Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA

MANAJEMEN KINERJA

DISUSUN OLEH:

EGA MALINDA ANGELIZA SIAHAAN 1907521110


NI KADEK SRI WAHYUNI 1907521111
ALEXANDER DANIEL DWIPERMANA 1907521138

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


MANAJEMEN
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2020
JIMBARAN
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala
rahmat-Nya, kami dari Kelompok 7 dapat menyusun makalah yang berjudul “Manajemen
Kinerja” hingga selesai untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Manajemen Sumber Daya
Manusia.

Kami menyusun makalah ini dengan harapan agar dapat menambah wawasan serta
pengetahuan bagi para pembaca mengenai materi yang ada dalam makalah ini. Karena
keterbatasan pengetahuan maupun wawasan kami, kami meyakini terdapat beberapa
kekurangan dalam makalah kami. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran serta
kritik yang membangun dari pembaca agar makalah ini menjadi lebih baik.

Jimbaran, 8 Maret 2020

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

1.2 RUMUSAN MASALAH

1.3 TUJUAN
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 CIRI SISTEM PENILAIAN KINERJA YANG EFEKTIF


Kegunaan dasar sistem penilaian kinerja adalah untuk memperbaiki kinerja orang-
orang, tim, maupun organisasi secara keseluruhan. Sistem tersebut juga berperan untuk
membantu keputusan-keputusan administrasi yang berkenaan dengan kenaikan bayaran,
transfer atau pemberhentian. Di samping itu, sistem penilaian juga harus bisa
dipertanggungjawabkan secara hokum. Meskipun tidak ada sistem yang sempurna, setiap
sistem harus memiliki karakteristik atau ciri tertentu. Organisasi-organisasi harus
mengupayakan penilaian yang akurat atas kinerja yang memungkinkan pengembangan
rencana untuk memperbaiki kinerja individual dan kelompok. Sistem tersebut harus secara
jujur memberi informasi kepada orang-orang mengenai posisi mereka dalam organisasi.

Berikut merupakan Karakteristik atau Ciri dari Sistem Penilaian Kinerja yang Efektif:

1. Kriteria yang terkait Pekerjaan


Keterkaitan dengan pekerjaan (job relatedness) mungkin merupakan prinsip paling
dasar yang diperlukan dalam penilaian kinerja karyawan. Secara lebih khusus,
kriteria-kriteria evaluasi harus ditentukan melalui analisis pekerjaan. Faktor-faktor
subjektif seperti inisiatif, antusiasme, loyalitas, dan kerjasama jelas-jelas penting;
namun tanpa dibuktikan secara jelas keterkaitannya dengan pekerjaan, faktor-faktor
tersebut tidak dapat dipergunakan. Kriteria yang digunakan untuk menilai kinerja
karyawan harus berkaitan dengan pekerjaan / valid.
2. Harapan-Harapan (Ekspetasi) Kinerja
Para manajer dan juga karyawan harus sepakat mengenai harapan-harapan kinerja
sebelum periode penilaian dimulai. Sebelum periode penilaian, para manajer harus
menjelaskan secara gamblang tentang kinerja yang diharapkan kepada pekerja. Para
karyawan akan dapat berfungsi secara efektif jika mereka tahu dasar-dasar apa yang
akan mereka jadikan tolak ukur. Di sisi lain, jika para karyawan memahami dengan
jelas harapan-harapan kinerja tersebut, mereka bisa mengevaluasi kinerja mereka
sendiri dan melakukan penyesuaian yang tepat waktu saat mereka menjalankan
pekerjaan mereka tanpa harus menunggu penilaian evaluasi formal. penetapan standar
kerja yang sangat objektif relative sederhana pada banyak bidang seperti pabrikasi,
perakitan dan penjualan. Evaluasi harus dilakukan berdasarkan harapan-harapan
kinerja yang dapat dipahami dengan jelas.

3. Standarisasi
Perusahaan-perusahaan harus menggunakan instrument penilaian yang sama untuk
seluruh nya yang berada pada kategori pekerjaan yang sama dan bekerja untuk atasan
yang sama. Para atasan harus pula melaksanakan penilaian-penilaian yang mencakup
periode yang sama untuk karyawan-karyawan tersebut. Meskipun penilaian tahunan
adalah yang paling umum, banyak perusahaan sukses mengevaluasi para
karyawannya secara lebih sering.
4. Penilai yang Terlatih (Cakap)
Kekurangan umum sistem penilaian kinerja adalah bahwa para penilai (evaluator)
jarang menerima pelatihan mengenai cara melaksanakan evaluasi yang efektif.
Kecuali setiap orang yang mengevaluasi kinerja mendapatkan pelatihan dalam seni
memberi dan menerima umpan balik, proses tersebut bisa menyebabkan
ketidakpastian dan konflik. Pelatihan merupakan proses yang berkelanjutan guna
memastikan ketepatan dan konsistensi. Pelatihan harus mencakup cara menilai para
karyawan dan cara melaksanakan wawancara penilaian. Intruksi harus cukup
terperinci dan harus ditekankan pentingnya membuat penilaian yang objektif dan
tidak bias. Tanggung jawab untuk menilai kinerja karyawan hendaknya dibebankan
kepada seseorang atau sejumlah orang, yang secara langsung mengamati paling tidak
sampel yang representatif dari kinerja itu. Untuk menjamin konsistensi penilaian, para
penilai harus mendapatkan latihan yang memadai.
5. Komunikasi Terbuka Berkelanjutan
Sebagian besar karyawan memiliki kebutuhan kuat untuk mengetahui seberapa baik
mereka bekerja. Sistem penilaian yang efektif memberikan mereka umpan balik yang
sangat diinginkan dalam basis yang berkelanjutan. Para manajer harus dapat
menangani masalah-masalah kinerja sehari-hari saat masalah masalah tersebut muncul
dan tidak membiarkannya menumpuk hingga waktu yang lama dan kemudian baru
mengatasinya dalam wawancara penilaian kinerja. Walaupun wawancara penilaian
kinerja memberikan peluan yang sangat baik untuk pihak karyawan maupun manajer
untuk bertukar gagasan, namun hal ini tidak seharusnya digunakan sebagai pengganti
komunikasi dan coaching kepada karyawan sehari-hari yang dibutuhkan dalam
manajemen kinerja.
6. Melaksanakan Tinjauan Kinerja
Sebagai tambahan dari kebutuhan akan komunikasi berkelanjutan antara para manajer
dan karyawan mereka, waktu khusus harus ditetapkan untuk melakukan sebuah
diskusi formal mengenai kinerja karyawan. Tinjauan kinerja memungkinkan para
karyawan untuk melacak setiap kesalahan atau kekurangan dalam penilaian, atau
karyawan bisa tidak setuju dengan evaluasi tersebut dan ingin mempertanyakannya.
7. Due Process (Proses Pengajuan Keberatan)
Sangatlah penting untuk memastikan due process. Jika suatu perusahaan tidak
memiliki prosedur gugatan formal, perusahaan tersebut harus mengembangkannya
guna memberikan peluang kepada para karyawannya untuk mempertanyakan hasil
penilaian yang mereka anggap tidak akurat atau tidak adil. Mereka harus memiliki
sebuah prosedur untuk mengajukan gugatan mereka dan memastikan gugatan-gugatan
tersebut ditangani secara objektif.

2.2 METODE UNTUK MEMBERIKAN UMPAN BALIK KINERJA KEPADA


KARYAWAN
Saat penilaian kinerja sudah selesai dilakukan, penting bagi manajer untuk
mengkomunikasikannya kepada para karyawan untuk mendapatkan pemahaman yang jelas
tentang bagaimana posisi mereka di mata atasannya dan juga di mata organisasi. Umum bagi
suatu organisasi untuk menuntut manajernya agar mendiskusikan penilaian kinerja dengan
para karyawan. Dalam Wawancara Umpan Balik, penilaian ini dapat digunakan untuk
memperjelas adanya kesalahpahaman dari kedua belah pihak. Dalam wawancara umpan
balik, manajer harus menekankan pada konseling dan pengembangan dan bukan hanya
memberitahukan karyawannya hanya tentang nilai dan alasannya. Focus pada pengembangan
memberikan kedua belah pihak sebuah kesempatan untuk mempertimbangkan kinerja
karyawan, apa yang telah dikerjakan dengan baik dan potensi-potensi yang harus
dikembangkan. Oleh karena itu, umpan balik merupakan bagian yang penting dari penilaian,
tinjauan singkat terhadap umpan balik dan bagaimana prosesnya merupakan hal yang
berguna untuk membantu adanya pemahaman terhadap wawancara penilaian.
Feedback kinerja biasanya terjadi satu atau dua kali dalam setahun atau lebih dari itu
sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Di samping itu dalam, suatu mekanisme umpan balik
seharusnya terjadi diskusi yang hangat antar manajer dan pihak karyawan. Diskusi antara
manajer penilai dengan karyawan, diharapkan evaluasi kinerja dapat menghasilkan satu atau
beberapa tujuan berikut
1. Penentuan tujuan, harapan dan standar kinerja untuk diharapkan dapat menjaga
perbaikan kinerja
2. Mengkaji laporan kemajuan dan memecahkan persoalan yang dihadapi.
3. Memberi informasi mengenai apa yang telah dilakukan. Disini terdapat asumsi bahwa
diskusi kinerja yang dilakukan secara efektif akan mengarahkan pada terjadinya
perbaikan kinerja, peningkatan motivasi, mempertinggi semangat untuk
pengembangan pribadi dan kepuasan kerja yang lebih tinggi.

UMPAN BALIK SEBAGAI SUATU SISTEM

Ada tiga komponen yang umumnya dikenal dalam sistem umpan balik yaitu:

1. Data
Data adalah informasi faktual mengenai perilaku yang diamati dan konsekuensinya.
Sistem umpan balik mungkin dinilai mengenai akurasinya, kelengkapannya, dan
ketepatan dari data - data yang telah didapatkan. Kebanyakan data merupakan fakta
yang melaporkan apa yang terjadi.
2. Evaluasi
Evaluasi merupakan cara dari sistem umpan balik bereaksi kepada fakta fakta yang
ada, dan ini membutuhkan standar kinerja. Para evaluator, tentu saja, akan
mendapatkan kesimpulan yang berbeda - beda terhadap suatu kinerja yang sama
menggunakan standar yang berbeda. Manajemen mungkin akan mengevaluasi
informasi faktual yang sama secara berbeda dibandingkan evaluasi para konsumen
atau evaluasi rekan kerja. Evaluasi dapat dikerjakan oleh orang yang menyediakan
data, oleh atasan atau oleh kelompok.
3. Tindakan
Agar umpan balik dapat menyebabkan perubahan, beberapa keputusan harus dibuat
berkaitan dengan tindakan yang mengikutinya. Sebuah sistem di mana data dan
evaluasi tidak mempengaruhi tindakan, tidak akan menjadi sistem umpan balik.
Dalam sistem penilaian yang tradisional, seorang manajer membuat beberapa saran
yang spesifik mengenai tindakan yang mungkin diambil oleh karyawan di masa yang
akan mendatang. Dalam umpan balik 360°, orang- orang darimana informasi tersebut
didapatkan mungkin juga menyarankan beberapa tindakan yang mungkin perlu
dipertimbangkan oleh individu berkaitan dengan keputusan yang sudah diambil, tetapi
tidak dalam hal lainnya yang tergantung pada kondisinya.

SEBUAH MODEL UMPAN BALIK


Feedback (umpan balik) berpengaruh terhadap perilaku individu dalam usahanya
untuk meningkatkan kinerja. Pihak organisasi perlu untuk mengetahui bagaimana proses
individual dalam menerima dan mengolah feedback dan bagaimana mereka akan bereaksi
terhadap feedback yang diterima model yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan
tersebut adalah model empat tahap feedback. Model empat tahap menjelaskan bagaimana
proses individual yang terjadi berkaitan dengan feedback dan bagaimana individu berperilaku
atas adanya umpan balik kinerja. Feedback didefinisikan sebagai kasus khusus komunikasi
dimana beberapa sender membawa suatu pesan ke penerima. Dalam kasus umpan balik,
pesan berisi informasi tentang penerima. Menurut model ini, persepsi seseorang tergantung
pada tiga faktor utama, yaitu;
1. Karakteristik sender
2. Karakteristik penerima
3. Pesan aktual untuk sendiri.

Tahap-tahap menurut model feedback empat tahap adalah sebagai berikut:


1. Perception of feedback.
Tahapan ini, kineria seharusnya dapat diterima dengan baik (akurat, tepat waktu) oleh
karyawan.
2. Acceptance of feedback.
Pada tahap ini, karyawan menilai sejauhmana mereka dapat mempercayai keakurasian
feedback untuk menggambarkan kinerjanya. ini dilihat
3. Desire to respon atau keinginan merespon.
Pada tahap yang sejauhmana karyawan berkeinginan untuk merespon feedback
berasal dari supervisor, karyawan mengembangkan
4. Intended Respon.
Pada tahapan ini, diterima rencana untuk merespon feedback yang diterima.
 
JENIS-JENIS WAWANCARA UMPAN BALIK

Wawancara umpan balik adalah suatu diskusi antara supervisor dengan karyawan
berkenaan dengan kinerja karyawan masa lalu dan bagaimana kinerja dapat ditingkatkan
untuk masa-masa yang akan datang. Beberapa metode wawancara umpan-balik yang dapat
digunakan antara lain:
1. Tell and sell 2.
2. Tell and listen 3.
3. Problem solving

1. Tell and sell


Metode ini dilaksanakan dengan cara supervisor memberi kinerja karyawan
kepada karyawan yang bersangkutan dan berusaha meyakinkan karyawan tersebut
untuk dapat menerima hasil penilaian tersebut. Dalam hal ini karyawan tidak
mendapat imput untuk evaluasi Metode ini bersifat pengkondisian, satu arah dan
dapat menimbulkan sikap depresi dari karyawan dan rasa frustrasi bawahan. Selain itu
metode ini tidak memungkinkan karyawan untuk memberikan informasi penting
kepada supervisor mengenai hal-hal yang penting terkait dengan kinerja tetapi tidak
diperhatikan sebelumnya oleh supervisor Oleh karena itu, kemungkinan karyawan
tidak akan menerima hasil evaluasi kinerja tersebut dan tidak akan memiliki
komitmen terhadap pencapaian tujuan perusahaan. Dengan demikian hal ini akan
mengarah kepada terjadinya yang tidak baik di masa mendatang. Akan tetapi untuk
karyawan baru atau karyawan yang memiliki rasa partisipasi yang kecil metode ini
akansangat efektif sebagai cara untuk menyampaikan umpan balik dan akan mampu
meningkatkan kinerja di masa depan karyawan baru sebagai contoh pada umumnya
kurang mampu untuk menilai diri mereka sendiri. sehingga karyawan tersebut
membutuhkan orang lain (supervisorl untuk memberitahukan sejauh mana kinerja
yang sudah dicapai.

2. Tell and Listen


Dalam metode ini, supervisor menyampaikan apa yang baik dan jelek dari kineria
yang sudah dicapai karyawan di masa lalu dan memberi kesempatan kepada karyawan
untuk bereaksi terhadap penilaian tersebu Partisipasi karyawan dalam diskusi dengan
metode ini bisa sangat mendalam atau luas. Kesempatan untuk memberikan reaksi
terhadap pernyataan yang dikemukakan oleh supervisor terbuka lebar Bahkan,
karyawan diberi kesempatan untuk memberikan hasil penilaian kinerja menurut
pandangan mereka dan dipertentangkan dengan hasil penilain dari supervisor untuk
mendapatkan   objektivitas. Akan tetapi dari praktek yang dilakukan di organisasi,
partisipasi karyawan untuk memberikan sanggahan pada apa yang sudah dinilai oleh
supervisor sangat sedikit.

3. Problem solving
Dalam metode ini karyawan memiliki peran yang lebih besar dari pada supervisor.
Karyawan mengevaluasi sendiri kinerianya dan menentukan sendiri pula tujuan yang
akan dicapai di masa depan, Peran supervisor disini lebih sebagai rekan yang
memberikan saran atau bantuan observasi Diskusi aktif antara supervisor dan
karyawan selalu diusahakan dilaksanakan dan tujuan akan ditetapkan bersama-sama
untuk kemanfaatan bersama pula. Bagi supervisor, diskusi dalam metode ini relatif
paling sulit dibandingkan dengan metode yang lainnya, akan tetapi akan membangun
suatu penerimaan dari karyawan yang besar dan terciptanya komitmen yang tinggi
terhadap pencapaian tujuan yangtelah disepakati bersama tersebut. Untuk itu kadang-
kadang supervisor memerlukan training khusus untuk meningkatkan kemampuannya
dalam melaksanakan diskusi dengan karyawan dengan metode ini. Beberapa
kelemahan dari metode ini antara lain:
1. Karyawan ada menyukai pendekatan yang lebih bersifat yang lebih
2. Beberapa karyawan merasa sungkan untuk mendiskusikan kinerja yang jelek
dengan supervisor terutama apabila sistem balas jasa dikaitkan dengan hasil
wawancara tersebut.
Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada pada metode metode wawancara
umpan balik tersebut diatas, dapat digunakan metode campuran dari ketiga metode yang
ada tersebut, yang diambil pada sisi positifnya.

2.3 KETEPATAN MENYUSUN SISTEM PENILAIAN KINERJA SEDERHANA


BAGI USAHA KECIL DAN MENENGAH (UKM)

Usaha Kecil menurut Undang-Undang No. 9 tahun 1995 adalah usaha produktif yang
berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil
penjualan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) per tahun serta dapat
menerima kredit dari bank maksimal di atas Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
sampai Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Sedangkan yang dimaksud dengan Usaha
Menengah menurut Inpres No. 5 Tahun 1998, adalah usaha yang bersifat produktif yang
memenuhi kriteria kekayaan usaha bersih lebih besar dari Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) sampai dengan paling banyak sebesar Rp.10.000.000.000.,00 (sepuluh milyar rupiah)
tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha serta dapat menerima kredit daari bank
sebesar Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp.5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah).

Banyak faktor yang menyebabkan lemahnya daya saing UKM di Indonesia. Salah
satunya adalah rendahnya produktivitas dan kinerja UKM. Masalah ini telah dihadapi UKM
sejak lama. Selain itu, keterbatasan tenaga ahli dan kesadaran terhadap dampak lingkungan
dapat menimbulkan masalah lingkungan di sekitar UKM, Kinerja masih sering diabaikan
UKM, padahal untuk bisa mengetahui sejauh mana keberhasilan dalam melaksanakan
kegiatannya harus diketahui bagaimana kegiatan tersebut dilaksanakan. Pengukuran kinerja
digunakan sebagai dasar untuk mengetahui keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan
sesuai dengan tujuan dan sasaran yang akan dicapai, yang telah ditetapkan dalam Visi dan
Misi-nya. Pengukuran tersebut merupakan suatu hasil dari suatu penilaian yang sistematis
dan didasarkan pada kelompok indicator kinerja kegiatan berupa masukan, keluaran, hasil.
Dan Penilaian yang dimaksud tidak terlepas dari kegiatan mengolah dan masukan untuk
diproses menjadi keluaran penting dan berpengaruh terhadap pencapaian tujuan dan sasaran.

Mengapa pengelolaan UKM terkadang sulit berkembang, beberapa hal yang


terkadang menjadi kendala dalam perkembangan UKM di Indonesia adalah:

1. Permodalan: Disamping kurang mencukupinya jaminan yang dimiliki oleh usaha


kecil dan menengah untuk meminjam modal ke bank, di daerah selama ini sulit
mendapatkan akses modal karena kurangnya informasi mengenai permodalan. Faktor
lain penyebab permasalahan permodalan pada usaha kecil dan menengah adalah
adanya persepsi dikalangan pelaku UMKM bahwa meminjam ke bank mempunyai
risiko yang lebih besar dan memberatkan.
2. Manajerial: Manajemen menjadi permasalahan yang paling utama dalam
pengembangan usaha kecil dan menengah. Visi dan misi serta pengelolaan bisnis
usaha kecil dan menengah tidak dilakukan dengan sistem manjemen dan perancanaan
bisnis dengan baik. Hal tersebut menyebabkan kebanyakan usaha kecil dan menengah
tidak dapat berkembang. Manajemen masih dikelola secara tradisional dimana harta
pribadi dan modal usaha masih tercampur. Tidak adanya pemisahan harta pribadi
dengan modal usaha menggambarkan tidak adanya rencana bisnis dan investasi untuk
mengembangkan usaha. Tata kelola keuangan pribadi dan usaha yang tercampur juga
seringkali menjadi penyebab kebangkrutan pada bisnis UMKM dimana penggunaan
modal usaha untuk kepentingan pribadi tidak terkontrol dengan baik.
3. Jaringan Pemasaran: Kebanyakan usaha kecil dan menengah terutama di daerah tidak
mempunyai akses langsung ke pasar. Industri kecil dan menengah sulit untuk
melakukan ekspansi pasar lebih luas. Sehingga lingkup usaha industri kecil dan
menengah hanya bersifat lokal. Networking menjadi salah satu unsur modal
intangiable yang menentukan perkembangan bisnis UMKM. Melalui networking
pelaku bisnis dapat mengembangkan wacana bisnis guna pengembangan bisnis di
masa yang akan datang.
4. Leadership: Leadership dalam lingkup ini adalah karakter dan pengetahuan pelaku
bisnis UMKM dalam mengelola usahanya. Leadership dalam UMKM bukan
menyangkut jenis-jenis gaya kepemimpinan. Leadership dalam UMKM menyangkut
apakah pelaku sekaligus pemimpin bagi usahanya berkeinginan membesarkan
usahanya, apa yang dicita-citakan oleh pemilik usaha yang dalam hal ini sekaligus
sebagai pengelola mengenai perkembangan usahanya kedepan, apakah pelaku
mempunyai semangat belajar untuk mencapai cita-citanya.
5. Inovasi: Dalam lingkungan bisnis modern inovasi menjadi faktor utama peningkatan
daya saing. Kebanyakan usaha kecil dan menengah dan industri di Indonesia masih
kurang sadar dengan peningkatan daya saing. Persepsi mengenai inovasi
membutuhkan biaya besar merupakan kendala bagi pengembangan inovasi baik dari
sisi pengembangan produk, sistem distribusi, organisasi dan teknologi.

Faktor utama yang menjadi kendala usaha kecil dan menengah adalah pengelolaan
usaha atau manajerial. Secara berurutan kendala usaha kecil dan menegah yang kedua
sampai ke lima yaitu networking, leadership, inovasi dan permodalan. Karena usaha kecil dan
menengah mendominasi perekonomian dimana keberadaanya mencapai 94% dari
keseluruhan usaha maka kelima faktor utama kendala usaha kecil dan menengah tersebut
sering dikatakan sebagai faktor umum yang menjadi kendala untuk meningkatkan daya saing
industri nasional.

Lalu cara agar kita dapat mengatasi masalah tersebut, adalah dengan konsep
sederhana beruap Balance Scorecard. Dalam sebuah perusahaan pasti menginginkan sistem
kinerja manajemennya berjalan dengan baik, untuk mencapai hasil yang maksimal, untuk itu
diperlukan sistem pengukuran kinerja yang baik untuk melihat apakah kinerja manajemen
telah maksimal, atau ada hambatan pada setiap lini perusahaan. Salah satu metode untuk
mengatasi masalah ini adalah Balanced Scorecard. Balanced Scorecard (Kartu Skor
Berimbang) adalah suatu kerangka kerja baru untuk mengintegrasikan berbagai ukuran yang
diturunkan dari strategi 10 perusahaan. Selain ukuran kinerja financial masa lalu, Balanced
Scorecard juga memperkenalkan pendorong kinerja financial masa depan. Sistem
pengukuran harus sesuai dengan tujuan organisasi, menggambarkan aktivitas-aktivitas kunci
dari manajemen, dapat dimengerti para pegawai, mudah diukur dan dievaluasi serta dapat
digunakan oleh organisasi secara konsisten (Sinaga, 2004). Pendorong kinerja, yang meliputi
pelanggan, proses bisnis internal, dan pembelajaran serta pertumbuhan, diturunkan dari
proses penerjemahan strategi perusahaan yang dilaksanakan secara eksplisit dan ketat
kedalam berbagai tujuan dan ukuran yang nyata (Kaplan & Norton, 2000). Berbagai
perusahaan yang inovatif menggunakan balanced scorecard sebagai kerangka kerja proses
manajemen perusahaan. Manfaat yang sebenarnya dari balanced scorecard muncul ketika
scorecard tersebut ditransformasikan dari sebuah sistem pengukuran menjadi sebuah sistem
manajemen. Dengan semakin banyaknya balanced scorecard di terapkan diberbagai
perusahaan, maka dapat dilihat bahwa Balanced Scorecard dapat digunakan:

1. Mengklarifikasikan dan menghasilkan consensus mengenai strategi.


2. Mengkomunikasikan strategi ke seluruh perusahaan.
3. Menyelaraskan berbagai tujuan departemen dan pribadi dengan strategi
perusahaan.
4. Mengaitkan berbagai tujuan strategis dengan sasaran jangka panjang dan
anggaran tahunan.
5. Mengindentifikasi dan menyelaraskan berbagai inisiatif strategis.
6. Melaksanakan peninjauan ulang strategis secara periodic dan sistematik.
7. Mendapatkan umpan balik yang di butuhkan untuk mempelajari dan
memperbaiki strategi.

Secara umum coba kita uraikan bagaimana mengetahui posisi UKM yang
sesungguhnya sehingga akan mempermudah dalam menerapkan strategi dalam
pengembangan UKM tersebut. Sebenarnya penerapan Balance Scorecard pada UKM yang
belum melaksanakan kaidah-kaidah pelaporan dan menjadi sebuah organisasi modern akan
menjadi terasa sulit untuk dilaksanakan, akan tetapi ini akan menjadi sebuah tantangan
tersendiri bagi UKM jika memang ingin bertahan dan berkembang kegiatan usahanya.

Dari ke lima kendala diatas sebenarnya mendekati atau masuk dalam  4 Perspekstif
Dalam Balance Scorecard, sehingga untuk UKM yang akan menerapkan Balance Scorecard
dalam menentukan strategi bersaingnya, maka harus dapat mempersiapkan agar kinerjanya
dapat diukur dengan konsep sebagai berikut:

1. Perspektif Financial
Untuk perspektif ini dapat diukur dengan beberapa rasio keuangan antara lain,
rasio likuiditas, rasio profitabilitas, rasio rentabilitas dan rasio solvabilitas;
sejauhmana ukm memiliki keandalan dalam keuangannya; hal ini tentunya untuk
mengetahui tentang sejauhmana kemampuan ukm dalam hal permodalan dan
kemampuan-kemampuan financial lainnya;
2. Perspektif Pelanggan,
Kenaikan jumlah pelanggan dapat dilihat dari perkembangan jumlah
konsumennya, sedangkan untuk tingkat kepuasan pelanggan/konsumen kita dapat
membuat angket tentang kepuasan pelanggan/konsumen; hal ini yang nantinya
mampu dipergunakan bagi ukm dalam mengatasi kesulitan dalam jaringan
pemasarannya.
3. Perspektif Bisnis Internal
Bagaimana UKM dapat melakukan perubahan, melakukan inovasi bisnis dan
produknya, hal ini dapat dilihat dari perkembangan peralatan yang dimiliki yang
disesuaikan dengan teknologi informasi yang ada, kemampuan ukm dalam membuat
produk-produk baru; serta dari progress pelayanan yang mampu diberikan kepada
pelanggan/konsumennya, dalam perspektif inilah kendala dalam inovasi dan
perkembangan perusahaan menjadi

4. Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran,

Dalam perspektif ini ukm setidaknya harus mampu melibatkan karyawan


dalam penentuan keputusan terkait dengan perkembangan usahanya, pengakuan atas
hasil kerja, dan kreatifitas kerja karyawannya; dalam perspektif ini ukm harus juga
benar-benar menerapkan teknologi informasi untuk mengetahui respon terhadap
pelanggan/konsumennya; satu hal lagi adalah tentang kemampaun ukm dalam
menetapkan karyawan dan menerapkan aturan yang ada bagi karyawannya, sehingga
mampu memberikan motivasi kerja yang baik terhadap karyawan.

Berdasarkan pada hal diatas, tentunya penerapan Balance Scorecard pada UKM
sangat bagus dilaksanakan, namun tetap harus memperhatikan beberapa hal agar strategi
bisnis pada UKM dengan menggunakan Balance Scorecard sebagai sarana dalam mengukur
kinerja UKM akan memberikan result yang benar-benar mampu memberikan kontribusi
positif bagi UKM.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Mondy, R. Wayne. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jilid 1 Edisi ke-10. Jakarta:
Erlangga
Mathis, Robert. L & Jackson, John. H. 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia Buku 2.
Jakarta: Salemba Empat
Savera Mahenina. “Umpan Balik dalam Evaluasi Kinerja”
https://www.academia.edu/36674293/UMPAN_BALIK_DALAM_EVALUASI_KINERJA
(diakses pada 9 Maret 2020)
“Mengukur Kinerja UKM dengan Balance Scorecard Mengapa Tidak?
https://www.ekasulistiyana.web.id/motivasi/mengukur-kinerja-ukm-dengan-balance-
scorecard-mengapa-tidak/ (diakses pada 9 Maret 2020)
Tria Novitawaty. 2016. “Pengukuran Kinerja Usaha Kecil Menegah Dengan Metode
Balanced Scorecard”
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/3718/04%20abstract.pdf?
sequence=5&isAllowed=y (diakses pada 9 Maret 2020)

Anda mungkin juga menyukai