Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Desa merupakan unit pemerintahan terkecil dalam lingkup Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Hal ini menjadikan peran desa dalam pembangunan bangsa dan negara dalam
mensejahterahkan masyarakat menjadi sangat penting dan strategis. Sehingga, fokus
perhatian pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, sangat besar terhadap
pembangunan desa. Nawa Cita Presiden yang ingin membangun Indonesia dari pinggiran
dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan, telah menjadi
agenda penting pemerintahan di era Presiden Joko Widodo dan wakilnya M. Jusuf Kalla saat
ini (Majalah BPKP, 2015;16). Upaya pembangunan desa dan pemerataan desa tersebut,
dilakukan dengan skema penataan desa (Ilyas & Muchlis, 2016).
Pemerintahan desa memiliki peranan signifikan dalam pengelolaan proses sosial di
dalam masyarakat, tugas utama yang harus ditempuh pemerintah desa adalah bagaimana cara
untuk mengembangkan prinsip keterbukaan informasi kepada publik, memberikan pelayanan
sosial yang baik sehingga dapat membawa warganya pada kehidupan yang sejahtera, rasa
tentram dan berkeadilan (Yuliawan, 2016).
Dewasa ini, pemerintah desa seperti miniatur bagi pemerintah kabupaten, karena
pemerintah desa wajib merumuskan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
(RPJMDes) dan mampu menjabarkan melalui Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDes)
yang selanjutnya disusun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Tahunan. Dengan
anggaran desa yang cukup besar, diharapkan dapat membantu pembangunan sejumlah
infrastruktur yang dibutuhkan untuk membangun desa dalam rangka mengatasi kemiskinan
dan ketertinggalan daerah (Ilyas & Muchlis, 2016).
Keinginan pemerintah beserta perangkat desa untuk mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang baik, salah satunya dengan mengembangkan UU No 14 Tahun 2008
tentang keterbukaan informasi publik. Menurut Sakapurnama, (2012:16) bahwa salah satu
prinsip yang terkandung dalam good governance dan berkaitan erat dengan keterbukaan
informasi adalah prinsip transparansi. Keterbukaan informasi diharapkan dapat menghasilkan
persaingan politik yang sehat, toleran, dan kebijakan pemerintah dibuat berdasarkan prefensi
publik. Keterbukaan informasi juga dipandang sebagai bagian penting dan tak terpisahkan
dari demokrasi. Solihin (2006:10) dalam Sakapurnama (2012:16), menjelaskan transparansi
merupakan akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang
penyelenggaraan pemerintah dan berbagai kebijakan publik (Yuliawan, 2016).
Permasalahan atau kendala yang dihadapi pada pemerintahan terkait prinsip transparansi
yaitu mengenai pemberian akses informasi yang kurang memadai dan akurat terhadap
masyarakat. Banyak masyarakat yang mengeluhkan tata kelola pemerintahan desa yang
dirasa masih tertutup. Penentuan usulan proyek atau kegiatan cenderung didominasi oleh
pemerintah desa sedangkan masyarakat tidak dapat memberikan masukan mengenai kegiatan
tersebut. Pengembangan prinsip transparansi di mayoritas desa umumnya masih terbilang
rendah dikarenakan kurangnya sosialisasi kebijakan dan ketidak jelasan mekanisme dalam
mengakses data. Hal tersebut terjadi akibat peran dari aparatur desa yang masih sangat rendah
dan tidak adanya kepedulian pemerintah desa terhadap kepentingan masyarakat (Yuliawan,
2016).
Pengelolaan keuangan desa, pada dasarnya dilaksanakan untuk mewujudkan desa
sebagai suatu pemerintahan terdepan dan terdekat dengan rakyat yang kuat, maju, mandiri
dan demokratis, hingga mampu melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan menuju masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. Dari kajian yang dilakukan
Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) sejak Januari 2015, KPK menemukan beberapa temuan
pada empat aspek, yaitu: aspek regulasi kelembagaan, aspek tata laksana, aspek sumber daya
manusia dan aspek pengawasan. Aspek regulasi dan kelembagaan, KPK menemukan
persoalan antara lain: Formula pembagian dana desa dalam PP No. 22 tahun 2015 tidak
cukup transparan dan hanya didasarkan atas dasar pemerataan; Kewajiban penyusunan
laporan pertanggungjawaban oleh desa tidak efisien akibat ketentuan regulasi yang tumpang
tindih. Aspek tata laksana, antara lain transparansi rencana penggunaan dan pertanggung
jawaban APBDesa masih rendah; Laporan pertanggungjawaban yang dibuat desa belum
mengikuti standar dan rawan manipulasi Sementara pada aspek pengawasan yakni:
Efektivitas inspektorat daerah dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan
di desa masih rendah; Saluran pengaduan masyarakat tidak dikelola dengan baik oleh semua
daerah. Sedangkan pada aspek sumber daya manusia, terdapat potensi persoalan, yakni
tenaga pendamping berpotensi melakukan korupsi/fraud memanfaatkan lemahnya aparatur
desa. Hal ini berkaca pada program sejenis sebelumnya, PNPM Perdesaan, dimana tenaga
pendamping yang seharusnya berfungsi membantu masyarakat dan aparatur desa, justru
melakukan korupsi dan kecurangan (Ilyas & Muchlis, 2016).
Pengawasan merupakan titik kritis dan menjadi pusat perhatian terutama terkait dengan
efektivitas pengawasan dan kesiapan aparat pengawasan, khususnya APIP di
Kabupaten/Kota. Pemberian dana desa yang begitu besar dan adanya jumlah pelaporan yang
beragam, serta adanya titik kritis dalam pengelolaan keuangan desa, tentunya juga menuntut
tanggung jawab besar oleh aparat pemerintah desa. Hal ini menjadi suatu tantangan bagi
pemerintah desa untuk dapat menerapkan prinsip profesionalitas dan akuntabilitas dalam
pengelolaan keuangan desa. “Agar tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan,
pemberian wewenang dan kekuasaan yang luas tersebut harus diikuti dengan sistem
pengawasan yang kuat” (Thomas, 2013 dalam Ilyas & Muchlis, 2016). Pentingnya sistem
pengawasan pemerintahan desa merupakan salah satu upaya membentuk tata kelola
pemerintahan desa yang baik (Good Village Governance). Pemerintah desa yang telah
mewujudkan Good Village Governance, memiliki indikator antara lain (Majalah BPKP,
2015;16 dalam Ilyas & Muchlis 2016): (1) Tata kelola keuangan desa yang baik, (2)
Perencanaan desa yang partisipatif, terintegrasi dan selaras dengan perencanaan daerah dan
nasional, (3) Berkurangnya penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan yang mengakibatkan
permasalahan hukum, (4) Mutu pelayanan kepada masyarakat meningkat (Ilyas & Muchlis,
2016).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan Latar belakang diatas, maka rumusan masalah pada makalah ini sebagai
berikut.
1. Bagaimana peranan APIP dan Aparatur Desa dalam mewujudkan Good Village
Governance terkait pengelolaan keuangan desa?
2. Bagaimana pemahaman APIP dalam menerapkan prinsip Good Village Governance
dan pemahaman Aparatur Desa dalam menerapkan prinsip Good Village
Governance terkait pengelolaan keuangan desa?
3. Apakah kendala yang dihadapi oleh APIP dan Aparatur Desa dalam penerapan
prinsip Good Village Governance terkait pengelolaan keuangan?
4. Bagaimana peran Aparatur Desa dalam menggembangkan prinsip transparansi dan
akuntabilitas dalam mewujudkan Good Village Governance ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui peranan APIP dan Aparatur Desa dalam mewujudkan Good
Village Governance terkait pengelolaan keuangan desa.
2 Untuk mengetahui pemahaman APIP dalam menerapkan prinsip Good Village
Governance dan pemahaman Aparatur Desa dalam menerapkan prinsip Good Village
Governance terkait pengelolaan keuangan desa.
3 Untuk mengetahui kendala yang dihadapi oleh APIP dan Aparatur Desa dalam
penerapan prinsip Good Village Governance terkait pengelolaan keuangan.
4 Untuk mengetahui peran Aparatur Desa dalam menggembangkan prinsip transparansi
dan akuntabilitas dalam mewujudkan Good Village Governance.

1.4 Manfaat

Manfaat makalah ini untuk mengetahui sejauh mana pemahaman dan penerapan prinsip
Good Village Governance terhadap pengawasan yang dilakukan oleh Inspektorat selaku
auditor internal dan Aparatur desa dan juga pengawasan yang masih lemah dalam
pengelolaan desa. Aparatur desa dituntut untuk menggembangkan prinsip transparansi dan
akuntabiltas dalam mengelola keuangan desa serta menghadapi kendala dan solusi
mengatasinya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penelitian Terdahulu
Sebagai acuan daari makalah ini dikemukan dari hasil-hasil penelitian yang dilaksanakan
sebelumnya yaitu:
1. Penelitian Herlina Ilyas & Mustakim Muchlis (2016) meneliti tentang “Peran APIP dan
Aparatur Desa Dalam Pengelolaan Keuangan Desa Menuju Good Village Governance:
Pendekatan Konsep Muroqobah”. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan
pendekatan deskriptif-analisis. Lokasi penelitian ini yakni di desa Palipi Soreang yang
berada di Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene, Provinsi Sulawesi Barat. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa, penyelenggaraan pemerintahan desa dilakukan oleh
pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) namun tidak terlepas dari
pengawasan Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP). Dalam konteks pemerintah
desa yang sangat rentan terhadap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan inefisiensi,
peran APIP dan Aparatur Desa terkait pengelolaan keuangan desa mampu mendorong
pemerintah desa untuk menuju tata kelola pemerintahan desa yang baik (good village
governance). Selanjutnya guna mendorong terwujudnya self control dan jati diri aparatur
desa agar selalu merasa mendapatkan pengawasan dari Tuhan, apalagi yang menyangkut
hajat hidup orang banyak dan melibatkan anggaran keuangan yang besar, maka
dibutuhkan sebuah pendekatan muroqobah (pendekatan nilai-nilai agama).
2. Penelitian Rezal Yuliawan (2016) meneliti tentang “Peran Perangkat Desa Untuk
Mengembangkan Prinsip Transparansi Dalam Good Governance Pada Pemerintahan
Desa”. Studi kasus penelitian ini pada pemerintahan desa Pabelan Kecamatan Kartasura
Kebupaten Sukoharjo. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peran perangkat desa
untuk mengembangkan prinsip transparansi yaitu memberikan pelayanan yang baik pada
masyarakat, menyampaikan informasi kepada ketua RT, mengadakan rapat dengan
perantara ketua RT, menjawab pertanyaan masyarakat baik lisan maupun tertulis, adanya
pengawasan langsung dari kepala desa.
3. Penelitian Ridho Alfajri (2018) meneliti tentang “Pelaksanaan Good Governance Dalam
Pengelolaan Keuangan Desa Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113
Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Studi kasus penelitian ini pada Desa
Koto Kombu Kecamatan Hulu Kuantan Kabupaten Kuantan Singgi. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa Desa Koto Kombu sudah melaksanakan good governance secara
baik meliputi adanya partisipasi masyarakat, transparansi (keterbukaan) dan akuntabilitas
(pertanggung jawaban) dalam hal pengelolaan desa sesuai dengan peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 113 tahun 2014. Salah satu bentuk partisipasi masyarakat yang
diikutsertakan dalam pengelolaan keuangan desa adalah masyarakat diberikan ruang
untuk memberikan pendapat dalam musyawarah desa terkait pengelolaan keuangan desa
yakni dengan melibatkan ketua BPD dan unsur masyarakat didalam perumusan rencana
keuangan dan pembangunan desa. Begitu juga didalam pelaporan dan pertanggung
jawaban Pemerintah Desa Koto Kombu telah transparan kepada masyarakat terkait
realisasi keuangan desa dengan melakukan sosialisasi laporan keuangan kepada unsur
masyarakat.

2.2 Landasan Teori


2.2.1 Teori Keagenan (Agency Theory)
Model akuntabilitas berbasis Tri Hita Karana merupakan hasil inkulturasi nilai-
nilai etika religius dan “semangat keagamaan” kedalam model akuntabilitas formal,
yang dibangun berdasarkan srada dan bhakti, etika religius serta Undang undang dan
Peraturan Pemerintah. Bisa dikatakan bahwa akuntansi sebagai media
pertanggungjawaban, tidak cukup pada akuntansi kapitalis. Penjelasan mengenai
akuntabilitas pengelolaan dana desa dalam perspektif Tri Hita Karana dapat dijelaskan
melalui agency theory. Teori keagenan dapat didefinisikan sebagai suatu hubungan
yang terdapat pada suatu kontrak. Dalam hal ini, satu orang atau lebih (principal)
memerintah orang lain (agent) untuk melakukan suatu jasa atas nama prinsipal dan
memberi wewenang kepada agen untuk membuat ke putusan yang terbaik bagi
prinsipal. Prinsip utama teori ini berupa hubungan kerja antara pihak yang memberi
15 wewenang (prinsipal) dengan pihak yang menerima wewenang (agensi) dalam
bentuk kontrak kerja sama yang disebut ”nexus of contract. Pendelegasian wewenang
terjadi ketika seseorang atau satu kelompok orang (principal) memilih orang atau
kelompok lain (agent)) untuk bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal.
Gray (1993) mendefinisikan akuntabilitas sebagai kewajiban untuk memberikan
pertanggung jawaban atas pengelolaan tersebut kepada pihak yang dipercayakan
untuk bertanggung jawab. Keahlian/kompetensi agen akan menentukan output.
Akuntabilitas dapat terwujud apabila terdapat komitmen dari pimpinan dan seluruh
staf instansi pemerintah yang bersangkutan, untuk menjamin penggunaan sumber
daya secara konsisten dengan peraturan perundang-undangan. Mardiasmo (2002:20-
22) menyatakan akuntabilitas publik adalah kewajiban pihak pemegang amanah
(agent) kepada pemberi amanah (principal) untuk memberikan pertanggung
jawaban.Agen mempunyai kewajiban memberikan pertanggung jawaban, menyajikan,
melaporkan dan mengungkapkan segala aktifitas dan kegiatan yang menjadi tanggung
jawabnya kepada prinsipal yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta
pertanggung jawaban tersebut (Mahsun, 2006).

Implikasi teori keagenan adalah dalam akuntabilitas pengelolaan dana desa, pihak
yang dipercaya mengelola dana desa adalah aparat pemerintah desa. Kehidupan
masyarakat desa di Bali tidak bisa terlepas dari budaya Tri Hita Karana yang
merupakan landasan filosofis dan religius dalam kehidupan bermasyarakat.
Pemahaman akuntabilitas dalam konteks budaya Tri Hita Karana 15 menyatakan
bahwa individu sebagai agen mempunyai tiga prinsipal yakni Tuhan, manusia, dan
alam lingkungan.Undang-undang No 6 Tahun 2014 mengamanatkan pengelolaan
dana desadengan melibatkan partisipasi masyarakat. Aparat desa harus bisa
mempertanggung jawabkan pengelolaan dana desa secara menyeluruh. Kompetensi
aparat pemerintah desa dan kepemimpinan kepala desa akan menentukan keberhasilan
penyelenggaraan pembangunan desa.

2.2.2 Teori Peran (Role Theory)

Teori peran (role theory) adalah sebuah sudut pandang dalam sosiologi dan
psikologi sosial yang menganggap sebagian besar aktivitas harian diperankan oleh
kategori-kategori yang ditetapkan secara sosial. Menurut Dougherty dan Pritchard,
teori peran ini memberikan suatu kerangka konseptual dalam studi perilaku di dalam
organisasi. Sedangkan menurut Soekanto(2009) peran adalah proses dinamis
kedudukan (status). Selanjutnya, peranan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
perilaku APIP sebagai auditor internal dan Aparatur desa sebagai pelaksana dalam
konteks pengelolaan keuangan desa. APIP harus dapat melihat titik kritis yang timbul
dalam pengelolaan keuangan desa, untuk itu peran APIP sangat penting untuk
memberikan assurance dan konsultasi bagi akuntabilitas dan pengelolaan keuangan
desa. APIP tidak lagi berperan sebagai “watchdog” yang hanya bertindak sebagai
pencari-cari kesalahan, sehingga dengan adanya reimage ini auditor dan auditee
mampu bersinergi. Selain itu, melalui audit yang rutin dilakukan, APIP memberikan
rekomendasi kepada Aparatur desa mengenai hasil, hambatan dan penyimpangan
yang terjadi atas aktivitas yang dijalankan.

2.2.3 Konsep Desa

Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang telah diterjemahkan


kembali dalam peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015 sebagai hasil dari revisi
atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai petunjuk pelaksanaannya
telah menjadi payung hukum bagi aparatur desa dalam melakukan pegelolaan dana
desa. Berdasarkan jumlah anggaran yang ditetapkan oleh pemerintah pusat di dalam
Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara – Perubahan tahun 2015, desa
diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kewenangannya sesuai dengan
kebutuhan dan prioritas desa. Hal itu berarti Dana Desa akan digunakan untuk
mendanai keseluruhan kewenangan desa sesuai dengan kebutuhan dan prioritas Dana
Desa tersebut.Maksud pemberian Dana Desa adalah sebagai bantuan stimulan atau
dana perangsang untuk mendorong dalam membiayai program Pemerintah Desa yang
ditunjang dengan partisipasi swadaya gotong royong masyarakat dalam melaksanakan
kegiatan pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat. Terkait dengan Dana Desa
yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sejalan
dengan pelaksanaan otonomi daerah bahwa implikasi lebih lanjut pemerintah pusat
sebagai pelaksana pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia berkewajiban
memberikan kepercayaan kepada pemerintah daerah selanjutnya kepada pemerintah
desa sebagai otonom untuk mengelola anggaran suatu kegiatan sesuai dengan tugas
pokok dan fungsinya, prioritas penggunaan anggaran, dengan harapan agar
terciptanya kemandirian masyarakat dengan tetap melestarikan nilai-nilai gotong
royong yang ada di dalam masyarakat tersebut

2.2.4 Keuangan Desa


Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan
uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban desa. Hak dan kewajiban sebagaimana yang
dimaksud tersebut menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan
keuangan desa.
Sumber-sumber keuangan desa:
a) Pendapatan asli desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya, dan partisipasi,
gotong-royong, dan lain-lain pendapatan asli desa;
b) Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
c) Bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota;
d) Alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dan perimbangan yang diterima
Kabupaten/Kota;
e) Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota
f) Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketika; dan
g) Lain-lain pendapatan desa yang sah.

2.2.5 Asas-asas Pengelolaan Desa

Asas merupakan dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir, berpendapat
dan bertindak. Dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pengaturan
desa memiliki 13 prinsip yang mesti dijadikan perhatian oleh para pemangku
kepentingan dalam memberikan pengaturan Desa. Prinsip-prinsip pengaturan desa
lebih dikedepankan agar dapat tercapai tujuan dari lahirnya Undang-undang ini
tercantum pada Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal
3, Pengaturan Desa berasaskan:
 rekognisi, yaitu pengakuan terhadap hak asal usul;
 subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan
keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat Desa;
 keberagaman, yaitu pengakuan dan penghormatan terhadap sistem nilai yang
berlaku di masyarakat Desa, tetapi dengan tetap mengindahkan sistem nilai
bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
 kebersamaan, yaitu semangat untuk berperan aktif dan bekerja sama dengan
prinsip saling menghargai antara kelembagaan di tingkat Desa dan unsur
masyarakat Desa dalam membangun Desa;
 kegotongroyongan, yaitu kebiasaan saling tolong-menolong untuk membangun
Desa;
 kekeluargaan, yaitu kebiasaan warga masyarakat desa sebagai bagian dari satu
kesatuan keluarga besar masyarakat Desa;
 musyawarah, yaitu proses pengambilan keputusan yang menyangkut
kepentingan masyarakat Desa melalui diskusi dengan berbagai pihak yang
berkepentingan;
 demokrasi, yaitu sistem pengorganisasian masyarakat desa dalam suatu sistem
pemerintahan yang dilakukan oleh masyarakat Desa atau dengan persetujuan
masyarakat Desa serta keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa diakui, ditata, dan dijamin;
 kemandirian, yaitu suatu proses yang dilakukan oleh Pemerintah Desa dan
masyarakat Desa untuk melakukan suatu kegiatan dalam rangka memenuhi
kebutuhannya dengan kemampuan sendiri;
 partisipasi, yaitu turut berperan aktif dalam suatu kegiatan;
 kesetaraan, yaitu kesamaan dalam kedudukan dan peran;
 pemberdayaan, yaitu upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat desa melalui penetapan kebijakan, program, dan kegiatan yang
sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa; dan
 keberlanjutan, yaitu suatu proses yang dilakukan secara terkoordinasi,
terintegrasi, dan berkesinambungan dalam merencanakan dan melaksanakan
program pembangunan Desa.

Meskipun secara eksplisit pada Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak mensyaratkan pencantuman asas pada
peraturan perundang-undangan yang dibentuk, namun secara prinsip, asas merupakan hal
yang sangat penting dalam sebuah peraturan atau perundang-undangan.

Anda mungkin juga menyukai