
 Laptop Dell inspiron n series
 Lembar Peta Geologi daerah Muna-Buton
 Software Surfer version 10 dan Grav Mag under DOS
 Software Geosoft Oasis Montaj
 Software MATLAB
 Software Map Source v.6.13 dan Global Mapper v.12
 Software Corel Draw X5
 Software Microsoft Excel 2013
 Software Gravblox dan Bloxer

C. Diagram Alir Proses Data

Adapun diagram alir penelitian ini adalah terdapat pada (Gambar 8):
D. Prosedur Pengolahan Data

1. Anomali Bouguer
Data yang diolah pada penelitian ini adalah data sekunder yang
terlebih dahulu telah dilakukan pengukuran di daerah Muna-Buton.
Karena data yang dipakai adalah data sekunder maka tidak perlu dilakukan
koreksi lagi sehingga data yang kita dapat adalah data anomali bouguer
lengkap. Selanjutnya data yang didapat dilakukan gridding di software
geosoft oasis montaj untuk menampilkan peta anomali bouguer yang kita
inginkan. Besar nilai grid yang dimasukan adalah berdasarkan grid space
ketika pengukuran di lapangan atau berdasarkan kedalaman atau
keberadaan objek yang kita cari.

2. Analisis Spektrum
Analisis spektrum bertujuan untuk memperkirakan kedalaman
suatu benda anomali gayaberat di bawah permukaan. Metode analisis
spektrum menggunakan Transformasi Fourier yang berguna untuk
mengubah suatu fungsi dalam jarak atau waktu menjadi suatu fungsi
dalam bilangan gelombang atau frekuensi.
Dengan analisis spektrum dapat diketahui kandungan frekuensi
dari data, sehingga kedalaman dari anomali gayaberat dapat diestimasi.
Frekuensi rendah yang berasosiasi dengan panjang gelombang panjang
mengindikasikan daerah regional yang mewakili struktur dalam dan luas.
Sedangkan sebaliknya, frekuensi tinggi yang berasosiasi dengan panjang
gelombang pendek mengindikasikan daerah residual (lokal) yang
mewakili struktur dangkal dan umumnya frekuensi sangat tinggi
menunjukkan noise yang diakibatkan kesalahan pengukuran, kesalahan
digitasi, dan lain-lain.
Dalam penelitian kali ini data yang diambil sebanyak 8 lintasan
untuk mewakili daerah yang kita inginkan. Semua data yang didapat dari
lintasan tersebut selanjutnya diolah di Microsoft excel untuk mencari nilai
ln A dan K yang nantinya digunakan untuk mengetahui estimasi
kedalaman yang kita cari. Setelah diinput ke Microsoft excel data yang
didapat dicari nilai FFT nya di software MATLAB.

3. Pemisahan Anomali Regional dan Residual Pada Analisis Spektral


Anomali bouguer adalah nilai anomali gayaberat yang dihasilkan
dari adanya perbedaan densitas batuan atau hal lain pada daerah dangkal
dan dalam di bawah permukaan bumi. Efek yang berasal dari batuan
dangkal dari permukaan disebut anomali sisa atau anomali residual
sementara anomali dalam disebut anomali regional. Karena hal tersebut
maka kita harus melakukan pemisahan supaya objek yang kita cari dapat
diidentifikasi lebih baik lagi. Proses pemisahan dilakukan dengan metode
moving average. Pada proses pemisahan ini kita melakukannya dengan
menggunakan lebar jendela sebesar 17x17, lebar jendela tersebut didapat
dari proses analisis spektrum yang telah dilakukan sebelumnya.

4. Pemisahan Anomali Regional dan Residual Pada EMD


Anomali bouguer adalah nilai anomali gayaberat yang dihasilkan
dari adanya perbedaan densitas batuan atau hal lain pada daerah dangkal
dan dalam di bawah permukaan bumi. Efek yang berasal dari batuan
dangkal dari permukaan disebut anomali sisa atau anomali residual
sementara anomali dalam disebut anomali regional. Karena hal tersebut
maka kita harus melakukan pemisahan supaya objek yang kita cari dapat
diidentifikasi lebih baik lagi. Proses pemisahan dilakukan dengan metode
Empirical Mode Decomposition, metode ini digunakan dengan
membentuk kedekatan orthogonal dari sinyal asli hal ini disebut dengan
Intrinsic Mode Functions (IMF). Setelah hal ini dilakukan pendekatan
pertama didefinisikan sebagai pola residual sementara pedekatan-
pendekatan selanjutnya didefinisikan sebagai pola regional.

5. Analisa Pola Sub Cekungan dan Pola Tinggian


Karena objek penelitian kali ini berupa cekungan maka perlu
diperhatikan batas dan mana saja pola cekungan yang kita identifikasi.
Setelah pola anomali sisa atau anomali residual didapat maka kita dapat
mengetahui mana pola sub cekungan dan pola tinggian. Pola cekungan
didapati dari anomali yang memiliki densitas yang relative rendah itu
dikarenakan batuan sedimen sebagai batuan yang biasanya merupakan
batuan penyusun cekungan memiliki densitas yang relative rendah
sementara pola yang memiliki diidentifikasikan sebagai pola tinggian
sekaligus batas dari cekungan.

6. Pemodelan Bawah Permukaan


Ada dua metode pemodelan bawah permukaan yang dipakai pada
penelitian kali ini, yaitu pemodelan maju atau Forward Modelling dan
pemodelan mundur atau Inverse Modelling. Pemodelan maju digunakan
saat melakukan pemodelan 2.5D dan kali ini pengolahan dibantu dengan
menggunakan software GRAVMAG, hal yang pertama dilakukan saat
proses pemodelan 2.5D adalah melakukan sayatan pada pola anomali
residual, sayatan yang dilakukan sebaiknya melewati pola cekungan yang
ingin kita identifikasi hal ini bertujuan untuk mengetahui kedalaman atau
deposentrum setiap cekungan sehingga dapat dilakukan pengrangkingan
setiap cekungan. Sayatan yang dilakukan di pola anomali residual
selanjutnya diinput kedalam software GRAVMAG untuk melakukan
proses pemodelan 2.5D, dalam melakukan pemodelan hal yang harus
diperhatikan adalah mengatur kedalaman hal ini berkaitan dengan proses
analisis spektral yang telah dilakukan sebelumnya.
Pemodelan mundur atau Inverse Modelling dilakukan untuk proses
pemodelan 3D. Hal yang dilakukan adalah input data pola anomali sisa
atau anomali regional kemudian diolah dan disimpan dalam format (*grv)
selanjutnya membuat mesh yang disimpan dalam format (*dat) control file
ini yang digunakan untuk melakukan pemodelan di software GRAV3.

Anda mungkin juga menyukai