Anda di halaman 1dari 10

Akad Nikah

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kelompok Pada Mata Kuliah Semester IV


Fiqh II

Disusun oleh kelompok 2 :


Khairatun Nisak
Mailani Novera
Rizki Ilahi Khairun Nisa

Dosen Pengampu:
Dr. Elfia, M.Ag.

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
PENGEMBANGAN ILMU AL-QUR’AN (STAI-PIQ)
SUMATERA BARAT
2020 M/ 1441 H
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah satu-satunya agama yang tidak hanya hubungan manusia
dengan Tuhan saja (ibadah) melainkan juga hubungan antar manusia dengan
manusia (muamalah). Hal ini dibuktikan dalam kitab suci Islam yaitu al-Qur’an.
Selain itu, berada pula hadits yang bekerja untuk menjelaskan isi al-Qur’an dan
berita hukum yang tidak ada di dalam al-Qur’an.
Salah satu bagian dari ilmu fiqh hubungan manusia dengan manusia juga
urusan keduniawia adalah fiqh muamalah. Begitu juga dengan pernikahan,
salah satu yang menjadi syarat pernikahan adalah keberadaan kesepakatan
yang diantispasi untuk kedua mempelai.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian akad (shigat) dalam pernikahan?
2. Apa pengertian wali dalam pernikahan?
3. Apa pengertian saksi dalam pernikahan?
4. Bagaimana rukun dan syarat pernikahan?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Akad (shigat) dalam Pernikahan


Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang
melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul 1 . Ijab adalah
pernayataan yang keluar dari salah satu pihak yang mengadakan akad atau
transaksi, baik berupa kata-kata, tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan
adanya terjadinya akad, baik salah satunya dari pihak suami atau dari pihak
istri. Sedangkan qabul adalah pernyataan yang datang dari pihak kedua baik
berupa kata-kata, tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan persetujuan
ridhanya2.
Ulama sepakat menetapkan ijab dan qabul itu sebagai rukun perkawinan.
Untuk sahnya suatu akad perkawinan disyaratkan beberapa syarat. Diantara
syarat tersebut ada yang disepakati oleh ulama dan diantaranya diperselisihkan
oleh ulama. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul.
2. Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda, seperti nama perempuan
secara lengkap dan bentuk mahar yang disebutkan.
3. Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus
walaupun sesaat. Ulama Malikiyah memperbolehkan terlambatnya ucapan
qabul dari ucapan ijab, bila keterlambatan itu hanya dalam waktu yang
pendek.
4. Ijab dan qabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang bersifat
membatasi masa berlangsungnya perkawinan, karena perkawinan itu
ditujukan untuk selama hidup.
Ijab qabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terang, tidak boleh
menggunakan ucapan sindiran. Pelaksanaan ijab bisa dilakukan oleh
walinya sendiri (ayah atau kakek).

1
Amir Syarifudin, 2001, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media,
hal. 61
2
Abdul Aziz M & Abdul Wahhab S, 2001, Fiqh Munakahat, Jakarta: Amzah, hal. 59

2
3

B. Wali dalam Pernikahan


1. Pengertian Wali
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi
calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Wali bertindak
sebagai orang yang mengakadkan nikah menjadi sah. Nikah tidak sah tanpa
adanya wali. Secara etimologis, wali mempunyai makna pelindung, penolong,
atau penguasa.
2. Kedudukan Wali dalam Pernikahan
Dasar hukum yang mengatur tentang adanya wali masih banyak
dibicarakan dalam berbagai literatur. Menurut jumhur ulama keberadaan wali
dalam sebuah pernikahan didasarkan pada sejumlah nash al-Qur’an dan hadits.
Nash al-Qur’an yang digunakan sebagai dalil adanya wali dalam pernikahan
diantaranya adalah:

‫ضلُو ه َُّن أ َ ْن يَ ْنكِحْ نَ أ َ ْز َوا َج ُه َّن‬ ُ ‫سا َء فَبَلَ ْغنَ أ َ َجلَ ُه َّن فَ ََل ت َ ْع‬َ ِ‫طلَّ ْقت ُ ُم الن‬
َ ‫َو ِإذَا‬
َ ْ‫اَّلل َو ْليَ ْو ِم ا‬
‫ال‬ ِ َّ ِ‫عظُ بِ ِه َم ْن َكانَ ِم ْنكُ ْم يُؤْ ِم ُن ب‬ َ ‫وف ذَلِكَ يُو‬ ِ ‫ض ْوابَ ْينَ ُه ْم بِ ْل َم ْع ُر‬
َ ‫إِذَات ََرا‬
َ‫ّللا يَ ْعلَ ُم َوا َ ْنت ُ ْم َال ت َ ْعلَ ُم ْون‬ ْ ْ‫أزكَى لَكُ ْم َوأ‬
ُ َّ ‫ط َه ُر َو‬ ْ ‫ِخ ِرذَ ِلكُ ْم‬
Artinya:
“Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya,
maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi
dengan bakal suaminya. Apabila telah dapat kerelaan diantara
mereka dengan cara yang ma’ruf”.( Q.S al-Baqarah: 232)
3. Macam-macam wali dalam Pernikahan
a. Wali mujbir
Menurut bahasa, mujbir adalah orang yang memaksa. Dalam kata lain
wali mujbir adalah wali yang mempunyai hak sepenuhnya untuk
menikahkan orang yang diwalikan tanpa harus meminta izin dan pendapat
dulu dari mereka. Menurut para ulama, harus ada syarat agar
diperbolehkan untuk menikahkan seorang anak perempuan tanpa harus
meminta izin langsung, yaitu:
1) Tidak ada permusuhan antara ayah dan anak.
2) Orang yang dikawinkan harus setara
4

3) Maharnya tidak kurang dari mahar misil (sebanding).


4) Tidak menikahkan dengan orang yang tidak mampu untuk membayar
mahar.
5) Tidak menikahkan dengan laki-laki yang bisa mengecewakan si anak
nanti.
b. Wali hakim
Wali hakim, yaitu orang yang menjadi wali dalam kedudukannya
sebagai hakim atau penguasa. Ada penyebab yang bisa memindahkan hak
wali kepada wali hakim, yaitu:
1) Terjadinya pertentangan dengan para wali.
2) Tidak adanya wali nasab, baik itu karena meninggal atau menghilang.
Bila calon suami sudah datang dan seorang calon istri sudah setuju
tapi walinya tidak ada, karena telah meninggal dunia atau hilang.
Maka yang berhak menikahkannya adalah wali hakim.
c. Wali adhal
Wali adhal adalah wali yang tidak mau menikahkan perempuan yang
berada di bawah perwaliannya. Apabila seorang menolak untuk
menikahkan tanpa ada alasan yang dapat diterima, maka perempuan itu
berhak untuk mengadukan perkara ini kepada hakim dan meminta hakim
untuk menikahkannya. Dalam hal seperti ini, masalah perkawinan tidak
berpindah ke wali lainnyasesuai dengan urutannya, tetapi haknya
berpindah ke wali hakim, karena adhal merupakan tindakan aniaya. Tapi
jika penolakannya dikarenakan kepada pertimbangan yang masuk akal,
seperti maharnya kurang dari mahar misil atau tidak sekufu, maka
perwaliannya masih berada di tangan wali nasab, dan tidak berpindah
tangan pada wali hukum.
4. Syarat-syarat wali
Orang-orang yang disebutkan di atas baru berhak menjadi wali bila
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Telah dewasa dan berakal sehat.
b. Laki-laki
5

c. Muslim
d. Orang merdeka
e. Tidak berada dalam pengampunan atau majhur alaih
f. Berfikiran baik
g. Adil
h. Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji maupun umrah
C. Saksi dalam Pernikahan
1. Pengertian saksi
Saksi menurut bahasa berarti orang yang melihat atau mengetahui sendiri
suatu peristiwa (kejadian). Sedangkan menurut istilah adalah orang yang
memberitahukan keterangan dan mempertanggung jawabkan secara apa
adanya. Rasulullah sendiri dalam berbagai riwayat hadits walaupun dengan
redaksi berbeda-beda menyatakan urgensi adanya saksi nikah, sebagaimana
dinyatakan dalam sebuah hadits:

‫عدْل‬ ْ ‫َال نِكَا َح ِإ َال ِب َو ِلي ِ َوشَا ِه َد‬


َ ‫ي‬
“Tidak sah suatu akad nikah kecuali (dihadiri) wali dan dua
orang saksi”

Akad pernikahan mesti disaksikan oleh dua orang saksi suapay ada
kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-
pihak yang berakad di belakang hari. Dalam menetapkan kedudukan saksi
dalam perkawinan ulama jumhur yang terdiri dari ulama syafi’iyah, Hanabilah,
menempatkannya sebagai rukun dalam perkawinan, sedangkan ulama
hanafiyah dan Zahiriyah menempatkannya sebagai syarat. Demikian pula
adanya dengan ulama Malikiyah. Menurut ulama ini tidak ada keharusan untuk
menghadirkan saksi dalam waktu akad perkawinan, yang diperlukan adalah
mengumumkannya namun disyaratkan adanya kesaksian melalui pengumuman
itu sebelum bergaulnya.
Dalam peraturan perundangan yaitu pada KUHP pasal 1 (26) dinyatakan
tentang pengertian saksi yaitu: “saksi adalah orang yang tepat dapat
memberikan keterangan guna kepentingan perkara tentang suatu perkara yang
ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
6

pengetahuannya itu”. Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan


akad nikah, sehingga setiap pernikahan harus dihadiri dua orang saksi (pasal
24 KHI)
2. Syarat-syarat saksi
Saksi dalam pernikahan mesti memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang.
b. Beragama islam.
c. Orang yang merdeka
d. Laki-laki
e. Bersifat adil
f. Dapat mendengar dan melihat
D. Rukun dan Syarat Nikah
1. Rukun Nikah
Rukun nikah adalah bagian dari hakikat sesuatu. Rukun masuk dalam
substansinya. Adanya sesuatu itu karena adanya rukun dan tidak adanya karena
tidak ada rukun. Berbeda dengan syarat, ia tidak masuk ke dalam substansi dari
hakikat sesuatu , sekalipun itu tetap ada tanpa syarat, namun eksistensinya tidak
diperhitungkan. Akad nikah mempunyai beberapa rukun yang berdiri dan
menyatu dengan substansinya. Rukun nikah menurut hukum Islam meliputi
lima hal, yaitu:
a) Calon mempelai
b) Wali nikah
Wali yang menjadi rukun nikah adalah wali nasab yaitu wali yang
mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai wanita.
c) Saksi
d) Ijab qabul
e) Syarat nikah
1) Keduanya memiliki identitas dan keberadaan yang jelas
2) Keduanya beragama Islam
3) Keduanya tidak dilarang melangsungkan perkawinan
7

4) Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melaksanakan


perkawinan
5) Unsur kesamaan antara kedua belah pihak
6) Persetujuan dari kedua belah pihak
7) Adanya hak dan kewajiban pada suami istri.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang
melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul.
2. Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi
calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
3. Rukun adalah bagian dari hakikat sesuatu. Rukun masuk dalam
substansinya.

8
DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Abdul M & Abdul Wahab. 2001. Fiqh Munakahat. Jakarta: Amzah.
Syarifudin, Amir. 2001. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta:
Prenada Media.

Anda mungkin juga menyukai