Anda di halaman 1dari 11

PENGHALANG PERNIKAHAN

MAKALAH

Dipresentasikan untuk Memenuhi Tugas Terstruktur pada Mata Kuliah

Fiqih II

Disusun Oleh: Kelompok III

Ryan Kamila El Zakiya : 2018. 2314

Loli Dahlia : 2018. 2289

Lidya Wati : 2018. 2288

Dosen Pengampu:

Dr. Elfia, M. Ag.

JURUSAN/PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) SEMESTER IV

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PENGEMBANGAN

ILMU AL-QUR’AN (STAI-PIQ)

SUMATERA BARAT
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia adalah negara yang memiliki ragam suku bangsa dan negara dan aneka
budayanya. Ketika islam datang dan menyebar di negri ini, ajaran islam telah mengalami
penyesuaian dengan budaya lokal dan mengatur kehidupan manusia salah satu contohnya
dalam hal perkawinan. Istilah mahrom berasal dari makna haram, yang maknanya adalah
wanita yang haram dinikahi. Harus dibedakan antara mahram dengan muhrim. Kata muhrim
berasal dari bentukan dasar (ahrama- yuhrimu-ihrahman), yang artinya mengerjakan ibadah
ihram. Dan sedangkan makna muhrim itu adalah orang yang sedang mengerjakan ibadah ihra,
baik haji maupun umrah.
Salah satu faktor yang paling menentukan dalam urusan boleh tidaknnya suatu pernikahan
terjadi adalah status wanita yang menjadi pengantin. Bila wanita itu mahromnya maka hukum
pernikan itu haram, dan bila wanita bukan mahramnya maka hukum pernikahan itu halal.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Mahram dan sebab sebabnya
2. Pernikahan beda agama
3. Poligami dalam islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. MAHRAM
a. Pengertian Mahram

Istilah mahrom berasal dari makna haram, yang maknanya adalah wanita yang haram
dinikahi. Harus dibedakan antara mahram dengan muhrim. Kata muhrim berasal dari
bentukan dasar (ahrama- yuhrimu-ihrahman), yang artinya mengerjakan ibadah ihram.

Larangan perkawinan atau “mahram” yang berarti terlarang, “sesuatu yang terlarang”
maksudnya yaitu perempuan yang terlarang untuk dikawini. Larangan perkawinan yaitu
perintah atau aturan yang melarang suatu perkawinan. Secara garis besar, larangan kawin
antara seoarng pria dan seorang wanita menurut syara‟ dibagi dua, yaitu halangan abadi (al-
tahrim al- muabbad) dan halangan sementara (al-tahrim al-mu’aqqat).

1. Halangan Abadi

a. Halangan nasab (keturunan)

Al-Quran memberikan aturan yang tegas dan terperinci yaitu dalam surat an-Nisa’
ayat 23, yaitu:

Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak- anakmu yang


perempuan, suadara-saudaramu yang perempuan, suadara-saudara bapakmu yang
perempuan, suadara-saudara ibumu yang perempuan, anaka-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang laki-laki, anak perempuan dari saudara-saudara yang perempuan, ibu-
ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibi-ibu isterimu (mertua),
anak-anak isterimu yangdalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi
jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sah sudah kamu ceraikan), maka tidak
berdosa kamu mengawininya, ( dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu) dan menghimpun (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersuadara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha
penyayang.

Para ulama sepakat bahwa wanita-wanita yang haram untuk dinikahi dari segi
keturunan ada tujuh yang disebutkan di dalam al- Qur’an, yaitu :

1). Ibu kandung dan seterusnya keatas seperti nenek, ibunya nenek.
2).Anak wanita dan seteresnya ke bawah seperti anak perempuannya
anak perempuan.

3). Saudara kandung wanita.

4).`Ammat / Bibi (saudara wanita ayah)

5). Khaalaat / Bibi (saudara wanita ibu).

6). Anak wanita dari saudara laki-laki.

7).Anak wanita dari saudara wanita.

b. Halangan perkawinan

Adapun wanita-wanita yang diharamkan karena perkawinan ada empat, yaitu:

1). Ibu dari istri (mertua wanita).

2). Anak wanita dari istri (anak tiri).

3). Istri dari anak laki-laki (menantu peremuan).

4). Istri dari ayah (ibu tiri).

c. Halangan susuan

Para ulama sepakat bahwa susuan secara global, diharamkan karenanya


sebagaimana diharamkan karena nasab (keturunan) (maksudnya, bahwa wanita yang
menyusui kedudukannya sama dengan seorang ibu) maka ia diharamkan bagi anak yang
disusuinya dan semua wanita yang diharamkan bagi anak laki-laki dari segi ibu nasab.
Wanita-wanita tersebut adalah

1). Ibu yang menyusui

2). Ibu dari wanita yang menyusui (nenek).

3). Ibu dari suami yang istrinya menyusuinya (nenek juga).

4). Anak wanita dari ibu yang menyusui (saudara wanita sesusuan).

5). Saudara wanita dari suami wanita yang menyusui.

6). Saudara wanita dari ibu yang menyusui.


2. Halangan Tidak Abadi

a. Halangan jumlah

Kaum muslim telah sepakat atas kebolehan mengawini empat orang wanita bersama-
sama, yakni bagi laki-laki merdeka. Mengawini lebih dari empat orang wanita, jumhur
fuqaha tidak membolehkan perkawinan istri yang kelima, berdasarkan firman Allah di dalam
QS. An-Nisa’ (4):

Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak- hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

b. Halangan pengumpulan (dua saudara perempuan)

Seorang laki-laki diharamkan untuk mengumpulkan dua perempuan bersaudara dalam


sebuah ikatan, baik pernikahan maupun kepemilikan melalui perjanjian (biasanya berlaku
untuk budak). Demikian pula diharamkan mengumpulkan seorang perempuan dengan
bibinya, baik dari pihak ayah maupun ibu.

c. Larangan karena talaq tiga.

Seorang suami yang telah menceraikan isterinya dengan tiga talak, baik sekaligus atau
bertahap, mantan suaminya haram mengawininya sampai menatan isteri kawin dengan laki-
laki dan habis pula iddahnya. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 230:

Artinya: “Kemudian jika si suami menalaknya (setelah talak yang kedua) maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya kecuali bila istri itu telah kawin dengan suami
lain...”

d. Halangan kekufuran

Fuqaha telah sependapat bahwa seorang muslim tidak boleh menikahi perempuan
kafir penyembah berhala, berdasarkan firman Allah dalam Q.S Al-Mumtahanah : 10
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah
lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka
(benar- benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami
mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang
kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar
yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu
bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali
(perkawinan) dengan perempuan- perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang
telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar.
Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

e. Halangan ihram

Seseorang yang sedang dalam keadaan ihram, baik laki-laki maupun perempuan, tidak
diperbolehkan untuk melakukan akad nikah, baik untuk menikahkan dirinya sendiri maupun
untuk menikahkan orang lain dengan perwalian atau perwakilan. Apabila ia tetap
melakukannya maka akad tersebut batal dan akibat hukum dari pernikahan tersebut tidak
berlaku

f. Halangan iddah

Wanita yang sedang dalam ‘iddah, baik ‘iddah cerai maupun ‘iddah ditinggal
mati, haram dinikahi oleh seorang laki- laki.1

g. Larangan karena ikatan perkawinan.

Seorang perempuan yang sedang terikat tali perkawinan haram dikawini oleh
siapapun. Bahkan perempuan yang sedang dalam perkawinan itu dilarang untuk dilamar, baik
dalam ucapan terus terang. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam QS. An-Nisa‟ ayat 24:

Artinya: “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) perempuan yang bersuami,


kecuali budak-budak yang kamu miliki...”

B. PERNIKAHAN BEDA AGAMA


a. Dihalalkan laki laki muslim mengawini perempuan yahudi dan Nasrani
1
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), Cet. Ke-5, h. 113
b. Dilarang laki laki muslim mengawini perempuan majusi, perempuan watsani
(penyembah berhala), dan perempuan shabah (menyembah bintang bintang)

Orang orang yang bukan beragama islam ada tiga macam

1. Orang yang mempunyai kitab suci dengan terang dan nyata seperti orang yahudi
yang beriman kepada kitab taurat dan orang Nasrani yang beriman kepada kitab
injil. Mereka itu dinamakan ahli kitab.
Laki laki muslim boleh mengawini perempuan yahudi atau Nasrani tentang ini
telah sepakat empat mazhab bahwa laki laki muslim boleh menikahi wanita
Nasrani/yahudi. Tetapi imam syafi’I dan hanbali mensyaratkan ibu bapak orang
tersebut harus orang yahudi/Nasrani juga. Menurut Hanafi dan maliki asal
perempuan itu beragama yahudi/Nasrani, boelh mengawininya, walaupun ibu
bapaknya meneyembah berhala.
2. Orang orang yang mempunyai semi kitab suci (sybhah kitab), seperti orang majusi
(menyembah api) dan shabiah (penyembah bintang bintang). Menurut mazhab
yang empat bahwa laki laki muslim tidak boleh mengawini perempuan majusi,
karena tidak termasuk dalam golongan ahli kitab.
3. Orang orang yang tidak mempunyai kitab suci dan tiada pula syubhah kitab suci,
seperti orang penyembah patung (berhala atau gambar), atu orang yang tidak ber
tuhan sama sekali (atheis), ulama islam telah sepakat bahwa laki laki muslim tidak
boleh mengawini perempuan yang menyembah berhala ( patung ) atau perempuan
atheis. Begitu juga tidak boleh mengawini perempuan yang murtad (keluar dari
agama islam).

Hikmah membolehkan laki laki muslim mengawini perempuan yahudi/Nasrani.

1. Bahwa agama islam tidak besar perbedaannya dengan agama yahudi/Nasrani,


karena ketiga tiganya sama sama menganjurkan supaya beriman kepada tuhan
yang maha esa, beriman kepada nabi dan rasul, dan hari kemudian dan sama sama
mengatakan wajib berbuat baik dan terlarang berbuat kejahatan.
2. Bahwa diharapkan perempuan yahudi/Nasrani itu akan memeluk agama islam
dengan kemauannya sendiri ( bukan dengan paksaan), karena kebiasaannya
perempuan itu cenderung kepada agama suaminya.
3. Bahwa dengan adanya perhubungan antara laki laki muslim dan perempuan
yahudi/Nasrani akan menghilangkan permusuhan dan kebencian hati antara kedua
belah pihak dengan demikian akan tercapai perdamaian yang abadi.2

c. Kawin perempuan muslim dengan laki laki bukan muslim


Para ulama sepakat bahwa perempuan muslim tidak halal kawin dengan laki laki
bukan muslim, baik dia musyrik ataupun ahli kitab, terdapat dalam surah al-
mumtahanah : 10
Artinya : “wahai orang orang yang beriman jika dating kepadamu perempuan
perempuan mukmin yang berhijrah hendaklah mereka kamu uji terlebih dulu.
Allah lebih mengetahui iman mereka, jika kamu telah dapat membuktikan bahwa
mereka itu benar benar beriman, maka janganlah mere kembalikan kepada orang
orang kafir. Mereka ini (perempuan perempuan mukmin)tidak halal bagi laki laki
kafir. Dan laki laki kafir pun tidak halal bagi mereka”
Pertimbangan daripada ketentuan ini adalah bahwa di tangan suamilah kekuasaan
terhadap istrinya, dan bagi istri wajib taat terhadap perintahnya. Dalam pengertian
seperti inilah maksud daripada kekuasaan suami terhadap istrinya.3

C. POLIGAMI DALAM ISLAM


1. Pengertian Poligami
Secara etimologis, istilah poligami berasal dari bahasa yunani terdiri dari
dua pokok kata, yaitu Polu dan Gamein. Polu berarti banyak, Gamein berarti
kawin. Jadi Poligami berarti perkawinan yang banyak. Pengertian etimologis tersebut
dapat dijabarkan dan dipahami bahwa poligami merupakan perkawinan dengan salah
satu pihak (suami) mengawini lebih dari seorang isteri dalam waktu yang bersamaan.
Artinya isteri- isteri tersebut masih dalam tanggungan suami dan tidak diceraikan
serta masih sah sebagai isterinya. selain poligami ada juga istilah poliandri. Poliandri
adalah suatu bentuk perkawinan dengan ciri salah satu pihak (isteri) memiliki lebih
dari seorang suami dalam waktu bersamaan. Dibandingkan poliandri, poligami lebih
banyak di praktekkan dalam kehidupan masyarakat.

2
Mahmud yunus, hokum perkawinan dalam islam, 1990, hal.49.
3
M. thalib, perkawinan menurut islam, 1993, hal. 58.
Adapun dalam istilah kitab-kitab fiqih poligami disebut dengan ta’addud al-
zaujat yang berarti banyak isteri, sedangkan secara istilah diartikan sebagai kebolehan
mengawini perempuan dua, tiga, atau empat, kalau bisa berlaku adil. Jumhur ulama
membatasi poligami hanya empat wanita saja.
Kendatipun banyaknya poligami pada masyarakat kita ini belum pernah
diselidiki secara research apa sebenarnya motif dan sebabnya, namun pada kenyataan
nya kebanyakan poligami dilakukan oleh masyarakat kita tidak sesuai dengan segala
ketentuan, sehingga poligami yang dilakukan itu sangat jauh dari hikmah-hikmah dan
rahasianya yang terkandung didalamnya. Kebolehan untuk melakukan poligami
menurut islam dalam banyak kenyataan sering diterapkan dengan cara membabi buta,
maksudnya seperti sekehendak hati saja layaknya, dengan tanpa memperhatikan dan
mengindahkan syaratsyarat yang harus dipenuhi.
2. Dasar Hukum Poligami
Islam membolehkan poligami dengan jumlah wanita yang terbatas dan tidak
mengharuskan umatnya melaksanakan monogamy mutlak dengan pengertian seorang
laki-laki hanya boleh beristeri seorang wanita dalam keadaan dan situasi apapun,
Islam, pada dasarnya, menganut sistem monogami dengan memberikan kelonggaran
dibolehkannya poligami terbatas, pada prinsipnya, seorang laki-laki hanya memiliki
seorang isteri dan sebaliknya seorang isteri hanya memiliki seorang suami.
islam tidak menutup diri adanya kecenderungan laki-laki beristeri banyak
sebagaimana yang sudah berjalan dahulu kala, dan islam tidak menutup rapat
kemungkinan adanya laki-laki berpoligami.
3. Alasan dan Syarat Poligami
Demi terwujudnya tujuan perkawinan yang disyari’atkan oleh islam maka
seorang suami yang ingin melakukan poligami harus memperhatikan syaratsyarat
yang harus dipenuhi dan dengan beberapa alasan yaitu :
a) Jumlah isteri yang dipoligami tidak lebih dari empat wanita. Pembatasan
empat wanita ini didasarkan pada Al-Qur’an Surat AnNisa’ ayat 3
b) Syarat selanjutnya adalah sanggup berbuat adil kepada para isteri, berbuat
adil kepada para isteri dalam poligami adalah, masalah makan, minum, pakaian,
tempat tinggal, menginap dan nafkah.
c) Wanita yang dipoligami tidak ada hubungan saudara dengan isterinya baik
susuan maupun nasab, karena dilarang mengumpulkan isteri dengan saudaranya atau
dengan bibinya, larangan ini terdapat pada AlQur’an Surat An-Nisa’ ayat 23 yaitu :
Artinya : “ (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang
bersaudara, 25 kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”.
d. Memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan
bertambahnya isteri, maksudnya bagi seorang suami yang ingin menikah dengan
seorang wanita harus yang sudah mampu, jika belum mampu haruslah menahan dulu
(puasa).
e. Persetujuan dari isteri, hal ini sesuai dengan posisi suami dan isteri dianggap
satu kesatuan dalam keluarga, Apapun yang dilakukan oleh suami dimintakan izin
kepada isteri, apalagi masalah ingin beristeri lagi. Persetujuan ini sangat penting demi
keutuhan dan kelangsungan hidup berkeluarga.
K e s im p u la n

Kesimpulan dari larangan perkawinan dalam fikih serta relevansinya dengan


peraturan hukum perkawinan di Indonesia , bahwa tidak semua perempuan dapat
dinikahi, tetapi syarat perempuan yang boleh dinikahi hendaknya bukan orang
yang haram bagi laki-laki yang akan mengawininya. Larangan perkawinan
mencakup halangan abadi (ta’bíd), yaitu tidak dapat dinikahi selamanya,
dikarenakan nasab, perkawinan dan persusuan. Larangan sementara (gairu ta’bíd)
adalah orang yang haram dikawin untuk masa tertentu, seperti halangan bilangan,
mengumpulkan, kehambaan, kafir, ihrám, iddah, perceraian tiga kali dan
peristrian. Pernikahan beda agama meliputi, Dihalalkan laki laki muslim
mengawini perempuan yahudi dan Nasrani. Dilarang laki laki muslim mengawini
perempuan majusi, perempuan watsani (penyembah berhala), dan perempuan
shabah (menyembah bintang bintang), perempuan muslim tidak halal kawin
dengan laki laki bukan muslim, baik dia musyrik ataupun ahli kitab. Poligami
ialah sebagai kebolehan mengawini perempuan dua, tiga, atau empat, kalau bisa
berlaku adil.

DAFTAR PUSTAKA
Thalim. M, perkawinan menurut islam, Surabaya : Al-Ikhlas, cetakan ke II,
(1993).
Yunus Mahmud, hukum perkawinan dalam islam, Jakarta : PT. Hidakarya Agung,
cetakan 12, (1990)
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, Cet. Ke-5, (2003)

Anda mungkin juga menyukai