Anda di halaman 1dari 25

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM USAHA AIR MINUM DEPOT (AMD) ISI

ULANG DI KOTA CIREBON

PROPOSAL PENULISAN HUKUM

Diajukan untuk melengkapi tugas – tugas dan memenuhi syarat – syarat guna

menyelesaikan Program Sarjana (S1) Ilmu Hukum

Oleh :

HELMI AHDHANI

NIM 11010113130737

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG
USULAN PENELITIAN PENULISAN HUKUM

PROGRAM SARJANA S1

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO

I. Judul Penulisan Hukum

“IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM USAHA AIR MINUM DEPOT

(AMD) ISI ULANG DI KOTA CIREBON”

II. Pelaksana Penelitian

a. Nama Mahasiswa : HELMI AHDHANI

b. NIM : 11010113130737

c. Jumlah SKS : 148

d. IP Kumulatif : 3,04

e. Nilai Mata Kuliah MPPH :A

III. Dosen Pembimbing Penulisan Hukum

- Dosen Pembimbing I : RINITAMI NJATRIJANI, S.H.,M.Hum.

- Dosen Pembimbing II : Dr.BAMBANG EKO TURISNO, S.H., M.Hum.

IV. Ruang Lingkup / Bidang Minat

Ruang lingkup penelitian adalah Hukum Perdata Dagang

V. Latar Belakang Penelitian

Air adalah senyawa yang penting bagi semua bentuk kehidupan yang diketahui sampai

saat ini di Bumi, tetapi tidak di planet lain. Air menutupi hampir 71% permukaan Bumi.
Terdapat 1,4 triliun kilometer kubik (330 juta mil³) tersedia di Bumi. Air sebagian besar

terdapat di laut (air asin) dan pada lapisan-lapisan es (di kutub dan puncak-puncak gunung),

akan tetapi juga dapat hadir sebagai awan, hujan, sungai, muka air tawar, danau, uap air, dan

lautan es. Air dalam objek-objek tersebut bergerak mengikuti suatu siklus air, yaitu: melalui

penguapan, hujan, dan aliran air di atas permukaan tanah (runoff, meliputi mata air, sungai,

muara) menuju laut. Air bersih penting bagi kehidupan manusia.

Tubuh manusia terdiri dari 55% sampai 78% air, tergantung dari ukuran badan. Agar

dapat berfungsi dengan baik, tubuh manusia membutuhkan antara satu sampai tujuh liter air

setiap hari untuk menghindari dehidrasi; jumlah pastinya bergantung pada tingkat aktivitas,

suhu, kelembaban, dan beberapa faktor lainnya. Selain dari air minum, manusia mendapatkan

cairan dari makanan dan minuman lain selain air. Sebagian besar orang percaya bahwa

manusia membutuhkan 8–10 gelas (sekitar dua liter) per hari. Literatur medis lainnya

menyarankan konsumsi satu liter air per hari, dengan tambahan bila berolahraga atau pada

cuaca yang panas.

Pesatnya perkembangan perekonomian telah menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa
yang ditawarkan oleh pasar. Kondisi ini memberikan kemudahan dan kebebasan bagi
konsumen untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang yang sesuai dengan keinginan dan
kemampuannya. Namun sering kali konsumen dijadikan objek aktivitas bisnis oleh pelaku
usaha untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Hal itu dilakukan melalui kiat-kiat
promosi, metode penjualan maupun pemberian informasi yang tidak benar oleh pelaku usaha
sehingga dapat menimbulkan kesalahan persepsi bagi konsumen. Minimnya pengetahuan
konsumen sering dimanfaatkan oleh pelaku usaha sebagai celah untuk mengelabui konsumen.
Oleh karena itu dibutuhkan suatu landasan hukum untuk melindungi konsumen sehingga hak-
haknya dapat dilindungi dan tidak diabaikan oleh pelaku usaha. Undang-undang Nomor 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan landasan hukum bagi
penyelenggaraan perlindungan konsumen di Indonesia.
Kebutuhan masyarakat akan air minum layak dan aman untuk dikonsumsi setiap hari
semakin meningkat. Di sisi lain penggunaan air minum melalui sumber air dalam tanah
semakin tidak memungkinkan karena persediaan air tanah semakin menipis. Selain itu risiko
terhadap pencemaran juga semakin tinggi. Sementara PT PAM sebagai perusahaan air minum
belum dapat menyediakan air bersih bagi masyarakat karena masih banyak mengalami
kendala-kendala. Dengan keadaan itu, masuknya produk air minum dalam kemasan (AMDK)
merupakan sebuah alternatif bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih
yang layak dan aman untuk dikonsumsi setiap hari.
Kini hampir sebagian besar masyarakat Indonesia sudah tidak asing dengan AMDK dan
telah mengkonsumsinya untuk kebutuhan sehari-hari sebagai air minum. Dari mulai kemasan
gelas 240 ml, botol 600 ml dan 1 liter hingga galonan dikonsumsi masyarakat luas,
khususnya dikota-kota besar. Walaupun harga AMDK cukup mahal namun masyarakat rela
untuk mengeluarkan uangnya demi memenuhi kebutuhannya akan air minum. Hal ini sangat
wajar karena selain praktis dan efesien, produk AMDK terjaga kebersihan dan keamanannya
dengan memiliki kualitas Standard Nasional Indonesia (SNI). Dengan tercantumnya label
SNI, maka AMDK merupakan produk yang aman untuk dikonsumsi dan telah sesuai dengan
Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Setelah terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, maka harga AMDK pun semakin mahal
dan tidak terjangkau bagi sebagian konsumen. Hal ini memberikan peluang baru bagi pelaku
usaha untuk membangun bisnis baru yaitu air minum depot (AMD) isi ulang. Pertumbuhan
AMD isi ulang selama masa krisis ekonomi ini semakin menjamur dan menjadi alternatif lain
bagi konsumen yang selama ini mengkonsumsi AMDK. Dengan harga yang jauh lebih murah
bila dibandingkan dengan AMDK, maka AMD isi ulang berkembang dengan pesat.
Seiring dengan semakin menjamurnya usaha AMD isi ulang, maka timbul beberapa
permasalahan mengenai kualitas AMD isi ulang. Banyak media cetak yang mengangkat
masalah kualitas AMD isi ulang yang dianggap tidak layak untuk dikonsumsi. Permasalahan
mengenai AMD isi ulang ini terkait erat dengan perlindungan konsumen karena masyarakat
sebagai konsumen merupakan pihak yang harus diperhatikan oleh pelaku usaha. Keselamatan
dan keamanan dalam mengkonsumsi AMD isi ulang adalah permasalahan yang harus
diperhatikan dalam upaya perlindungan konsumen.
Dilihat dari Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 maka terdapat beberapa Pasal yang
mengatur mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, kewajiban pelaku usaha,
serta hak-hak yang dimiliki oleh konsumen. Keterbukaan dan kemudahan untuk mendapatkan
akses informasi produk, masalah label dan pencatuman komposisi serta tanggal kadaluarsa
merupakan hal yang penting untuk diperhatikan oleh pelaku usaha AMD isi ulang.
Permasalahan mengenai perlindungan konsumen ini akan dikaji lebih mendalam,
khususnya mengenai hak-hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang jelas dan jujur,
kewajiban pelaku usaha serta perbuatan-perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha berkaitan
dengan usaha AMD isi ulang, mengingat belum adanya aturan hukum mengenai cara untuk
memproduksi dan memperdagangkan hasil usaha ini. Dengan demikian, dapat diketahui
apakah Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah
dilaksanakan dengan baik sehingga dapat memberikan perlindungan dalam mengonsumsi
AMD isi ulang sebagai air minum bagi konsumen. Hal tersebut diatas dinilai sangat penting
karena adanya hubungan hukum berupa jual beli, jual beli adalah suatu perjanjian dengan
mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak
yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Permasalahan yang telah diketahui adalah masih rendahnya pengetahuan konsumen
tentang hak-haknya untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya. Selain itu terjadi kesalahan persepsi oleh
konsumen mengenai pengertian “isi ulang” dalam AMDK dan AMD isi ulang. Namun belum
diketahui mengapa hak-hak konsumen masih diabaikan oleh pelaku usaha setelah lahirnya
Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan apakah usaha
AMD isi ulang telah sesuai atau melanggar ketentuan Undang-undang Nomor 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, serta peranan pemerintah dalam rangka pengawasan.

VI. Rumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan bagian penting dalam suatu penulisan hukum agar
terarah dan tujuan tidak menyimpang dari pokok permasalahan sehingga sangat diperlukan
untuk memfokuskan masalah agar dapat dipecahan secara sistematis. Berdasarkan latar
belakang tersebut penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana implementasi perlindungan terhadap konsumen dalam kaitanya
dengan usaha Air Minum Depot (AMD) isi ulang?
2. Bagaimana kendala yang dihadapi konsumen terhadap adanya usaha AMD isi
ulang?

VII. Tujuan Penelitian & Manfaat Penelitian

A. Tujuan Penelitian
Perumusan tujuan penelitian merupakan pencerminan arah dan penjabaran strategi
terhadap permasalahan penelitian, serta agar penelitian tidak menyimpang dari tujuan semula.
Bertitik tolak pada permasalahan yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui implementasi perlindungan terhadap konsumen dalam kaitanya
dengan usaha Air Minum Depot (AMD) isi ulang.
2. Mengetahui kendala yang dihadapi konsumen terhadap adanya usaha Air Minum
Depot (AMD) isi ulang.

B. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi


perkembangan hukum di Indonesia, atau sekurang-kurangnya dapat dijadikan referensi bagi
akademisi di tanah air. Adapun manfaat yang ingin dicapai dari penelitianini sebagai berikut:
1. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam ilmu
pengetahuan, khusus pemerintah agar dapat menjadi salah satu pertimbangan
dalam menyusun regulasi berikutnya.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat digunakan sebagai kajian yang dapat memberikan jawaban
atas permasalahan serta pedoman bagi penelitian-penelitian berikutnya.
3. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh perguruan tinggi sebagai acuan
pengetahuan ataupun sebagai tambahan pengetahuan pada bidang Hukum
Dagang.

VIII. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan penjabaran secara deskriptif atau uraian mengenai


garis besar dari hal-hal yang akan ditlis dalam penulisan hukum. Sistematika penulisan
hukum ini mengacu kepada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (skripsi) Program Sarjana
Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. Penulisan hukum ini terdiri dari 5 (lima) bab yang
saling terkait satu dengan yang lainnya untuk mempermudah pemahaman isi dari penulisan
hukum ini. Adapun sistematika penulisan dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
1. BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi alasan atau latar belakang dilakukan penulisan hukum, kemudian
dijalankan dengan rumusan masalah, tujuan, manfaat, dan sistematika penulisan.
2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi landasan teoritis mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penulisan
hukum yang terdiri dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8
Tahun 1999 beserta peraturan lainya yang berkaitan dengan perlindungan
konsumen AMD isi ulang dan teori yang berkaitan langsung dengan perlindungan
konsumen.
3. BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini berisi langkah-langkah atau prosedur dalam penyusunan penulisan hukum
secara sistematis yang terdiri dari metode pendekatan, spesifikasi penelitian,
metode pengumpulan data, metode pengolahan data, dan analisis data.
4. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi inti mengenai uraian penelitian mengenai perlindungan hukum
terhadap konsumen Air Minum Depot (AMD) isi ulang.
5. BAB V PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan atau inti dari hasil penulisan penulisan hukum dan saran
yang berisi saran Penulis dalam penulisan skripsi yang dapat digunakan untuk
perbaikan di masa yang akan datang.

IX. PENINJAUAN / STUDI PUSTAKA

A. Pengertian Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen


1. Pengertian Konsumen

Sebagai suatu konsep, “konsumen” telah diperkenalkan beberapa puluh


tahun lalu di berbagai negara dan sampai saat ini sudah puluhan negara memiliki
undang-undang atau peraturan khusus yang memberikan perlindungan kepada
konsumen termasuk penyediaan sarana peradilannya. Sejalan dengan
perkembangan tersebut, berbagai negara telah menetapkan hak-hak konsumen
yang digunakan sebagai landasan pengaturan perlindungan kepada konsumen. Di
samping itu, telah berdiri organisasi konsumen Internasional, yaitu International
Organization of Consumer Union (IOCU). Di Indonesia telah berdiri berbagai
organisasi konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) di
Jakarta dan organisasi konsumen lainnya yang tersebar diseluruh kota di
Indonesia.1

Istilah “konsumen” berasasal dari alih bahasa dari kata “consumer”


(Inggris-Amerika), atau “consument/konsument” (Belanda). Pengertian dari
consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara
harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang
menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang dan/atau jasa nantilah yang
menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna barang dan/atau jasa
tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi kata consumer
sebagai pemakai atau konsumen.2 Pengertian konsumen dalam arti umum adalah
pemakai, pengguna atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa “Konsumen adalah setiap orang
pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan”.

Berdasarkan pengertian diatas, subyek yang disebut sebagai konsumen


berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah
“orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang
lazim disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum (recht person).
Menurut Az. Nasution, orang yang dimaksudkan adalah orang alami bukanlah
badan hukum. Sebab yang memakai, menggunakan dan/atau memanfaatkan
barang dan/atau jasa untuk kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun
makhluk hidup lain tidak untuk diperdagangkan hanyalah orang alami atau
manusia.3

Ada hal lain yang juga perlu dikritisi dari pengertian “konsumen” dalam
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Batasan

1
Celina Tri Siwi Kristiyani, Op.cit, hal 22.
2
Ibid
3
Abdul Halim Barkatullah, Op.cit., hal.8.
pengertian “konsumen” dalam UUPK tersebut adalah batasan sempit. Yang dapat
dikualifikasikan sebagai konsumen sesungguhnya tidak hanya terbatas pada
subjek hukum yang disebut “orang”, akan tetapi masih ada subjek hukum lain
yang juga sebagai konsumen akhir yaitu “badan hukum” yang mengonsumsi
barang dan/atau jasa serta tidak untuk diperdagangkan. Oleh karena itu, lebih tepat
bila dalam pasal ini menentukan “setiap pihak yang memperoleh barang dan/atau
jasa” yang dengan sendirinya tercakup orang dan badan hukum, atau paling tidak
ditentukan dalam Penjelasan Pasal 1 angka 2 UUPK tersebut.4
Di Spanyol, konsumen diartikan tidak hanya individu (orang), tetapi juga
suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Dan yang paling
menarik adalah konsumen di negara ini tidak harus terikat dalam hubungan jual
beli sehingga dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli. Namun,
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda (NBW Buku IV, pasal
236) konsumen dinyatakan sebagai orang alamiah. Maksudnya, ketika
mengadakan perjanjian ia tidak bertindak selaku orang yang menjalankan profesi
perusahaan.5

Pengertian “konsumen” di Amerika Serikat dan MEE, kata “konsumen”


yang berasal dari consumer sebenarnya berarti “pemakai”. Namun, di Amerika
Serikat kata ini dapat diartikan lebih luas lagi sebagai “korban pemakaian produk
yang cacat”, baik korban tersebut pembeli, bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan
juga korban yang bukan pemakai karena perlindungan hukum dapat dinikmati
pula bahkan oleh korban yang bukan pemakai.6
Az. Nasution dalam bukunya menegaskan beberapa batasan tentang
konsumen, yakni: 7

a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa


digunakan untuk tujuan tertentu;

4
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004),
hal.5.
5
Abdul Halim Barkatullah, Op.cit., hal.13.
6
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.23.
7
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta : Diadit Media, 2002), hal. 13.
b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau
jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang dan/atau jasa lain
atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial);
c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan
menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan
hidupnya pribadi, keluarga dan/atau rumah tangga dan tidak untuk
diperdagangkan kembali (non komersial).

Bagi konsumen antara, barang dan/atau jasa itu adalah barang dan/atau
jasa capital, berupa bahan baku, bahan penolong atau komponen dari produk lain
yang akan diproduksinya (produsen). Kalau ia distributor atau pedagang berupa
barang setengah jadi atau barang jadi yang menjadi mata dagangannya. Konsumen
antara ini mendapatkan barang dan/atau jasa itu di pasar industri atau pasar
produsen.
Sedang bagi konsumen akhir, barang dan/atau jasa itu adalah barang
dan/atau jasa konsumen, yaitu barang dan/atau jasa yang biasanya digunakan
untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga atau rumah tangganya (produk
konsumen). Barang dan/atau jasa konsumen ini umumnya diperoleh di pasar-pasar
konsumen dan terdiri dari barang dan/atau jasa yang umumnya digunakan didalam
rumah tangga masyarakat.
Pada umumnya konsumen tidak mengetahui dari bahan apa suatu produk
itu dibuat, bagaimana proses pembuatannya serta strategi pasar apa yang
dijalankan untuk mendistribusikannya, maka diperlukan kaidah hukum yang dapat
melindungi. Perlindungan itu sesungguhnya berfungsi menyeimbangkan
kedudukan konsumen dan pengusaha, dengan siapa mereka saling berhubungan
dan saling membutuhkan.
Keadaan seimbang di antara para pihak yang saling berhubungan, akan
lebih menerbitkan keserasian dan keselarasan materiil, tidak sekedar formil, dalam
kehidupan masyarakat Indonesia sebagaimana dikehendaki oleh falsafah bangsa
dan negara ini.

2. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

Istilah “hukum konsumen” dan “hukum perlindungan konsumen” sudah


sangat sering terdengar. Dalam berbagai literatur hukum pun sering digunakan
dua istilah hukum ini. Namun, belum jelas benar apa saja yang masuk ke dalam
materi keduanya dan apakah kedua “cabang” hukum tersebut identik.8
Pengertian hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen
ternyata belum dibakukan menjadi suatu pengertian yang resmi, baik dalam
peraturan perundang-undangan maupun dalam kurikulum akademis. Fakultas
Hukum Universitas Indonesia mempergunakan hukum perlindungan konsumen,
tetapi Hondius, ahli hukum konsumen dari Belanda menyebutnya dengan hukum
konsumen (konsumen-tenrecht).9

M.J. Leder menyatakan: “In a sense there is no such creature as


consumer law”. Sekalipun demikian, secara umum sebenarnya hukum konsumen
dan hukum perlindungan konsumen itu seperti yang dinyatakan oleh Lowe yakni:

8
Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : PT. Grasindo, 2004), hal. 11.
9
N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, (Jakarta : Panta Rei,
2005), hal. 30.
“….rules of law which recognize the bargaining weakness of the individual
consumer and which ensure that weakness is not unfairly exploited”.10

Posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah
satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan
(pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum
perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan
ditarik batasnya.

Az. Nasution menjelaskan bahwa kedua istilah tersebut berbeda, yakni


bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen.
Menurut Az. Nasution, hukum konsumen adalah “keseluruhan asas-asas dan
kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu
sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, didalam pergaulan
hidup”, sedangkan hukum perlindungan konsumen diartikan beliau sebagai
“keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi
konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang
dan/atau jasa konsumen”.11

Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


memberi pengertian perlindungan konsumen sebagai segala upaya menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.
Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen tersebut
antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta
membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan
mengembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab. Dengan
demikian, jika perlindungan konsumen diartikan sebagai segala upaya yang
menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai wujud
perlindungan kepada konsumen, maka hukum perlindungan konsumen merupakan
hukum yang mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan
hukum terhadap kepentingan konsumen.

10
Sidharta, Op.cit., hal.9-10.

11
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.13.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
mengelompokkan norma-norma perlindungan konsumen dalam 2 (dua) kelompok,
yakni:
1. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha.
2. Ketentuan tentang pencantuman klausula baku.

Adanya pengelompokkan tersebut bertujuan untuk memberikan


perlindungan terhadap konsumen dari atau akibat perbuatan yang dilakukan
pelaku usaha. Berkenaan dengan perlindungan konsumen dapat di klasifikasikan
bidang-bidang yang harus dilindungi, yaitu:

a. Keselamatan fisik,
b. Peningkatan serta perlindungan kepentingan ekonomis konsumen,
c. Standar untuk keselamatan dan kualitas barang dan/atau jasa,
d. Pemerataan fasilitas kebutuhan pokok,
e. Upaya-upaya untuk memungkinkan konsumen melaksanakan
tuntutan ganti rugi,
f. Program pendidikan dan penyebarluasan informasi,
g. Pengaturan masalah-masalah khusus seperti makanan, minuman,
dan,obat.
B. Asas, Tujuan, dan Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen

1. Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen


Secara etimologi kata, bahwa asas dapat diterangkan sebagai berikut:

a. Dasar, alas, pondamen; misalnya batu yang baik untuk rumah.


b. Sesuatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir
(berpendapat dan sebagainya; misalnya bertentangan dengan asas-asas hukum
pidana.
c. Cita-cita yang menjadi dasar (perkumpulan, negara dan sebagainya; misalnya
membicarakan asas dan tujuannya.

Selanjutnya kata asas ini di dalam bahasa Inggris disebut “principle”


yang hubungannya erat dengan istilah “principium” (bahasa Latin). Principium
menurut asal katanya adalah permulaan; awal mula; sumber; asal pengakal;
pokok, dasar.

Dalam setiap peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh


pembentuk undang-undang, terdapat sejumlah asas atau prinsip yang mendasari
diterbitkannya undang-undang tersebut. Asas-asas hukum merupakan fondasi
suatu undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.34 Bila asas-asas
dikesampingkan, maka runtuhlah bangunan undang-undang tersebut dan seluruh
peraturan pelaksanaannya.

Tan Kamello, mengatakan bahwa cita-cita hukum suatu undang-undang


yang merupakan refleksi normatif dari keinginan masyarakatnya terletak kepada
jantungnya hukum tersebut. Asas hukum ini ibarat jantung peraturan hukum atas
dasar dua alasan yaitu, pertama asas hukum merupakan landasan yang paling luas
bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa penerapan peraturan-
peraturan hukum tersebut dapat dikembalikan kepada asas-asas hukum. Kedua,
karena asas hukum mengandung tuntutan etis, maka asas hukum diibaratkan
sebagai jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan
pandangan etis masyarakatnya.
Di dalam usaha perlindungan hukum terhadap konsumen, terdapat asas-
asas yang terkandung di dalam peraturan perundang-undangannya. Dalam
penjelasan umum Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK) pada alinea delapan menyebutkan bahwa undang-undang
tersebut mengacu pada filosofi pembangunan nasional, termasuk pembangunan
hukum di dalamnya yang memberikan perlindungan terhadap konsumen yang
berlandaskan kepada Pancasila dan UUD RI Tahun 1945 38 yang terkandung dalam
ketentuan pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999.

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama


berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya


dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha
secara keseluruhan.
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil
dan spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen
dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen
menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Apabila diperhatikan pada substansi pasal 2 Undang-Undang No. 8


Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan penjelasannya, terlihat bahwa
perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah negara Republik
Indonesia. Kelima asas yang disebutkan dalam pasal 2 UUPK tersebut, bila
diperhatikan substansinya, maka dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yakni:

1. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan


keselamatan konsumen,
2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan, dan
3. Asas kepastian hukum.

Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum


sebagai “tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum”, yang berarti dapat
dipersamakan dengan asas hukum. Di antara ketiga asas tersebut yang sering
menjadi sorotan utama adalah masa keadilan, dimana Friedman menyebutkan
bahwa: “In terms of law, justice will be judged as how law treats people and how
it distributes its benefits and cost”, dan dalam hubungan ini Friedman juga
menyatakan bahwa “every function of law, general or specific, is allocative”.
Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang
menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun
dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan
konsumen oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Keseimbangan perlindungan antara pelaku usaha dan konsumen


menampakkan fungsi hukum yang menurut Rescoe Pound sebagai sarana
pengendalian hidup bermasyarakat dengan menyeimbangkan kepentingan-
kepentingan yang ada dalam masyarakat atau dengan kata lain sebagai sarana
kontrol sosial. Keseimbangan perlindungan hukum terhadap pelaku usaha dan
konsumen tidak terlepas dari adanya pengaturan tentang hubungan-hubungan
hukum yang terjadi antara para pihak.

Agar segala upaya untuk membentengi tindakan kesewenang-wenangan


pihak pelaku usaha dan memberikan hak-hak yang dimiliki oleh konsumen
sebagaimana harusnya, maka asas-asas perlindungan konsumen tersebut harus
dipadankan dengan tujuan dari perlindungan konsumen. Dalam Pasal 3 UUPK
menetapkan 6 tujuan dari perlindungan konsumen, yakni:
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsure
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha; dan
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan,
dan keselamatan konsumen.

Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan


Konsumen ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 2 UUPK sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang
ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan
pembangunan di bidang hukum perlindugan konsumen.

Achmad Ali mengatakan masing-masing undang-undang memiliki tujuan


khusus. Hal itu juga terlihat dari pengaturan pasal 3 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, yang mengatur tujuan khusus perlindungan konsumen,
sekaligus membedakan dengan tujuan umum yang berkenaan dengan ketentuan
pasal 2 tersebut.12

12
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op.cit., hal.34.
Rumusan tujuan perlindungan konsumen pada huruf c dan huruf e
merupakan tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan. Sementara tujuan untuk
memberikan kemanfaatan terlihat dalam rumusan huruf a, b dan f. Terakhir tujuan
khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum tercermin dalam rumusan
huruf d. Pengelompokkan tersebut tidak berlaku mutlak karena rumusan pada
huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang dapat dikualifikasikan sebagai
tujuan ganda.

Kesulitan dalam memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) tersebut


sekaligus keseluruhannya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a
sampai dengan huruf f dari Pasal 3 UUPK hanya dapat tercapai secara maksimal,
apabilan didukung oleh keseluruhan sub sistem perlindungan yang diatur dalam
UUPK, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat. Unsur
masyarakat sebagaimana yang dikemukakan sangat berhubungan dengan
persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang selanjutnya menentukan
keefektifan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
dimana kesadaran hukum, ketaatan hukum dan efektivitas perundang-undangan
adalah tiga unsur yang saling berhubungan satu sama lainnya.

Agar tujuan hukum perlindungan konsumen ini dapat berjalan


sebagaimana yang telah di cita-citakan oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1999,
maka kesatuan dari keseluruhan sub sistem yang terkandung dalam undang-
undang tersebut harus diperkuat dengan didukung oleh sarana dan prasarana yang
memadai.
3. Prinsip-prinsip Hukum Perlindungan Konsumen

Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting


dalam hukum perlindungan konsumen. dalam kasus-kasus pelanggaran hak
konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisa siapa yang harus
bertanggung jawab dan seberapa jauh pertanggung jawaban yang dapat
dibebankan kepada pihak-pihak yang terkait.13

Beberapa sumber hukum formil, seperti peraturan perundang-undangan


dan perjanjian standar di lapangan hukum keperdataan kerap memberikan
pembatasan-pembatasan terhadap tanggung jawab yang dipikul oleh si pelanggar
hak konsumen. Dalam area hukum tertentu, antara hukum pengangkutan dan
hukum lingkungan terdapat perbedaan yang diterapkan. Bahkan, di dalam bidang
hukum pengangkutan, antara kasus yang satu dengan kasus yang lain, prinsip-
prinsipnya pun juga berbeda.

Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat


dibedakan sebagai berikut: 14

(a) Kesalahan (Liability based of Fault);


(b) Praduga selalu bertanggung jawab (Presumption of Liability);
(c) Praduga selalu tidak bertanggung jawab (Presumption of Non Liability);
(d) Tanggung jawab mutlak (Strict Liability); dan
(e) Pembatasan tanggung jawab (Limitation of Liability).
(f) Tanggung jawab produk (Product Liability).

13
Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : PT. Grasindo), 2006, hal.72.
14
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.92.
X. METODE PENELITIAN

Dalam penulisan hukum diperlukan suatu penelitian, dimana dengan penelitian tersebut
diharapkan akan memperolah data-data yang akurat sebagai pemecahan permasalahan atau
jawaban atas pertanyaan tertentu. Metode penelitian hukum merupakan suatu cara yang
sistematis dalam melakukan sebuah penelitian.

1. Metode Pendekatan

Penulisan skripsi ini menggunakan metode analitis dengan pendekatan yuridis


empiris, metode pendekatan yuridis-empiris merupakan cara atau prosedur yang
digunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder
terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian terhadap
data primer yang ada di lapangan. Dalam penelitian ini maksudnya adalah bahwa
dalam menganalisis permasalahan dilakukan dengan cara memadukan bahan-bahan
hukum (yang merupakan data sekunder) dengan data primer yang diperoleh di
lapangan.

2. Spesifikasi Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan spesifikasi penelitian secara deskriptif analitis,


yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan
teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut
permasalahan diatas. Selain menggambarkan objek yang menjadi permasalahan juga
menganalisa data yang diperoleh dari penelitian dan mencoba untuk menarik
kesimpulan yang bukan merupakan kesimpulan umum.

3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di beberapa tempat pengisian air minum depot isi ulang
yang berada di Kota Cirebon, selain itu juga beberapa daa akan diambil dari Dinas
Kesehatan Kota Cirebon.
4. Jenis dan Sumber Data
Pengumpulan data, diperlukan data yang bersumber dari buku-buku, literatur,
dan pendapat ahli hukum yang berkaitan dengan penelitian ini, ataupun sumber lain
yang ada di lapangan untuk menunjang keberhasilan dan efektivitas penelitian.
Pengumpulannya dilakukan dengan cara mengumpulkan dan meneliti peraturan-
peraturan, buku-buku bahan sumber bacaan lain yang berkaitan dengan penulisan
hukum. Sumber data penilitian terdiri atas data primer dan data sekunder.
Data primer adalah sumber data yang diperoleh tidak melalui media perantara
atau diperoleh secara langsung dari narasumber. Data primer dapat berupa opini, hasil
observasi, kejadian atau kegiatan, dan hasil pengujian. Adapun data primer dalam
penelitian ini adalah berupa wawancara kepada pengusaha Air Minum Depot (AMD)
isi ulang. Data sekunder adalah data yang bersumber dari penelitian kepustakaan
(library research) yang bahan hukumnya berasal dari bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder.
Data yang diperoleh pada penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang
diperoleh dari bahan-bahan pustaka, yang diperoleh dari sumber-sumber data yang
berupa:
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari :
1) Peraturan perundang-undangan, yang meliputi:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
b. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
c. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
d. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

b. Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya


dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan
memahami bahan hukum primer, yang terdiri dari:
1) Buku-buku yang membahas tentang Perlindungan Konsumen
2) Buku-buku yang membahas tentang Hukum Perlindungan Konsumen
3) Buku-buku yang membahas tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia
4) Makalah-makalah dan dokumen-dokumen yang berkaitan untuk dapat
membantu penulis dalam mendapatkan informasi.
c. Bahan hukum tersier, bahan hokum untuk memberikan petunjuk dan
penjelasan bahan hukum primer dan sekunder, terdiri dari:
1) Kamus Hukum
2) Kamus Besar Bahasa Indonesia
3) Pedoman EYD

5. Metode Analisis

Metode analisis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.
Analisis data dilakukan secara kualitatif, komprehensif, dan lengkap. Analisis data artinya
menguraikan data secara bermutu dalam kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang
tindih, dan efektif, sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis.
Komperhensif artinya analisis data secara mendalam dari berbagai aspek sesuai dengan
lingkup penelitian. Lengkap artinya tidak ada bagian yang terlupakan, semuanya sudah
masuk analisis. Analisis data dan interpretasi seperti ini akan menghasilkan produk penelitian
hukum normatif yang sempurna.

XI. Jadwal Penelitian

1. Persiapan : 14 hari

2. Pengumpulan data : 14 hari

3. Pengolahan data : 21 hari

4. Analisis data : 21 hari

5. Penulisan laporan dalam bentuk skripsi : 21 hari +

Jumlah 91 hari

No. Kegiatan Maret April Mei


1 Persiapan                        
2 Pengumpulan Data                        
3 Pengolahan Data                      
4 Analisis                        
5 PenulisanLaporan                        
DAFTAR PUSTAKA SEMENTARA

Abdullah, Imam Baehaqia . Menggugat Hak-Panduan Konsumen Bila Dirugikan .


Jakarta : YLKI , 1990 .

Darus, Mariam . Perlindungan Konsumen Dilihat Dari Perjanjian baku (Standar). Kertas
Kerja pada Simposiun Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen . Jakarta :
1980 .

Nasution, Az . Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar . Cet . 1 . Jakarta : Daya


Widya , 1999 .

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, P. T. Grasindo, Jakarta,


2000.

Sidabolak, janus. Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, P. T. Citra


Aditya Bakti, Bandung, 2006.

Kristiyanti, Celina Tri Siwi, Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika,2008.

Soemitro, Ronny Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum & Jurimetri. Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1990.
Semarang, 7 Maret 2018

Dosen Pembimbing I

Mengetahui

RINITAMI NJATRIJANI, S.H.,M.Hum.


NIP. 196108171987032001

Dosen Pembimbing II

Dr.BAMBANG EKO TURISNO, S.H., MHum


NIP. 196212091987031001

Pelaksana

HELMI AHDHANI
NIM.11010113130737

Anda mungkin juga menyukai