Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Pengertian TB Paru dan Manajemen TB Paru

1. Pengertian TB Paru
Tuberkulos Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang
menyerang parenkim paru yang disebabkan oleh Mycobacterium T
uberculosis. Penyakit ini dapat juga menyebar kebagian tubuh lain seperti
meningen, ginjal, tulang, dan modus limfe.
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan mycobacterium
tuberkulosis yang hampir seluruh organ tubuh dapat terserang olehnya,tapi
yang paling banyak adalah paru-paru (Herdman, 2015)

2. Pengertian Manaj eman TB Paru

Manajemen adalah suatu proses yang terdiri dari perencanaan,


pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan yang telah dilakukan
untuk menentukan serta mencapai sasaran yang telah ditentukan melalui
pemanfaatan sumber daya yang lainnya. Manaj emen program TB Paru
merupakan suatu proses yang meliputi perencanaan, monitoring, evaluasi,
pengelolaan longistitik, pengembangan ketenagaan dan promosi program
pengendalian tuberkulosis.

1.2 Penyebab dan Penularan TB Paru


1. Penyebab TB Paru
Menurut Ryan & Ray dalam Naga (2014), Mycobacterium
tuberculosis adalah bakteri penyebab terj adinya penyakit
tuberkulosisBakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada
tanggal 24 Maret 1882. Bakterinya disebut Basilus koch.
Tuberculosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
dari kelompok mycobacterium yaitu mycobacterium tuberculosis. Terdapat
beberapa spesies mycobacterium, antara lain :M tuberculosis, M. ahicanum,
Mbovis,, Mleprae dsb. Yang dikenal sebagai bakteri tahan asam (BTA).
Kelompok bakteri mycobacterium selain Micobacterium Tuberkulosis yang bisa
menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT
(Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu
penegakan diagnosis dan pengobatan TB. Untuk itu pemeriksaan bakteriologi
yang mampu melakukan identifikasi terhadap mycobacterium Tuberculosis
menjadi sarana diagnosis ideal untuk TB.

Secara umum sifat Kuman TB antara lain adalah sebagai berikut :


a. Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0.2-0.6 mikron.
b. Bersifat tahan asam dalam pewarnaan denga metode Ziehl Neelsen.
c. Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen,
Ogawa.
d. Kuman Nampak berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan
dibawah mikroskop
e. Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka
waktu lama pada suhu antara 40 C sampai minus 700 C.
f. Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultra violet
g. Paparan langsung terhadap sinar ultra violet, sebagian besar kuman akan
mati dalam waktu beberapa menit.
h. Dalam dahak pada suhu antara 300 C sampai 370C akan mati dalam waktu
lebih kurang 1 minggu.
i. Kuman dapat bersifat dormant (“tidur” / tidak berkembang)

2. Penularan TB Paru
a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik
dahak yang dikeluarkan. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan
hasil pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam
dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang
terkandung dalam contoh uji 5 5000 kuman/cc dahak sehingga sulit di
deteksi melalui pemeriksaan mikroskop langsung.
b. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan
menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah
65%, pasien BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26%
sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto toraks positif
adalah 17%
c. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung
percik renik dahak yang infeksius tersebut
d. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei/percik renik). Sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak (Sumber : Pedoman TB
Nasional 2014).

Penularan terj adi melalui ludah dan udara pernapasan, terutama di daerah
kumuh yang padat penduduk (Chandra, 2012)
Masa penularan secara teoritis seorang penderita tetap menular sepanjang hasil
TB di dalam sputum mereka. Penderita yang tidak diobati atau yang diobati tidak
sempurna dahaknya akan tetap mengandung hasil TB selama bertahun tahun.
Tingkat penularan sangat tergantung pada hal hal sebagai berikut :
a. Jumlah hasil Tb yang dikeluarkan
b. Virulensi dari basil TB
c. Terpajannya hasil TB dengan sinar Ultra Violet
d. Teijadinya aerosolisasi pada saat batuk, bersin, bicara, atau pada saat
bernyanyi.
e. Tindakan medis dengan resiko tinggi seperti pada waktu otopsi, intubasi
atau pada waktu melakukan bronkoskopis.

Menurut Muttaqin (2012), ketika seorang klien TB paru batuk, bersin,atau


berbicara , maka secara tidak sengaja kelarlah droplet nuclei dan jatuh ke tanah,
lantai, atau tempat lainnya. Akibatnya terkena sinar matahari atau suhu udara yang
panas, droplet nuclei tadi menguap. Menguapnya droplet bakteri ke udara dibantu
dengan pergerakkan angin akan membuat bakteri tuberkulosis yang terkandung
dalam droplet terbang ke udara. Apabila bakteri ini terhirup oleh orang sehat,
maka orang itu berpotensi terkena infeksi bakteri tuberkulosis. Penularan bakteri
lewat udara disebut dengan istilah air bome infection. Bakteri terhisap akan
melewati pertahanan mukosilier saluran pernapasan dan masuk hingga alveoli.
Pada titik lokasi dimana teljadi implantasi bakteri, bakteri akan menggandakan
diri (multyplying). Bakteri akan di tangkap dan dihancurkan oleh magrofag yang
berada di alveoli. Jika pada proses ini, bakteri ditangkap oleh makrofag yang
lemah itu dan menghancurkan makrofag. Dalam waktu 3-6 minggu, inang yang
baru terkena infeksi akan menjadi sensitif terhadap protein yang dibuat bakteri
tuberkulosis dan bereaksi positif terhadap tes tuberculin atau tes mantoux.

Jika pertahanan tubuh (inang) kuat, maka infeksi primer tidak berkembang
lebih jauh dan bakteri tuberkulosis tidak dapat berkembang biak lebih lanjut dan
menjadi dorman atau tidur. Ketika suatu konsis inang melemah akibat sakit lama/
keras atau memakai obat yang melemahkan daya tahan tubuh terlalu lam, maka
bakteri tuberculosis yang dormant dapat aktif kembali. Inilah yang disebut
reaktifitas infeksi primer atau infeksi pasca primer infeksi ini dapat teljadi
bertahun-tahun setelah infeksi primer terjadi.

1.3 Pemeriksaan TB Paru


1. Pemeriksaan dahak
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis,
menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan berupa dahal Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
1) S (sewaktu) : dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang
berkunjung pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang terduga
2) pasien membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada
hari kedua.
3) P (Pagi) : dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas
fasyankes.
4) S (sewaktu) : dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.

b. Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M tb)
dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, misal:

1) Pasien TB ekstra paru


2) Pasien TB anak
3) Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA
negatif.
Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau
mutunya. Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat
yang direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan
untuk memanfaatkan tes cepat tersebut.

2. Pemeriksaan uji kepekaan obat


Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi
M.tb terhadap OAT. Untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan
obat tersebut harus dilakukan oleh laboratorium yang telah tersertifikasi atau lulus
uji pemantapan mutu/Quality Assurance(QA). Hal ini dimaksudkan untuk
memperkecil kesalahan dalam menetapkan jenis resistensi OAT dan pengambilan
keputusan paduan pengobatan pasien dengan resisten obat.
Untuk memperluas akses terhadap penemuan pasien TB dengan resistensi
OAT, Kemenkes RI telah menyediakan tes cepat yait GeneXpert ke fasilitas
kesehatan (laboratorium dan RS) di seluruh provinsi.

Dalam menentukan diagnosis TB Paru kemenkes menetapkan hal-hal


berikut ini:
a. Dalam upaya pengendalian T B secara Nasional, maka diagnosis
TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu
dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang
dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan dan
tes cepat.
b. Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka
penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis
menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-
tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh
dokter yang telah terlatih TB.
c. Pada sarana terbatas penegakkan diagnosis secara klinis dilakukan
setelah pemberian terapi antibiotika spektrum luas (N on OAT dan
non kuinolon) yang tidak memberikan perbaikan klinis
d. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis
e. Tidak dibemarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto thorax tidak selalu memberikan
gambaran yang spesifik pada TB Paru, sehingga dapat
menyebabkan terj adinnya overdiagnosis ataupun underdiagnosis.
f. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya dengan pemeriksaan uji
tuberkulin.

g. Untuk kepentingan diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak


secara mikroskopis langsung, terduga pasien TB diperiksa contoh
uji dahak SPS.
Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal 1 (satu) dari pemeriksaan
contoh uji dahak SPS hasilnya BTA positif. (Kemenkes RI, 2014)

3. Pemeriksaan penunjang dengan Rontgen


Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka
Penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil
pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan foto toraks)
yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter yang telah terlatih TB.

1.4 Pengobatan TB Paru


1. Tujuan pengobatan TB adalah:
a. .Menyembuhkan pasien dengan memperbaiki produktivitas serta kualitas
hidup
b. Mencegah teljadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk
selanjutnya
c. Mencegah telj adinya kekambuhan TB
d. Menurunkan penularan TB
e. Mencegah teijadinya dan penularan TB resisten obat
2. Tahap-tahap Pengobatan TB
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah teijadinya resistensi obat.Bila
pengobatan tahap intensif ini diberikan secara tepat, biasanya pasien menular
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.Sebagian besar pasien TB
BTA positif menjadi BTA negatif dalam 2 bulan.Pada tahap lanjutan pasien
mendapat jenis obat lebih sedikit namun dalam jangka waktu yang lebih
lamaTahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga
mencegah teijadinya kekambuhan.
Jenis dan sifat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yaitu:
1. isoniazid (H) bersifat bakterisid,
2. Rifampisin (R) bersifat bakterisid
3. Pirazinamid (Z) bersifat bakterisid
4. Streptomisin (S) bersifat bakterisid
5. Etambutol (E) bersifat bakteriostati

Pemberian OAT disesuaikan dengan kondisi pasien dengan aturan


pakai tersendiri. Ada dua kategori paduan OAT di Indonesia, yaitu:
a. kategori I: 2(HRZE)/4(HR)3
Kategori I diberikan untuk pasien baru TB paru BTA positif, pasien TB
paru BTA negatif foto toraks positif, pasien TB ekstra paru.
b. b. kategori 11: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 Kategori II diberikan untuk
pasien TB BTA positif yang telah diobati sebelumnya.

Seiring dengan berkembangnya pengetahuan dibidang farmakologi, saat


ini telah dibuat tablet kombinasi OAT yang dikenal dengan OAT “jixed-dose
combination” atau disingkat dengan OAT-FDC (sering disebut FDC saja).
Dengan adanya FDC ini diharapkan kepatuhan pasien TB dalam minum OAT
dapat ditingkatkan sehingga akan meningkatkan kesembuhan pasien.

J enis-jenis tablet FDC dikelompokkan menjadi 2, yaitu:


1. FDC untuk dewasa
Tablet FDC untuk dewasa terdiri dari:

a. Tablet 4FDC (tahap Intensif) Tablet 4FDC mengandung 4 macam obat


yaitu: 75 mg Isoniasid (INH), 150 mg Rifampisin, 400 mg Pirazinamid, dan
275 mg Etambutol. Tablet ini digunakan untuk pengobatan setiap hari dalam
tahap intensif dan untuk sisipan.

b. Tablet 2FDC (tahap lanjutan) Tablet 2 FDC mengandung 2 macam obat


yaitu: 150 mg lsoniasid (INH) dan 150 mg Rifampisin. Tablet ini digunakan
untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu dalam tahap lanjutan.
Baik tablet 4FDC maupun tablet 2FDC pemberiannya disesuaikan dengan berat
badan pasien. Untuk melengkapi paduan obat kategori II tersedia obat lain yaitu:
tablet etambutol Q4OO mg dan streptomisin injeksi (vial ((B/750 mg).

Dosis dan aturan pakai FDC disesuaikan dengan berat badan


pasien.Untuk pasien TB dewasa yang masuk dalam kategori 1 dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.

tabel 2.1
Dosis dan atutan pakai FDC KATEGORI 1(Tahap intensif)
Berat badan Tahap intensif tiap hari Tahap lanjutan selama
selama 56 hari 16 minggu
30 -37 kg 2 tablet 4FDC 2 tablet 4FDC
38- 54 kg 3 tablet 4FDC 3 tablet 4FDC
55 – 70 kg 4 tablet 4FDC 4 tablet 4FDC
≥71 kg 5 tablet 4FDC 5 tablet 4FDC

Sedang untuk pasien TB Dewasa yang masuk dslam kategori II,dosis dan aturan
pakai FDC yang harus diberikan yaitu :
Tabel 2.2
Berat Tahap intensif tiap hari Tahap lanjutan 3 kali seminggu
Selama 56 hari Selama 28
badan selama 20 minggu
hari
30-37 2 tab FDC +500 mg 2 tab 4 FDC 2 tab 2 FDC + 2 tab Etambutol
streptomisin inj.
38-54 3 tab FDC +750 mg 3 tab 4 FDC 3 tab 2 FDC + 3 tab Etambutol
streptomisin inj.
55-70 4 tab FDC +1000 mg 4 tab 4 FDC 4 tab 2 FDC + 4 tab Etambutol
streptomisin inj.
≥71 kg 5 tab FDC +1000 mg 5 tab 4 FDC 5 tab 2 FDC + 5 tab Etambutol
streptomisin inj.

Catatan:
1. Setiap vial Streptomisin mengandung 750 mg dilarutkan dalam 3 ml
aquabidest. Dosis ini dapat dianggap sebagai 3 dosis & 250 mg yang
digunakan untuk kelompok pasien dengan BB 38 54 kg. Untuk kelompok
pasien dengan BB lain, dosisnya disesuaikan dengan jumlah tablet yang
diminum, misalnya untuk pasien yang memerlukan hanya 2 tablet, juga hanya
memerlukan 2 ml suntikan sterptomisisn (] ml = 250 mg. Untuk pasien
berumur lebih dari 60 tahun diberikan suntikan streptomisin maksimum 500
mg/hari. Injeksi streptomisin diberikan setelah pasien selesai menelan obat
FDC untuk anak-anak. Tablet FDC untuk anak-anak terdiri dari tablet 3FDC
dan 2FDC. Kedua jenis tablet diberikan kepada pasien TB anak yang berusia 0
14 tahun. Tablet 3FDC mengandung 3 macam obat antara lain: 30 mg INH, 60
mg Rifampisin, dan 150 mg Pirazinamid. Tablet ini digunakan untuk
pengobatan setiap hari dalam tahap intensif. Tablet 2FDC mengandung
2. macam obat yaitu: 30 mg INH dan 600 mg Rifampisin. Tablet ini digunakan
untuk pengobatan setiap hari dalam tahap lanjutan. Sama halnya dengan
pemberian pada pasien dewasa, pemberian jumlah FDC pada pasien anak juga
disesuaikan dengan berat badan anak. Bila pada akhir tahap intensif
pengobatan pada pasien TB BTA positif tidak teljadi konversi maka diberikan
OAT sisipan berupa tablet 4FDC setiap hari selama 28 hari.

Tabel 2.3
Dosis dan aturan Pakai FDC Untuk Anak-Anak
Berat badan Tahan intensif tiap hari Tahap lanjutan tiap hari
selama 2 bulan selama 4 bulan
≤7 1 tablet 3 FDC 1 tablet 2 FDC
8 – 9 kg 1,5 tablet 3 FDC 1,5 tablet 2 FDC
10 – 14 kg 2 tablet 3 FDC 2 tablet 2 FDC
15 -19 kg 3 tablet 3 FDC 3 tablet 2 FDC
20- 24 kg 4 tablet 3 FDC 4 tablet 2 FDC
25 -29 kg 5 tablet 3 FDC 5 tablet 2 FDC

OAT-FDC tersedia dalam kemasan blister. Tiap blister terdapat 28 tablet.


Tablet 4FDC dan 2FDC dikemas dalam dos yang berisi 24 blister 928 tablet.
Untuk tablet etambutol 400 mg dikemas dalam dos yang berisi 24 blister & 28
tablet. Streptomisisn injeksi dikemas dalam dos berisi 50 vial Q 750 mg. Untuk
penggunaan streptomisin injeksi diperlukan aquabidest dan disposable syringe 5
m 1 dan jarum steril. Aquabidest tersedia dalam kemasan vial & 5 ml dalam dosi
yang berisi 100 vial.

Efek samping dari OAT-FDC umumnya sama dengan efek samping dari
penggunaan OAT yang dalam tablet terpisah. Beberapa efek samping yang
muncul berupa hilangnya nafsu makan, mual kadang disertai muntah, sakit perut,
nyeri sendi, gatal dan kemerahan pada kulit, kesemutan hingga rasa terbakar di
kaki, gangguan keseimbangan.Selain itu efek samping hepatotoksisitas bisa teljadi
karena reaksi hipersensitivitas atau karena kelebihan dosis.Efek samping dari
OAT tersebut diperkirakan terjadi pada sekitar 3 6 % pasien yang mendapat
pengobatan dengan FDC.Bila diketahui dengan pasti bahwa FDC penyebab efek
samping seperti yang disebutkan sebelumnya dan obat tersebut tidak dapat
diberikan kembali, maka pasien diberikan OAT yang dalam bentuk tablet terpisah
(CAT kombipak).
Pengobatan TB perlu diperhatikan untuk pasien yang berada dalam
kondisi khusus misalnya pasien wanita hamil, pasien dengan penyakit tertentu
seperti DM, gagal ginjal, memiliki kelainan hati kronik.Untuk pengobatan TB
pada wanita hamil perlu diperhatikan pada penggunaan streptomisinStreptomisin
tidak dapat digunakan pada kehamilanHal ini karena streptomisin bersifat
permanent ototoxic dan dapat menembus barier plasenta. Keadaan ini dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang
menetap pada bayi yang akan dilahirkan.
Pasien DM harus selalu dikontrol dalam pengobatannya.Jika pasien juga
menderita TBC perlu diperhatikan dalam penggunaan rifampisin, karena
rifampisin dapat mengurangi efektivitas antidiabetika oral gol sulfonil urea
sehingga perlu peningkatan dosis antidiabetika tersebut.Pasien DM yang
memperoleh pengobatan insulin seringkali teljadi komplikasi retinopathy
diabetika, oleh karena itu perlu diperhatikan untuk pemberia etambutol karena
dapat memperparah kejadian tersebut.

Pasien TB dengan gagal ginjal sebaiknya tidak menggunakan streptomisin


dan etambutol dalam pengobatannya.Hal ini karena kedua obat tersebut diekskresi
melalui ginjal.]ika tetap diberikan memungkinkan obat tersebut tidak dapat
dieksresikan dari dalam tubuh karena ketidakmampuan ginjal. Akibatnya akan
menimbulkan efek toksik dalam tubuh. Oleh karena itu dapat diberikan
pengobatan dengan INH, rifampisin, dan pirazinamid untuk pasien TB dengan
gagal ginjal.Ketiga obat tersebut diekskresi melalui empedu dan dapat diubah
menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksikPaduan OAT yang paling aman untuk
pasien TB dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR.

Pengobatan TB pada pasien dengan kelainan hati kronik dapat dilakukan


jika pasien sudah melakukan pemeriksaan hati.Jika nilai SGOT dan SGPT
meningkat lebih dari 3 kali maka OAT tidak diberikan dan bila sudah dalam
pengobatan maka harus dihentikanJika peningkatannya kurang dari 3 kali maka
pengobatan tetap dapat dilakukan dengan pengawasan ketat. pasien dengan
kelainan hati tidak boleh diberikan pirazinamid.Paduan OAT yang dianjurkan
untuk pasien TB dengan kelainan hati yaitu 2RHES/6RH atau 2HES/10HE.

1.5 Pencegahan TB Paru dan Pencegahan Kontak Serumah


Menurut Tjandra dalam Naga (2014; 315), banyak hal yang bisa
dilakukan mencegah tetjangkitnya TB paru. Pencegahan-pencegahan berikut
dapat dikerjakan oleh penderita, masyarakat, maupun petugas kesehatan:
1. Bagi penderita, pencegahan penularan dapat dilakukan dengan menutup
mulut saat batuk, dan membuang dahak tidak di sembarang tempat.
2. Bagi masyarakat, pencegahan penularan dapat dilakukan dengan
meningkatkan ketahanan terhadap bayi, yaitu dengan memberikan
vaksinasi BCG.
3. Bagi petugas kesehatan, pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan
penyuluhan tentang penyakit TBC, yang meliputi gejala, bahaya, dan
akibat yang ditimbulkannya terhadap kehidupan masyarakat pada
umumnya.
4. Petugas kesehatan juga harus segera melakukan pengisolasian dan
pemeriksaan terhadap orang-orang yang terinfeksi, atau dengan
memberikan pengobatan khusus kepada penderita TB ini. Pengobatan
dengan cara menginap di rumah sakit hanya dilakukan bagi penderita
dengan kategori berat dan memerlukan pengembangan program
pengobatannya, sehingga tidak dikehendaki pengobatan jalan.
5. Pencegahan penularan juga dapat dicegah dengan melaksanakan
disinfeksi, seperti cuci tangan, kebersihan rumah yang ketat, perhatian
khusus terhadap muntahan atau ludah anggota keluarga yang teijangkit
penyakit ini (piring, tempat tidur, pakaian), dan menyediakan ventilasi
rumah dan sinar matahari yang cukup.
6. Melakukan imunisasi orang-orang yang melakukan kontak langsung
dengan penderita, seperti keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan,
dan orang lain yang terindikasi, dengan vaksin BCG dan tindak lanjut bagi
yang positif tenular.
7. Melakukan penyelidikan terhadap orang-orang kontak. Perlu dilakukan
Tee Tuberculin bagi seluruh anggota keluarga. Apabila cara ini
menunjukkan hasil negatif, perlu diulang pemeriksaan tiap bulan selama 3
bulan dan perlu penyelidikan intensif.
8. Dilakukan pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu
pengobatan yang tepat, yaitu obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan
oleh dokter untuk diminum dengan tekun dan teratur, selama 6-12 bulan.
Perlu diwaspadai adanya kebal terhadap obat-obat, dengan pemeriksaan
penyelidikan oleh dokter.

Anda mungkin juga menyukai