Anda di halaman 1dari 13

UMAIR BIN SA’AD SAHABAT RASULULLAH saw….

Posted by Bustamam Ismail on May 21, 2008

“Saya membutuhkan orang-orang seperti ‘Umar bin


Sa’ad untuk membantu melola masyarakat kaum muslimin.”
(Ucapan ’Umar bin Khatthab)

‘UMAIR BIN SA’AD AL ANSHARY, telah merasa hidup yatim dan


miskin sejak ia masih kecil. Bapaknya meninggal dunia tanpa
meninggalkan harta warisan yang mencukupi. Tetapi untunglah ibunya
segera kawin kembali dengan seorang laki-laki kaya dari suku Aus, Al
Julas bin Suwaid. Maka ‘Umair ditanggung oleh Julas dan
dikumpulkannya ke dalam keluarganya.

Sejak itu ‘Umair menemukan jasa-jasa baik Julas, pemeliharaan yang


bagus, keindahan belas-kasih, sehingga ‘Umair dapat melupakan bahwa
ia telah yatim.

‘Umair menyayangi Julas sebagai layaknya sayang seorang anak kepada


bapak. Begitu pula Julas, sangat menyintai ‘Umair sebagai lazimnya cinta
bapak kepada anak. Setiap usia ‘Umair bertambah dan menjadi remaja,
bertambah pula kasih sayang dan simpati Julas kepadanya, karena
pembawaannya yang cerdas dan perbuatan mulia yang selalu
diperlihatkannya, kehalusan budi pekerti, amanah dan jujur yang
senantiasa diperagakannya.

‘Umair bin Sa’ad masuk Islam dalam usia yang sangat muda, kira-kira
sepuluh tahun lebih sedikit. Ketika itu Iman telah mantap dalam hatinya
yang masih segar, lembut dan polos. Karena itu Iman melekat pada
dirinya dengan kokoh. Dan Islam mendapatkan jiwanya yang bersih dan
halus, bagaikan mendapatkan tanah subur. Dalam usia seperti itu ‘Umair
tidak pernah ketinggalan shalat berjama’ah di belakang Rasulullah.
Ibunya senantiasa diliputi kegembiraan setiap melihat anaknya pergi atau
pulang dari masjid, kadang-kadang bersama-sama suaminya dan kadang-
kadang anaknya seorang diri.

Kehidupan ‘Umair bin Sa’ad di waktu kecil berjalan lancar, senang dan
tenang, tidak ada yang mengeruhkan dan mengotori. Sehingga tiba
masanya Allah menghendaki untuk mengembangkan jiwa anak kecil yang
akan meningkat remaja ini dengan suatu latihan berat, dan mengujinya
dengan ujian yang jarang dilalui anak-anak sebaya dia.

Tahun kesembilan hijriyah Rasulullah saw. mengumumkan hendak:


memerangi tentara Rum di Tabuk (Tabuk, suatu tempat dalam wilayah
pcmerintahan Syam. Di sana pernah terjadi peperangan yang sangat
terkenal antara kaum muslimin dengan tentara Rum). Beliau
memerintahkan kaum muslimin supaya bersiap-siap menghadapi
peperangan tersebut. Biasanya bila Rasulullah hendak pergi berperang,
beliau tidak pernah mengumumkan sasaran yang akan dituju, kecuali
pada peperangan Tabuk. Rasulullah menjelaskan kepada kaum muslimin
sasaran yang dituju, karena akan menempuh perjalanan jauh dan sulit,
serta kekuatan musuh berlipat ganda, supaya kaum muslimin mengerti
tugas mereka mempersiapkan diri menghadapi peperangan tersebut. Di
samping itu musim panas telah mulai dengan suhu yang menyengat.
Buah-buahan sudah berbuah dan mulai masak. Awan bagus. Setiap orang
cenderung hendak berlambat-lambat
dan bermalas-malasan. Namun kaum muslimin yang setia dan patuh
memperkenankan seruan Nabi mereka, mempersiapkan segala sesuatunya
untuk perang dengan cepat dan cermat.

Lain lagi golongan munafik. Mereka sengaja mengulur-ulur waktu.


Memandang enteng setiap hal yang penting-penting; membangkitkan
keragu-raguan; bahkan mencela kebijaksanaan Rasulullah saw. dan
mengucapkan kata-kata beracun di majelis-majelis khusus mereka, yang
menimbulkan kekafiran.

Beberapa hari sebelum keberangkatan pasukan tentara muslimin ke


medan perang Tabuk, Umair bin Sa’ad yang baru meningkat remaja
pulang ke rumahnya sesudah shalat di masjid. Jiwanya sangat tergugah
menyaksikan pengorbanan yang sangat gemilang, tulus dan ikhlas, dari
sego-longan kaum muslimin, yang dilihat dan didengarnya dengan mata
kepala dan telinganya sendiri. Dia menyaksikan para wanita muhajirat
dan anshar, dengan spontan menyambut seruan Rasulullah. Mereka
tanggalkan perhiasan mereka seketika itu juga, lalu diserahkannya kepada
Rasulullah untuk biaya perang fi sabilillah. Dia menyaksikan dengan
mata sendiri. ‘Utsman bin ‘Affan datang membawa pundi-pundi berisi
ribuan dinar emas, lalu diserahkannya kepada Rasulullah. ‘Abdur
Rahman bin ‘Auf datang pula membawa dua ratus Uqiyah (1 Uqiyah =
1/2 tahil) emas dan diserahkannya kepada Nabi yang mulia. Bahkan dia
melihat seorang laki-laki menjual tempat tidur untuk membeli sebuah
pedang yang akan dibawa dan dipakainya berperang fi sabilillah.

Umair merasa bangga melihat kepatuhan dan pengorbanan yang amat


mengesankannya itu. Sebaliknya dia amat heran melihat orang-orang
yang bersikap acuh tak acuh melakukan persiapan untuk berangkat
bersama-sama Rasulullah, dan mengundur-ngundur waktu menyerahkan
sumbangan kepada beliau, padahal orang itu mampu dan cukup kaya
melakukannya segerai mungkin. Karena itu jiwanya tergerak hendak
membangkitkan semangat orang-orang yang lalai dan acuh tak acuh ini.
Maka diceritakannya kepada mereka segala peristiwa yang dilihat dan di-
dengarnya mengenai sumbangan dan pengorbanan golongan orang-orang
mu’min yang patuh dan setia kepada Rasulullah, terutama cerita
mengenai orang-orang yang datang kepada Rasulullah dengan beriba-iba
memohon supaya mereka diterima menjadi anggota pasukan yang akan
turut berperang. Tetapi Rasulullah menolak permohonan mereka, karena
mereka tidak mempunyai kuda atau unta kendaraan sendiri. Lalu orang-
orang itu pulang sambil menangis sedih, karena tidak mempunyai
kendaraan untuk mencapai cita-cita mereka hendak turut berjihad dan
membuktikan keinginannya memperoleh syahid.

Tetapi tatkala kaum munafik yang sengaja berlalai-lalai dan acuh tak acuh
ini mendengar cerita ‘Umair yang dikiranya akan membangkitkan
semangat juang dan pengorbanan mereka, malah sebaliknya ‘Umair
menerima jawaban berupa kata-kata yang sungguh-sungguh
membingungkan pemuda cilik yang mu’min ini. Mereka berkata,
“Seandainya apa yang dikatakan Muhammad tentang kenabian itu benar
adanya, tentulah kami lebih buruk daripada keledai.”
‘Umair sungguh bingung mendengar ucapan itu. Dia tidak menyangka
sedikit juapun kata-kata seperti itu justru keluar dari mulut orang dewasa
yang cerdas, Julas bin Suwaid, bapak tiri yang mengasuh dan
membesarkannya selama ini; kata-kata yang nyata-nyata mengeluarkan
orang yang mengucapkannya dari Iman dan Islam, beralih menjadi kafir
seketika itu juga, melalui pintu utama yang paling lebar.

Sementara kebingungan, anak itu juga memikirkan tindakan apa yang


harus dilakukannya. Dia mengambil kesimpulan, bahwa Julas diam, tidak
turut mengambil bagian dalam kegiatan persiapan perang, adalah suatu
pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya; jelas membahayakan
Islam, dan termasuk taktik kaum munafik yang ditiup-tiupkannya sesama
mereka. Sedangkan melaporkan dan menyiarkan ucapan Julas, berarti
mendurhakai orang yang selama ini telah dianggapnya sebagai bapak
kandungnya sendiri. Berarti pula membalas air susu dengan tuba.
Demikian analisa ‘Umair.

Anak kecil itu merasa dia harus berani mengambil keputusan segera;
melaporkan dan menyiarkan ucapan ayah tirinya atau diam seribu bahasa.
Dia memilih melapor. Lalu dia berkata kepada Julas, “Demi Allah, hai
Pak Julas! Tidak ada di muka bumi ini orang yang lebih saya cintai selain
dari Muhammad Rasulullah. Bahkan dia lebih saya cintai dari Bapak
sendiri. Bapak memang sangat berjasa kepada saya, karena telah turun
tangan membahagiakan saya. Tetapi Bapak telah mengucapkan kata-kata
yang jika saya laporkan pasti akan memalukan Bapak. Sebaliknya jika
saya diamkan berarti saya mengkhianati amanah yang akan
mencelakakan diri serta agama saya. Sesungguhnya saya telah bertekad
hendak melaporkan dan menyampaikan ucapan Bapak kepada Rasulullah,
dan Bapak akan menjadi saksi nyata terhadap urusan Bapak sendiri.

‘Umair bin Sa’ad yang masih anak-anak pergi ke masjid, lalu


dilaporkannya kepada Rasulullah kata-kata yang didengarnya sendiri dari
bapak tirinya, Julas bin Suwaid. Rasulullah meminta ‘Umair supaya
tinggal lebih dahulu dekat beliau. Sementara itu beliau menyuruh seorang
sahabat memanggil Julas. Tidak berapa lama kemudian Julas pun datang.
Rasulullah memanggilnya supaya duduk di hadapan beliau.
Beliau bertanya, “Betulkah Anda mengucapkan kata-kata seperti yang
saya dengar dari ‘Umair bin Sa’ad?”

Jawab Julas, “Anak itu dusta, ya Rasulullah saya tidak pernah


mengucapkan kata-kata demikian!”

Para sahabat memandang Julas dan ‘Umair bergantian, seolah-olah


mereka ingin membaca di wajah keduanya apa sesungguhnya yang
tersirat dalam hati mereka berdua. Lalu para sahabat berbisik-bisik
sesama mereka, “Anak ini sungguh durhaka. Dia jahat terhadap orang
yang telah berjasa besar mengasuh dan membesarkannya.”

Kata yang lain, “Tidak! Dia anak yang ta’at kepada Allah. Wajahnya
cantik dan elok memancarkan cahaya iman, menunjukkan dia benar.”

Rasulullah menoleh kepada ‘Umair. Kelihatan oleh beliau wajah anak itu
merah padam. Air matanya jatuh berderai di pipinya. Kata ‘Umair
mendo’a, “Wahai Allah! Turunkanlah saksi kepada Nabi-Mu, bahwa aku
benar.”

Kata Julas memperkuat pengakuannya, “Ya Rasululah sesungguhnya apa


yang saya katakan kepada Anda tadi itulah yang benar. Jika Anda
menghendaki, saya berani bersumpah di hadapan Anda. “Saya
bersumpah dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya saya tidak pernah
mengucapkan kata-kata seperti yang dilaporkan ‘Umair kepada Anda.”

Setelah Julas selesai mengucapkan sumpah, seluruh mata yang hadir


memandang kepada ‘Umair bin Sa’ad, sehingga Rasulullah saw. diam
sambil memicingkan mata, menunjukkan wahyu sedang turun. Para
sahabat memaklumi hal itu. Mereka pun diam tidak berbunyi sedikit
juapun. Tidak ada yang berkata-kata dan bergerak. Semua mata tertuju
kepada Rasulullah saw.

Melihat Rasulullah kedatangan wahyu, Julas menjadi ketakutan. Dia


menyesal dan menengok kepada ‘Umair. Situasi seperti itu berlangsung
sampai wahyu selesai turun. Lalu Rasulullah saw. membacakan ayat yang
baru diterima beliau:
“Mereka bersumpah dengan (menyebut nama Allah, bahwa mereka tidak
mengatakannya. Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan
kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah memeluk Islam, dan mereka
memutuskan apa yang tidak dapat. mereka jalankan (untuk membunuh
Nabi saw., menghancurkan Islam dan kaum muslimin). Mereka mencela
(Allah dan Rasul-Nya) tidak lain hanyalah karena Allah telah mencukupi
mereka dengan karunia-Nya. Tetapi jika mereka tobat, itulah yang paling
baik bagi mereka, dan jika mereka membelakang, niscaya Allah akan
menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih di dunia dan akhirat, dan
mereka tidak mempunyai pelindung dan pembantu di muka
bumi.”(Taubah,9:74)

Julas gemetar mendengar ayat yang sangat menakutkannya itu. Dia


hampir tak dapat bicara karena terkejut. Kemudian dia berpaling kepada
Rasulullah saw. seraya berkata, “. Sayalah Saya tobat, ya Rasulullah . . . ,
saya tobat . . . ‘Umairlah yang benar, ya Rasulullah, sayalah yang dusta.
Sudilah Anda memohonkan kepada Allah, semoga Dia menerima tobat
saya. Saya bersedia menebus kesalahan saya, ya Rasulullah!”

Rasulullah menghadapkan mukanya kepada ‘Umair bin Sa’ad yang tiba-


tiba bercucuran air mata gembira membasahi mukanya yang berseri oleh
cahaya Iman. Lalu Rasulullah gembira mengulurkan tangannya yang
mulia menarik telinga ‘Umair dengan lembut seraya berkata,
“Telingamu cukup nyaring, nak! Allah membenarkan apa yang engkau
dengar.”

Julas telah kembali ke dalam Islam dan menjadi muslim yang baik. Para
sahabat telah sama mengetahui bagaimana besarnya jasa baik Julas
mengasuh dan membesarkan ‘Umair selaku anak tiri. Dia bertanggung
jawab penuh sebagai layaknya bapak kandung ‘Umair. Setiap kali orang
menyebut nama ‘Umair di hadapannya, dia berkata dengan tulus,
“Semoga Allah membalasi ‘Umair dengan segala kebajikan, karena dia
telah membebaskan saya dari kekafiran dan dari api neraka.”

Kisah yang kita ceritakan ini, belum merupakan gambaran puncak dari
kehidupan ‘Umair, melainkan baru merupakan gambaran kehidupannya
waktu kecil. Marilah kita lihat gambaran kehidupannya yang lebih
gemilang dan indah di waktu mudanya.
Barusan telah kita lihat dengan jelas bentuk kehidupan sahabat yang
mulia, ‘Umair bin Sa’ad, waktu dia masih kanak-kanak. Sekarang marilah
kita lihat bentuk kehidupannya yang cemerlang saat dia telah diewasa.
Anda akan menyaksikan kehidupannya tahap kedua ini tidak kurang
gemilangnya dari tahap pertama, agung dan megah.

JADI GUBERNUR HIMS

Penduduk Himsh sangat kritis terhadap para pembesar mereka, sehingga


mereka sering mengadu kepada khalifah. Setiap pembesar yang baru
datang memerintah, ada saja celanya bagi mereka. Dicatatnya segala
kesalahan pembesar itu, lalu dilaporkannya kepada khalifah, dan minta
diganti dengan yang lebih baik.

Karena itu Khalifah Umar mencari seorang yang tidak bercacat, dan yang
namanya belum pernah rusak untuk menjadi Gubernur di sana. Lalu
beliau sebar pembantu-pembantunya melihat-lihat orang yang paling
tepat. Maka tidak diperolehnya orang yang lebih baik, selain dari Umair
bin Sa’ad. Tetapi sayang, ‘Umair ketika itu sedang bertugas memimpin
pasukannya berperang fi sabilillah di wilayah Syam. Dalam tugas itu dia
berhasil membebaskan beberapa kota, menghancurkan beberapa benteng,
mendudukkan beberapa kabilah, dan membangun masjid di setiap negeri
yang dilaluinya.

Saat seperti itulah Amirul Mu’minin memanggilnya kembali ke Madinah,


untuk memangku jabatan Gubernur di Himsh. khalifah ‘Umar
memerintahkannya supaya segera berangkat ke Himsh. ‘Umair menerima
perintah tersebut dengan hati enggan, karena baginya tidak ada yang lebih
utama selain perang fi sabilillah.

Setibanya di Himsh, dipanggilnya orang banyak berkumpul ke masjid


untuk shalat berjama’ah. Selesai shalat dia berpidato. Mula-mula dia
memuji Allah dan mengucapkan salawat untuk Nabi. Kemudian dia
berkata:

“Hai, manusia! Sesungguhnya Islam adalah benteng pertahanan yang


kokoh, dan pintu yang kuat. Benteng Islam itu ialah keadilan, dan
pintunya ialah kebenaran (al haq). Apabila benteng itu ambruk dan
pintunya roboh, maka pertahanan agama ini akan sirna. Islam akan
senantiasa kuat selama kekuasaan tegak dengan kokoh. Tegaknya
kekuasaan bukanlah dengan cemeti dan tidak pula dengan pedang,
melainkan dengan menegakkan keadilan dan melaksanakan yang hak.”

Selesai berpidato, dia langsung bertugas sesuai dengan khiththah yang


telah digariskannya dalam pidatonya yang singkat itu.

‘Umair bin Sa’ad bertugas sebagai Gubernur di Himsh hanya setahun


penuh. Selama itu tak sepucuk pun dia menulis surat kepada Amirul
Mu’minin. Dan tidak satu dinar atau satu dirham pun dia menyetorkan
pajak ke Baitul Maal Muslimin (Perbendaharaan Negara) di Madinah.
Karena itu timbul curiga di hati Khalifah Umar. Dia sangat kuatir kalau-
kalau pemerintahan yang dipimpin ‘Umair mengalami bencana
(menyelewengkan uang negara) karena tidak ada orang yang ma’shum
(terpilihara dari dosa) selain Rasulullah saw. Lalu beliau perintahkan
sekretaris negara menulis surat kepada Gubernur ‘Umair.

Kata Khalifah Umar, “Tulis surat kepada ‘Umair, katakan kepadanya:


“Bila surat ini sampai di tangan Anda, tinggalkan Himsh dan segera
datang menghadap Amirul Mu’minin. Jangan lupa membawa sekalian
pajak yang Anda pungut dari kaum muslimin!”

Selesai surat tersebut dibaca oleh Gubernur ‘Umair, maka diambilnya


kantong perbekalan dan diisinya tempat air untuk persediaan air wudhu’
dalam perjalanan. Lalu dia berangkat meninggalkan Himsh, para
pembesar dan rakyat yang dipimpinnya. Dia pergi mengayun langkah
menuju Madinah dengan berjalan kaki. Ketika hampir tiba di Madinah,
keadaannya pucat (karena kurang makan dalam perjalanan), tubuhnya
kurus kering dan lemah, rambut dan jenggotnya sudah panjang, dan dia
tampak sangat letih karena perjalanan yang begitu jauh.

‘Umair segera masuk menghadap Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab.


Khalifah Umar terkejut melihat keadaan ‘Umair, lalu bertanya,
“Bagaimana keadaan Anda, hai ‘Umair?”

Jawab ‘Umair, “Tidak kurang suatu apa. Saya sehat dan ‘afiat.
Alhamdulillah! Saya membawa dunia seluruhnya, saya tarik di kedua
tanduknya.”
Tanya Khalifah Umar, “Dunia manakah yang Anda bawa?” (Khalifah
menduga, dia membawa uang setoran pajak untuk Baitul Maal).

Jawab ‘Umair, “Saya membawa kantong perbekalan dan tempat air untuk
bekal di perjalanan, beberapa lembar pakaian, air untuk wudhu’, untuk
membasahi kepala dan untuk minum. Itulah seluruh dunia yang saya
bawa. Yang Iain-lain tidak saya perlukan.”

Tanya Khalifah, “Apakah Anda datang berjalan kaki?”

Jawab, “Betul, ya Amirul Mu’minin!”

Tanya, “Apakah Anda tidak diberi hewan kendaraan oleh pemerintah?”

Jawab, “Tidak! Mereka tidak memberi saya, dan saya tidak pula
memintanya dari mereka.”

Tanya, “Mana setoran yang Anda bawa untuk Baitul Maal?”

Jawab, “Saya tidak membawa apa-apa untuk Baitul Maal.”

Tanya, “Mengapa?”

Jawab, “Sejak saya mulai tiba di Himsh, saya kumpulkan penduduk yang
baik-baik, lalu saya perintahkan mereka memungut dan mengumpulkan
pajak. Setiap kali mereka berhasil mengumpulkannya, saya
bermusyawarah dengan mereka, untuk apa harta itu harus digunakan, dan
bagaimana cara membagi-bagikannya kepada yang berhak.”

Khalifah ‘Umar berkata kepada jurutulis, ”Perpanjang masa jabatan


‘Umair sebagai Gubernur Hismh!”

Kata ‘Umair, “Ma’af, Khalifah! Saya tidak menghendaki jabatan itu lagi.
Mulai sa’at ini, saya tidak hendak bekerja lagi untuk Anda atau untuk
orang lain sesudah anda, ya Amirul Mu’minin.”

Kemudian ‘Umair minta izin untuk pergi ke sebuah di pinggiran kota


Madinah dan akan menetap di sana bersama keluarganya. Lalu Khalifah
mengizinkannya.
Belum begitu lama ‘Umair tinggal di dusun tersebut, Khalifah ‘Umar
ingin mengetahui keadaan sahabatnya itu, bagaimana kehidupannya dan
apa yang diusahakannya. Lalu diperintahkannya Al Harits, seorang
kepercayaan Khalifah, “Pergilah engkau menemui ‘Umair, tinggallah di
rumahnya selama tiga hari sebagai tamu. Bila engkau lihat keadaannya
bahagia penuh ni’mat, kembalilah sebagaimana engkau datang. Dan jika
engkau lihat keadaannya melarat, berikan uang ini kepadanya!”

Khalifah ‘Umar memberikan sebuah pundi berisi seratus dinar kepada Al


Harits.

Al Harits pergi ke dusun tempat Umair tinggal. Dia bertanya-tanya ke


sana-sini di mana rumah ‘Umair. Setelah bertemu, Al Harits
mengucapkan salam, ”Assalamu’alaika wa rahmatullah.”

Jawab ‘Umair, “Wa ‘alaikas salam wa rahmatullahi wa barakatuh. Anda


datang dari mana?”

Jawab Harits, “Dari Madinah!”

Tanya ‘Umair, “Bagaimana keadaan kaum muslimin sepeninggal anda?”

Jawab Harits, “Baik-baik saja.”

Tanya, “Bagaimana kabar Amirul Mu’minin?”

Jawab, “Alhamdulillah, baik.”

Tanya, “Adakah ditegakkannya hukum?”

Jawab, “Tentu, malahan baru-baru ini dia menghukum dera anaknya


sendiri sampai mati, karena bersalah melakukan perbuatan keji.”

Kata ‘Umair, “Wahai Allah, tolonglah ‘Umar. Saya tahu sungguh, dia
sangat mencintai-Mu, wahai Allah!”

Al Harits menjadi tamu ‘Umair selama tiga malam. Tiap malam Harits
hanya dijamu dengan sebuah roti terbuat dari gandum. Pada hari ketiga,
seorang laki-laki kampung berkata kepada Harits, “Sesungguhnya Anda
telah menyusahkan ‘Umair dan keluarganya. Mereka tidak punya apa-apa
selain roti yang disuguhkannya kepada Anda. Mereka lebih
mementingkan Anda, walaupun dia sekeluarga harus menahan lapar. Jika
Anda tidak keberatan, sebaiknyalah Anda pindah ke rumah saya menjadi
tamu saya.”

Al Harits mengeluarkan pundi-pundi uang dinar, lalu diberikannya


kepada ‘Umair.

Tanya ‘Umair, “Apa ini?”

Jawab Harits, ”Amirul Mu’minin mengirimkannya untuk Anda!”

Kata ‘Umair, “Kembalikan saja uang itu kepada beliau. Sampaikan


salamku, dan katakan kepada beliau bahwasanya aku tidak membutuhkan
uang itu.”

Isteri ‘Umair yang mendengar percakapan suaminya dengan Harits


berteriak, “Terima saja, hai ‘Umair! Jika engkau butuh sesuatu engkau
dapat membelanjakannya.

Jika tidak, engkau pun dapat membagi-bagikannya kepada orang-orang


yang membutuhkan. Di sini banyak orang-orang yang butuh.”

Mendengar ucapan isteri ‘Umair, Harits meletakkan uang itu di hadapan


‘Umair, kemudian dia pergi. ‘Umair memungut uang itu lalu
dimasukkannya ke dalam beberapa pundi-pundi kecil. Dia tidak tidur
sampai tengah malam sebelum uang itu habis dibagi-bagikannya kepada
orang-orang yang membutuhkan. Sangat diutamakannya memberikan
kepada ank-anak yatim yang orang tuanya tewas sebagai syuhada’ di
medan perang fi sabilillah.

Al Harits kembali ke Madinah. Setibanya di Madinah, Khalifah ‘Umar


bertanya, “Bagaimana keadaan ‘Umair?”

Jawab Harits, “Sangat menyedihkan, ya Amirul Mu minin.”

Tanya Khalifah, “Sudah engkau berikan uang itu kepadanya?”

Jawab, “Ya, sudah ku berikan.”


Tanya, “Apa yang dibuatnya dengan uang itu?”

Jawab, “Saya tidak tahu. Tetapi saya kira, uang itu mungkin hanya tinggal
satu dirham saja lagi untuknya.”

Khalifah ‘Umar menulis surat kepada ‘Umair, katanya, “Bila surat ini
selesai Anda baca, maka janganlah Anda letakkan sebelum datang
menghadap saya.”

‘Umair bin Sa’ad datang ke Madinah memenuhi panggilan khalifah.


Sampai di Madinah dia Iangsung menghadap Amirul Mu’minin. Khalifah
‘Umar mengucapkan selamat datang dan memberikan alas duduk yang
dipakainya kepada ‘Umair, sebagai penghormatan.

Tanya khalifah, “Apa yang Anda perbuat dengan uang itu, hai ‘Umair?”

Jawab ‘Umair, “Apa maksud Anda menanyakan, sesudah uang itu Anda
berikan kepadaku?”

Jawab khalifah, “Saya hanya ingin tahu, barangkali Anda mau


menceritakannya.”

Jawab ‘Umair, “Uang itu saya simpan untuk saya yang menonjol di
universitas Muhammad bin ‘Abdullah sendiri, dan akan saya
manfa’atkan nanti pada suatu hari, ketika harta dan anak-anak tidak
bermanfa’at lagi, yaitu hari kiamat.”

Mendengar jawaban ‘Umair, Khalifah ‘Umar menangis sehingga air


matanya jatuh bercucuran. Katanya, “Saya menjadi saksi, bahwa
sesungguhnya Anda tergolong orang-orang yang mementingkan orang-
orang lain sekalipun diri Anda sendiri melarat.”

Kemudian khalifah menyuruh seseorang mengambil satu wasq (Satu


Wasq, kira-kira enam puluh sha’ (gantang), atau kira-kiia seberat beban
seekor unta) pangan dan dua helai pakaian, lalu diberikan-nya kepada
‘Umair.

Kata ‘Umair, “Kami tidak membutuhkan makanan, ya Amirul Mu’minin.


Saya ada meninggalkan dua sha’ gandum untuk keluarga saya. Mudah-
mudahan itu cukup untuk makan kami sampai Allah Ta’ala memberi lagi
rezki untuk kami. Tetapi pakaian ini saya terima untuk isteri saya, karena
pakaiannya sudah terlalu usang, sehingga dia hampir telanjang.”

Tidak lama sesudah pertemuan ‘Umair dengan khalifah, maka Allah


mengizinkan ‘Umair untuk bertemu dengan Nabi yang sangat dicintai dan
dirindukannya, yaitu Muhammad bin ‘Abdullah, Rasulullah, ‘Umair pergi
menempuh jalan akhirat, mempertaruhkan jiwa raganya dengan langkah-
langkah yang senantiasa mantap. Dia tidak membawa beban berat di
punggung, berupa kemewahan dunia. Tetapi dia pergi dengan cahaya
Allah yang selalu membimbingnya, wara’ dan taqwa.

Ketika Khalifah ‘Umar mendengar kematian ‘Umair, bukan main main


sedihnya, sehingga dia mengurut dada karena menyesal. Kata khalifah,
“Saya membutuhkan orang-orang seperti ‘Umair bin Sa’ad, untuk
membantu saya melola masyarakat kaum muslimin.”

Semoga Allah meredhai ‘Umair bin Sa’ad, dan semoga dia senang dalam
keredhaan-Nya. Dia telah menempuh cara yang diambilnya sendiri di
antara sekian banyak orang. Dan dia adalah bekas mahasiswa

Anda mungkin juga menyukai