S PPB 010696 Chapter2 PDF
S PPB 010696 Chapter2 PDF
1. Pengertian Bimbingan
umumnya, dan dalam hubungan saling pengaruh antara orang yang satu dengan yang lainnya,
peristiwa bimbingan seringkali terjadi. Baik secara langsung bertatap muka maupun lewat
berbagai media cetak atau elektronik. Namun bimbingan seperti itu seringkali bentuk, isi dan
upaya bimbingan yang selanjutnya disebut bimbingan formal, yang bentuk, isi dan tujuan serta
Rumusan tentang bimbingan formal telah diusahakan orang setidaknya sejak awal abad
ke-20, sejak dimulainya bimbingan yang diprakarsai oleh Frank Parson pada tahun 1908. Sejak
saat itu, rumusan demi rumusan tentang bimbingan bermunculan sesuai dengan perkembangan
pelayanan bimbingan itu sendiri. Berbagai rumusan tentang bimbingan tersebut dikemukakan
sebagai berikut:
Bimbingan adalah bantuan yang diberikan oleh seseorang, laki-laki atau perempuan, yang
memiliki kepribadian yang memadai dan terlatih dengan baik kepada individu-individu
setiap usia untuk membantunya mengatur kegiatan hidupnya sendiri, mengembangkan
pandangan hidupnya sendiri, membuat keputusan sendiri dan menanggung bebannya
sendiri. (Crow & Crow dalam Amti dan Prayitno, 1999: 94).
Definisi bimbingan di atas menekankan bahwa bimbingan harus dilakukan oleh orang
yang terlatih untuk dapat membantu individu dalam mengembangkan potensinya dan
bertanggungjawab atas hidupnya. Definisi yang hampir senada diungkapkan oleh ahli yang lain.
Bimbingan adalah bantuan yang diberikan kepada individu dalam membuat pilihan-
pilihan dan penyesuaian-penyesuaian yang bijaksana. Bantuan itu berdasarkan atas
prinsip demokrasi yang merupakan tugas dan hak setiap individu untuk memilih jalan
hidupnya sendiri sejauh tidak mencampuri hak orang lain. (Jones, Staffire & Stewart
dalam Amti dan Prayitno, 1999: 95).
Sementara itu Surya (1988 : 12) merumuskan pengertian bimbingan sebagai berikut:
Bimbingan ialah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis dari
pembimbing kepada yang dibimbing agar tercapai kemandirian dalam pemahaman diri,
penerimaan diri, pengarahan diri dan perwujudan diri dalam mencapai tingkat
perkembangan yang optimal dan penyesuaian diri dengan lingkungan.
bimbingan itu adalah suatu proses yang sistematis dan terus menerus. Hal ini menekankan bahwa
untuk mencapai tujuan yang diharapkan, bimbingan tidak bisa dilaksanakan secara sembarangan
dan tidak terencana. Hal yang serupa diungkapkan oleh Dewa Ketut Sukardi (2000: 20) yang
mengungkapkan bahwa:
Jones dalam Amti dan Marjohan (1992: 2) lebih menekankan pada penyesuaian diri dan
pengoptimalan potensi individu sebagaimana yang ia ungkapkan dalam definisinya sebagai
berikut:
Hal yang hampir senada juga diungkapkan oleh Prayitno dan Amti (1999: 99) berkaitan
dengan pengoptimalan potensi individu dengan menambahkan kesesuaian dengan norma dan
Proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau
beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa; agar orang yang
dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri; dengan
memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan;
berdasarkan norma-norma yang berlaku.
berbeda, namun terdapat beberapa hal pokok yang terdapat dalam berbagai rumusan bimbingan
tersebut, yaitu:
a. Bimbingan merupakan suatu proses. Hal ini berarti bahwa pelayanan bimbingan bukan
sesuatu yang “instan”, melainkan melalui liku-liku tertentu sesuai dengan dinamika yang
b. Bimbingan merupakan suatu proses pemberian bantuan. Bantuan di sini diartikan sebagai
bantuan yang bersifat non-materi, yang menunjang pengembangan pribadi bagi individu
yang dibimbing.
maupun kelompok.
e. Bimbingan itu diberikan kepada individu agar dia dapat mandiri dalam menetapkan
f. Bimbingan itu diberikan dalam hubungan interaksi antara pembimbing dan individu yang
dibimbing.
g. Bimbingan dilakukan oleh tenaga ahli, yaitu orang-orang yang memiliki pengetahuan,
keterampilan, dan terlatih secara baik dalam bidang bimbingan dan konseling.
Pelayanan bimbingan tidak boleh menyimpang atau melanggar norma-norma dan nilai-
nilai yang berlaku justru harus dapat menunjang kemampuan klien untuk mengikuti
norma-norma tersebut.
2. Pengertian Konseling
Secara etimologis, istilah konseling berasal dari bahasa Latin, yaitu “consilium” yang
berarti “dengan” atau “bersama” yang dirangkai dengan “menerima” atau “memahami”.
Sedangkan dalam bahasa Anglo-Saxon istilah konseling berasal dari kata “sellan” yang berarti
Konseling merupakan bagian dari bimbingan baik sebagai pelayanan maupun sebagai
teknik. Konseling merupakan inti kegiatan bimbingan secara keseluruhan dan lebih berkenaan
dengan masalah individu secara pribadi. Konseling dimaksudkan sebagai pemberian bantuan
kepada individu dalam memecahkan masalahnya secara perorangan dalam suatu pertalian
Tidak mudah mendefinisikan istilah konseling secara menyeluruh, karena setiap ahli
memiliki batasan sendiri sesuai dengan landasan filsafiah yang mereka anut. Selain itu, istilah
Berikut ini akan diuraikan sejumlah pengertian konseling yang dikemukakan oleh para
ahli.
Konseling ialah interaksi yang (a) terjadi antara dua individu yang masing-masing
disebut konselor dan klien; (b) diadakan dalam suasana professional; (c) diciptakan dan
dikembangkan sebagai alat untuk memudahkan perubahan-perubahan dalam tingkah laku
klien.(Pepinsky dan Pepinsky dalam Amti dan Marjohan, 1992 : 4)
Definisi konseling di atas menekankan bahwa interaksi yang terjalin antara konselor dan
klien harus dilakukan secara professional untuk memudahkan perubahan tingkah laku klien.
Demikian juga yang dikemukakan oleh Tolbert dalam definisinya berikut ini:
Konseling adalah hubungan pribadi yang dilakukan secara tatap muka antara dua orang,
dalam mana konselor melelui hubungan itu dan kemampuan-kemampuan khusus yang
dimilikinya, menyediakan situasi belajar dalam mana konseli dibantu untuk memahami
diri sendiri, keadaannya sekarang, dan kemungkinan keadaan masa depan yang dapat ia
ciptakan dengan menggunakan potensi-potensi yang dimilikinya, demi untuk
kesejahteraan pribadi maupun masyarakat, dan lebih jauh dapat belajar bagaimana
memecahkan masalah-masalah dan menemukan kebutuhan-kebutuhan yang akan datang.
(Tolbert dalam Prayitno dan Amti, 1994 : 101-102)
Sofyan S. Willis (2004: 18) menyatakan bahwa dalam era global dan pembangunan,
konseling lebih menekankan pada pengembangan potensi individu yang terkandung dalam
dirinya, yang meliputi aspek intelektual, afektif, sosial, emosional, dan religius. Sehingga
individu akan berkembang dengan nuansa yang lebih bermakna, harmonis, sosial, dan
bermanfaat. Maka definisi konseling yang antisipatif sesuai tantangan pembangunan adalah:
Konseling adalah upaya bantuan yang diberikan seorang pembimbing yang terlatih dan
berpengalaman, terhadap individu-individu yang membutuhkannya, agar individu
tersebut berkembang potensinya secara optimal, mampu mengatasi masalahnya, dan
mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang selalu berubah.
Sementara itu, pakar konseling yang lain, Robinson, merumuskan definisi konseling
…istilah konseling mencakup semua bentuk hubungan antara dua orang di mana yang
seorang yaitu klien, dibantu untuk lebih mampu menyesuaikan diri secara efektif
terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya. Suasana hubungan konseling ini meliputi
penggunaan wawancara untuk memperoleh dan memberikan berbagai informasi, melatih
atau mengajar, meningkatkan kematangan dan memberikan bantuan melalui pengambilan
keputusan dan usaha-usaha penyembuhan (terapi).
diantaranya wawancara dan pemberian informasi. Usaha pemberian bantuan itu harus dilakukan
dengan memperhatikan unsure manusiawi dan keunikan dari tiap individu. Hal ini sejalan
dengan apa yang diungkapkan oleh Sukardi (2002 : 22) yang mendefinisikan konseling sebagai
berikut.
Konseling merupakan suatu upaya bantuan yang dilakukan empat mata atau tatap muka
antara konselor dan klien yang berisi usaha yang laras, unik, human (manusiawi), yang
dilakukan dalam suasana keahlian dan yang didasarkan atas norma-norma yang berlaku,
agar klien memperoleh konsep diri dan kepercayaan diri sendiri dalam memperbaiki
tingkah lakunya pada saat ini dan mungkin pada masa yang akan datang.
bawah ini:
1) Konseling adalah usaha untuk menimbulkan perubahan tingkah laku secara sukarela
pada diri klien (klien ingin mengubah tingkah lakunya dan meminta bantuan kepada
konselor).
4) Mendengarkan merupakan suatu hal yang berada dalam konseling tetapi tidak semua
5) Konseling dilaksanakan dalam suasana hubungan pribadi antara konselor, dan klien.
Lebih jauh Pietrofesa (Nurihsan, 2001 : 12) menunjukkan sejumlah ciri-ciri konseling
baru.
dapat dirumuskan dengan singkat bahwa konseling adalah proses pemberian bantuan yang
dilakukan dalam hubungan tatap muka antara seorang ahli (yaitu orang yang telah mengikuti
pendidikan atau pelatihan khusus dan terlatih secara baik dalam bidang bimbingan dan
konseling-disebut konselor) dan seorang individu yang sedang mengalami suatu permasalahan
(disebut klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dialami oleh klien.
3. Tujuan Konseling
Sejalan dengan perkembangan konsepsi bimbingan dan konseling, maka tujuan konseling
pun mengalami perubahan, dari yang sederhana sampai ke yang lebih komprehensif.
pengembangan pribadi, penyembuhan, dan penerimaan diri sendiri. (Thompson & Rudolf dalam
Moh. Surya (1988 : 119-123) mengungkapkan bahwa tujuan dari konseling adalah: a)
a. Perubahan perilaku
Hampir semua pernyataan tentang konseling menyatakan bahwa tujuan konseling ialah
menghasilkan perubahan pada perilaku yang memungkinkan klien hidup lebih produktif. Rogers
(Shertzer & Stone, 1980) menunjukkan bahwa salah satu hasil konseling adalah bahwa
Salah satu tujuan konseling adalah pemeliharaan dan pencapaian kesehatan mental yang
positif. Jika hal itu tercapai maka individu akan mencapai integrasi, penyesuaian, dan identifikasi
positif dengan yang lainnya. Ia belajar menerima tanggung jawab, berdiri sendiri, dan
memperoleh integrasi perilaku. Thorne (Shertzer & Stone, 1980) mengatakan bahwa tujuan
utama konseling adalah menjaga kesehatan mental dengan mencegah atau membawa
bahwa karena tujuan konseling adalah pemeliharaan, pemulihan kesehatan mental yang baik atau
harga diri, maka situasi konseling haruslah ditandai dengan tidak adanya ancaman.
c. Pemecahan masalah
dalam hubungan konseling. Krumboltz (Shertzer & Stone, 1980) menyatakan bahwa alasan
utama eksistensi konseling didasarkan pada fakta bahwa orang-orang mempunyai masalah-
masalah yang tidak sanggup mereka pecahkan sendiri. Mereka datang pada konselor karena telah
percaya bahwa konselor akan dapat membantu mereka untuk memecahkan masalahnya.karena
itu tujuan utama konseling adalah membantu setiap klien dalam memecahkan masalah yang
dihadapinya.
d. Keefektifan personal
Erat hubungannya dengan pemeliharaan kesehatan mental yang baik dan perubahan
tingkah laku adalah tujuan meningkatkan keefektifan personal. Blocher (Shertzer & Stone, 1980)
e. Pengambilan keputusan
Bukan tugas konselor untuk menentukan keputusan yang harus diambil oleh klien atau
mengambil keputusan-keputusan dalam hal-hal yang sangat penting bagi dirinya dan ia harus
konsekuensi yang mungkin terjadi. Ia juga belajar memperhatikan nilai-nilai dan ikut
Adapun Myers (Priyatno & Anti, 1994 : 114) mengemukakan bahwa pengembangan
yang mengacu pada perubahan positif pada individu merupakan tujuan dari semua upaya
Kelancaran konseling ditunjang oleh sejumlah unsur tertentu yang dibedakan atas kondisi
eksternal dan kondisi internal. Kondisi lain berkaitan dengan karakteristik klien dan konselor.
Kondisi-kondisi ini hendaknya diperhatikan agar tercapai proses konseling yang efektif.
a. Kondisi-kondisi Eksternal
1) Penataan fisik
Proses konseling dapat berjalan secara efektif bila dilakukan dalam suasana yang
nyaman dan menyenangkan. Ruangan atau tempat untuk konseling haruslah tertata
dengan baik. Dapat membuat klien merasa aman dan nyaman. Tidak terganggu oleh
keributan dan benda-benda yang dapat mengganggu atau mengalihkan perhatian klien
2) Bahasa non-verbal
Banyak perilaku budaya yang terlihat dalam relasi konseling dan mempengaruhi
Namun satu hal yang belum banyak disadari ialah betapa bahasa-bahasa non-verbal itu
jarak untuk berkomunikasi), kinesics (bahasa isyarat badan, muka, mata), chronemics
(persepsi tentang waktu), paralanguage (nada suara), silence (arti diam), haptics
(sentuhan fisik), cara berpakaian dan penampilan, olfactics (komunikasi melalui indera
verbal bisa menjadi sumber kesalahan komunikasi atau justru memperlancarnya bila
3) Privacy
Suatu hal yang penting berkaitan dengan pengaturan fisik adalah kelesuasaan
pribadi. Bila perasaan percaya klien harus dilindungi, persaan aman yang berhubungan
dengan keleluasaan pribadi tidak dapat diabaikan. Individu sebagai klien menginginkan
dan mempunyai hak yang bersifat pribadi seperti rahasia dirinya untuk tidak didengar
atau dilihat orang lain. American Personnel and Guidance Association menyatakan
dalam Code of Ethic mereka bahwa “The counseling relationship and informations
resulting there from must be kept confidential consistent with the obligations of the
Dengan kode etik ini klien mendapat jaminan kemerdekaan dirinya secara pribadi.
b. Kondisi-kondisi Internal
1) Rapport
Tujuan dari hubungan konseling adalah untuk dapat memenuhi kebutuhan klien
dan bukan untuk memenuhi kebutuhan konselor. Untuk dapat mencapai tujuan konseling,
maka dalam hubungan konseling harus tercipta rapport antara klien dan konselor.
kesejajaran, kesukaan, dan persamaan. Jika sudah terjadi rapport dalam hubungan
konseling, berarti hubungan tersebut kondusif sekali bagi keterbukaan klien. Klien telah
(disclosure).
2) Empathy (Empati)
Empathy mempunyai makna sebagai suatu kesediaan untuk memahami orang lain
secara paripurna baik yang nampak maupun yang terkandung khususnya dalam aspek
perasaan, pikiran, dan keinginan. Dengan berempati kita berusaha menempatkan diri kita
dalam suasana perasaan, pikiran, dan keinginan orang lain sedekat mungkin. Dengan
demikian kita tidak hanya memahami perasaan orang lain akan tetapi mampu menghayati
bagaimana perasaan kita apabila berada dalam situasi orang lain. Secara psikologis,
empati dapat menunjang berkembangnya suasana hubungan yang didasari atas saling
3) Genuineness (Keaslian/Kejujuran)
apa yang diungkapkannya sehingga dapat memberikan pesan secara obyektif. Dalam hal
ini ia harus mampu menyampaikan sesuatu secara terbuka tanpa harus dimanipulasi.
Berkomunikasi secara jujur dan asli merupakan keterampilan konseling yang amat
mengetahui dan mengerti inti, isi, dan apa yang dirasakan oleh klien. Informasi-informasi
yang terkumpul dapat digunakan dalam hubungan yang membantu, sewaktu klien
c. Karakteristik Konseli/Klien
Banyak faktor lain di luar proses konseling itu sendiri yang berpengaruh pada proses
konseling. Faktor-faktor itu antara lain: pengalaman klien, latar belakang kebudayaannya,
kondisi sosial ekonomi dan lingkungan di mana klien itu tinggal, dan ekspektasinya terhadap
konselor.
d. Karakteristik Konselor
konseling dan keefektivan konseling yang terjadi. Sikap dan cara pendekatan konselor
terhadap klien dan semua apa yang dikerjakan dalam konseling berpengaruh kepada
hubungan konseling karena konselor adalah kunci pemrakarsa dan pengembang hubungan
keefektivan konseling antara lain : 1) pengetahuan mengenai diri sendiri (self knowledge), 2)
5. Fungsi Konseling
Banyak ahli yang mengemukakan fungsi konseling dengan cara yang berbeda. Fungsi-
fungsi konseling tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat fungsi pokok, yaitu:
a. Fungsi Pemahaman
Yang pertama dan paling awal harus dilakukan oleh konselor adalah mengetahui siapa
dan bagaimana individu yang menjadi kliennya itu. Pemahaman yang sangat perlu dihasilkan
oleh pelayanan konseling adalah pemahaman tentang diri klien beserta permasalahannya oleh
klien sendiri dan oleh pihak-pihak yang akan membantu klien, serta pemahaman tentang
lingkungan klien.
b. Fungsi Pencegahan
dengan cara yang positif dan bijaksana atas lingkungan yang dapat menimbulkan kesulitan dan
kerugian sebelum kesulitan atau kerugian itu benar-benar terjadi. (Horner & McElhaney dalam
Amti & Prayitno, 1999 : 203). Bagi seorang konselor professional yang misi tugasnya dipenuhi
penting.
c. Fungsi Pengentasan/Perbaikan
Walaupun fungsi pencegahan dan pemahaman telah dilakukan, namun masalah terkadang
masih juga timbul. Di sinilah fungsi perbaikan itu berperan, yaitu fungsi konseling yang akan
menghasilkan terpecahkannya atau teratasinya perbagai permasalahan yang dialami klien. Proses
pengentasan masalah dalam layanan konseling tidak menggunakan unsure-unsur fisik di luar diri
klien, tetapi menggunakan kekuatan-kekuatan yang ada dalam diri klien sendiri. Kekuatan yang
pada dasarnya sudah ada itu dibangkitkan, dikembangkan, dan digabungkan untuk sebesar-
Fungsi pemeliharaan berarti memelihara segala sesuatu yang baik yang ada pada diri
individu, baik yang merupakan pembawaan maupun hasil-hasil perkembangan yang telah
dicapai. Pemeliharaan yang baik tidak hanya sekadar mempertahakan agar hal-hal yang
dimaksudkan tetap utuh dan tidak rusak, melainkan juga mengusahakan agar hal-hal tersebut
bertambah baik, lebih menyenangkan, dan memiliki nilai tambah daripada sebelumnya.
memperkembangkan. Oleh karena itu fungsi pemeliharaan dan pengembangan tidak dapat
dipisahkan.
6. Prinsip Konseling
Prinsip merupakan paduan hasil kajian teoritik dan telaah lapangan yang digunakan
sebagai pedoman pelaksanaan sesuatu yang dimaksudkan. Dalam pelayanan konseling prinsip-
prinsip yang digunakan bersumber dari kajian filosofis, hasil-hasil penelitian dan pengalaman
praktis tentang hakikat manusia, perkembangan dan kehidupan manusia dalam konteks sosial
sasaran pelayanan, masalah klien, tujuan dan proses penanganan masalah, program pelayanan,
kelompok. Individu-individu itu sangat bervariasi, baik dalam hal umur, jenis kelamin, status
sosial ekonomi, kedudukan, pangkat dan jabatan, keterikatan terhadap lembaga, dan variasi-
variasi lainnya. Konseling melayani semua individu tanpa memandang umur, jenis kelamin,
suku, agama, dan status sosial ekonomi. Bimbingan dan konseling berurusan dengan pribadi dan
tingkah laku individu yang unik dan dinamis. Bimbingan dan konseling memperhatikan
sepenuhnya tahap dan berbagai aspek perkembangan individu dan memberikan perhatian utama
Secara ideal pelayanan konseling ingin membantu semua individu dengan berbagai
permasalahannya. Namun, karena keterbatasan yang ada, pelayanan konseling hanya mampu
menangani masalah klien secara terbatas. Bidang konseling pada umumnya dibatasi hanya pada
hal-hal yang menyangkut pengaruh kondisi mental/fisik individu terhadap penyesuaian dirinya,
dan sebaliknya pengaruh lingkungan terhadap kondisi mental dan fisik individu.
Pelayanan insidental diberikan kepada klien-klien yang secara langsung datang kepada konselor
untuk meminta bantuan. Sedangkan untuk lembaga tempat konselor bertugas, perlu disusun
suatu program pelayanan. Program bimbingan dan konseling harus fleksibel disesuaikan dengan
kebutuhan individu, masyarakat dan kondisi lembaga. Terhadap isi dan pelaksanaan program
bimbingan dan konseling perlu adanya penilaian yang teratur dan terarah. Pengembangan
program pelayanan bimbingan dan konseling ditempuh melalui pemanfaatan yang maksimal dari
hasil pengukuran dan penilaian terhadap individu yang terlihat dalam proses pelayanan dan
Berkaitan dengan pelaksanaan layanan, bimbingan dan konseling harus diarahkan untuk
pengembangan individu yang akhirnya mampu membimbing diri sendiri dalam menghadapi
permasalahan. Dalam proses bimbingan dan konseling keputusan yang diambil dan hendak
dilakukan oleh individu hendaknya atas kemauan individu itu sendiri, bukan karena kemauan
atas desakan dari pembimbing atau pihak lain. Permasalahan individu harus ditangani oleh
tenaga ahli dalam bidang yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi.
Proses konseling yang intensional (mendalam) dan efektif akan membantu klien untuk
berkembang secara optimal. Sebaliknya jika proses konseling berjalan tidak efektif dan kurang
mendalam, maka sudah dapat dipastikan akan gagal mencapai tujuan dan bahkan dapat merusak
klien.
Keefektivan banyak dipengaruhi oleh berbagai variabel yang saling berkaitan satu sama
masalah tertentu.
Indikator yang dapat digunakan dalam mengukur efektivitas konseling adalah adanya
perubahan perilaku, kesehatan mental yang positif, pemecahan masalah, mencapai keefektivan
pribadi, dan pengambilan keputusan (Shertzer and Stone dalam Nurihsan, 2001: 14-15)
Dalam kaitannya dengan klien HIV/AIDS, perubahan perilaku lebih diarahkan untuk
meningkatkan kualitas hidup klien yang salah satunya terlihat dalam perilaku atau pola-hidupnya
sehari-hari yang beresiko untuk menularkan virus HIV kepada orang lain. Kesehatan mental
yang positif dapat dicapai bila individu/klien mencapai integrasi, penyesuaian, dan identifikasi
positif atas status ke-HIV-annya. Ia belajar bertanggungjawab, berdiri sendiri, dan memperoleh
integrasi perilaku.
Seperti halnya orang lain, klien HIV pun banyak menghadapi masalah yang timbul
berkenaan dengan status dirinya atau yang lainnya. Pemecahan masalah berkaitan dengan
kemampuan klien untuk mengenal, mendefinisikan, dan mencari solusi atau jalan keluar dari
tenaganya dan bersedia memikul resiko atau tindakan yang dilakukannya. Dalam hal ini klien
Dalam hal pengambilan keputusan, klien mampu mengambil keputusan yang penting
bagi dirinya atau memilih alternatif dari tindakannya serta mengestimasi konsekuensi-
konsekuensi yang mungkin terjadi atas keputusan yang diambilnya dengan memperhatikan nilai-
B. Konseling HIV/AIDS
HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah suatu virus yang menyerang sel-sel
limposit T (CD4) yang berfungsi dalam sistem kekebalan tubuh manusia. Sedangkan AIDS
adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. “Acquired” artinya tidak
diturunkan, tapi ditularkan dari satu orang ke orang lainnya; “Immune” adalah sistem daya
tangkal tubuh terhadap penyakit; “Deficiency” artinya tidak cukup atau kurang; dan “Syndrome”
adalah kumpulan tanda atau gejala penyakit. Sehingga AIDS dapat didefinisikan sebagai suatu
sindrom atau kumpulan gejala penyakit yang ditandai dengan berkurangnya daya tahan tubuh
AIDS adalah bentuk lanjut dari infeksi HIV. Penyakit yang membuat orang tak berdaya
dan mengakibatkan kematian yang disebabkan oleh HIV. Penurunan daya tahan tubuh akibat
kerusakan sistem imun oleh HIV samapai pada tingkat timbulnya AIDS memerlukan waktu
beberapa tahun. Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap sehat dan tidak menunjukkan gejala
apapun untuk jangka waktu cukup panjang bahkan hingga 10 tahun sehingga banyak orang yang
tidak menyadari atau mengetahui apakah dirinya sudah terinfeksi HIV atau tidak. Namun pada
saat itu, orang ini dapat dengan mudah menularkan infeksinya kepada orang lain. Kepastian atas
status HIV positif pada diri seseorang hanya bisa dipastikan melalui pemeriksaan laboratorium.
2. Penularan HIV/AIDS
HIV terdapat dalam darah dan cairan tubuh seseorang yang telah tertular, walaupun orang
tersebut belum menunjukkan keluhan atau gejala penyakit. HIV hanya bisa ditularkan bila terjadi
kontak langsung dengan cairan tubuh atau darah. Dosis virus memegang peranan penting. Makin
besar jumlah virusnya makin besar kemungkinan infeksinya. Jumlah virus yang banyak ada
dalam darah, sperma, cairan vagina, serviks dan cairan otak. Dalam saliva (air liur/ludah), air
mata, urin, keringat dan air susu hanya ditemukan sedikit sekali. (Wibowo, 2002 : 23).
Berdasarkan sifat dari virus HIV tersebut, HIV hanya dapat ditularkan melalui :
a. Hubungan seksual, baik secara vaginal, oral maupun anal dengan seorang pengidap HIV.
Ini adalah cara yang paling umum terjadi, meliputi 80 – 90 % dari total kasus sedunia.
b. Kontak langsung dengan darah, produk darah, transplantasi organ dan jaringan atau
jarum suntik:
1) Tranfusi darah/produk darah yang tercemar HIV, risikonya sangat tinggi, sampai
sempritnya pada para pecandu narkotika suntik. Risikonya sekitar 0,5 – 1 % dan telah
3) Penularan lewat kecelakaan tertusuk jarum pada petugas kesehatan. Risikonya sekitar
kurang dari 0,5 % dan telah terdapat kurang dari 0,1 % dari total kasus sedunia.
c. Secara vertikal dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya, saat melahirkan ataupun
setelah melahirkan. Risiko sekitar 25 – 40 %, terdapat < 0,1 % dari total kasus sedunia.
HIV tidak ditularkan melalui kontak sosial, seperti bersentuhan dengan pengidap HIV,
berjabat tangan, berciuman biasa, bersin dan batuk, melalui makanan dan minuman, berenang
dalam kolam yang sama, menggunakan WC bersama pengidap HIV. Selain itu HIV juga tidak
a. Wanita dan laki-laki yang berganti-ganti pasangan dalam melakukan hubungan seksual,
beserta pasangannya.
c. Wanita dan laki-laki yang mempunyai pasangan dengan riwayat yang tidak diketahui dan
melakukan hubungan seksual yang tidak aman (hubungan seksual tanpa menggunakan
kondom)
d. Orang-orang yang melakukan hubungan seksual yang tidak wajar, seperti hubungan
seksual melalui dubur (anal) dan mulut (oral) misalnya pada homoseksual dan biseksual
hubungan seksual
f. Penyalahguna narkotika dengan suntikan, yang menggunakan jarum suntik secara
bersama (bergantian)
Pencegahan untuk melindungi diri dari infeksi HIV/AIDS meliputi tiga hal, yaitu :
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah penularan HIV/AIDS dan berkembangnya
A : Anda jauhi seks bebas atau tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah
B : Bersikap saling setia (Be faithful), yaitu hanya mengadakan hubungan seksual dengan
C : Bila salah satu pasangan sudah terinfeksi HIV, maka dalam melakukan hubungan seksual
D : Tidak menggunakan narkotika dan narkoba suntik (Do not use drugs)
(Education)
Serta dengan mempertebal iman dan takwa agar tidak terjerumus melakukan perilaku-
4. Konseling HIV/AIDS
Konseling HIV/AIDS merupakan komunikasi bersifat konfidensial antara klien dan
keputusan berkaitan dengan HIV/AIDS. Proses konseling termasuk evaluasi risiko personal
penularan HIV, fasilitasi pencegahan perilaku dan evaluasi penyesuaian diri ketika klien
dan pemberi layanan yang bertujuan membuat orang tersebut mampu menyesuaikan diri dengan
stres dan membuat keputusan yang sesuai berkaitan dengan HIV/AIDS. Proses konseling
termasuk evaluasi risiko personal tranmisi HIV dan memfasilitasi perilaku pencegahan.
Konseling HIV/AIDS perlu dilakukan karena diagnosis HIV atas diri seseorang
mempunyai banyak implikasi, baik secara psikologis, fisik, sosial maupun spiritual. Selain itu
HIV merupakan penyakit yang mengancam kehidupan dan terapi terhadap penderitanya harus
Testing (VCT) atau Tes dan Konseling Sukarela. Kata ‘sukarela’ di sini menekankan bahwa
konseling harus berjalan tanpa paksaan serta berdasarkan atas keinginan dan kesadaran dari klien
itu sendiri. Selain itu testing dan konseling HIV merupakan komponen utama dalam program
HIV/AIDS. Hubungan antara konseling dan tes HIV dapat digambarkan sebagai berikut:
Testing HIV
Klien Konselor
Hasil
Bagan 2.1 Hubungan antara konseling dan testing HIV
VCT digunakan untuk melakukan setiap intervensi. Konseling ini minimum terdiri atas
konseling pre tes dan pasca tes HIV, juga menyediakan konseling berkelanjutan jangka panjang,
Tes HIV senantiasa didahului oleh konseling pra tes. Konseling pra tes individual
dilaksanakan untuk membantu seseorang dalam membuat keputusan yang baik tentang apakah
akan menjalani tes HIV atau tidak. Konseling pra tes HIV membantu klien menyiapkan diri
untuk pemeriksaan darah HIV, memberikan pengetahuan akan implikasi terinfeksi atau tidak
terinfeksi HIV dan memfasilitasi diskusi tentang cara menyesuaikan diri dengan status HIV.
Konseling juga dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan yang benar dan meluruskan
Konseling pra tes menantang konselor untuk dapat membuat keseimbangan antara
pemberian informasi, penilaian risiko dan merespon kebutuhan emosi klien. Banyak orang takut
melakukan tes HIV karena berbagai alasan termasuk perlakuan diskriminasi dan stigmatisasi
masyarakat dan keluarga. Karena itu layanan VCT senantiasa melindungi klien dengan menjaga
kerahasiaan. Peletakan kepercayaan klien pada konselor merupakan dasar utama bagi terjaganya
rahasia dan terbinanya hubungan yang baik. Penggunaan keterampilan konseling mikro sangat
penting untuk membina rapport dan menunjukkan adanya layanan yang berfokus pada klien.
tes, baik itu hasilnya positif atau negatif. Konselor mempersiapkan klien untuk menerima hasil
tes, memberitahukan hasil tesnya, dan menyediakan informasi selanjutnya, atau bila perlu
merujuk klien ke fasilitas layanan lainnya. Selanjutnya konselor mengajak klien mendiskusikan
Bentuk dari konseling pasca tes tergantung dari hasil tes. Jika hasil tes positif, konselor
menyampaikan hasil tes dengan cara yang dapat diterima klien, secara halus dan manusiawi,
serta memperhatikan kondisi individu klien dan budaya setempat. Ketika hasil tes positif,
konselor harus:
1) Memberitahu klien sejelas dan sehati-hati mungkin, dan dapat mengatasi reaksi awal
yang timbul.
2) Memberi mereka cukup waktu untuk memahami dan mendiskusikan hasil tes tersebut.
menghadapi hal itu, termasuk mengidentifikasi dukungan apa yang tersedia di rumah.
5) Menjelaskan bahwa hasil tes akan tetap dirahasiakan, sehingga tidak akan ada orang lain
6) Mendiskusikan siapa orang yang mungkin ingin diberitahu tentang hasil tes itu dan
9) Bila klien adalah wanita hamil, mendiskusikan cara menghindari penularan terhadap
bayinya, membantu mereka untuk membuat keputusan yang mereka rasa paling baik dan
munngkin tidak terinfeksi dan memberikan informasi tentang hubungan seks yang lebih
aman.
Konseling tetap diperlukan walaupun hasil tes negatif. Di sini konselor dan klien
mendiskusikan perasaan yang timbul dari hasil tersebut dan mendiskusikan pencegahan dari
infeksi HIV. Meskipun orang akan merasa lega mendapatkan hasil negatif, konselor harus
menjelaskan bahwa karena adanya masa jendela (window period), hasil negatif ini tidaklah
sepenuhnya menjamin bahwa orang ini tidak terinfeksi HIV. Konselor harus menganjurkan
untuk mempertimbangkan datang kembali dan tes ulang setelah 3-6 bulan. Selain itu, konselor
dapat membantu klien dalam memformulasikan strategi lain agar tetap dalam hasil tes yang
negatif.
Dasar keberhasilan konseling pasca tes ditentukan oleh baiknya konseling pra tes. Bila
konseling pra tes berjalan baik, maka dapat terbina rapport antara konselor dan klien. Dengan
dasar ini, maka akan memudahkan terjadinya perubahan perilaku di masa datang dan
memungkinkan pendalaman akan masalah klien. Mereka yang menunggu hasil tes HIV berada
dalam kecemasan, dan mereka yang menerima hasil tes HIV positif kemungkinan akan
mengalami distress. Karena itu disarankan agar konselor yang melakukan konseling pasca tes
adalah konselor yang sama dengan konselor yang menjalankan konseling pra tes.
Kerangka model dari prosedur kunci layanan konseling HIV/AIDS atau VCT dapat
Gejala atau kecemasan yang membawa seseorang memutuskan untuk tes status HIV
Konseling pra tes mencakup penilaian kondisi perilaku berisiko individu dan
kondisi psikososial, penyediaan informasi faktual tertulis ataupun lisan
Masalah HIV/AIDS merupakan masalah sosial yang berdampak besar pada masyarakat.
Untuk itu diselenggarakan suatu layanan VCT yang dimaksudkan sebagai usaha pencegahan dan
a. Pencegahan HIV
Konseling dan tes sukarela HIV berkualitas tinggi merupakan komponen efektif (juga
efektif dari sudut biaya) pendekatan prevensi, yang mempromosikan perubahan perilaku seksual
dan perilaku berisiko lainnya dalam menurunkan penularan HIV. Dalam laporan mengenai
efektivitas VCT di Kenya, Tanzania, dan Trinidad pada tahun 2000, mereka yang menggunakan
jasa layanan VCT, di dalam dirinya ada perasaan yang kuat tentang tata nilai, akivitas seksual,
dan diagnosis (apakah positif atau negatif) dan seringkali mereka betul-betul menurunkan
perilaku berisikonya. VCT menawarkan kepada para pasangan untuk mencari tahu status HIV
mereka dan perencanaan hidup mereka yang berkenaan dengan hal tersebut.
dan dukungan sesuai yang dibutuhkan. VCT sudah mendesak untuk dipandang sebagai
penghormatan atas hak asasi mereka dari sisi kesehatan masyarakat, karena infeksi HIV
merupakan hal serius yang mempunyai dampak begitu besar bagi kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat, termasuk kesehatan reproduktif, kehidupan seksual dan keluarga, kehidupan sosial
Konseling HIV/AIDS merupakan suatu proses dengan tiga tujuan umum. Konseling
1) Menyediakan dukungan psikologis, sosial dan spiritual seseorang yang mengidap virus HIV.
dan membantu orang dalam mengembangkan keterampilan pribadi yang diperlukan untuk
3) Memastikan efektivitas rujukan kesehatan, terapi, dan perawatan melalui pemecahan masalah
kepatuhan berobat.
2) Menggali opsi dan membantu klien membangun rencana tindakan tentang isu atau
5) Memberikan informasi tentang sumber dan institusi (baik pemerintah maupun non
pemerintah) yang dapat membantu kesulitan sosial, ekonomi, dan budaya yang timbul
7) Membantu klien menyesuaikan diri dengan keadaan yang terjadi saat ia mengalami sakit,
berduka dan kehilangan suami, isteri, pasangan, kawan, atau penghasilan, rumah dan
pekerjaan.
Konseling HIV/AIDS lebih terarah kepada kebutuhan fisik, sosial, psikologis dan
spiritual seseorang. Oleh karena itu seorang konselor HIV/AIDS harus mempertimbangkan
masalah infeksi dan penyakit, kematian dan kesedihan, stigma dan diskriminasi sosial,
seksualitas, gaya hidup, serta pencegahan penularan. VCT merupakan komponen kunci dalam
program HIV di negara maju, tetapi sampai kini belum menjadi strategi besar di negara
Oleh karena itu, dari sisi kesehatan masyarakat VCT sduah mendesak untuk dipandang
sebagai penghormatan atas hak asasi manusia, karena tingginya prevalensi infeksi HIV
merupakan hal serius yang mempunyai dampak terhadap kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat demikian luasnya, termasuk kesehatan reproduktif, kehidupan seksual dan keluarga,